Selasa, 26 November 2013

Menjadi Guru: Sebuah Memoar

“Sebaik-baik belajar adalah dengan mengajar.” - Ustadz Najwani, seorang guru.

Merasakan sebenarnya-benarnya kehadiran guru adalah ketika saya duduk di bangku SMP. Saat dimana kasih sayang layaknya seorang ibu sendiri saya terima dari guru-guru ketika itu. Kenapa tidak SD? Dugaan saya, pola pikir seorang Achmad Anwar Sanusi mungkin belum paham mengenai kehadiran dan arti seorang guru saat masih di sekolah dasar. Saat itu saya  belum sadar dan mengerti bahwa yang mengajarkan huruf, angka, membaca, menulis, membuat garis lurus, membuat lingkaran, bahkan memegang pensil dan pulpen yang benar dengan sabarnya, setelah orang tua, adalah guru SD. Setelah beranjak dewasa -dan memang sudah seharusnya, barulah saya tersadarkan akan hal itu. Saat duduk di bangku SMA, pengalaman yang hampir sama dengan masa SMP terulang. Perhatian yang datang dari layaknya seorang ayah, saya rasakan pada saat itu. Alasan pribadi yang begitu kuat dan juga karena lingkungan di SMA yang berasrama menambah kuat kehadiran perasaan tersebut dalam diri saya.

Pengalaman semenjak SD hingga SMA tersebut memberikan pengertian pribadi bahwa sesungguhnya guru bagi saya bukanlah orang tua kedua, melainkan mereka saya sejajarkan dengan orang tua pertama. Bedanya mungkin orang tua yang satu ini tak mengandung dan merawat semenjak kecil.

Di masa perkuliahan, keterikatan saya terhadap guru tak saya rasakan. Mungkin itu salah satu alasan mengapa studinya saya tertunda hingga saat ini. *nyengir* Adakah hubungan diantara keduanya? Ah, tak tahu lah. (Tapi jika merujuk pada nasihat Imam Syafi’i tentang 6 perkara untuk mendapatkan ilmu, sepertinya iya).

Lahir dan besar di keluarga petani dan pedagang, tak terfikirkan oleh saya untuk menjadi seorang guru. Ditambah lagi pada satu waktu, pernah ada seseorang yang memberikan sebuah nasihat, "kalau kamu mau kaya, jangan jadi guru, jadilah pengusaha.” Dan kalimat itu saya dapatkan dari 3 orang guru berbeda, dalam waktu yang berbeda, dan pada jenjang yang berbeda pula.

Saya sepenuhnya yakin dan sadar bahwa menjadi guru memang sulit mengantarkan saya pada keberlimpahan materi. Namun karena sering berada di tengah-tengah guru-guru yang hebat dan penuh dedikasi, membuat saya memiliki keyakinan bahwa menjadi kaya pahala ternyata lebih menggiurkan daripada kaya harta. Alhasil beberapa bulan setelah lulus SMA, November 2008 tepatnya, ketika dihadapakan pada beberapa pilihan, saya memilih menjalani sebuah tahapan hidup dengan mengambil peran sebagai seorang guru.

Mengajar beberapa mata pelajaran berbeda: Tarikh Islam, Imla, Kimia, Ekonomi, IPA, Matematika, Bahasa Inggris, juga Bahasa Indonesia, dalam kurun waktu beberapa tahun membuat saya belajar banyak hal. Mulai dari pengetahuan dari tiap disiplin ilmu yang berbeda, hingga metode belajar yang tidak itu-itu saja. Menjadi guru SMA, SMP, SD, di lembaga bimbingan belajar dan private pribadi merupakan salah satu potongan mozaik dalam hidup yang pernah saya jalani selama 5 tahun ke belakang.

Melihat diri saya dari sisi lain, bisa dikatakan saya termasuk ke dalam golongan guru di Indonesia yang tak memiliki kualifikasi mengajar secara profesional. Saya yakin itu. Karena tak ada dokumen negara yang berkaitan dengan bidang pendidikan yang saya miliki selain NUPTK. Itu pun entah bagaimana sekarang nasibnya, kini tak pernah saya pedulikan lagi. Namun, setiap tanggapan positif dari murid-murid yang pernah belajar bersama saya selalu menjadi penghibur dari sisi lain itu. Maka bisa jadi di mata para murid yang pernah saya ajar mungkin saya bisa dianggap berhasil, tapi di mata menteri pendidikan nasional (sekarang mendikbud), saya nol besar.

Berbagai panggilan yang pernah dan masih disandangkan kepada saya, baik itu pak guru, kakak guru, atau ustadz sekalipun sebenarnya harus diakui cukup berat untuk diemban. Tanggung jawab dari panggilan ketiganya bukanlah main-main, menuntut saya untuk menjadi sebenar-benarnya guru: pantas digugu (dipercaya/dituruti) dan ditiru. Namun harus saya akui, panggilan dan menjadi yang terakhir terasa lebih berat. Selain karena panggilan ustadz identik dengan seseorang yang memiliki pemahaman agama yang luas, juga karena saya dituntut menjadi teladan dan contoh yang patut ditiru oleh para murid karena berada dalam keseharian mereka selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu. Shalat berjama’ah, cara berpakaian, berinteraksi, bersikap pada diri sendiri, hingga tidur sekalipun, selalu menjadi perhatian dan dijadikan contoh ideal bagi para murid. Bahkan ada ungkapan, ustadz itu batuknya saja adalah tarbiyah (pendidikan).

Hidup adalah proses. Kadang kita tak pernah tahu apa yang sedang kita jalani saat ini akan tetap bertahan atau berubah diluar dugaan dalam beberapa waktu ke depan. Dalam hitungan, menit, jam, hari, bulan ataupun tahun. Namun yang jelas, menjadi apapun saya nanti di masa depan, saya bertekad untuk tetap membagikan pengalaman dan ilmu yang sedikit saya miliki dengan cara mengajar. Mengajar siapapun dan dengan cara bagaiamanapun. Persis seperti pesan seorang kiyai guru saya, yang disampaikannya kembali kepada saya, yang tetap menjadi pedoman hingga saat ini, yang secara tidak langsung bisa dikatakan telah mendoktrin saya hingga saat ini, "menjadi apapun dirimu, tetaplah mengajar.”

Maka melalui tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu, madrosatul ula saya, dan semua guru yang pernah mengenal, mengajarkan ilmu, dan telah ‘mengantarkan’ saya hingga berada pada tahap seperti sekarang ini. Jika saja agama mengizinkan, setelah kepada ibu, saya ingin bersujud pula kepada guru.

Terima kasih!