Kamis, 19 November 2009

PESTA SAINS NASIONAL 2009

Cahaya Madani,
Jum’at, 7 September 2007..,

Lambaian tanganku mengiringi kepergian mereka.
Dengan tatapan semu ku antarkan mereka hingga depan kantor.
Muhammad Iqbal Nugraha, Sesa Wiguna, Aryanti Ambarsari, Enggar Cahya Firdaus, Adiluhung, Dinni Nurhayani, Annas Azwar Suhardi dan Fadilla Nur’aini.
Merekalah tim yang diutus sekolah untuk mengikuti sebuah perlombaan di Bogor, Pesta Sains Nasional 2007, untuk yang pertama kalinya.
Dengan sebuah mobil sederhana dan ditemani ustadz Rijaluddin, merekapun meninggalkan sekolah tercinta.

Sebenarnya hati ini ingin sekali menjadi bagian tim.
Ikut bersama mereka berjuang demi nama baik sekolah..
Tapi apa daya, Allah punya kehendak lain.
Dia punya alasan yang cukup bisa kuterima dengan lapang dada, hinga akhirnya hanya sebuah kepalan tangan diiringi ucapan, “semangat….!” dan disertai do’a dariku yang bisa ikut bersama mereka menuju IPB, kampus yang pernah menjadi impianku setelah lulus dari Cahaya Madani.

Keinginan yang besar itu sebenarnya timbul hanya karena sebuah rasa penasaran, sebuah rasa ingin tahu.
Ya..!
Sebuah rasa ingin tahu tentang lomba selain olympiade.
Ku hanya ingin merasakan bagaimana suasana lomba selain olympiade, ingin tahu bagaimana soal-soal kimia selain olympiade yang katanya lebih mudah.
Hanya itu,..
Persoalan menjadi bagian dari sejarah Cahaya Madani sebagai peserta pertama yang mengikuti Pesta Sains Nasional di IPB, itu urusan nomor sekian.

Namun rasa penasaran itupun hanya tinggal sebuah harapan yang sirna, karena tentunya tahun depan ku akan melepaskan status SMAku dan tak mungkin mengkuti lomba yang hanya untuk anak SMA itu.


2 tahun kemudian,.
Assa’adah, Jum’at, 13 November 2009


Hari belum subuh, langit masih gelap, bahkan ayampun mungkin belum berkokok.
Namun mobil Pregio dengan plat nomor A 1078 DL telah meluncur ke Bogor.
Di dalamnya seorang ustadz muda bernama Achmad Anwar Sanusi, termasuk dalam rombongan.
Rombongan itu akan menuju Bogor, tepatnya Kampus IPB Darmaga Bogor, Jawa Barat.
Lebih tepatnya lagi menuju gedung Graha Widya Wisuda IPB, untuk satu tujuan, mengikuti Pesta Sains Nasional 2009.

Alhamdulillahirabbil’alami
n, hanya ucapan syukur itu yang bisa kupanjatkan pertama kali mendapat kabar untuk mengikuti ajang bergengsi ini.
Dengan kapasitas seorang Pembimbing (seperti yang tertera dalam Surat Tugasku), Kami meluncur ke Bogor untuk bertarung menjadi yang terbaik.

Bagiku pribadi, ini untuk kedua kalinya menjadi pembimbing sebuah kegiatan keluar pondok setelah kegiatan Smart Camp hampir setahun yang lalu.
Untuk kedua kalinya pula ku pergi mengunjungi Bogor, dengan tujuan yang sama.
Sama-sama mencari.
Yang pertama, beberapa bulan lalu untuk mencari sesuatu (seseorang lebih tepatnya) yang telah lama hilang.
Dan yang kedua, kali ini, dengan tujuan untuk mencari sesuatu pula,,,
Mencari harapan yang pernah sirna..!

Namun perjalanan kali ini terasa lebih berat, karena ku harus meninggalkan dua kewajiban yang ada d perkuliahan dan di pondok.
UTS Matematika Ekonomi harus terpaksa ku tinggalkan,
Mengajar Sabtu-Ahadpun mau tak mau kutinggalkan pula.
Tapi aku tak merasa bersalah kok (mencoba beralibi, hhe..)
Tapi ini bener..!
Karena pergi ke Bogor ini pun adalah tugas dari pondok yang tak bisa kutinggalkan pula.

Di IPB, ku bertemu adik-adik kelasku dari Cahaya Madani yang juga mengikuti kegiatan ini seperti tahu-tahun sebelumnya.

Dan akhirnya, atmosfer Pesta Sains yang pernah sangat ingin ku rasakan, saat ini benar-benar bisa kurasakan!!

Hingga berita ini diturunkan, (mencuri redaksi milik wartawan ceritanya, hhe…) maksudnya, hingga tulisan ini diterbitkan, pertarungan di Pesta Sains Nasional 2009 di IPB masih berlangsung.
Kuharap, almamaterku bisa mendulang sukses di tahun ini.
Begitu pula dengan anak asuhanku, semoga mereka pun bisa mempersembahkan yang terbaik..


Sabtu, 14 November 2009

Rabu, 18 November 2009

Manusia Tidak Pernah Menderita Sendirian

Barangkali benar adagium yang sering diucapkan orang bahwa hidup ini tidaklah mudah. Sebab tidak semua keinginan kita terwujud dalam hidup ini, atau hidup itu sendiri berjalan tidak selalu seperti yang kita inginkan. Dan jika hidup itu berjalan tidak seperti yang kita inginkan, atau, apalagi jika hal yang tidak diinginkan itu terjadi atau menimpa kita, maka kita merasa menderita.

Karena itu adalah hakikat hidup, maka sebenarnya kita harus menerima bahwa penderitaan adalah kenyataan hidup. Kita memang tidak dibenarkan untuk “menyerah kalah” terhadap penderitaan. Justru agama memerintahkan supaya kita terus berusaha dan berusaha, agar penderitaan tidak terjadi, atau yang telah terjadi lekas menyingkir. Tetapi agama juga mengajarkan bahwa jika kita menderita, kita tidak boleh menganggap penderitaan itu “khusus” hanya menimpa kita dan seolah-olah tidak pernah menimpa orang lain. Jika sampai hal itu terjadi, maka kita menderita di atas penderitaan. Kita akan mengalami penderitaan ganda yaitu, pertama, karena adanya penderitaan itu sendiri, dan kedua, karena akibat cara kita menerima dan melihat penderitaan itu secara “ngenes”, pesimis dan penuh keluhan. Ini lebih-lebih lagi tidak boleh terjadi pada orang yang beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pengasih dan Penyayang.

Berkenaan dengan ini, ada petunjuk Allah dalam Kitab Suci yang terjemahannya: “Janganlah kamu merasa lemah dan jangan pula merasa kuatir, padahal kamu ini lebih unggul, jika kamu memang adalah orang-orang yang beriman. Jika luka (penderitaan) menimpa kamu, maka luka (penderitaan) yang serupa juga menimpa golongan yang lain. Dan begitulah hari (masa kejayaan atau kejatuhan) Kami buat berputar diantara umat manusia, dan agar Allah mengetahui mereka yang benar-benar beriman, dan agar dia mengangkat para saksi diantara kamu. Allah tidak suka kepada mereka yang berbuat dzhalim” (QS. Al-Imran :140).

Jika kita diingatkan, bahwa jika suatu saat kita menderita, yaitu keadaan berjalan tidak seperti yang kita inginkan, dan kita gagal atau kalah dalam perjuangan hidup, dan lain-lain, kita harus menyadari bahwa hal yang serupa pun juga menimpa dan dialami oleh orang lain. Sekali waktu, untuk memahami situasi orang lain itu agar kita dapat labih baik memahami situasi kita sendiri, kita harus melakukan “empati”, yaitu menempatkan diri pada pada situasi orang lain itu, dan merasakan apa yang mereka rasakan. Jika kita lakuakan itu, maka akan tumbuh dalam diri kita sikap pengertian (understanding), sehingga “empati” memang biasanya membimbing kita kepada “simpati”, yaitu solidaritas kepada sesama, terutama kepada yang menderita.

Sebaliknya jika kita memandang bahwa penderitaan kita adalah “khusus” kepada kita sendiri, dan orang lain tidak, maka kita akan jatuh kepada ilusi bahwa semua orang bahagia hidupnya kecuali kita. Ini adalah suatu pesimisme. Dan dari seorang yang pesimis sulit sekali diharapkan timbulnya understanding, simpati dan solidaritas. Tetapi justru akan tumbuh subur dalam diri orang itu sifat cemburu dan dengki, yaitu sikap memusuhi orang lain yang kiranya lebih beruntung atau lebih bahagia. Ini kesengsaraan yang luar biasa. Maka Nabi SAW mengingatkan bahwa, “Dengki itu merusak kebaikan, seperti api yang membakar kayu bakar.”

asli dapet ngetik ulang dari sebuah buku berjudul "Pintu-Pintu Menuju Tuhan"
karya Cak Nur.