Sabtu, 14 September 2013

Pertemuan Pertama

Matahari masih cukup jauh menyentuh laut. Langit dipenuhi gerombolan awan yang berarak perlahan menyesaki. Menghalangi separuh sang surya yang hendak menyinari dunia. Hingga pendaran cahayanya pun tak jatuh sempurna pada hamparan pasir pantai yang sedang kususuri.

Di kejauhan, aku menemukan sesosok tubuh terpungkur jongkok diatas karang yang jauhnya seperlemparan tangan dari garis pantai. Sendirian. Aku mendekat. Dari raut wajah dan perawakannya, tampak seorang anak usia belasan tahun disana. Ia sedang asyik dengan yang dilakukannya: memancing. Segera ku ambil kamera saku. Lebih mendekat lagi. Oh, dia menyambut. Sebuah senyuman dilemparkan.

Aku bersama beberapa teman sedang menikmati indahnya langit senja pesisir Selat Sunda. Tak lama setelah tim Mari Mengajar tiba di kampung Camara, Desa Banyuasih, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, kami -aku dan beberapa volunteer memilih pergi ke pantai. Kampung Camara berbatasan langsung dengan laut yang dari tepinya kita dapat melihat Pulau Umang dan Anak Gunung Krakatau di kejauhan. Jarak dari base camp kami tak cukup jauh, sekitar 300 meter saja. Kami tentu senang. Anggap saja ini sebagai obat dari perjalanan 5 jam dengan rute di akhir yang mengocok isi perut -dalam arti yang sebenarnya. Dan juga sebagai hiburan awal dari aksi mengajar 7 hari kami disini.

Saat menghabiskan waktu jelang senja itulah aku mendapati seorang anak yang begitu asyik memancing diatas karang. Perawakannya kurus, kulitnya sawo matang. Rambutnya berponi, ah ia lucu sekali. Jenis lelaki pendiam. Hanya menjawab secukupnya saat aku tanyakan beberapa hal. Atau mungkin karena ia anak kecil ya? Tapi ia cukup ramah. Beberapa kali menebar senyum padaku.

Dengan celana boxer kuning, kaos you can see corak putih kuning dan sebuah wadah berbahan dasar karung terselempang menyilang tepat di dada, ia berpindah dari satu karang ke karang lain. Berjongkok, menengok ke sela-sela karang, mencari lubang, mencoba memangsa makhluk hidup dibalik karang itu dengan mengandalkan joran sederhana beserta gulungan benang miliknya. Ia juga cukup lihai dalam memancing. Dapat kulihat dari banyaknya tangkapan yang di dapat.

Mataku mengikuti ke arah mana ia berjalan. Dari jauh aku memperhatikan. Diantara karang-karang laut ia tengah mencari.  Aku terdiam menikmati pemandangan langka ini.
“Strike..!” tiba-tiba aku berteriak sendiri dari kejauhan. Ia, yang kemudian aku ketahui bernama Ludin, tenang-tenang saja. Ia, yang umpannya ditarik sejenis belut, menariknya dengan tak tergesa. Sejenis belut laut berhasil mengait kail milik Ludin yang berumpankan keong. Laladot ia menyebutnya. Entah apa dalam bahasa Indonesianya binatang laut itu. Aku tak tahu. Persis seperti teman-temannya yang lain yang ada didalam wadah yang ia bawa: Pabalata dan Nyai-nyai. Keduanya nama sejenis ikan laut. Tiga jenis saja yang ia dapat, tapi jumlahnya lebih dari tiga kali lipatnya.

Katanya ia senang sekali memancing setiap sore. Sendirian. Pada saatnya nanti akan ada penjelasan –dan mungkin juga alasan, tentang rutinitas tiap sorenya itu. Mengetahui itu, aku berencana menemuinya esok hari. Secara tidak langsung kami telah membuat kesepakatan untuk kembali bertemu. Ya, esok kami akan bertemu kembali di tempat yang sama dimana kami bertemu. Aku masih ingin tahu banyak tentang dirinya. Tentang sikap kalemnya sesorean ini. Tentang kehidupannya bahkan.

Awan gelap telah melukis birunya langit senja yang juga perlahan berubah warna. Kami pulang menjemput malam. Bersama menuju basecamp. Aku masih penasaran tentang hari esok. Aku sibuk dengan terka-menerka tentang masa datang. Akankah aku mengajar di kelas 4 SDN Banyuasih 4 tempat ia bersekolah setiap harinya? Dapatkah aku mengetahui lebih banyak tentang kehidupan bocah 10 tahun itu? Akankah aku mengenal keluarganya saat home visit nanti? Adakah rahasia miliknya yang akan ku ketahui? Adakah peluang ke arah semua itu? Aku harus menyimpan terka-terkaan itu setidaknya hingga malam nanti.