Selasa, 31 Desember 2013

Hujan dan Kenangan

Pagi ini hujan masih turun membasahi bumi. Kelanjutan dari hujan deras pagi buta tadi. Ia sisa hujan semenjak kemarin sore yang semalam sedikit mereda. Benarlah kata orang jika puncak kemalasan adalah ketika bangun pagi. Apalagi pagi buta. Ditambah hujan deras dan cuaca dingin bersamanya. Ah, puncak dari atas segala kemalasan! Tapi pagi buta tadi aku berhasil melawan itu semua. Kusingkap selimut yang membalutku semenjak beranjak ke peraduan beberapa jam sebelumnya. Bukan karena apa-apa, tak ada yang jadi imam untuk shalat shubuh untuk anak-anak santri.

Suasana pagi buta tadi itu membawaku pada masa beberapa tahun silam. Ini mungkin salah satu dampak dari hujan yang selalu didedungkan orang-orang: mengantarkan kenangan. Perpaduan derasnya hujan dan dinginnya shubuh bukan hanya menusuk hingga ke tulang, namun juga membawa ingatanku pada masa beberapa tahun kebelakang. Bersamanya aku dibawa ber-flasback tentang hal yang kujalani dalam kurun waktu tersebut.

Aku bersyukur semenjak itu aku ditempatkan oleh-Nya pada lingkungan yang 'memaksaku' untuk selalu menjalani ibadah-ibadah rutin kepada-Nya. Walau pada tahun-tahun awal cukup sulit untuk orang yang jauh dikatakan rajin dalam beribadah. Ini semua hampir seperti terpaksa. Akan jadi benar-benar terpaksa jika saja tak ada didikan sama sekali dari orang tua. Tahun kedua dan ketiga cukuplah ada perubahan. Walau tak signifikan. Ya, setidaknya tidak stagnan.

Setelah melewati tahun-tahun di tempat yang sama, di tahun keempat aku ditempatkan pada tempat yang berbeda oleh-Nya. Namun hampir sama. Sama-sama 'memaksaku' untuk melanjutkan rutinitasku dalam beribadah selama tiga tahun sebelumnya: shalat berjama'ah, shalat-shalat sunnah, tilawah Al-Qur'an, juga rutinitas ibadah lainnya. Hanya kali ini dengan posisi berbeda. Tiga tahun pula aku disana.

Mungkin ini cara-Nya menempatkan orang-orang yang belum bisa dikatakan baik. Allah menempatkan seseorang di tempat yang baik bukan berarti orang itu baik. Mungkin karena orang itu tidak baik dan disuruh memperbaiki diri. Iya kan? Aku sadar mungkin diri ini terlalu banyak dosa dan maksiat yang pernah diperbuat.

Pada awalnya menjalani semua rutinitas itu begitu berat. Aku berusaha melewati itu semua. Dan perlahan aku coba menjalani tidak hanya rutinitis belaka. Aku ingin menjalani setiap esensi dibaliknya.

Setelah enam tahun merasa sedikit cukup, aku memutuskan setahun keluar dari lingkungan tersebut. Setahun aku menjadi manusia bebas, menjadi mahasiswa kost-an yang hampir tak punya aturan. Kecuali aturan yang dibuatnya sendiri. Membuatnya pun sesuka hati. Namun kerinduan akan satu hal yang tak bisa aku jelaskan ternyata tak bisa dibohongi. Hingga itu terjawab dengan ditempatkannya kembali aku di lingkungan yang persis dengan setahun sebelumnya.

Aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri yang penuh dosa ini.

Aku bersyukur atas ditempatkannya aku ditempat-tempat yang setidaknya telah 'memaksaku' untuk tetap shalat berjama'ah dan menuntutku untuk beribadah sebaiknya-baiknya. Walau untuk saat ini mungkin itu semua masih sebatas rutinitas belaka.

Aku bersyukur dalam kurun waktu semenjak masa SMA itu, setidaknya ada kenikmatan dalam beribadah yang pernah kurasakan, meski secuil. Dan walau dalam kurun waktu itu pula banyak dosa dan kekhilafan yang pernah kulakukan. *kemudian beristighfar*

Aku bersyukur Dia telah melatihku untuk konsisten dalam menjalankan rutinitas keagamaan semenjak SMA. Dan kini sudah akhir dari 2013 saja. Latihan-latihanku itu sudah kujalani lebih dari 8 tahun ternyata. Sudah sewindu semenjak 2005! *setidaknya itu sudah dikatakan cukup lah menjadi bekalku untuk melatih anak cucuku nantinya. :D

Hidupku di dunia masih panjang (semoga), baru sepertiga perjalanan jika mengacu pada jatah yang sama dengan yang Allah berikan pada Nabi Muhammad manusia kesayangannya. Dalam sepertiga perjalanan itu, sudah terlalu banyak hal yang Dia berikan padaku hingga aku malu untuk meminta lebih banyak lagi. Perkara istri, anak, studi, harta, gaji, dan juga materi lainnya adalah perkara-perkara yang membuatku malu untuk meminta semuanya itu. Bersyukur bagiku lebih dari cukup. Jauh lebih dari cukup.

Selasa, 26 November 2013

Menjadi Guru: Sebuah Memoar

“Sebaik-baik belajar adalah dengan mengajar.” - Ustadz Najwani, seorang guru.

Merasakan sebenarnya-benarnya kehadiran guru adalah ketika saya duduk di bangku SMP. Saat dimana kasih sayang layaknya seorang ibu sendiri saya terima dari guru-guru ketika itu. Kenapa tidak SD? Dugaan saya, pola pikir seorang Achmad Anwar Sanusi mungkin belum paham mengenai kehadiran dan arti seorang guru saat masih di sekolah dasar. Saat itu saya  belum sadar dan mengerti bahwa yang mengajarkan huruf, angka, membaca, menulis, membuat garis lurus, membuat lingkaran, bahkan memegang pensil dan pulpen yang benar dengan sabarnya, setelah orang tua, adalah guru SD. Setelah beranjak dewasa -dan memang sudah seharusnya, barulah saya tersadarkan akan hal itu. Saat duduk di bangku SMA, pengalaman yang hampir sama dengan masa SMP terulang. Perhatian yang datang dari layaknya seorang ayah, saya rasakan pada saat itu. Alasan pribadi yang begitu kuat dan juga karena lingkungan di SMA yang berasrama menambah kuat kehadiran perasaan tersebut dalam diri saya.

Pengalaman semenjak SD hingga SMA tersebut memberikan pengertian pribadi bahwa sesungguhnya guru bagi saya bukanlah orang tua kedua, melainkan mereka saya sejajarkan dengan orang tua pertama. Bedanya mungkin orang tua yang satu ini tak mengandung dan merawat semenjak kecil.

Di masa perkuliahan, keterikatan saya terhadap guru tak saya rasakan. Mungkin itu salah satu alasan mengapa studinya saya tertunda hingga saat ini. *nyengir* Adakah hubungan diantara keduanya? Ah, tak tahu lah. (Tapi jika merujuk pada nasihat Imam Syafi’i tentang 6 perkara untuk mendapatkan ilmu, sepertinya iya).

Lahir dan besar di keluarga petani dan pedagang, tak terfikirkan oleh saya untuk menjadi seorang guru. Ditambah lagi pada satu waktu, pernah ada seseorang yang memberikan sebuah nasihat, "kalau kamu mau kaya, jangan jadi guru, jadilah pengusaha.” Dan kalimat itu saya dapatkan dari 3 orang guru berbeda, dalam waktu yang berbeda, dan pada jenjang yang berbeda pula.

Saya sepenuhnya yakin dan sadar bahwa menjadi guru memang sulit mengantarkan saya pada keberlimpahan materi. Namun karena sering berada di tengah-tengah guru-guru yang hebat dan penuh dedikasi, membuat saya memiliki keyakinan bahwa menjadi kaya pahala ternyata lebih menggiurkan daripada kaya harta. Alhasil beberapa bulan setelah lulus SMA, November 2008 tepatnya, ketika dihadapakan pada beberapa pilihan, saya memilih menjalani sebuah tahapan hidup dengan mengambil peran sebagai seorang guru.

Mengajar beberapa mata pelajaran berbeda: Tarikh Islam, Imla, Kimia, Ekonomi, IPA, Matematika, Bahasa Inggris, juga Bahasa Indonesia, dalam kurun waktu beberapa tahun membuat saya belajar banyak hal. Mulai dari pengetahuan dari tiap disiplin ilmu yang berbeda, hingga metode belajar yang tidak itu-itu saja. Menjadi guru SMA, SMP, SD, di lembaga bimbingan belajar dan private pribadi merupakan salah satu potongan mozaik dalam hidup yang pernah saya jalani selama 5 tahun ke belakang.

Melihat diri saya dari sisi lain, bisa dikatakan saya termasuk ke dalam golongan guru di Indonesia yang tak memiliki kualifikasi mengajar secara profesional. Saya yakin itu. Karena tak ada dokumen negara yang berkaitan dengan bidang pendidikan yang saya miliki selain NUPTK. Itu pun entah bagaimana sekarang nasibnya, kini tak pernah saya pedulikan lagi. Namun, setiap tanggapan positif dari murid-murid yang pernah belajar bersama saya selalu menjadi penghibur dari sisi lain itu. Maka bisa jadi di mata para murid yang pernah saya ajar mungkin saya bisa dianggap berhasil, tapi di mata menteri pendidikan nasional (sekarang mendikbud), saya nol besar.

Berbagai panggilan yang pernah dan masih disandangkan kepada saya, baik itu pak guru, kakak guru, atau ustadz sekalipun sebenarnya harus diakui cukup berat untuk diemban. Tanggung jawab dari panggilan ketiganya bukanlah main-main, menuntut saya untuk menjadi sebenar-benarnya guru: pantas digugu (dipercaya/dituruti) dan ditiru. Namun harus saya akui, panggilan dan menjadi yang terakhir terasa lebih berat. Selain karena panggilan ustadz identik dengan seseorang yang memiliki pemahaman agama yang luas, juga karena saya dituntut menjadi teladan dan contoh yang patut ditiru oleh para murid karena berada dalam keseharian mereka selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu. Shalat berjama’ah, cara berpakaian, berinteraksi, bersikap pada diri sendiri, hingga tidur sekalipun, selalu menjadi perhatian dan dijadikan contoh ideal bagi para murid. Bahkan ada ungkapan, ustadz itu batuknya saja adalah tarbiyah (pendidikan).

Hidup adalah proses. Kadang kita tak pernah tahu apa yang sedang kita jalani saat ini akan tetap bertahan atau berubah diluar dugaan dalam beberapa waktu ke depan. Dalam hitungan, menit, jam, hari, bulan ataupun tahun. Namun yang jelas, menjadi apapun saya nanti di masa depan, saya bertekad untuk tetap membagikan pengalaman dan ilmu yang sedikit saya miliki dengan cara mengajar. Mengajar siapapun dan dengan cara bagaiamanapun. Persis seperti pesan seorang kiyai guru saya, yang disampaikannya kembali kepada saya, yang tetap menjadi pedoman hingga saat ini, yang secara tidak langsung bisa dikatakan telah mendoktrin saya hingga saat ini, "menjadi apapun dirimu, tetaplah mengajar.”

Maka melalui tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu, madrosatul ula saya, dan semua guru yang pernah mengenal, mengajarkan ilmu, dan telah ‘mengantarkan’ saya hingga berada pada tahap seperti sekarang ini. Jika saja agama mengizinkan, setelah kepada ibu, saya ingin bersujud pula kepada guru.

Terima kasih!

Selasa, 29 Oktober 2013

Hampir Sampai

Aku hampir tiba pada masa yang saat SMA dulu pernah aku bayangkan. Saat dimana aku tiba pada masa dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan bertahan pada idealisme yang ku genggam erat selama ini, atau pilihan melepaskan itu demi keluarga yang aku pegang petuahnya semenjak kecil.

Rasa-rasanya aku tak pernah sekhawatir ini semenjak dulu. Saat studi tertunda setahun dulu pun aku biasa saja. Tapi rasa-rasanya kali ini berbeda.

Dalam masa hampir tiba itu aku masih berusaha mengkompromikan keduanya. Aku sedang berusaha meyakinkan salah satunya. Kepada idealisme-ku atau kepada keluargaku. Setelah 5 tahun tak berhasil, di detik-detik terakhir ini ingin ku coba lagi.

#tetibagalau

Jumat, 04 Oktober 2013

Negeri Seorang 'Raja'

Terceritakanlah sebuah negeri dengan seorang raja. Tercipta dari puing-puing sisa kejayaan negeri sebelumnya yang tertulis tinta emas sejarah masa lalu. Setelah menunggu berabad-abad lamanya, negeri ini terlahir juga ke dunia. Selamat tanpa cacat. Senang bukan main sang raja. Atas kesyukuran itu, diberikanlah 5 dari 8 wilayah yang ada di bawah kekuasaannya pada kerabat-kerabat dan anggota keluarga.

Wilayah pertama dihibahkan pada adiknya bersama entah siapa.
Wilayah kedua diberikan pada iparnya bersama entah siapa.
Wilayah ketiga diserahkan pada ibu tirinya bersama entah siapa.
Wilayah keempat dihadiahkan pada adik tirinya sendirian saja.
Wilayah kelima sempat diperebutkan oleh utusan keluarga besar. Hingga kini masih dalam kecamuk perang yang tak ada yang tahu kapan usai.
Hanya wilayah keenam, ketujuh dan kedelapan yang tidak berikan pada anggota keluarga.

Entah sengaja karena takut dianggap serakah, atau memang ini hanya akan sementara. Namun tak usah khawatir, karena anak-anak dan beberapa anggota keluarga lain telah menjadi utusan negeri sang raja di khayangan. Itu saja sudah cukup.

Negeri ini kaya akan segala: hutan, laut, gunung, sawah, sungai, tambang, emas, perak, permata, mutiara, tanah, air, udara, semuanya! kecuali harta milik rakyat. Pendapatan negeri ini paling melimpah ruah sejagat raya. Sayangnya, sebagian besar rakyatnya termasuk budak-budak yang tak memiliki pekerjaan. Begitu kata khayangan. 2 dari wilayahnya pun termasuk 113 wilayah termiskin yang diumumkan oleh khayangan beberapa pekan kebelakang. Sebagian besar wilayahnya didera kemiskinan dan masih primitif. Namun sebagiannya lagi penuh kekayaan dan sudah modern. Ada celah yang menganga diantara keduanya. Jomplang.

Rakyat bertanya. Ada apa? Raja tak menggubris. Seolah tak ada apa-apa. Ia tutupi semua rasa penasaran rakyatnya itu dengan kebohongan, atau dengan cara termudah: berkilah kemudian diam. Persis  saat ditanya persoalan keterlibatan ibu, anak, adik, ipar, dan sanak saudara di lima wilayahnya tadi yang diakunya atas titah Tuhan melaui rakyat.

Rahasia demi rahasia disembunyikan. Keburukan demi keburukan ditutupi. Hingga seiring berjalannya waktu menjadi kebusukan yang bau. Sebagian besar telah menciumnya. Namun tak ada yang berani melapor pada khayangan. Kalaupun ada, pasti ia akan terlebih dahulu bertemu utusan sang raja di perjalanan. Kemudian ditikam, entah dari depan atau belakang, dan kemudian mayatnya dilempar begitu saja ke lautan.

Bau ini ditutup lebih rapat lagi. Semakin rapi tanpa cela. Rakyat hanya bisa diam, dan tak mampu berbuat apa-apa. Namun dalam diam itu mereka berdoa.

Hingga pada suatu masa Tuhan menjawabnya dengan mengirimkan sekelempok utusan untuk menggali kebusukan-kebusukan yang telah mengakar. Semua rakyat bersorak penuh bahagia. Penuh euforia kemenangan. Awal dari sebuah kemenangan tepatnya. Hingga kemudian masing-masing dari 10 juta jiwa rakyat kembali berdoa. Berdoa demi kemudahan utusan Tuhan tadi.

Oiya, raja yang kuceritakan padamu itu, bukanlah seorang lelaki yang kau bayangkan membawa pedang dan kemudian turun ke medan laga berperang sebagai komandan. Raja itu adalah seorang perempuan pertama yang menjadi raja di muka bumi. Dan hingga cerita ini ku sampaikan, ia masih menjadi raja perempuan terlama yang duduk di singgasana emasnya.

Dan tahu jugakah kau? Negeri yang kuceritakan itu bukanlah negeri di antah berantah tak bernama. Bukan pula negeri yang hanya ada dalam dunia khayal belaka. Negeri itu ada di dunia nyata. Ada. Dan dia punya nama. Nama itu milik sebuah provinsi di sebuah negara bernama Indonesia yang juga kota kelahiran dan tempat ku dibesarkan: Banten.

Sabtu, 14 September 2013

Pertemuan Pertama

Matahari masih cukup jauh menyentuh laut. Langit dipenuhi gerombolan awan yang berarak perlahan menyesaki. Menghalangi separuh sang surya yang hendak menyinari dunia. Hingga pendaran cahayanya pun tak jatuh sempurna pada hamparan pasir pantai yang sedang kususuri.

Di kejauhan, aku menemukan sesosok tubuh terpungkur jongkok diatas karang yang jauhnya seperlemparan tangan dari garis pantai. Sendirian. Aku mendekat. Dari raut wajah dan perawakannya, tampak seorang anak usia belasan tahun disana. Ia sedang asyik dengan yang dilakukannya: memancing. Segera ku ambil kamera saku. Lebih mendekat lagi. Oh, dia menyambut. Sebuah senyuman dilemparkan.

Aku bersama beberapa teman sedang menikmati indahnya langit senja pesisir Selat Sunda. Tak lama setelah tim Mari Mengajar tiba di kampung Camara, Desa Banyuasih, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, kami -aku dan beberapa volunteer memilih pergi ke pantai. Kampung Camara berbatasan langsung dengan laut yang dari tepinya kita dapat melihat Pulau Umang dan Anak Gunung Krakatau di kejauhan. Jarak dari base camp kami tak cukup jauh, sekitar 300 meter saja. Kami tentu senang. Anggap saja ini sebagai obat dari perjalanan 5 jam dengan rute di akhir yang mengocok isi perut -dalam arti yang sebenarnya. Dan juga sebagai hiburan awal dari aksi mengajar 7 hari kami disini.

Saat menghabiskan waktu jelang senja itulah aku mendapati seorang anak yang begitu asyik memancing diatas karang. Perawakannya kurus, kulitnya sawo matang. Rambutnya berponi, ah ia lucu sekali. Jenis lelaki pendiam. Hanya menjawab secukupnya saat aku tanyakan beberapa hal. Atau mungkin karena ia anak kecil ya? Tapi ia cukup ramah. Beberapa kali menebar senyum padaku.

Dengan celana boxer kuning, kaos you can see corak putih kuning dan sebuah wadah berbahan dasar karung terselempang menyilang tepat di dada, ia berpindah dari satu karang ke karang lain. Berjongkok, menengok ke sela-sela karang, mencari lubang, mencoba memangsa makhluk hidup dibalik karang itu dengan mengandalkan joran sederhana beserta gulungan benang miliknya. Ia juga cukup lihai dalam memancing. Dapat kulihat dari banyaknya tangkapan yang di dapat.

Mataku mengikuti ke arah mana ia berjalan. Dari jauh aku memperhatikan. Diantara karang-karang laut ia tengah mencari.  Aku terdiam menikmati pemandangan langka ini.
“Strike..!” tiba-tiba aku berteriak sendiri dari kejauhan. Ia, yang kemudian aku ketahui bernama Ludin, tenang-tenang saja. Ia, yang umpannya ditarik sejenis belut, menariknya dengan tak tergesa. Sejenis belut laut berhasil mengait kail milik Ludin yang berumpankan keong. Laladot ia menyebutnya. Entah apa dalam bahasa Indonesianya binatang laut itu. Aku tak tahu. Persis seperti teman-temannya yang lain yang ada didalam wadah yang ia bawa: Pabalata dan Nyai-nyai. Keduanya nama sejenis ikan laut. Tiga jenis saja yang ia dapat, tapi jumlahnya lebih dari tiga kali lipatnya.

Katanya ia senang sekali memancing setiap sore. Sendirian. Pada saatnya nanti akan ada penjelasan –dan mungkin juga alasan, tentang rutinitas tiap sorenya itu. Mengetahui itu, aku berencana menemuinya esok hari. Secara tidak langsung kami telah membuat kesepakatan untuk kembali bertemu. Ya, esok kami akan bertemu kembali di tempat yang sama dimana kami bertemu. Aku masih ingin tahu banyak tentang dirinya. Tentang sikap kalemnya sesorean ini. Tentang kehidupannya bahkan.

Awan gelap telah melukis birunya langit senja yang juga perlahan berubah warna. Kami pulang menjemput malam. Bersama menuju basecamp. Aku masih penasaran tentang hari esok. Aku sibuk dengan terka-menerka tentang masa datang. Akankah aku mengajar di kelas 4 SDN Banyuasih 4 tempat ia bersekolah setiap harinya? Dapatkah aku mengetahui lebih banyak tentang kehidupan bocah 10 tahun itu? Akankah aku mengenal keluarganya saat home visit nanti? Adakah rahasia miliknya yang akan ku ketahui? Adakah peluang ke arah semua itu? Aku harus menyimpan terka-terkaan itu setidaknya hingga malam nanti.

Senin, 19 Agustus 2013

Sisi Gelap

"Selama hidupmu, kau punya sisi gelap?" Tanyaku ditengah obrolan kami tentang masa lalu.

"Tentu. Setiap orang pasti punya sisi gelap dalam hidupnya, Kawan. Pun begitu dengan diriku. Punya sisi gelap dalam hidup yang pernah kujalani. Bahkan sisi tergelap aku menganggapnya. Dan aku merasa cukup sekali saja merasakannya. Aku tak ingin mengulanginya lagi. Cukup sekali aku terjatuh di lubang itu. Sekali! dua kali tak perlu." Jawabnya tegas dan panjang lebar. Rasa-rasanya curhatan ini akan menjadi semakin dalam.

"Bagaimana kau menyikapinya?" Aku memancing.

"Entahlah, semua memori itu ingin aku ikat erat-erat, kumasukan dalam peti, lalu ku gembok. Kumasukan dalam peti yang berbeda, lalu ku gembok lagi. Kumasukan dalam peti lagi, dan ku gembok lagi. Lalu ku rantai dan ku gembok untuk terakhir kalinya, dengan gembok baja. Lalu peti itu kubawa ketengah lautan Pasifik, tepat di palung Mariana, palung terdalam dunia. Aku jatuhkan disana. Dengan pemberat tentunya. Keempat kunci gemboknya ku ikut sertakan. Ah, tidak! Aku lebur saja dalam tungku pandai besi." Pancinganku dapat. Panjang lebar ia jelaskan. Lebay sih, tapi dapat kuterima.

Ingin ku lemparkan pertanyaan tentang maksud masa gelapnya itu. Tapi sebelum itu kulakukan, ia kembali meneruskan. Kalimat-kalimatnya tadi ternyata belum selesai.

"Atau dengan cara lain, file-filenya ku kumpulkan kedalam satu folder, ku delete. Ku buka recycle bin nya. Ku empty-kan recycle bin itu. Dan Recuva aku format agar tidak dapat mencari file-file itu. Lalu kemudian aku install ulang laptopnya. Ah, atau ku jual saja ya? Tidak, tidak. Aku masih memerlukannya."

Dia lengah, ini kesempatanku melempar pancingan kedua.

"Sudahlah, kawan.. Aku telah menjatuhkannya ke dasar lautan. Mungkin sekaran sudah sampai. Tak usah kau berusaha mengambilnya kembali. Akan sulit. Sulit sekali." Dia tak mengizinkanku melempar joran pertanyaan selanjutnya.

Walaupun sebenarnya aku ragu akan pernyataan terakhirnya itu, tapi sepertinya dia memang sudah tak ingin membicarakannya lagi.

Senin, 29 Juli 2013

Bersepeda Keliling Banten (Part 1)

‘PDG 23’, tertulis jelas di tugu penanda jarak setinggi satu meter disamping saya. Pusat kota masih sejauh kilometer yang tertera disana, matahari hampir tenggelam, sedangkan saya masih di perjalanan yang sebagian besarnya hutan. Akan menginap disinikah saya malam ini?

Saya kembali bergerak. Mengayuh sepeda dengan mengandalkan tenaga yang masih tersisa. Setelah menempuh perjalanan Serang-Cilegon-Anyer-Carita-Caringin-Jiput sejauh 90 km, saya memilih beristirahat sejenak dipinggir jalan. Lebih sering dari sebelum-sebelumnya. Karena rute 15 km terakhir lebih banyak tanjakkan. Jauh berbeda dengan rute yang telah ditempuh dari Serang hingga Carita semenjak pagi.

Hari ini, Sabtu, 15 Juni 2013 adalah hari pertama saya bersepeda berkeliling Banten. Melewati 4 Kabupaten dan 4 Kota di Propinsi Banten dengan mengendarai sepeda. Menempuh jarak kurang lebih 600 km-rute yang cukup panjang bagi pemula seperti saya-dengan tekad ingin melihat Banten lebih dekat, mencoba mengenal Banten lebih dalam.

Sore hari saya tiba di sebuah daerah antara Kecamatan Jiput dan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang. Pegunungan Akarsari terbentang di sepanjang jalan yang saya lewati. Dibawahnya hutan luas dan areal persawahan menghampar. Sebagian berundak-undak, sebagiannya lagi luas menghampar. Sebagian ditanami padi, sebagiannya lagi ditanami tanaman palawija. Sebagian padi hampir menguning, sebagian lagi baru ditanam. Karena ini daerah pegunungan, maka tak aneh jika jalan yang saya tempuh kali ini membuat susah payah dalam mengayuh sepeda. Tanjakan bernama tanjakan Banganga adalah puncak dari kesusahpayahan saya itu. Tanjakan itu begitu masyhur bagi penduduk sekitar Jiput-Mandalawangi. Bagaimana tidak, tanjakan sepanjang setengah kilometer ini kemiringanya hampir 45 derajat. Melihatnya saja sudah ngeri. Tinggi sekali. Dari puncaknya saja saya bisa melihat laut Selat Sunda terbentang luas saat menengok ke belakang. Maka sepedapun mau tak mau harus dituntun. Jangankan sepeda, terkadang ada motor dan mobil yang tak kuat menyelesaikan tanjakan ini sampai akhir.

Beberapa menit menjelang matahari terbenam sebelum adzan maghrib berkumandang, saya menemukan langgar. Sebuah tempat shalat dengan kapasitas sekitar seratus orang. Langgar di Desa Pandat, Kecamatan Mandalawangi, 18 km dari pusat kota Pandeglang ini menjadi pilihan untuk beristirahat malam nanti. Setelah membersihkan diri, shalat dan hendak mencari warung makan, seseorang menghampiri. Seorang kakek tua, berusia sekitar 60-an, bersarungkan, berbaju koko, berkopiah putih, dengan garis wajah yang tak bisa disangkal lagi telah keriput,  mendekati saya. Tersenyum. Menyapa. Kemudian bertanya. Saya memperkenalkan diri sebagai mahasiswa yang sedang berkeliling Banten. Kami mengobrol singkat, kemudian ia memperkenalkan diri. “Ibnu Mas’ud,..” diam sepekersekian detik kemudian melanjutkan, “S.Ag.” Sedikit tak percaya lelaki tua di sebuah kampung yang cukup tertinggal ini memiliki gelar. Peduli terhadap pendidikan saya menarik kesimpulan. Padahal Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu dari 113 daerah tertinggal di Indonesia tahun 2013 menurut Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Apa mungkin ini sekarang? Dulu tidak. Ironis, karena ternyata ia satu-satunya sarjana yang ada di desa ini. Dan memang ia begitu dihormati. Entah karena usianya, gelarnya atau karena hal lain darinya yang tidak saya ketahui. Saya lihat itu saat ia mengajak saya mengikuti ngariung selepas maghrib disalah satu rumah warga. 

Ngariung merupakan sebuah tradisi umat muslim -terutama di daerah pedesaan- untuk berkumpul dan mendo’akan sebuah hajat bersama-sama. Ngariung dilaksanakan ketika ada sebuah peringatan. Ada muludan saat bulan Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah sebagai peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ada Safaran saat bulan safar. Ada ruwahan saat bulan Sya’ban. Ada haul untuk mengingat waktu meninggalnya kerabat dekat. Ada juag ngariung ketika hendak menghadapi bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Bahkan sekedar saat menempati rumah baru, warga disini seperti warga Pandeglang dan Banten pada umumnya melaksanakan ngariung. Mereka mengundang para tetangga atau warga desa untuk berkumpul dan berdo’a bersama-sama, dipimpin oleh seseorang yang dianggap layak. Biasanya sesepuh atau ustadz. Kemudian pulangnya setiap orang yang hadir mendapat satu jatah berkat. Berkat sendiri adalah makanan dalam satu wadah yang berisi nasi, dan lauk pauknya diatasnya, ditutup daun pisang kemudian dibungkus plastik. Lauk pauknya biasanya berupa ikan mas, daging ayam, telur, mie dan bihun serta kentang.

Rumah panggung dengan berdindingkan bilik bambu menyambut saya dan Abah Mas’ud, begitulah orang-orang desa menyebutnya. Terasnya yang cukup luas telah dipenuhi lelaki berseragamkan pakaian Islami: sarung, baju koko, peci kopiah. Sebagian besarnya telah tua. Hanya segelintir saya temukan anak muda seusia saya disana. Kami dipersilahkan masuk kedalam, begitu juga dengan saya. Duduk di samping para sesepuh desa, dijamu bak tamu kehormatan. Saya duduk tepat disamping kiri Abah Mas’ud. Sedikit memojok ke sudut ruangan berukuran 3x5 meter berdindingkan bilik bambu ini. Saya kaget saat baru saja duduk langsung disuguhi secangkir kopi dan sebatang rokok. Rokok sudah seperti hal wajib sepertinya disini. Sempat menolak karena memang tidak merokok, tapi seseorang disebelah kiri saya mencegahnya. “ambil saja, sudah jatahnya” bisiknya dengan bahasa sunda. Mungkin maksudnya ini sudah dianggarkan oleh pemilik hajat. Maka menolaknya sama dengan memberikan anggaran bukan pada haknya. Tapi tetap saja saya tidak mengambil sebatang rokok itu, membiarkannya  begitu saja. Saya hanya menyeruput kopi hitam yang disuguhkan. Pahit. Mungkin karena ini kopi racikan sendiri dan saya tak biasa meminum kopi. Saya makan saja penganan yang telah disediakan di depan kami. 

Temaram lampu bolham menyinari kami yang berada di ruangan. Seseorang yang juga telah sepuh yang duduk disebelah kanan Pa Mas’ud membuka secarik kertas dari saku baju koko putihnya. Sang pembaca tahlil itu sebelumnya mempersilahkan Abah Mas’ud, tapi Abah Mas’ud balik mempersilahkan. Mungkin hanya basa-basi untuk menghormati yang lebih tua. Setelah membenarkan kain hijau yang mengalungi pundaknya ia membaca kertas tersebut dengan suara cukup nyaring. Itu adalah nama-nama yang hendak 'dihadiahi' do’a dari kami yang ngariung malam ini. Ternyata sang pemilik rumah sedang melaksanakan ngariung haul. Maka inti dari ngariung ini adalah yang masih hidup mendo’akan yang telah mati. Berkat adalah ungkapan terima kasih dari kerabat yang telah meninggal kepada orang-orang yang telah datang.

Setelah ngariung berakhir, banyak warga yang menawarkan untuk menginap di rumah mereka. Ada yang halus lembut, adapula yang sedikit memaksa. Keramahan yang penuh kehangatan sebetulnya. Namun saya tetap memilih pergi ke langgar untuk beristirahat. Takut merepotkan tuan rumah nantinya. Saya terlelap, setelah sebelumnya menyantap berkat dari ngariung tadi. Tertidur pulas, mengistirahatkan tubuh ini setelah mengayuh seharian untuk melanjutkan petualangan selanjutnya besok pagi.

Senin, 22 Juli 2013

Hari Lahir


وَالسَّلاَمٌ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوْتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali." (Q.S. Maryam: 33)

Orang-orang di dunia ini tahu, dan memang harus tahu, kapan tepatnya mereka dilahirkan. Namun, sebagian kecil dari mereka tak pernah tahu hari dan tanggal kelahiran mereka. Beberapa diantaranya bahkan hanya tahu harinya saja. Aku termasuk diantaranya.
Yang kutahu hanya hari aku dilahirkan. Menjelang siang. Ibuku tak mencatat detailnya. Seingatnya aku lahir hari kedelapan bulan puasa. Itu saja. Seingatnya. Oh!
Tahun nya? Entahlah. Yang disebutkan hanya antara tahun x, tahun y dan tahun z. Yang jelas saat Soeharto masih bercokol dinegeri ini.
Di KTP bagaimana? Jangan tanya, sama seperti kakek dan mamahku: mene(m)bak.
Akte kelahiran? Kalau bukan karena kewajiban saat masuk SMA, mungkin hingga detik ini, kertas selembar bertuliskan hari, jam, tanggal, tahun kelahiran itu tak pernah aku miliki. Karena hingga hampir lulus kuliah pun kertas itu tak pernah aku butuhkan.
Maka hingga kini sesungguhnya aku tak pernah merayakan apa yang dinamakan peringatan hari kelahiran, hari ulang tahun orang-orang menyebutnya.
Selain karena di keluarga tak ada budaya seperti itu, juga aku memang tak terlalu mementingkannya, dan, aku juga tak tahu harus kapan merayakannya. Paling-paling saat Ramadhan hari kedelapan, itupun kalau ingat. Alhamdulillah tahun ini aku ingat.
Ah, dunia ini memang terkadang lucu. Aku tertawakan saja dia. Hahaha.. Tak salah  kan?
Bukankah Rasulullah pun tak tahu kapan beliau dilahirkan? Sepengatahuanku, tak ada satu riwayatpun yang mengacu pada peringatan kelahiran Rasulullah setiap tahunnya, saat beliau hidup. Penanggalan hijriyah saja ada pada masa Umar kan? Dan yang tiap tahun kita  peringati sebagai maulidnya adalah terjadi setelah berabad-abad beliau tak ada.
Baik, ulang tahun adalah salah satu momentum perubahan. Aku tahu dan yakin itu. Dengan beribu alasan orang-orang merayakan hari ini sebagai waktu yang tepat untuk melakukan perubahan.
Selain senang karena kita di beri kesempatan untuk dapat mencapai lamanya waktu tertentu di dunia, kita pun harus sedih karena sesungguhnya kita telah kehilangan hari-hari jatah yang Tuhan beri di dunia ini. Bayangkan jika kita di beri tahu bahwa usia kita adalah 60 tahun misal, maka setiap tahunnya kita akah bersedih karena jatah kita berkurang untuk hidup di dunia ini.
Agak klise memang, tapi bagiku hal itu kita yang menciptakan sendiri.
Dahlan Iskan, menteri BUMN  itu, menteri yang selalu tampil dengan gayanya yang nyentrik itupun tak pernah tahu kapan ia lahir. Makanya dia memilih tanggal 17 agustus dengan tujuan agar hari ulang tahunnya juga dirayakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Ah, kenapa aku tak memberitahukan pada kalian 12 Rabiul Awal saja ya? :D 

Camara, 08 Ramadhan 1434 H / 17 Juli 2013 M

Sabtu, 29 Juni 2013

Muqoddimatussafar

"Simpanlah mimpi besarmu, sedikit demi sedikit kau mewujudkannya menjadi nyata." -Yollanda Octavitri, seorang kawan.

Diketik melalui ponsel dengan penuh kesabaran, dari sudut sebuah bangunan di desa yang ada di salah satu dari 113 kabupaten tertinggal di Indonesia, saya ingin coba menuliskan sedikit tentang latar belakang perjalanan saya keliling Banten dengan sepeda sendirian hari ini dan beberapa hari kedepan.

Sedikit berlebihan memang, karena sudah amat banyak orang-orang yang menggunakan sepeda dalam beperjalanan jarak jauh: antar kota, antar pulau, antar negara, bahkan antar benua; keliling Jawa, keliling Indonesia, keliling Eropa, keliling Amerika Selatan, bahkan keliling dunia. Dan saya? hanya keliling Banten. Tak ada apa-apanya. Tapi karena tak ada cerita yang lebih indah dari cerita tentang diri sendiri, ingin coba saya lanjutkan tulisan ini. Jadi yang tak tertarik -dan daripada membuang waktu, silahkan akhiri bacaannya sampai kalimat ini saja. :D

Setiap dari kita pasti punya mimpi, mimpi besar. Entah itu mimpi bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, juga agama. Pun begitu dengan saya -yang hobi bersepeda, senang beperjalanan, menyukai fotografi, dan cinta pada daerah sendiri punya mimpi besar yang ingin diwujudkan. Banyak cara yg dilakukan demi terwujudnya mimpi-mimpi kita. Banyak bentuk usaha yg ditempuh sebagai upaya untuk mewujudkan mimpi-mimpi tersebut. Saya sendiri memilih menggabungkan keempat hal yang selama ini saya jalani tadi sebagai salah satu upayanya. Dan kemudian saya pun memutuskan untuk mengupayakannya tidak nanti jika sudah menjadi ini dan itu, tapi sekarang, saat ini juga (walau hanya permulaan). Masa depan tak ada yang tahu, umur tak ada yang menjamin bukan?

Maka jika ada yang bertanya-tanya mengapa saya mau menempuh perjalanan dengan mengayuh sepeda sejauh 569 kilometer sendirian tanpa kawan, jawabannya karena sebuah mimpi. Ya, mimpi. Mimpi apa itu? Sebuah mimpi besar yang biarlah waktu saja yang akan menjawabnya.

Dan karena perjalanan ini merupakan awal dari salah satu mimpi besar saya untuk Banten, maka perjalanan ini saya namakan: muqoddimatussafar.

Rute Muqoddimatussafar
 Pandeglang, 15 Juni 2013
*Tulisan saat perjalanan keliling Banten beberapa waktu yang lalu, tulisan aslinya disini. Tulisan-tulisan selanjutnya, mohon tunggu ya.. #sokpenting #plak

Senin, 27 Mei 2013

Secret Admirer


Semenjak mengenalnya beberapa tahun lalu, aku tahu dan sadar dia telah secara tidak langsung selalu menginspirasiku dalam segala hal. Tulisan, perbuatan, bahkan sebuah mimpi. Dari sana rasa kagum itu kemudian muncul.

Saat itu, aku memutuskan untuk menjaga jarak darinya. Jika pun ada interaksi, sekedar dan seperlunya saja. Aku tak ingin berlebihan. Aku takut rasa kagum ini menjadi bertambah dan berubah bukan hanya sebuah kekaguman, tapi rasa yang lebih dari itu. Rasa yang lebih atas dari sebuah kekaguman pada seorang wanita sebaya. Aku hanya tak ingin itu terjadi. Cukup aku mengaguminya saja, dengan caraku sendiri.

Aku begitu berharap bisa menemukan sosok seperti dia suatu saat nanti. Untuk bisa menemani sisa hidup didunia ini.

Tapi yang tak pernah terfikirkan olehku, mengapa aku tak pernah berfikir untuk menjadikan dia saja sosok yang kucari itu? Hmm..

Kamis, 23 Mei 2013

Upacara Seba yang Berbeda

Sempat ada tarik ulur mengenai waktu penyelenggaraan upacara Seba tahun ini antara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Banten dengan Masyarakat Suku Baduy. Dengan alasan tertentu, Disbudpar provinsi Banten meminta masyarakat Baduy memajukan waktu penyelenggaran upacara Seba agar waktunya tepat. Namun pada akhirnya, upacara Seba tahun ini tetap berlangsung sesuai rencana awal: tanggal 17, 18, 19 Mei 2013.

Tahun ini Penulis berkesempatan kembali mengikuti salah satu adat tradisi suku Baduy yang biasa dilaksanakan setahun sekali. Ada beberapa, bahkan banyak perbedaan -walau bukan hal mendasar, yang Penulis temukan secara kasat mata dalam upacara Seba tahun ini dibanding upacara Seba tahun-tahun sebelumnya. Pada tulisan ketiga tentang upacara Seba ini, Penulis hanya ingin menyampaikan perbedaan-perbedaan yang dilihat secara kasat mata tersebut.

Untuk yang belum tahu apa itu upacara Seba, silahkan baca tulisan Penulis sebelumnya, Upacara Seba (1) dan Upacara Seba (2).

Perbedaan pertama dimulai dari diri Penulis. Jika tahun lalu hanya dari Rangkasbitung menuju Serang, tahun ini Penulis berkesempatan mengikuti upacara Seba dari perjalanan awal di Kaduketug hingga ke tujuan akhir di Kota Serang.

Selain itu, tahun ini Penulis mencoba berjual beli pernak-pernik dan hasil kerajinan warga Baduy selama kegiatan upacara Seba berlangsung. Jual beli tersebut dilakukan dengan sistem murabahah (maklum lah mahasiswa ekonomi Islam).

Selain itu juga, saat perjalanan dengan sepeda ‘mengawal’ rombongan Baduy dalam dari Rangkasbitung menuju Serang, ban sepeda Penulis mengalami kebocoran. Hingga akhirnya memutuskan berjalan bersama rombongan Baduy dalam berjalan kaki menghabiskan sisa setengah perjalanan.

Selain itu juga (masih ada lagi), Penulis berhasil mendokumentasikan seluruh rangkaian upacara Seba tahun ini dengan tidak menggunakan kamera pinjaman lagi. Alhamdulillah. :)

Perbedaan selanjutnya dari upacara Seba itu sendiri. Upacara Seba tahun ini merupakan Seba Gede. Dan juga merupakan Seba terbesar yang pernah dilaksanakan. Upacara Seba tahun 2012 kemarin hanya diikuti oleh 1439 warga Baduy, yang terdiri dari 1388 orang Baduy luar dan 51 Baduy dalam. Namun tahun ini jumlahnya meningkat menjadi 1779 yang terdiri dari 1709 Baduy luar dan 70 Baduy dalam. Karena merupakan Seba Gede, hasil pertanian yang dibawa pun lebih banyak. Dan tidak hanya hasil pertanian, namun juga membawa alat-alat yang biasa digunakan masyarakat Baduy sehari-hari: dulang, nyiru, aseupan bahkan golok.

Jika pada tahun-tahun sebelumnya penerimaan oleh Bupati Lebak atau Bapa Gede dilaksanakan setelah waktu Isya, sekitar jam 8 malam. Kali ini acara didilaksanakan setelah waktu maghrib, dan berlangsung tidak di pendopo. Dan acaranya pun tak lebih dari setengah jam (karena tidak ada dialog antara Bapak Gede dan warga masyarakat Baduy). Penulis sempat kecolongan, karena tidak menghadiri acara tersebut. Dan pemberitahuan ini pun ternyata mendadak, karena rencana awal memang akan dilaksanakan seperti biasa, jam 8 malam di Pendopo Kabupaten Lebak.

Esoknya, jika seperti biasanya warga Baduy dari Rangkasbitung langsung menuju Pendopo Gubernur di Kota Serang, kali ini 1779 warga Baduy diminta mampir ke Disbudpar di Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) di daerah Palima. Baru kemudian melanjutkan menuju pendopo Gubernur Banten di Pusat Kota Serang dengan berjalan kaki bersama untuk mengikuti acara pada malam harinya.

Malam harinya, upacara Seba tahun ini dihadiri oleh tamu undangan dari berbagai negara: Belanda, Australia. Penulis menemukan beberapa turis duduk di barisan depan bersama jajaran dari pemerintahan provinsi Banten.

Berbeda dari sebelumnya juga, ketika acara penerimaan dan dialog hampir selesai, Gubernur Banten atau Ibu Gede menyempatkan berfoto ditengah-tengah 1779 warga Baduy yang memadati pendopo Gubernur Banten semenjak sore. Hal ini sempat tak direncanakan juga, karena sebelumnya Ibu Gede hendak meninggalkan tempat, namun diminta beberapa wartawan untuk menuju tengah kerumunan warga Baduy dan berfoto bersama mereka sambil melambaikan tangan.

Itu beberapa perbedaan yang Penulis temukan selama 3 hari kemarin. Ada perbedaan-perbedaan tak kasat mata pula yang Penulis yang temukan dalam upacara Seba tahun ini. Namun sepertinya itu butuh tulisan tersendiri untuk menyampaikannya.

Berikut beberapa momen-momen yang berhasil Penulis dokumentasikan selama rangkaian upacara Seba beberapa hari yang lalu.


Foto-foto lebih lengkapnya bisa dilihat disini

Sabtu, 27 April 2013

Sawarna, Pesona Pantai Selatan Jawa*


“Kata orang kota, disana ada jejak si Kabayan.” Ucap seorang kakek dalam bahasa sunda padaku, sambil menunjuk ke arah Karang Bodas.

Karang Bodas adalah salah satu dari setidaknya lima tempat yang paling sering dikunjungi oleh wisatwan di Desa Sawarna ini, selain Pantai Ciantir, Tanjung Layar, Legon Pari, dan Goa Lalay.

Bodas berasal dari bahasa sunda yang berarti putih, tak lain karena bukit yang menjorok ke arah laut ini sebagian besar terdiri dari karang dan batu cadas berwarna putih. Adapun yang disebut jejak si Kabayan adalah sebuah lubang besar berbentuk tapak. Walau tak mirip tapak kaki. Jejak si Kabayan ini pun sebenarnya adalah sebutan dari wisatawan lokal saja. Sebagian besar warga Sawarna tak pernah tahu tentang keberadaan jejak si Kabayan tersebut.

Sawarna sendiri adalah sebuah desa yang berada di selatan pulau Jawa bagian Barat. Persisnya di Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten.

Dalam 2 tahun terakhir ini, Sawarna telah menjelma menjadi destinasi favorit bagi wisatawan. Terutama bagi mereka yang terjebak rutinitas sehari-sehari di perkotaan. Tapi aku ada disini hanya karena sebuah rasa penasaran. Maka dengan menggendong carrier kesayangan, aku putuskan untuk backpackeran, sendirian.

Pantai Ciantir menyambut saat pertama datang ke Desa Sawarna, setelah sebelumnya aku harus melewati jembatan gantung, kemudian menembus perkampungan yang penuh dengan homestay hingga hampir pesisir pantai.

Beberapa warung berjejer di tepian pantai, menghadap ke lautan. Keduanya dipisahkan bentangan lautan pasir yang cukup luas untuk sebuah pantai. Bahkan aku temukan gawang bambu yang mungkin digunakan untuk bermain sepak bola.

Selain arealnnya yang cukup luas tadi, pasirnya pun halus, putih juga bersih. Itulah mungkin kenapa pantai ini sering disebut juga Pantai Pasir Putih. Ombaknya pun cukup besar, bahkan sangat besar di waktu-waktu tertentu. Maka tak heran ada spanduk larangan berenang yang di pasang di waktu-waktu tertentu tadi. Ini karena memang pantai ini berada di selatan pulau jawa, yang menghadap langsung ke Samudera Hindia.

Berjalan beberapa ratus meter ke arah timur menyusuri pantai, ku temukan Tanjung Layar. Dia begitu mempesona. Bagaimana tidak, dua buah batu besar menjulang setinggi kurang lebih 10 meter dan panjang 20 meter juga lebar sekitar 2 meter, berada 30 meter dari garis pantai. Ditambah lagi didepannya ada karang yang seolah menjaga layar ini dari terjangan ombak.

Ke arah timur lagi ada Karang Bodas yang aku ceritakan tadi, kemudian Karang Beureum hingga kemudian Legon Pari. Legon Pari merupakan pantai yang menjorok ke daratan. Pasirnya sekilas tak jauh berbeda dengan di Pantai Ciantir. Aku hanya memandangnya dari kejauhan. hari sudah siang, aku sedikit memutar arah untuk mencari jalan ke Goa Lalay.

Dengan mengandalkan keterangan beberapa warga, dan setelah berjalan kaki sekitar 1 jam, akhirnya aku berhasil menyambangi Goa Lalay. Ternyata tidak sesulit yang dibayangkan, walau aku harus menyusuri jalan setapak menembus perkebun warga, meniti pematang-pematang sawah, menyeberangi sungai, melewati jembatan gantung, hingga menyisir kuburan. Menurut warga, ada dua goa sebenarnya di Sawarna ini. Hanya karena masalah waktu, aku sambangi yang ini saja.

Karena Goa Lalay berarti Goa Kelelawar, seharusnya ada kelelawar di dalam goa ini. Tapi yang kutemui hanya stalaktit-stalaktit goa yang cantik yang berjejer apik bersama aliran sungai kecil yang airnya segar sepanjang goa. Namun kata warga memang suka ada kelelawar yang bersarang di gua ini.

Setelah hari mulai sore, aku kembali ke tempat awal dengan mengambil rute yang berbeda. Melemaskan kaki setelah seharian berjalan mengitari Sawarna. Melewati dinginnya hembusan angin laut di atas dipan sebuah warung makan di pinggir pantai.
Pada akhirnya, aku yang sebenarnya tak terlalu menyukai pantai, mengubah statment itu setelah mengunjungi Sawarna.


*Tulisan tahun lalu, sayang kalo ngga dipublish. :D

Selasa, 16 April 2013

Profesi = Ibadah

Kita setuju bahwa kita diciptakan untuk beribadah. Sebagaimana yang telah agama kita ajarkan. Dan kita pun sepakat bahwa ibadah memiliki banyak bentuk. Secara garis besarnya digolongkan menjadi dua; mahdhoh dan ghoiru mahdhoh. Ya, kita sepakat bahwa ibadah itu tidak hanya shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, dan ibadah lain yang hubungannya langsung dengan Allah. Karena menyingkirkan duri dari jalanpun merupakan ibadah. Kita tahu dan sepakat itu.

Pun begitu dengan apa yang kita jalani saat ini, dan kedepannya yang menjadi cita-cita kita. Atau profesi yang telah, sedang dan akan kita jalani nanti. Semuanya adalah merupakan bentuk ibadah.

Tak peduli berapa kali dan sebanyak apapun kita mengganti cita-cita semenjak kecil hingga sekarang, atau mungkin ada yang tetap istiqomah di cita-cita yang dipilihnya. Juga tak peduli profesi yang sedang atau akan kita jalani sesuai passion atau tidak. Itu juga tak jadi soal. Walau memang lebih baik sesuai dengan passion, karena dengan passion kita akan menemukan versi terbaik dalam diri kita. Begitu katanya. Namun bukan berarti yang tidak sesuai passion itu tidak baik. Kita tidak bisa menjamin hal itu. Karena harus diakui, di masyarakat sana banyak orang-orang yang jangankan tahu apalagi mengerti konsep passion, berfikir tentang sebuah profesi dan pekerjaan pun mereka tidak. Yang ada dalam fikiran mereka hanya bagaimana caranya bisa bertahan dalam menjalani kehidupan. Selama bisa memberi makan anak istri, itu sudah cukup.

Kita tidak berhak menganggap satu profesi lebih baik dari profesi yang lain atau bahkan menganggap satu profesi lebih mulia dari profesi yang lain. Semua jenis profesi itu adalah mulia selama mempunyai dampak positif bagi masyarakat, setidaknya bagi saya seperti itu.

Profesi apapun yang kita pilih, disiplin ilmu apapun yang kita tekuni, selama itu kita jalani dengan sebaik-baiknya adalah merupakan ibadah sesungguhnya. Karena dengan menjalani dengan sebaik-baiknya, profesi itu pada saatnya akan mempunyai dampak positif yang begitu besar bagi masyarakat, dan menjadi ladang amal bagi kita.

Menjadi dokter yang membantu meringankan tidak hanya orang-orang sakit tapi juga orang orang-orang kecil yang sakit, menjadi guru yang ikhlas mentransferkan berjuta ilmu pada generasi setelahnya, menjadi arsitek yang membangun bangunan megah yang memiliki sejuta manfaat bagi umat, menjadi jurnalis yang objektif dalam menyampaikan berita dan ikut dalam mencerdaskan masyarakat, menjadi birokrat yang setia melayani dan mengabdi kepada masyarakat, menjadi hakim yang seadil-adilnya tanpa melihat golongan tertentu, semua itu adalah profesi mulia dan termasuk ibadah. Ibadah yang hubungannya dengan manusia.

Maka sebenarnya menjadi apapun diri kita: Guru, Dokter, Perawat, Jurnalis, Arsitek, Bankir, Birokrat, Diplomat, Politikus, Hakim, Ulama, Seniman, Pengusaha, Selebriti atau menjadi yang tak punya dan tak ingin memiliki gelar apapun, yang terpenting adalah bukan terkenal atau tidaknya kita, bergengsi atau tidaknya profesi kita, tinggi atau rendahnya kedudukan kita, bukan pula besar kecilnya gaji kita. Tapi yang terpenting adalah  kebermanfaatan kita: pada diri sendiri dengan bagaimana menjadi sebaik-baiknya orang dalam disiplin ilmu atau profesi yang kita jalani; dan kepada lingkungan serta masyarakat dengan bagaimana kita punya peran postif didalamnya. Dengan semuanya tetap diiringi ketaatan pada Allah dengan bagaimana kita selama hidup selalu berada di jalan yang sesuai tuntunanNya dan meniatkannya sebagai bagian dari ibadah kepadaNya.

Waallahu’alam bishowab.

Kehilangan

Saya pernah berada pada masa amat begitu mencintai ilmu. Masih jelas dalam bayangan saya, belajar hingga jauh larut malam; di dalam kamar, di atas meja belajar, di depan kelas, di ruang kelas, di bawah tangga kelas hingga ketiduran, di perpustakaan, di bawah temaram lampu PJU,  bahkan di trotoar semalaman.

Bukan hanya karena besoknya ada ujian, atau karena ingin menjadi juara kelas. Tapi karena saya memang begitu menyukai pelajaran yang saya pelajari.

Dan saat ini, saya sedang mencari-cari rasa yang telah lama hilang itu.

Senin, 04 Maret 2013

Membelah Bukit

Ini tentang sosok yang mempunyai pengaruh besar dalam hidupku, yang begitu menginspirasiku, semenjak kecilku hingga saat ini.
Ini tentang kakekku, Abdul Mutholib-ku hingga kini. Mahbub bin Abdul Fakar bin Afiq.
Kakekku adalah pria yang tangguh dan pekerja keras. Masih tersimpan dengan baik dalam memoriku, saat ia ingin mengelola sebuah tempat yang dianggap tidak bersahabat; sebuah rawa, dipinggir sawah, cukup jauh dari perkampungan, dibiarkan saja tak terurus, penuh kubangan tempat mandi kerbau, dikelilingi semak belukar pula. Ceritanya dia ingin menjadikan tempat  itu sebagai tempat usaha. Orang-orang kampung menyarankan lebih baik cari tempat lain. Tak usah saja. Banyak yang meragukannya.
Memang karena sudah wataknya yang keras. Ia tetap ingin mewujudkan keinginannya itu. Maka berbulan-bulan ia, kedua anak laki-lakinya (yang tak lain pamanku), kakakku dan aku sendiri mengolah rawa yang sudah tak ada yang mau mengurusnya semenjak dulu itu. Berhari-hari kami menyingkirkan tumbuhan-tumbuhan rawa yang ada disana. Berbulan-bulan kami mencangkul, memadatkan tanahnya, mengelola airnya, membuat irigasi, mendirikan gubuk, memasang listrik, dan menuliskan plang ‘jual beli ikan dan pemancingan’. Ya, kami berhasil mengubah rawa yang terkenal tak bersahabat itu menjadi sebuah pemancingan yang ramai dan tempat berkumpul beberapa warga kampung setiap sorenya. Menjadi tempat nongkrong bapak-bapak, ibu-ibu yang membawa anak-anaknya bermain.
Dan yang terakhir, baru-baru ini kakekku yang keras itu mencoba membelah bukit. Sebenar-benarnya bukit, bukan kiasan. Ya, dia ingin membelah bukit dalam arti sebenarnya. 
Biar sedikit kujelaskan dengan gambar apa yang kumaksudkan. 


Pada  gambar itu ada sungai yang berbelok melingkari sebuah daratan. Ukuran lebar sungai sekitar 5-6 meter, ini adalah salah satu aliran sungai Ciujung yang melewati kampung halamanku. Hulu sungainya sendiri ada di Baduy dalam. 
Jadi ceritanya, kakekku ingin mencoba memindahkan aliran sungai Ciujung itu dengan meluruskannya membelah daratan. Membuat aliran baru untuk sungai. Dalam gambar dengan menarik garis lurus dari A ke B. Dan daratan itu bentuknya adalah sebuah bukit. Tinggi bukitnya sekitar 10 sampai belasan meter. Maka artinya ia ingin membelah bukit.
Aliran sungai yang berhasil ia pindahkan, ingin ia jadikan tempat pembibitan ikan. Airnya yang mengalir besar serta jernih sangat cocok untuk itu. Mimpinya ia ingin seperti apa yang ada di waduk Cirata, di Jatiluhur sana.
Banyak yang meragukannya, apalagi tempat dibalik bukit itu memiliki cerita mistis yang cukup terkenal. Banyak pula yang melarangnya untuk tidak meneruskannya. Tapi kakekku tak bergeming, ia tetap meneruskan.
Ya aku tahu dia tak lagi muda, tapi yang lebih aku tahu adalah semangatnya masih tetap muda dan akan terus muda. Katanya, ini pun mimpinya sejak ia muda.
Dan bulan kemarin, aku sempat ikut menaklukan bukit itu, bersamanya.  
Ini penampakkan bukitnya.
Yang berdiri paling depan itu kakekku (jika mengacu pada gambar sebelummnya, kakekku berdiri di B).
Sayangnya, kini dia sakit-sakitan. Akhirnya mamahku memutuskan untuk mengajaknya ke Pandeglang. Kini dia bersamaku di rumah. Semoga dia cepat diberi kesembuhan.

اللّمّ ربّ النّاس أذهب بأس إشفيه أنت الشّافىء لاشفاءًا إلّا شفائك شفاءًالايغادرسقماً ولا ألماً