Minggu, 16 September 2012

Dari Ojeg Sawarna, hingga KRL Ibukota


Ini bukan tentang Sawarna. Ini tentang perjalanan kesana. Perjalanan menuju destinasi wisata yang sudah 6 tahun dikenal sampai mancanegara katanya. Perjalanan yang entah tertunda sudah berapa lama. Perjalanan yang sebenarnya karena motif penasaran belaka (hhe..). Perjalanan yang saya tempuh sendirian saja, dengan angkutan umum tentunya.
Damri menjadi moda angkutan yang saya pilih untuk menuju ke Bayah, untuk selanjutnya menuju ke Sawarna. Cukup mudah.
Tentang Damri ini, ingin saya ceritakan bagaimana keberadaannya begitu dinantikan dan menguntungkan bagi masyarakat yang punya tujuan ke daerah Banten Selatan; Saketi, Picung, Malingping, Bayah, hingga Cikotok.
Bis ini hanya ada 2 unit. Dan dalam sehari hanya beroperasi dua kali. Mobil pertama rutenya Serang-Cikotok-Serang. Jam 6 pagi berangkat dari Serang, dan jam 6 sore nyampe Serang kembali. Begitu juga mobil yang kedua, berangkatnya sama, hanya rutenya terbalik; Cikotok-Serang-Cikotok. Padahal masyarakat sangat terbantu dengan keberdaanya. Selain karena cepat tanpa ngetem dijalan, juga karena tarifnya terbilang murah jika dibandingkan tarif ELF yang biasa menuju Cikotok. Ini karena bus Damri berpatokan pada tarif yang telah disesuaikan dengan peraturan pemerintah (Supir dan kondekturnya aja berseragam kayak pejabat Dinas Perhubungan). Maka tak heran jika ada seorang ibu yang sengaja menanti bus tiga perempat ini hanya karena merasa murah. Maka di Bus Damri tak ada yang namanya permainan tarif seperti yang biasa terjadi pada mobil ELF dan mobil Bus jurusan Jakarta-Labuan itu.
Tiba di Bayah saya melanjutkan ke Sawarna. Disini agak bingung.
Ketika di Bus, saya sempat tanya-tanya tentang angkutan umum dari Bayah ke Sawarna. Saya tanya ke semua orang yang saya temui.
Kata penumpang Damri disamping saya; tak ada angkutan umum menuju Sawarna.
Penumpang belakang saya;  jawabannya pun sama.
Kondekturnya; juga tak berbeda.
Saya penasaran, maka setelah sampai di Bayah, saya coba keliling ke Pasar dulu dan bertanya ke orang-orang.
Kepada yang saya temuin di terminal Bayah; naik ojeg saja katanya.
Supir angkot di Bayah, entah jurusan mana; begitu juga.
Supir ELF Bayah: tak berbeda jawabannya.
Maka dari 7 orang yang saya tanya, hanya 1 orang yang jawabannya berbeda: ada. (walaupun harus dua kali naik angkutan dan pada ujungnya harus naik ojeg juga. :D)
Selain itu, semuanya menganjurkan naik ojeg.
Saya semakin heran dan penasaran. Destinasi wisata seterkenal Sawarna tak ada angkutan umum menuju kesana? Apalagi dari Bayah ke Sawarna cukup jauh, 12 Km.
Saya benar-benar ingin tahu kenapa? Ada apa?
Selidik punya selidik, ternyata ini semua karena sebuah konflik. Konflik yang melibatkan tukang ojeg.
Sebelum-sebelumnya ternyata pernah ada angkutan umum dari Bayah ke Sawarna. Salah seorang warga berinisiatif untuk mempermudah akses ke tempat wisata tersebut. Tapi setelah beberapa lama angkot itu beroperasi, terjadi kejadian dimana mobil angkot tersebut dipecahkan kaca-kacanya oleh beberapa orang suatu malam.
Kemudian hal yang sama terjadi ketika kedua kalinya ketika angkutan umum yang berbeda selang beberapa lama mengalami kejadian serupa. Secara sengaja dihancurkan oleh orang-orang yang entah siapa tak diketahui secara pasti.
Maka 2 kali keberadaan angkutan umum Bayah-Sawarna, 2 kali pula ketidakberadaannya mengikuti.
Ternyata setelah beberapa lama akar masalah dan biang keroknya terungkap juga. Yang menjadi desas-desus warga Sawarna ternyata bukan isapan jempol belaka. Para tukang ojeg tidak rela ‘ladang’ mereka diambil oleh angkutan umum yang hadir disana. Maka karena konflik antara tukang ojeg dan beberapa orang yang berinisiatif mengadakan angkutan umum Bayah-Sawarna belum selesai juga, angkutan umumpun masih belum dapat dinikmati warga.
Ah konflik memang ada-ada saja.
Saya harap pemerintah mengambil peran ini.
Setelah memperoleh info dari warga Sawarna, esok paginya saya memutuskan untuk pulang lewat jalur berbeda. Tak terencanakan sebelumnya memang. Tapi justru ini tantangan.
Ada mobil ELF langsung dari Sawarna menuju Palabuhan Ratu. Dan sayangnya ini hanya ada satu mobil. Berangkatnya setelah shubuh. Maka beberapa spot yang saya rencanakan dikunjungi harus saya urungkan.
ELF ini satu-satunya angkutan umum yang jadi andalan masyarakat Desa Sawarna untuk menuju Palabuhan Ratu. Sebenarnya ada, tapi kita harus ke Bayah dulu, mencegat ELF jurusan Cikotok-Palabuhan Ratu.
Karena hanya satu tadi, ditambah masyarakat Desa Sawarna begitu membutuhkan keberadaanya, maka alhasil saya bersama 10 orang laki-laki berhasil ‘ditumpuk’ bersama barang-barang bawaan diatap mobil ELF berkapasitas 18 orang tersebut. Sementara sekitar 24 orang dibawah yang kebanyakan perempuan.
Sangat overload memang, tapi ini tak ada pilihan, kawan.
Maka untuk kedua kalinya, pemerintah semoga memperhatikan ini pula.
Kurang lebih seperti ini gambaran mobil yang saya naiki, dengan tambahan beberapa orang lagi diatasnya.

Ada alasan tersendiri dan berbeda-beda mengapa masyarakat Desa Sawarna lebih memilih ke Palabuhan Ratu untuk berbelanja kebutuhan mereka. Bertumpuk dan berjejal di mobil berkapasitas kecil hingga 2 kali lipatnya. Mereka rela-rela ke Propinsi sebelah daripada harus ke Bayah atau Malingping.
Rute yang saya tempuh: Pandeglang-Bayah-Sawarna-Pelabuhan Ratu-Bogor-Jakarta-Rangkas-Pandeglang.
 
Dari Bogor saya berkereta, menuju Jakarta kemudian terus ke Rangkas. 4 ribu saja. Sungguh murah. Maka tak heran jika kereta api selalu dijejali dan dipenuhi penumpang tiap waktunya dan menjadi moda transportasi paling favorit bagi kalangan menengah ke bawah. Rencana kenaikan tarif Oktober nantipun sepertinya takkan mengurangi antusias masyarakat untuk menggunakan kereta. Walau mungkin banyak yang keberatan dan tidak setuju. Dan sayapun sebenarnya tidak setuju tentang rencana itu, selama itu tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah moda transportasi dan peningkatan pelayanannya pula.

Pandeglang, 02 Juli 2012

Selasa, 11 September 2012

'Oleh-Oleh' Kecil dari Ciamis

Baru saja shubuh tadi saya pulang dari Ciamis. Main di rumah teman yang sudah lama tak berjumpa. Buat saya, 2 hari disana sudah cukup untuk mendapat suasana baru, ilmu baru, pengalaman baru, sudut pandang baru menjalani hidup ini.
Sebenarnya kepergian kesana tak direncakan sebelumnya. Itu hanya obat dari sebuah kekecewaan karena tak jadi pergi ke Pangrango akhir pekan kemarin. Tapi alhamdulillah-nya Ciamis bersedia menjadi tempat 'pelampiasan'. :D
Berawal dari menghadiri wisuda teman-teman SMA di kampus UI Depok, rencana kepergian ke TNGP keesokan harinya tepaksa ditunda karena sesuatu hal. Entah sampai kapan.
Akhirnya berangkat ke stasiun Kota untuk mencari kereta ke arah Ciamis sekalian beli tiketnya. Entah karena akhir pekan atau karena memang sudah biasa, saya harus menunda keberangkatan ke Ciamis dengan kereta keesokan paginya. Karena tiket kereta Serayu Malam tujuan akhir Kroya telah habis terjual.
Ini pertama kalinya saya naik kereta lewat jalur selatan. Dataran tinggi di sekitar Bandung membuat rute kereta harus berbelok-belok, diatas pegunungan. Alhasil saya dapat menyaksikan pemandangan dibawah kaki gunung langsung dari kereta yang sedang berjalan. Ruas jalan tol yang membelah bukit, pemukiman penduduk yang berpola ataupun random, persawahan hijau yang membentang, sungai-sungai yang mengalir dibawah kereta, bukit-bukit menjulang yang justru menjadi tempat roda kereta menapak diatas rel, menjadi pemandangan yang menakjubkan. Ini toh alasan kenapa saya tidak mendapatkan kereta malam hari, fikir saya. Hhe..
Ciamis sendiri sudah sesuai ekspektasi saya selama ini. Sejuk, damai, tenang, dan tentunya tidak se-crowded kota-kota penting lain. Mulai dari alun-alunnya yang rapi, mesjid agungnya yang cukup megah, suasana malam kotanya elok, orang-orangya yang hangat, hingga hal yang saya paling suka, logat bahasa sunda lemes yang digunakan. Mengobrol dengan teman, bergurau, berjalan-jalan dikota dan suasana baru jadi kegiatan saya disana.
Pulang dari Ciamis saya mendapat beberapa oleh-oleh, salah satunya sebuah pencerahan tentang mengapa teman-teman sebaya saya, adik-adik saya, begitu ingin cepat-cepat menyelesaikan studinya, ingin cepat-cepat menyelesaikan kulihanya, dan ingin cepat-cepat segera mendapat pekerjaan.
Saya menemukan bahwa sebagian, atau bahkan mayoritas orang, ingin cepat-cepat bekerja agar segera dapat memiliki apa yang mereka inginkan. Dengan bekerja kita bisa mendapatkan ini dan itu dengan mudah, dengan bekerja kita berekspektasi bahwa kehidupan kita akan makmur dan sejahtera, dan dengan bekerja kita bisa memiliki segalanya dengan merocek kantong yang diisi dengan gaji yang kita dapat.
Tapi sekali lagi, itu hanya sebagian. Motivasi orang ingin segera menyelesaikan sekolah dan kuliah kemudian segera bekerja memang berbeda-beda. Tapi harus diakui, banyak orang yang motivasinya seperti yang saya ungkapkan diatas. Dan menurut saya, ini bisa membuat kita menjadi manusia materialistis.
Coba sekarang fikir-fikir lagi deh, yang lagi sekolah atau kuliah, kenapa ingin cepat-cepat lulus dan segera bekerja? Padahal secara tidak langsung, ketika kita ingin segera lulus sekolah, segera lulus kuliah, segera bekerja, segera berkeluarga, itu artinya kita ingin segera tua, dan artinya pula segera mendekati kematian. :p
Inginnya yang segera-segera melulu.
Hufth..! Menikmati apa yang saat ini dijalani itu memang tidak mudah.
Perjalanan kemarin dan sebelum-sebelumnya (dan kedepannya semoga), memang selalu mendatangkan pelajaran-pelajaran baru. Seperti kata Imam Syafi’i, walaupun itu menghabiskan uang dan tenaga, akan terbayar dengan 5 manfaat yang akan didatangkannya, salah satunya ilmu dan pelajaran-pelajaran baru.
Lagian menurut saya, uang itu akan habis pula kok pada akhirnya. Bisa dicari lagi. Rezeki Allah masih melimpah ruah di bumi ini.
Dan tenaga akan bisa diisi lagi dengan makan. Juga dengan istirahat pada saat waktunya nanti. Takkan pernah habis selama kita masih hidup dan menjaga kesehatan.
Beda dengan ilmu, pengalaman berharga, pelajaran baru, akan sulit didapatkan dengan mudah dengan hanya diam disatu tempat saja.
Dan di perjalanan pulang dalam bus Merdeka menuju Serang, sempat terfikirkan dan timbul harapan benak saya, semoga kelak suatu saat nanti saya punya pendamping yang suka jalan-jalan juga.. *lho??? :D