Minggu, 29 April 2012

Upacara Seba (2)

Setelah berjalan kaki, tanpa alas kaki tentunya, akhirnya rombongan suku Baduy Dalam tiba di Pendopo Gubernur Banten sore hari ini. Dan diterima langsung oleh Gubernur Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah malam harinya.

Seperti yang kita ketahui, suku Baduy terdiri dari Baduy Dalam dan Baduy Luar. Suku Baduy Dalam tidak menerima segala bentuk modernisasi, sedangkan Baduy luar lebih terbuka dalam menerima bentuk-bentuk modernisasi. Maka dalam upacara seba ini pun, sesungguhnya hanya masyarakat Baduy Dalam sajalah yang berjalan kaki dari tempat tinggal mereka di Kampung Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik, di Desa Kanekes menuju Pendopo Bupati Lebak sejauh kurang lebih 52 km, yang kemudia dilanjutkan menuju Pendopo Gubernur Banten di Kota Serang sejauh 40 km, tanpa alas kaki tentunya. Karena menurut mereka, kendaraan dan sendal adalah bentuk modernisasi yang tidak mereka terima. Sedangkan masyarakat Baduy luar naik kendaraan secara rombongan.

Bagi Penulis, dan mungkin kebanyakan orang, ini adalah sesuatu yang amat unik. Berjalan kaki sejauh sekitar 92 km, tanpa alas kaki, secara berkelompok, dan dilakukan secara rutin setiap tahun dengan membawa barang bawaan yang tak sedikit adalah perkara yang tak biasa.

Masih tersimpan dalam ingatan Penulis kecil, pengalaman menyaksikan rombongan suku Baduy berarak-arakan sambil menyanyikan lagu-lagu yag diiringi alunan musik adalah hal yang sangat berkesan hingga kini. Menyaksikan mereka beramai-ramai menuju Rangkasbitung dan kemudian melanjutkan perjalan ke Bandung (saat itu Banten belum memisahkan diri dari Jawa Barat) adalah sebuah momen masa kecil yang tak terlupakan. Walau saat itu penulis belum tahu sejauh apa Rangkasbitung dan Bandung itu. Ditambah lagi jika diukur dengan berjalan kaki! :D

Semua mereka lakukan hanya untuk meneruskan sebuah tradisi yang turun temurun sudah dilakukan dan merupakan warisan leluhur mereka.

Sebuah pengorbanan yang menurut hemat Penulis harus diapresiasi oleh pemerintah, baik pemerintah Kabupaten Lebak, dan juga pemerintah Provinsi Banten. Maka adalah wajar jika malam ini, pada sesi dialog, Gubernur banyak memuji dan berterimaksih atas kedatangan masyarakat Baduy ke Pemerintah Banten, dengan susah payah dan dengan serta membawa ‘oleh-oleh’. Walau pujian dan terimakasih secara lisan saja tidak cukup.

Setalah rangkaian acara upacara Seba, malam ini suku Baduy disajikan wayang golek oleh Ibu Gede. Dan esok pagi, rombongan suku Baduy akan kembali menuju Desa Kanekes di pedalaman Kabupaten Lebak yang tentunya untuk Baduy dalam akan menempuhnya dengan berjalan tanpa alas kaki sejauh kurang lebih 92 km. Ada yang mau ikut? :p


Jumat, 27 April 2012

Upacara Seba (1)

Mungkin tak semua orang pernah mendengar dua kata dalam judul diatas. Namun bagi masyarakat Banten, warga Kota Rangkasbitung terutama, kata ini tak asing lagi ditelinga mereka.

Ini adalah tulisan pertama Penulis mengenai Upacara Seba, yang pada tahun ini Penulis berkesempatan langsung mengikutinya.

Seba berasal dari bahasa sunda, saba, yang berarti berkunjung atau mengunjungi. Adapun upacara Seba itu sendiri adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat suku Baduy, -sebuah suku pedalaman yang terletak di Desa Kanekes, Kecamata Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten- secara turun-temurun dengan mengunjungi kepala pemerintahan dimana suku Baduy berada, yaitu Bupati Kabupaten Lebak dan Gubernur Provinsi Banten. Upacara Seba dilaksanakan secara rutin setiap tahun pada minggu pertama, sebelum tanggal 10, bulan keempat penanggalan suku Baduy, yaitu bulan Sapar. Tahun ini upacara Seba jatuh pada hari Jum’at dan Sabtu, tanggal 27 dan 28 April 2012.

Setelah suku Baduy melaksanakan berbagai tradisi pada bulan kawalu di kampung mereka masing-masing di desa Kanekes, mereka kemudian ‘turun gunung’, melakukan perjalanann secara berombongan menuju ibukota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung untuk bertemu dengan Bupati, yang mereka sebut Bapa Gede. Kemudian meneruskan perjalanan tersebut menuju Ibukota Provinsi Banten yang tak lain kota Serang, untuk bertemu dengan Gubernur yang mereka sebut Ibu Gede. Rombongan upacara Seba hanya terdiri dari kaum laki-laki, baik dewasa maupun anak-anak.

Upacara Seba ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur atas hasil panen mereka yang telah dipanen pada bulan kawalu. Untuk itu, pada upaca Seba ini, rombongan suku Baduy membawa beberapa hasil pertanian mereka berupa padi, pisang, gula, talas, beras yang ditumbuk yang disebut laksa dan aneka sayuran. Hasil bumi ini diserahkan secara simbolis oleh perwakilan dari suku Baduy kepada Bupati Lebak dan Gubernur Banten pada saat upacara Seba.

Tahun ini, Masyarakat suku Baduy diterima langsung oleh Bupati Lebak, H. Mulyadi Jayabaya di Pendopo Kabupaten Lebak. Yang kemudian dilanjutkan dengan harapan dan pesan suku Baduy yang diwakili oleh Jaro Dainah dan Jaro Dua Belas Saidi Putra.

Acara dialog antara pemerintah Kabupaten Lebak dan Suku Baduy menjadi acara penutup upacara Seba ini yang sebelumnya didahului penyerahan Laksa secara simbolis dari Suku Baduy kepada Pemerintah Lebak.

Setelah rangkaian acara dilakukan, suku Baduy menonton pertunjukan layar tancap yang sengaja dilaksanakan untuk penyambutan rombongan suku Baduy ini.

Selanjutnya, esok pagi rombongan masyarakat suku Baduy yang terdiri dari 1388 orang dari Baduy luar dan 51 dari Baduy dalam akan melanjutkan perjalanan dari kota Rangkasbitung menuju Serang sejauh 40 KM dengan berjalan kaki, dan tanpa alas kaki.

Rabu, 25 April 2012

Fotografi.. oh.. Fotografi..


Saya sedang senang fotografi, sedang begitu menyukai fotografi, bahkan hampir bisa dikatakan mencandui fotografi.
Segala pengetahuan tentang fotografi saya cari.
Artikel tentang teknik-teknik fotografi saya baca.
Gambar-gambar kamera saya unduh.
Bagian-bagiannya pun saya baca dan hafalkan.
Majalah tentang dunianya fotografer ini saya beli.
Kamera yang saya temui saya coba pinjam, karena memang belum mampu untuk memiliki.
Ya, walaupun pernah mengikuti dan mengirimkan foto-foto untuk lomba, sebenarnya saya belum memiliki sebuah kamera.
Walau tak memiliki kamera saya coba tuk terus berkarya.
Dengan kamera hasil pinjaman saya terus mencoba berkeksperimen didunia yang baru saya kenal ini.

Pertama kali memegang kamera sebenarnya saat kelas 2 SMP, saat itu saya punya kamera hadiah dari sebuah lomba di Jakarta. Bukan lomba fotografi tetapi. Saat itu saya masih buta dan sama sekali tak tertarik pada fotografi. Kameranya masih menggunakan film. Kalau mau cuci cetak, harus mengorbankan uang jajan berbulan-bulan. Walhasil itu kamera cuma jadi pajangan di dalam lemari baju. Hhe..

4 tahun kemudian, setelah lulus dari SMA, untuk pertama kalinya saya memegang kamera digital. Kamera saku.
Dan semenjak 2 tahun lalu, untuk pertama kalinya saya memegang kamera DSLR. :D
Dari sanalah kemudian saya mengenal dan mulai menyenangi fotografi, selain karena sering diamanti untuk memegang kamera saat ada acara di tempat saya mengajar, juga karena pemilik kamera tersebut dan teman sekamar saya adalah lulusan IKJ yang seru kalo ngobrol tentang fotografi.

Dari sana pula saya mulai belajar teori-teori fotografi dan langsung memparktekkan teknik-tekniknya. Hingga saat ini.

Walau akhir-akhir ini jarang memegang kamera, tapi saya tetap membaca artikel-artikel tentang fotografi baik dimedia cetak atau di media elektronik. Atau hanya sekedar melihat-lihat karya fotografer-fotografer profesional di dunia maya.

Ini beberapa jenis kamera (yang masih diingat) yang pernah saya pegang dan menjajal teknik-teknik fotogarfi saya.

Canon PowerShot SD1100 IS, SAMSUNG ES55, Canon PowerShot  A3100 IS, Casio EX-Z16, Kodak Easyshare M1093, Canon EOS 1100D, Canon EOS 550D, Canon EOS 30D, Nikon D3100, Nikon D3s.

Dan ini beberapa karya saya dengan kamera-kamera tersebut.. :D





Tahun depan mah harus pake kamera milik sendiri..! :)

Selasa, 17 April 2012

3 dalam 6

"Nasional.Is.Me"

“Indonesia Mengajar”

"Oxford Dictionary"

“Hukum Zakat”

“Your Job is Not Your Career”

“Belajar Mudah Ekonomi Islam”

"Bank Muamalat"

Kupandangi buku-buku itu dan beberapa buku lain yang berjejer disamping mereka. Ku coba mengucapkan terima kasih pada mereka yang telah menemaniku beberapa bulan ini.

Bersama beberapa helai pakaian, kubawa mereka dari satu tempat ke tempat lain, hidup nomaden dari kost-an satu ke kost-an lain, karena memang selama 6 bulan menjadi anak kost-an, setidaknya aku telah menjajal 3 kost-an yang berbeda. :D

Semua ini berawal dari keputusanku 6 bulan yang lalu untuk mencari pengalaman baru, menjajal dunia yang berbeda diluar sana, mencari cara pandang baru, merasakan apa yang selama ini dibicarakan teman-temanku, menjadi mahasiswa yang katanya ‘bebas’. Ya..! menjadi anak kost-an.

Akhirnya semenjak itu ku lewati setiap malamku dengan berbantalkan ‘Oxford Dictionary’ atau terkadang bergantian dengan “Hukum Zakat’ karena terkadang terasa lebih nyaman; beralaskan selembar tikar dari mamahku yang kujadikan salah satu cara merindukannya di rumah; berselimutkan sarung dan sajadah yang juga dipakai untuk shalat; bertemankan seorang aktifis kampus yang jarang pulang; ngobrol ngalor-ngidul hingga larut malam kalaupun ia pulang.

Dan aku lewati setiap siangku dengan bersepeda untuk kuliah atau terkadang berjalan kaki saja; menghabiskan berjam-jam di loper koran belakang kampus yang korannya jarang ku beli; pergi ke perpustakaan mencari pelarian; berlama-lama di mesjid ketika menunggu jam kuliah berikutnya, atau hanya ngobrol tak jelas dengan teman-teman; berlama-lama diwarnet untuk browsing segala hal, tapi setidaknya aku harus membuka; yahoo, google, tumblr, facebook, twitter, dan 4shared, alhasil waktu yang tak boleh lebih dari 2 jam tak kusia-siakan untuk cari info yang bermanfaat; menghabiskan waktu akhir pekan dengan bersepeda keliling Serang, atau bahkan pulang ke Pandeglang; mengais rezeki bersama teman setiaku, Siblu, pada hari-hari tertentu demi sebuah nominal untuk akhir semester, atau mencari pundi-pundi lain hanya untuk makan sehari-hari dan membeli buku; merenung sendiri di kost-an dengan membaca buku, mengerjakan tugas, tidur, ngacak-ngacak kamar, nonton, dan kegiatan abstrak dan tak jelas lainnya.

Apa yang ku alami tak berbeda jauh dengan apa yang dialami anak kost-an dibelahan lain negeri ini pada umumnya. Tapi yang jelas bagiku, melewatkan malam dan siang dengan kegiatan yang berbeda itu membawa pengalaman baru, memperbanyak pelajaran baru, menambah pemikiran-pemikiran baru, menemukan cara pandang baru, dan membuatku lebih tersadar untuk merenungi tentang kehidupan ini lebih jauh, walau sebenarnya sulit untuk di fahami. Tapi setidaknya semua itu lebih membuatku bersyukur terhadap segala nikmat yang telah diberikanNya padaku.


Serang, 01 Maret 2012

Kebermaknaan


“Kamu tahu ngga, setelah kita keluar dari bank dulu dan berpisah, aku berpindah dari satu dompet ke dompet lain. Dari dompet para eksekutif, dompet pejabat, hingga dompet para pengusaha telah aku singgahi. Aku berpindah dari satu toko ke toko lain. Dari toko swalayan, toko elektronik, toko perhiasan mewah, hingga showroom mobil telah aku rasakan. Tempat sehari-hariku adalah pusat-pusat perbelanjaan, hotel-hotel berbintang, hingga arena perjudian. Pokoknya semua tempat mewah aku kelilingi deh..! Hingga kemudian aku kembali lagi ke bank. Tapi itu ngga lama karena setelah itu aku diambil lagi lewat ATM, dan kembali merasakan kemewahan-kemewahan tadi. Makanya aku keliatan masih bersih, rapi dan tentunya keliatan masih baru.” Cerita selembar uang seratus ribu rupiah pada selembar uang seribu rupiah yang dipertemukan kembali dalam dompet seseorang setelah mereka terpisahkan begitu lama semenjak mereka keluar dari bank dulu. Seratus ribu terlihat begitu bangga dengan ceritanya itu. Ia kemudian bertanya pada kawannya, seribu, tentang nasibnya.
“Bagaimana denganmu, Seribu? Kau nampak begitu lusuh? Memangnya kemana saja kau selama ini?” Seratus ribu ingin tahu.
Sebenarnya seribu iri dengan cerita kawa lamanya itu, dia minder. Tak ingin ia bercerita tentang nasibnya. Tapi dengan penuh kepercayaan diri, dia bercerita, “Setelah keluar dari bank dulu, aku cukup bertahan lama didompet seseorang yang begitu sederhana. Tapi setelah itu lebih banyak diselipkan di kantong celana atau baju. Aku berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Aku berkeliling mulai dari tukang parkir, pedagang kaki lima, pedagang asongan, anak kecil, pelajar, mahasiswa, pengamen hingga pengemis. Hanya sesekali aku ada dipusat perbelanjaan. Aku lebih sering ada di pasar-pasar tradisional, pedagan kaki lima, angkot-angkot, tukang becak dan tukang ojeg. Keberadaanku begitu diidam-idamkan oleh para pengamen. Aku menjadi benda yang begitu diharapkan dan diminta-minta oleh para pengemis. Dan salah satu yang membuatku bahagia, aku dapt berkeliling dari satu mesjid ke mesjid lain, menjadi amal shodaqoh para jama’ah, terutama hari Jum’at. Aku menjadi senjata ampuh bagi mereka. Tapi terkadang aku juga jatuh begitu saja di jalanan, hingga tangan pengemis memungutku. Begitulah aku, makanya aku kotor dan lusuh seperti ini.”
Mendengar cerita tersebut, seratus ribu tiba-tiba berbalik iri pada apa yang telah dialami temannya, seribu. Perumpamaan seperti cerita tersebut sering kita temukan keberadaannya disekitar kita, atau bahkan terjadi pada kita sendiri. Kita terkadang begitu bangga dengan kebesaran kita, bangga dengan jabatan yang begitu tinggi, bangga dengan status sebagai seseorang yang begitu besar, bangga dengan harta yang begitu melimpah. Tanpa pernah kita bertanya sudahkah kita bermakna dengan kebesaran kita itu? Pernahkah kita berbuat untuk kebaikan sesama dengan tingginya jabatan kita itu? Sudahkah kita berbagi dengan harta yang melimpah kita itu?
Kita justru kalah oleh orang-orang yang sebenarnya kecil, tapi begitu berarti bagi lingkungannya. Mereka kecil tapi begitu berarti bagi masyarakatnya. Mereka tak pernah mencuat ke permukaan tapi begitu bermakna bagi sekitarnya. Mereka tak terkenal bahkan dan dikenal namun kontribusi mereka begitu besar bagi sesamanya.
Maka sesungguhnya kawan, hidup ini bukan bagaimana menjadi besar, tapi bagaimana menjadi bermakna..