Minggu, 25 November 2012

Dara(ku)

Aku                 : "Tadz, ana boleh melihara burung ya?"
Ustadz             : “Burung apa?”
Aku                 : “Burung merpati. Boleh ya, Tadz?”
Ustadz             : (mimik penuh tanda tanya.  tak memberi jawaban)
Aku                 : "Ya, Tadz..? Boleh ya?!" (mencoba meyakinkan)
Ustadz             : (diam sejenak) "Tapi jangan sampai kotor."
Aku                 : "Na’am, Tadz. Syukron, Tadz.." (pergi dengan begitu gembiranya).
Percakapan kecil itu mengawali niatku untuk memelihara burung merpati, burung dara lebih tepatnya, saat aku SMA dulu, hampir 5 tahun lalu. Niat yang awalnya dihinggapi kepesimisan, karena memang saat musim wabah flu burung baru saja usai. Tapi keinginan untuk memelihara burung dara itu begitu kuat menghinggapiku. Selain sebagai salah satu caraku untuk mengalihkan diri dari kejenuhan kegiatan sekolah, aku juga rindu pada burung dara yang pernah aku pelihara di rumah saat Sekolah Dasar dulu. Dengan memelihara burung dara juga, saat itu aku punya mimpi untuk menjadikan sekolahku seperti kota-kota di eropa yang selalu di hiasi burung jinak itu.
Akhirnya atas bantuan salah seorang adik kelas, aku mendapatkan 2 burung dara. Black dan Brown mereka kuberi nama, tak lain karena warna bulu mereka hitam dan coklat pekat.
Dua minggu kulewatkan dengan membuat kandang, membeli pakan, memberi makan tiap pagi sebelum sarapan, mengganti minum tiap 2 hari sekali, menengok mereka diatas genset, hingga ku lepaskan mereka setelah dirasa cukup.
Perlu diketahui, adalah sebuah kebiasaan dari seekor burung dara jika kita mengurungnya sekitar 2 minggu atau lebih di dalam kandang kemudian melepaskannya, maka dia tak akan pergi begitu saja tetapi akan kembali ke kandang tersebut, menganggapnya sebagai rumah tempat kembali sejauh manapun dia pergi. Hingga pernah ada kejadian 2 tahun kemudian saat aku telah lulus. Saat ustadz membawa mereka ke Jakarta, mereka dapat kembali ke kandangnya di sekolahku, di Pandeglang, menempuh puluhan, bahkan ratusan kilometer untuk sampai kembali kesana.
Beberapa minggu kemudian Black dan Brown kedatangan sepasang merpati putih sebagai teman barunya. Mereka berteman, akrab, walau sebelumnya sering berkelahi dan saling mematuki. Terlebih Black dan Brown yang mungkin merasa ada penghuni asing di kandangnya, hingga akhirnya mereka 'berkolaborasi' menghasilkan si Belang, percampuran dari warna putih dan hitam di bulu-bulunya. Mereka tumbuh, berkembang biak dengan baik hingga jumlah mereka semua mencapai 12.
Aku bersama mereka tak sampai satu semester, tapi jalinan persahabatan antara aku dan mereka begitu dekat, sampai mereka hafal suara panggilan dan tepukan tanganku. Aku merasa, ada sebuah ikatan yang tak dapat dijelaskan antara aku dan mereka. Bahkan setelah lulus dari SMA, saat tiba di gerbang sekolah, aku melihat mereka terbang dari arah asrama putra menuju lapangan parkir depan kantor untuk menemuiku. Bahkan terkadang mereka datang lebih dulu seolah sedang menungguku.
"Dari tadi nungguin kamu tuh, Ci.." salah seorang Petugas Keamanan sekolah padaku.

Dan tadi pagi, saat aku bermain ke SMA-ku, entah tiba-tiba aku begitu merindukan mereka.
Rindu akan suara mereka yang sesungguhnya sulit kutiru.
Rindu akan patukan paruh mereka di telapak tanganku.
Rindu akan cengkreman cakar mereka diatas lenganku.
Rindu melihat mereka berebut nasi atau jagung dariku.
Rindu menyentuh dan mengusap bulu halus mereka.
Rindu menyapa dan disapa oleh mereka setiap pagi.
Rindu untuk curhat pada mereka tentang apa yang terjadi padaku.
Rindu untuk ‘mengobrol’ dengan mereka tentang kegiatan-kegiatanku.
Rindu untuk ‘berbincang’ dengan mereka tentang kehidupan.
Rindu untuk ‘menertawakan’ sandiwara hidup.

Dan pernah hidup bersama mereka, mengingat-ingatnya dan kemudian merindukannya kemudian adalah sebuah anugerah untukku.