Selasa, 30 Desember 2014

Catatan Perjalanan (2)

Kita sepakat, beperjalanan menggunakan kereta api mengharuskan kita untuk membuang jauh-jauh kebiasaan telat. Jika tidak, silahkan katakan selamat jalan dan biarkan kereta api itu berangkat, tanpa peduli kita telah ikut atau tidak. Maka kecuali kau anak pejabat, jangan sekali-kali naik kereta (atau pesawat) datang terlambat.

Kita akan tahu, 12 orang yang berperjalanan dengan waktu 4 hari 3 malam dan destinasi yang tak hanya satu adalah hal yang akan merepotkan. Sungguh tidak mudah beradu argumentasi menyusun rencana perjalanan, berdebat pada perkara destinasi mana yang harus dikunjungi dan mana yang tidak, juga mana yang harus dituju lebih awal dan mana yang harus diakhirkan, dan semua perkara remeh temeh menyangkut dana selama di jalan. Maka kecuali kau terbiasa beperjalanan, menyusun itinerary dan tak menderita darah tinggi, jangan sekali-kali ikut serta beradu argumentasi.

Kita juga akan paham, dengan teman perjalanan sebanyak dan waktu selama itu di daerah orang, segalanya kadang tidak begitu saja menjadi mudah semudah yang dibayangkan. Akan ada hal-hal yang terjadi di luar dugaan saat sudah di jalan. Maka kecuali menggunakan jasa agen perjalanan atau dibentuk kepanitiaan, jangan sekali-kali beperjalanan dengan lebih dari 10 orang, durasi lebih dari 4 hari, dengan banyak destinasi yang dikunjungi.

Kita setuju, beperjalananan di musim hujan akan selalu banyak rencana yang akan batal atau direncanaulangkan. Cuaca kadang memang menjadi penghalang bagi kita untuk beperjalanan. Apalagi di daerah yang jelas-jelas telah diketahui terkena banjir dan hujan hampir setiap malam. Maka kecuali kau telah siap dengan segala kemungkinan, jangan sekali-kali memaksakan keinginan untuk beperjalanan di musim penghujan, apalagi masuk ke hutan.

Dalam beperjalanan kita yakin, duduk di samping abang sopir angkot akan memberi banyak pengetahuan yang jarang didapatkan. Maka kecuali kau introvert dan pemalu, jangan  sekali-kali duduk di depan bersama abang sopir dan diam saja tanpa mendapatkan apa-apa.

Kita akan mengerti, membatalkan atau mengubah rencana di detik-detik akhir melatih daya improvisasi yang kita miliki. Maka kecuali kau seorang yang punya imajinasi, jangan sekaili-kali membatalkan atau mengubah rencana yang telah disusun di detik-detik akhir eksekusi.

Kita juga akan sadar, beperjalanan dengan banyak orang akan ada ego yang kita pendam atau keinginan yang diurungkan. Teman perjalanan akan menentukan bagaimana mood kita sepanjang perjalanan. Kadang kita mesti pilih-pilih akan hal ini. Maka kecuali kau berjiwa toleransi tinggi dan pandai memaklumi, jangan sekali-kali merasa perjalanan milik sendiri dan mengajak teman-teman yang tak kau kenal benar.

Kita juga telah diajarkan, shalat jamak dan/atau qashar di perjalanan adalah keringanan yang ditawarkan dan bukan sebuah kewajiban untuk dilaksanakan. Maka kecuali kau menemukan dalil yang pasti tentang kewajiban jamak dan/atau qashar di perjalanan ini, jangan sekali-kali memaksakan apalagi menyalahkan dia yang tak menggunakannya dalam perjalanan. Mungkin shalat di bus atau kereta masih tabu di antara kita ya..

Pada akhirnya kita akan belajar, sesulit dan semudah apapun segala sesuatu, semua itu pasti akan berlalu dan menjadi pengalaman yang meninggalkan pelajaran. Maka kecuali kau tidak mau mendapatkan apa-apa, silahkan tidur dan berleha-leha saja di rumah.

Catatan Perjalanan (1)

“Tak ada yang diambil selain foto dan pelajaran. Tak ada yang ditinggalkan selain jejak dan kenangan.” – Seseorang dalam perjalanannya.

Perjalanan biasa dilakukan sendirian atau bersama-sama. Dengan keluarga, teman-teman, pasangan, atau pun orang yang baru dikenal. Tapi pada akhirnya kita akan setuju bahwa perjalanan bersama siapa pun akan menyenangkan dilakukan. (Orang menyebalkan menjadi pengecualian. :p)

Rasa-rasanya jarang sekali saya melakukan perjalanan dengan jumlah teman perjalanan lebih dari 3 orang: 11 orang, kecuali sedang membawa rombongan atau ikut open trip. Dengan teman perjalanan sebanyak itu, mungkin ukuran 4 hari 3 malam  menjadi terlalu lama bagi mereka yang tak biasa. Bahkan menjadi merepotkan ketika destinasi yang dituju lebih dari satu dan semuanya direncanakan sendiri dari awal pergi hingga pulang kembali. Beberapa destinasi di antaranya diputuskan di jalan.

Menjelajahi daerah yang tak satu pun dari kami pernah tinggal di dalamnya lebih dari seminggu, -bahkan ada yang baru mengunjungi, adalah hal yang tak mudah. Menyusun itinerary sendiri, berkendara tanpa kendaraan pribadi, tertinggal kereta api, agenda yang batal karena jarak dan cuaca, - atau hanya sekedar salah informasi dan riset kurang dalam, adu ide dan solusi menentukan tempat bermalam, hingga perkara dana untuk makan, sewa angkot atau pun ngeteng adalah bumbu yang hadir menghiasi perjalanan 4 hari kemarin.

Perjalanan bersama adalah arena latihan untuk mengendalikan ego setiap dari kita, melatih daya improvisasi yang kita punya, hingga mengenal lebih dekat satu sama lainnya. Dalam perjalanan bersama kita juga akan dipertontonkan berbagai macam pertunjukan sebagai bentuk pengejewantahan kepribadian seseorang. Kebiasaan-kebiasaan orang lain yang kadang bersitegang dan bersinggungan dengan kebiasaan kita akan kita saksikan. Lalu kita punya persepsi berbeda dengan yang selama ini kita punya terhadapnya. Makin mengenal dan berusaha memahami.
12 Laskar Pengembara
Akhirnya adalah tak salah pada Bandung kami menjatuhkan pilihan. Semoga ia dan segala yang telah dilalui selama 72 jam di sana menjadi pupuk persahabatan. Kita tahu sendiri mengelilingi Bandung, baik kabupaten atau pun kota tak cukup hanya 4 hari. Tapi saya yakin, Banjaran, Citeureup Indeung, Gunung Puntang, Air terjung Kahuripan, Kolam Cinta, Goa Belanda, Tebing Karaton, Masjid Raya, Jalan Asia Afrika, Jalan Braga, Taman Jomblo, Taman Cikapayang Dago, Lapangan Gasibu, Gedung Sate, Taman Lansia, Museum Geologi, Museum Pos, hingga stasiun Kiara Condong dan segala apa yang membersamainya, -termasuk abang sopir yang ngabodor sepanjang jalan, akan menjadikan semua yang ikut serta dalam perjalanan akan saling mengenal lebih baik dan lebih dalam dari sebelum-sebelumnya. Jika pun tidak, saya yakin ia telah memberikan efek pada masing-masing dari kita. Setidaknya kantong menjadi lebih tipis. :p

Maka persis seperti yang diucapkan seorang bijak: lakukanlah perjalanan, maka dengan itu kau akan tahu watak sebenarnya seorang teman.

Namun jika harus memilih, sejujurnya aku lebih nyaman beperjalanan sendiri. Walaupun pada akhirnya aku akan, dan harus beperjalanan tak sendirian. Ya, minimal berdua: denganmu.

Senin, 29 Desember 2014

Memuliakan atau Menghinakan

Makhluk bernama wanita selalu saja membuat para lelaki terpesona sekaligus tersiksa. Bagaimana tidak, dengan pesonanya ia selalu dapat memikat setiap mata. Dengan pesonanya pula, lelaki dibuat untuk pandai-pandai memendam, mengaduk, dan mengolah rasa. Mungkin untuk itu ia dicipta. Begitu juga kau padaku. Segala hal yang ada padamu selalu saja menjadi misteri. Berita tentangmu selalu saja menarik bagiku. Membuatku terkagum-kagum, terpesona, terpikat, lalu tak ada yang bisa dilakukan selain menyimpan. Diam-diam. Sesekali, terang-terangan.

Dulu jauh sebelum kita bertemu, tak pernah aku setersiksa ini menjalani rasa. Ingin memuliakan dengan menikahimu, aku belum mampu. Ingin menghinakan dengan memacarimu, aku tak mau. Tak ada yang dapat kuperbuat selain mengolah rasa rindu ini sendirian - hingga kadang tercampur dengan pilu. Tak dapat pula kujalani apapun selain dengan menunggu. Mempersiapkan segala hal untuk nanti datang menjemputmu. Semoga. Dengan penuh harap dan ucap pada Tuhan pemilik segala.

Ya, jika memang belum mampu memuliakan(nya), jangan sampai menghinakan(nya).

Rabu, 10 Desember 2014

Kebaikan Seorang Muslim

“Salah satu kebaikan dari seorang muslim ialah meninggalkan apa-apa yang tak bermanfaat baginya.” – Al-Hadits

Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi memungkinkan kita mengakses segala hal yang kita ingin dan tidak inginkan; berita yang kita butuh dan tidak butuhkan; konten yang pada kita mendatangkan dan tidak mendatangkan kebermanfaatan, dengan amat mudahnya. Tak mengenal batas usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, lintas batas negara, ras, dan suku bangsa, serta tak mengenal batas waktu. Kita dapat mengkses tanpa mengenal batas. Jika pun ada, batas itu sesungguhnya kita sendirilah yang harus menciptakannya.

Kita dihadapkan pada keadaan dimana begitu banyak hal yang sulit dihindari. Disajikan dengan banyaknya informasi tanpa adanya filtrasi. Saat menonton televisi kita disuguhkan berita-berita yang cenderung tak objektif, acara infotainment yang sudah tak mengindahkan norma dan etika, reality show yang menyajikan hal-hal yang bagi saya sedikit –untuk mengatakan tidak, mengandung makna. Bukan maksud mengeneralisir, tapi itulah yang sebagian besar terjadi. Pun begitu saat membuka internet. Iklan-iklan tak layak memenuhi layar, konten-konten dewasa ada dimana-mana, berita-berita yang jauh dari kaidah jurnalistik muncul dengan mudahnya, status-status facebook yang mungkin tak perlu kita ketahui kemungkinan besar akan kita baca, twitwar yang kadang tanpa mengindahkan etika dan penuh cela bisa muncul begitu saja di linimasa.

Melalui itu semua, barangkali kita menjadi terlalu banyak tahu  hal yang tak semestinya kita ketahui. Isi kepala kita dipenuhi hal-hal yang sesungguhnya tak terlalu mendatangkan manfaat bagi diri kita sendiri. Semakin banyak tahu hal yang tak semestinya kita ketahui, pada akhirnya menjadi penyebab bagi sebagian besar dari kita mengapa begitu sering merasa gelisah,  merasa terlalu banyak pikiran, sulit fokus dan berkonsentrasi. Produktifitas kerja, amal dan ibadah menjadi terpengaruh jua.

Satu-satunya cara untuk menghentikannya ialah dengan mematikan segala hal yang berhubungan dengan itu semua. Tapi rasa-rasanya cukup sulit melihat pada zaman dimana kita saat ini berada. Pada akhirnya, mungkin pesan dari junjungan kita patut kita renungkan dan laksanakan: min husnil islamil mar’i tarkuhu maa laa ya’nihi. Bahwa meninggalkan apa-apa yang tak bermanfaat bagi kita sebagai seorang muslim, adalah salah satu kebaikan bagi kita.

Segala sesuatu yang hendak kita lakukan, jalani, ambil, seharusnya kita pikirkan terlebih dahulu apakah akan mendatangkan manfaat atau tidak, memiliki nilai guna atau tidak, atau hanya akan mendatangkan kemudharatan, menimbulkan kedengkian, dendam, hasad, dan hasut yang kesemuanya justru mengantarkan pada kesia-siaan.

Bahkan di media sosial yang saat ini begitu akrab dengan keseharian pun, kita dituntut untuk dapat menerapkan itu. Ketika posting, upload, shared foto, share link, baca link berita, atau apapun itu. Selama dirasa tak bermanfaat dan justru mendatangkan kemudharatan, maka alangkah lebih baik kita tinggalkan. Karena dengan begitu bukankah dapat menjadi kebaikan?

Minggu, 30 November 2014

Antara Desa dan Kota

Kota, terutama Jakarta sebagi metropolitan, selalu membuat terpesona manusia-manusia Indonesia. Pun begitu mungkin dengan penduduk di belahan bumi lain pada kota-kota metropolitan di negaranya. Kota selalu menjadi magnet dan alasan untuk orang-orang desa mendatanginya, bahkan kemudian mencintainya. Untuk yang terakhir, saya termasuk di dalamnya. Saya mencintai kota. Sungguh. Saya mencintai Jakarta, Bandung, Semarang, dan tak lupa Yogyakarta. Pada keempat kota saja itu dulu saya setidaknya menyatakan cinta. Jakarta terutama. Untuk ukuran orang yang tak tinggal dan bekerja di sana, intensitas kunjungan saya bisa dikatakan cukup sering. Minimal seminggu sekali. Entah itu sengaja mengikuti satu dua kegiatan, sekedar jalan dan liburan, atau hanya sekedar lewat karena hendak ke Bekasi atau Bogor misalnya. Iitu cukup membuat saya hafal beberapa rute dan jalanan-jalanan Jakarta.

Walaupun begitu, hingga saat ini, sama sekali tak pernah terlintas dalam diri untuk bekerja apalagi tinggal dan menetap di Jakarta. Entahlah. Tapi tak sedikit pun berpikir ke sana. Bekerja dan tinggal di daerah penyokong sudah membuat saya begitu bahagia. Sesekali berkereta, naik busway, angkutan umum lain, atau berjalan kaki di Jakarta amatlah saya nikmati. Namun megahnya metropolitan, indah dan rapinya tata kota di sana, tetap tak membuat saya berpikir untuk menetap di dalamnya.

Ada yang lebih saya cintai dan nikmati: kembali ke desa. Semenjak dulu saya mencintai desa. Mungkin desa bisa disebut sebagai cinta pertama saya. Desa dengan segala kesederhanaanya, dapat memalingkan saya dari kemegahan gedung-gedung pencakar langit kota. Ia dengan hamparan sawah dan sungai-sungainya (baik sungai kecil atau besar) selalu berhasil membuat saya terpesona.

Tapi bagaimanapun juga, saya tetap mencintai kota. Ia tetap akan menjadi warna dalam kehidupan seseorang yang ingin sekali tinggal di desa. Mungkin ini seperti adagium lama yang berbunyi, mencintai tak harus memiliki. Tinggal dan bekerja di desa, hidup sederhana dengan gaya orang desa, namun berpikiran maju (yang katanya) selayaknya orang-orang kota, dan dapat dengan mudahnya bepergian ke kota, adalah mimpi ideal saya.

Terlepas dari itu semua, tak menutup kemungkinan jika pada suatu keadaan di masa depan, saya terpaksa harus ke kota. (Walau itu tak saya harapkan). Jalan hidup tak ada yang  tahu. Karena bagi saya, rencana hidup selalu dinamis. Sedinamis track record jalan hidup yang selama ini selalu tak terduga. Yang terpenting ialah mimpi untuk menjadi manusia bermanfaat sepanjang hayat harus tetap menjadi tekad.

Kamis, 27 November 2014

Bogor - Pandeglang

“Yakin mau lewat sana? Jalur sana tanjakannya serem-serem lho.” Seorang kawan mengingatkan sebelum perjalanan dimulai. Awalnya memang membuat nyali sedikit bergeming. Apalagi setelah menjelaskan jalur yang kami bicarakan terlalu berbahaya dilewati dengan bersepeda. Selain karena sepanjang jalan adalah lebih banyak hutan, juga karena banyaknya mobil-mobil besar yang seringkali lewat jalur yang akan saya lalui. Tapi mengingat ini adalah rencana yang sempat tertunda berkali-kali, kembali saya bulatkan tekad untuk melanjutkan perjalanan ini, seorang diri.

Dengan bismillah, pagi-pagi buta selepas shubuh saya berangkat. Setelah mampir sebentar di Darmaga dan mengayuh beberapa jam lamanya, barulah apa yang diceritakan mulai terasa. Sesungguhnya jauh sebelum ini pun saya pernah melewati jalur ini. Bedanya dulu menggunakan kendaraan umum. Sepanjang perjalanan biasanya saya tertidur pulas karena perjalanan yang cukup panjang. Maka ketika kali ini bersepeda, tak ada kesempatan sedikit pun untuk dapat tidur atau berleha-leha karena berburu dengan waktu untuk menyelesaikan perjalanan hingga sampai tujuan: rumah di Pandeglang.

Selama perjalanan, berkelebatlah segala hal yang justru membuat saya semakin semangat: kelelahan di jalan, ditodong begal, dicuri (atau mungkin diculik? :D), terserempet atau bahkan tertabrak truk atau bus, lalu tak ada yang tahu, dibiarkan begitu saja di pinggir jalan hingga enath kapan ditemukan. Apalagi ponsel saya mati semenjak perjalanan dimulai. Dan celakanya saya sama sekali tidak memberitahu orang tua saya tentang perjalanan ini.

Tapi semua kelabat itu terobati oleh pemandangan yang begitu memanjakan mata: hamparan hijaunya persawahan, bentangan kebun kelapa sawit sejauh mata memandang, kontur perbukitan dengan kelokan jalannya sebagai hiasan, tanjakan-tanjakan dan turunan-turunan curam, hutan yang termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak sepanjang sisi bahu jalan, berselang-seling dengan satu dua pedesaan. Maha karya Allah yang amat mempesona. Dan semua itu membuat saya menikmati perjalanan.
Bentangan perkebunan kelapa sawit menjadi backround
Hujan yang mengguyur di seperempat perjalanan terakhir mengulurkan jadwal yang sudah tersusun rapi dalam kepala. Setelah kemaghriban di perjalanan dari Rangkas, akhirnya saya dapat menyelesaikan perjalanan yang sudah lama saya rencanakan ini: bersepeda Bogor-Pandeglang.

Untuk seseorang yang baru 3 tahun memiliki sepeda, mungkin jarak 124 km ditempuh seharian cukup membahagiakan diri sendiri. Saya bahkan  sempat tak percaya bisa menempuh 124 km dalam sehari. Apalagi jalur yang saya tempuh berkelok-kelok, penuh tanjakan dan turunan yang curam. Maka setelah melalui semua, kini waktunya beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan selanjutnya.

Minggu, 09 November 2014

Pilihan

Sekali pilihan telah ditetapkan, pantang sesungguhnya kita menyesali pada apa-apa yang telah kita pilih dan putuskan. Karena dari sana akan timbul pengandaian. Dan junjungan kita Rasulullah SAW melarang kita untuk mengandaikan pada apa-apa yang telah kita lalui di masa lalu, termasuk keputusan-keputusan yang telah kita buat. Andai aku dulu memilih ini, mungkin akan begini; andai aku dulu tak mengambil ini, bisa saja terjadi ini.

Segala yang telah kita putuskan, walaupun merasa mutlak itu adalah keputusan kita sendiri, sesungguhnya pada itu ada yang menggerakkan kita pada yang kita pilih, disadari atau tidak disadari. Maka sesungguhnya, menyesali sebuah keputusan dan mengandaikan pada yang telah terjadi, bisa menimbulkan rasa ketidakbersyukuran atas apa yang Allah cenderung pilihkan. Ah, aku sudah seperti Jabariyah saja dalam hal ini. Tapi aku tak menganut itu, sungguh. Bagiku, ada lahan yang Allah sediakan pada kita untuk memilih, dan ada pula lahan yang memang kita tak diberi pilihan sama sekali. Dalam hal ini, aku jadi Asy’ariyah sepertinya ya? Pada lahan yang pertama itu kita dianjurkan untuk meminta dipilihkan oleh-Nya melalui apa yang disebut istikhoroh. Istikhoroh adalah tentang pengakuan kelemahan kita pada apa-apa yang tak bisa kita ambil keputusannya sendirian.

Pada akhirnya nanti, kita akan tiba pada masa dimana kita tetap pada pilihan-pilihan yang telah kita putuskan, meskipun ada tawaran untuk mengulang waktu kembali pada masa lalu. Di sanalah kita akan sadar betapa rencana Allah begitu indah atas setiap makhluk ciptaan-Nya. Betapa skenario yang dibuat-Nya amatlah cerdas bagi semua makhluk yang ada. Dari sanalah kita belajar tentang kebersyukuran.

Terlepas dari kita menganut faham Asy’ariyah, Qodariah bahkan Jabariyah, kita tetap butuh Allah untuk memilihkan.

Maka bagi saya selain kumpulan doa-doa, kita saat ini adalah kumpulan keputusan pilihan-pilihan kita di masa lalu.

Jumat, 31 Oktober 2014

Seorang Mentor

Kita patut bersyukur dikenalkan oleh Allah pada orang-orang yang memberikan kita ilmu dan pengalaman secara cuma-cuma dalam salah satu episode perjalanan hidup kita di dunia. Karena memang tak semua orang ingin berbagi dan peduli pada orang lain. Dan tak semua orang pula peduli pada perkembangan diri pribadinya. Atas hal itu, saya mengucap banyak-banyak hamdalah. Maka tulisan ini pun hadir sebagai ungkapan syukur saya atas sebuah perkenalan saya dengan seseorang di tempat saya bekerja selama setahun terakhir ini.

Lama menjadi seorang jurnalis, bahkan semenjak kuliah, saya kira adalah faktor terbesar yang menjadi penyebab semangat juang atasan saya ini begitu tinggi dalam bekerja, dan dalam segala hal yang ia jalani. Tekun, ulet, gigih, pantang menyerah, dan cekatan dipertontonkan secara langsung pada saya, dan secara tak langsung menjadi pembelajaran bagi saya pribadi.

Pengalaman-pengalaman yang diceritakannya jika dalam perjalanan, mulai dari wawancara dengan orang-orang terkenal hingga melihat potongan tubuh manusia di lokasi pengeboman -karena ia menjadi satu-satunya wartawan yang berhasil masuk sesaat setelah bom J.W. Marriot meledak, memberikan gambaran bagaimana gigihnya seorang jurnalis. Dan saya banyak belajar dari sana.

Dalam karir amatir saya bekerja 5 tahun ke belakang, memang baru kali ini benar-benar merasakan bekerja berkantor nine to five seperti orang-orang Jakarta. Bedanya jarak kantor dan tempat tinggal saya tak lebih dari semenit perjalanan. :D Saya belajar betapa pentingnya menjalin komunikasi, membangun kepercayaan diri, ilmu manajemen dan juga marketing. Bagaimana menjual -satu hal saja dulu, apa yang semestinya kita jual. Sesuatu yang amat berguna untuk bisnis yang akan saya kembangkan nanti.

“Kerjakan sebisa dan semaksimal mungkin, cari cara dan celah untuk dapat melakukannya. Setelah itu, katakan inilah yang saya bisa. Harus diteruskan atau tidak yang penting kita sudah berusaha semampu kita.” Salah satu kata-kata yang saya ingat saat menceritakan bagaimana ia dengan cepat dipromosikan di perusahaan multinasional tempatnya bekerja dulu hingga akhirnya saat ini membangun sebuah perusahaan dari awal bersama saya juga: Akhlak Mulia Center Indonesia. Berbuat lebih dan berusaha sebisa dan semaksimal mungkin, nasihatnya.

Mewarnai, diwarnai, dan punya warna adalah filosofi hidup yang memang sebenarnya pernah saya dengar, namun kembali diingatkan beserta contoh nyatanya di depan saya. Berani berbicara apa yang seharusnya saya dan orang lain lakukan pada hal-hal yang semestinya dilakukan, adalah salah satu yang saya dapat.

Melaluinya juga saya menjadi lebih mengenal Jakarta, walau kami tak berkantor dan tinggal di Jakarta. Pengalaman masa kecil dan remaja serta tinggal lama di Jakarta, apalagi wartawan, menjadi penyebabnya. Topik tentang rute jalan, transportasi yang digunakan, hingga jalan-jalan tikusnya selalu menjadi obrolan yang menarik selama di perjalanan.

Maka atas semua itu, sudah sepatutnyalah saya berterima kasih kepada atasan, rekan kerja, teman diskusi, teman mengobrol santai, sekaligus teman bercanda saya itu. Dan mungkin tak berlebihan jika saya anggap juga sebagai guru dan mentor saya.

Terima kasih banyak, ayahnya Qisha dan Thara!

Jumat, 17 Oktober 2014

Ujian

Kita pasti pernah (dan mungkin masih) memiliki teman yang menjengkelkan; partner kerja yang tak dapat diandalkan; tetangga yang seringkali menyulut kemarahan; atau bahkan kerabat yang membuat kita tak nyaman. Kita kadang jengkel, kesal, marah, menggerutu, hingga mengeluh karena keberadaannya. Bahkan kalau bisa, kita ingin pergi jauh-jauh hingga tak dapat lagi bertemu. Padahal dengan dipertemukan dengan mereka, bisa jadi itu adalah ujian bagi kita: ujian kesabaran.

Satu waktu kita dipertemukan dengan teman semasa kecil dulu. Lama tak bertemu, banyak sekali perbedaan tampak dari ia yang dulu. Ia dianggap lebih berhasil dilihat dari karir dan ukuran materi. Lalu kita membandingkan pencapaian kita yang menurut kita begini-begini saja dengan ia yang melesat jauh meninggalkan kita. Hingga kemudian kita kadang mengutuki jalan hidup yang hingga saat ini telah dijalani. Kadang kita tak sadar bahwa kedatangannya kembali pada kehidupan, bagi kita adalah sebagai sebuah ujian: ujian kesyukuran.

Pada waktu lain mungkin kita kehilangan hal-hal yang amat kita sukai; benda-benda kesayangan yang dicuri; kepergian orang-orang yang begitu kita cintai –entah sementara atau selamanya; Lalu kita marah pada Tuhan karena ketidakadilan-Nya, versi kita. Hingga kadang kita dibuat lupa pada doa-doa yang kita inginkan, Allah jawab dengan sebuah ujian: ujian keikhlasan.

Sekali bahkan beberapa kali dalam hidup kita pasti pernah disakiti, dikhianati, dicaci, dimaki, dijauhi, diterlantarkan, dibuang, dihina oleh orang lain atau oleh orang terdekat bahkan. Hingga bisa jadi kita merasa manusia paling menderita dan malang yang pernah ada. Padahal itu pun pasti sebuah ujian: ujian kedewasaan. Ujian yang dapat membuat kita menjadi lebih kuat, lebih bijak, dan lebih tegar dan lebih siap menghadapi jalan hidup yang membentang di depan.

Pada orang-orang yang Allah dekatkan dengan kita, bisa jadi mereka adalah ujian: ujian kesabaran, kesyukuran, keikhlasan, kedewasaan, dan ujian-ujian lain.

Dengan mengirimkan mereka, mungkin itulah cara Allah membuat kita lebih sabar, lebih bersyukur, lebih ikhlas, lebih dewasa, lebih kuat, dan lebih bijak. Bisa jadi kan?

Kamis, 09 Oktober 2014

Mengapa Saat Ini Kita Bertemu?

Seperti halnya masa lalu, masa depan pun kadang datang tanpa pernah kita undang. Dengan seenaknya ia datang bersama kenangan sembari menebar harapan. Aku sesungguhnya tak peduli siapa dirimu; benarkah akan menjadi masa depanku atau hanya selintas datang lalu pergi begitu saja hingga mengkristal menjadi kenangan. Aku pun tak peduli akan menjadi apa dirimu di masa depanku nanti; sekedar teman atau menjadi seseorang yang begitu spesial hingga kematian datang. Aku hanya ingin bertanya, tidakkah kau datang setelah aku undang saja?
Rasa-rasanya kita terlalu awal untuk bertemu. Kau terlalu dini untuk datang pada kehidupanku. Aku belum belajar bagaimana menahan rindu. Aku juga belum tahu cara mengungkap cinta selain dengan doa. Aku bahkan belum tahu bagaimana menghadap pada ayah seorang wanita sebaya.
Kau tak pernah tahu ‘kan bagaimana rasanya dikoyak rindu yang kemudian berujung pilu?
Kau juga tak pernah merasa ‘kan bagaimana memendam rasa yang belum saatnya tiba?
Dan tentunya kau juga tak pernah tahu bagaimana perasaan lelaki saat memutuskan menghadap ayah seorang wanita yang padanya si lelaki menyimpan rasa?
Mungkin aku harus belajar lebih banyak untuk mencintaimu hanya dengan rindu.
Aku perlu waktu.

Selasa, 09 September 2014

Behind the Scene

Bagi saya, segala sesuatu yang alami tanpa dibuat-buat adalah indah. Pun begitu dalam mengambil gambar. Saya memiliki kesenangan tersendiri ketika mengambil momen-momen tak sadar kamera. Saya suka foto-foto candid.

Kamera adalah perpanjangan mata. Ia seperti mata kita. Maka apa yang ditangkap, selayaknya tanpa dibuat-buat, selayaknya tanpa direka-reka. Seperti halnya mata juga, tugas kamera mengambil lalu menyimpan. Jika mata mengabadikan momen dengan menyimpannya dalam memori hingga menjadi kenangan, maka kamera mengabadikannya dengan menyimpannya dalam gambar – yang pada akhirnya menjadi kenangan juga.*Ini apa-apaan bahas kenangan segala* #halah.

Intinya saya ingin menyampaikan, di perjalanan ke Baduy kemarin, saya berhasil mengabadikan beberapa momen yang tampak alami. Ketika teman-teman saya berfoto bersama terutama berfoto selfie – yang saat ini sedang ngetrend, saya abadikan momen-momen itu. Klik!

Yang unik bagi saya adalah ketika hasil foto momen mereka berselfie disandingkan dengan hasil foto selfie mereka.

Here are the pictures!

Scene 1
 
Scene 2
Scene 3
Rasa-rasanya masih banyak foto-foto candid yang berhasil saya ambil saat perjalan ke Baduy kemarin, baik yang selfie atau pun tidak. Tapi yang dapat disandingkan dengan hasil fotonya dan dianggap layak, hanya ini. Yah, namanya juga tak terencana. Wong saya kemarin ga bawa kamera. :D

Sabtu, 30 Agustus 2014

Berhenti Mengagumi

Aku mundur.
Takkan lagi berusaha membacamu seperti semenjak 56 bulan lalu.
Terima kasih.

Tertanda,
Yang pernah dan masih mengagumimu.

Kamis, 28 Agustus 2014

Definisi Bahagia

Sesederhana dapat kembali pergi ke Cibeo untuk ke-16 kalinya setelah sekian lama tak mengunjungi. Padahal bagi sebagian besar orang, pergi kesana adalah pengalaman hidup yang cukup sekali dijalani. Lalu aku, seperti tak pernah merasa cukup walau masuki bilang ke-100 suatu saat nanti.

Sesederhana dapat kembali memegang EOS 600D setelah sekian lama tak berjumpa. Selalu saja ada rasa bahagia saat mengintip sesuatu -atau seseorang, dari balik viewfinder kamera. Menangkap momen yang tak pernah bisa terulangi. Mengabadikan saat-saat yang tak dapat dilakukan lagi. Memindahkan bukti kebesaran Allah pada bentuk lain hingga dapat orang lain nikmati.

Sesederhana dapat kembali memunguti sampah plastik sepanjang jalan setapak dari Baduy Luar hingga Baduy Dalam dan sebaliknya. Rasa-rasanya saat ini aku memungutnya tak harus sesering dulu saat memulainya 3 tahun lalu. Semoga orang-orang memang semakin sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan alam yang Allah ciptakan.

Sesederhana dapat kembali beperjalanan bersama carrier kesayangan. Sudah lama sekali rasanya ia tak diajak jalan-jalan. Diajak merasakan teriknya matahari, teduhnya rimbunan dedaunan, lelahnya berjalan kaki 24 kilometer, terjebak pekat malam dalam hutan. Bersamanya aku selalu menikmati asiknya perjalanan. Teman perjalanan tak harus selalu orang bukan?

Sesederhana dapat bertemu kawan-kawan baru setelah selama ini hanya berjumpa di dunia maya. Beberapa di antaranya hanya tahu nama saja. Kau tahu kan rasanya bertemu teman-teman yang berbeda denganmu? Sikap, kebiasaan, dan karakter yang berbeda. Bahkan 180 derajat perbedaanya. Walau dalam beberapa hal kalian sama. Ah, bikin hidup lebih berwarna.

Sesederhana dapat melepaskan orang dari kesusahan dan kepayahannya. Berusaha menghilangkan beban dari pundak dan punggungnya –baik arti konotatif maupun dalam arti sebenarnya, semampu kita. Melihat orang lain senang karena bantuan kita kadang menjadi kebahagiaan yang sulit untuk diungkapkan.

Bagi setiap orang bahagia memiliki definisi tersendiri. Bagiku, bahagia sesederhana itu.

Minggu, 10 Agustus 2014

Ujian Kesyukuran

Ingin kuceritakan tentang sebuah nama: Khaerullah. Milik seorang sahabat, sekaligus seteru.

Masih tersimpan dalam ingatanku dulu, saat pertama kali kami bertemu. Ia selalu ingin menjadi yang pertama, sayangnya ada aku. Ia selalu ingin menjadi bintang seorang, sayangnya tak dapat sendirian. Ia ingin menjadi ketua di organisasi, tapi lagi-lagi ada aku. Sudah seperti batu sandungan saja aku dianggapnya.


Semua perseteruan yang kami alami tak menjadi alasan untuk bermusuhan. Bahkan sebaliknya. Semenjak kami sekelas, tak pernah sekalipun kami terpisah tempat duduk. Selama dua tahun di sisa hidup kami di sekolah menengah pertama, kami selalu berbagi meja. Kami bersaing sengit sekaligus berteman akrab. Kami berseteru namun berkawan dekat. Kemana-mana berdua. Bahkan sudah seperti sepasang kekasih saja. Pelajaran kesukaan kami sama, ekstrakurikuler yang kami ikuti sama, hobi kami sama, guru favorit kami juga sama. Perempuan yang kami puja saja tak sama. Kami adalah kawan tempat saling berbagi, bermain, bergurau, juga diskusi. Bersamaan dengan itu kami pun adalah rival abadi, hingga kini.


Sampai pada akhirnya selepas lulus SMP, ku ajak ia untuk kembali satu sekolah agar dapat duduk semeja. Ia menolak dengan jawaban: aku bosan menjadi nomor dua. Begitulah kira-kira jawabannya. Dan aku terima.


Benar saja, keinginannya terpenuhi: juara kelas, selalu rangking pertama, ketua organisasi sekolah, juara berbagai lomba, semua didapatkannya selama SMA. Walau pada satu kesempatan pada sebuah lomba tingkat kabupaten, kami bertemu mewakili sekolah masing-masing. Dan ia kembali menjadi nomor dua.


Bagiku ia adalah ujian. Ujian agar aku tak pongah dan takabur atas apa yang aku dapatkan. Agar aku tak sombong atas apa yang aku usahakan.


Berselang beberapa tahun kemudian, kami berpisah tanpa kabar. Ku temui kembali ia saat telah mengenakan toga di jurusan impiannya. Jurusan yang sesuai dengan pelajaran favorit kami dan sempat kami rebutkan saat olympiade SMA: Teknik Kimia. Sedangkan aku? Baru melewati setengah perjalanan untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku juga berada di jurusan yang tak pernah terbayangkan dan tak pernah dicita-citakan: Ekonomi Islam.


Dan ia kembali menjadi ujian. Ujian agar aku tak kufur nikmat atas apa yang telah Allah limpahkan. Agar tak membanding-bandingkan jalan hidup yang telah Allah gariskan.


Ada saat aku merasa menang, dan ada pula saat dimana aku merasa dikalahkan. Walau definisi menang-kalah dalam hal ini masih dalam perdebatan. Hingga akhirnya, pada hari ini aku merasa ia kembali menang. Memenangkan hati seseorang: wanita pujaan. Dan aku? Masih disini belum beranjak menemukanmu.


Maka atas semua ceritaku, sahabat sekaligus seteruku itu, adalah sebenar-benarnya ujian: ujian kesyukuran.

Kamis, 31 Juli 2014

Curug Gendang

Setelah melepas baju dan mengambil sedikit ancang-ancang, saya menghempaskan tubuh saya dari ketinggian 7 meter menuju sebuah kolam yang terbentuk dari genangan air terjun di bawah sana.

“Byuur!” suara tubuh saya beradu dengan air kolam di bawah air terjun tersebut. Terakhir kali meloncat seperti ini saya alami sekitar 10 tahun lalu saat masih seusia SMP dari atas karang ke sebuah leuwi di sungai Ciujung. Itu pun hanya sekitar 2-3 meter tingginya. Maka tak heran perkara loncat-meloncat dari atas air terjun ini menjadi ajang uji adrenalin bagi saya. Dalam hitungan kurang dari dua detik, kaki saya sudah berada di dalam air sesaat setelah sebelumnya berada di atas batu besar hitam tempat terakhir saya menjejakkan kaki.
Curug tampak atas
Setiap tahunnya, saya dan teman-teman SMA selalu melakukan touring untuk mengeksplorasi objek-objek wisata di daerah Banten. Setelah Ujung Kulon, Pantai Camara, Pantai Sawarna, di tiga tahun ke belakang, tahun ini kami memutuskan ke Curug Gendang di daerah Carita. Telah lama hasrat berkunjung kesana terpendam dalam diri, terutama saya pribadi.

Curug berasal dari bahasa sunda yang berarti air terjun. Sedangkan gendang berarti alat musik yang terbuat dari kulit yang biasa dipukul untuk membunyikannya. Katanya, nama ini muncul karena suara air terjun yang jatuh seperti suara gendang. Curug Gendang berada di kawasan hutan wisata Carita, sekitar 50 km dari pusat kota Pandeglang.

Untuk menuju kesana, dari Kota Pandeglang kami melalui jalan alternatif Mandalawangi-Jiput ke Carita hingga tiba di jalan Anyer-Labuan. Karena ini musim libur lebaran, hampir sepanjang perjalanan kami menemui kemacetan. Tiba di Pasir Putih kami berbelok masuk menyusuri jalan selebar 2 meter dari beton sejauh 1 kilometer, lalu disusul 2 kilometer jalan berbatu. Di pos pemberhentian terakhir, kami harus memarkirkan kendaraan yang kami bawa.

Selanjutnya jalan kecil dengan bebatuan dan tanah lembab harus kita lalui dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan asri yang menyejukkan mata. Pepohonan besar dan kecil menemani kami menyusuri punggung bukit kawasan hutan wisata ini. Suara burung dan satwa lain, gemericik air sungai jauh di bawah lembah sepanjang jalan setapak juga turut mengiringi. Setelah berjalan kaki sekitar 2 km, kami akhirnya tiba di tempat tujuan: Curug Gendang.
Curug tampak bawah. (sumber foto: google.com)
Selepas shalat ashar dan melakukan sedikit ritual sebelum berenang, kami meloncat satu-persatu dari ketinggian 7 meter menuju kolam di bawah air terjun. Sekitar satu jam lebih kami habiskan menikmati sejuknya air dari hutan hujan ini. Berenang, berendam, bermain air, berfoto, bercengkrama sambil sesekali membercandai teman yang tak berani meloncat. :p

Kami memutuskan untuk meninggalkan Curug Gendang saat senja mulai menyapa. Curug sudah sepi, tinggal kami dan beberapa pemuda yang sepertinya hendak menginap karena mereka membawa tenda.

Tak jauh dari Curug Gendang ada penginapan yang cukup terjangkau baik harga maupun lokasi. Pondok Pasanggrahan namanya. Kami melepas lelah setelah dan bergelut dengan kemacetan sepanjang perjalanan tadi di penginapan yang dikelola Perum Perhutani ini. Pondok ini menyajikan pemandangan yang cukup mempesona. Karena letaknya yang berada di atas bukit, dari depan pondok kami dapat menyaksikan Pantai Carita yang ramai oleh pengunjung. Saat paginya, udara sejuk khas hutan hujan menjadi bonus menikmati pemandangan ini.

Setelah menjelajah Curug Gendang dan menginap di Pondok Pasanggrahan, kami menyusuri Pantai Carita, lalu makan siang di Saung Mang Sam’un di Panimbang, berenang sejenak di pantai yang relatif sepi, lalu pulang melewati jalur Panimbang-Sobang-Angsana-Munjul-Picung-Saketi-Cikadueun-Pandeglang, setelah sebelumnya bersilaturahmi ke salah seorang teman kami di Picung yang tak sempat ikut touring tahunan ini.

Senin, 28 Juli 2014

Selamat Jalan atau Selamat Tinggalkah?

Kita berseru kata-kata cinta, tanpa pernah berbuat apa-apa. Hanya diucap tanpa diserap. Hanya dijalani tanpa isi. Lalu setelah kita berada di penghujung pertemuan, betapa kita menyesal karena pernah tak mengacuhkan. Benarlah kata sebuah syair lagu: kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya amatlah berharga. Dan inilah kita, merindui dia yang telah pergi, padahal saat hadir tak pernah padanya benar-benar mencintai.

Padanyalah seharusnya kita titipkan harapan perubahan. Padanya pula semestinya kita serahkan jiwa-jiwa kotor untuk dibersihkan. Kita pasrahkan diri untuk dididik padanya selama sebulan: Sekolah Ramadhan.

Lebaran bisa untuk semua, tapi Idul Fitri tidak. Lebaran bisa untuk anak-anak, dewasa, tua, renta, yang berpuasa atau tidak; sama saja. Mereka berbahagia, berpesta, bersuka cita. Tak lebih. Tapi Idul Fitri hanya untuk beberapa dari kita. Bagi mereka yang kita pun tak pernah tahu siapa-siapa saja. Bukankah puasa hanya urusan hamba dan Allah saja? Hanya berdua.

Di Idul Fitri kita bergembira sekaligus berduka. Menangis setelah sebelumnya tertawa. Merasa terbersihkan walau harus merasa ditinggalkan. Hingga kita kebingungan, selamat jalan atau selamat tinggalkah yang mesti kita ucapkan?

Sabtu, 19 Juli 2014

Terima Kasih

Kata ‘selamat’ menjadi begitu berkesan saat disampaikan pada waktu yang tepat. Ucapan terima kasih ini, walau disampaikan terlambat, semoga tak mengurangi rasa yang tak sempat terungkap.

Tak ada pembalasan kata ‘selamat’ selain ungkapan terima kasih. Itu yang kita tahu selama ini. Tapi di atas semua itu, ada yang lebih indah dari sekedar kata: doa. Dengannya, sejauh apapun jarak ia tak dapat menjadi alasan untuk tak dapat datang.

Maka selain terima kasih juga do’a, apalagikah yang harus kuungkapkan untuk membayar ini semua?


Tangerang Selatan, 08 Ramadhan 1435 H.

Minggu, 15 Juni 2014

Perempuan Setegar Batu Karang

Sungguh, aku tak pernah bisa membayangkan berada pada posisimu sekarang. Barangkali sulit rasanya menerima ditinggalkan seseorang yang pernah menjanjikan sebuah kepastian. Aku laki-laki. Sedangkan kau perempuan, yang selalu memakai rasa dalam setiap peristiwa. Mudah saja bagiku, aku hanya perlu logika. Tapi sekali lagi kau perempuan, makhluk pengguna sejuta rasa.

Ditinggalkan begitu saja tanpa maaf dan pamit, oleh seseorang yang pernah mendapat tempat istimewa mungkin amatlah sakit. Aku lebih memilih ditinggalkan seorang ayah, atau ditinggalkan kekasih yang tak pernah menjanjikan apa-apa daripada harus menjadi dirimu saat ini. Ah, lagi-lagi membayangkan berada di keadaanmu bagiku amatlah sulit.

Maafkan aku telah lancang membahas ini. Maafkan. Tapi aku yakin dan percaya, seiring berjalannya waktu, semua akan berlalu. Aku, dan mungkin kau juga, telah diajari dan belajar bahwa waktu selalu menjadi pengobat segala. Segala rasa: sakit, perih, pedih, pilu, duka, suka bahkan bahagia pun kadang hilang bersama waktu.

Namun jika kau masih ragu, mungkin aku bisa menjadi obat sekaligus penawar bagimu?
Caranya? Mari kita duduk dan diskusikan bersama.

Sabtu, 14 Juni 2014

Ayah

Ingin kuceritakan sebuah kisah padamu, Kawan. Kisah tentang seorang pemuda yang tak pernah menyaksikan raut wajah seorang ayah.

Tersebutlah seorang pemuda yang tengah beranjak dewasa. Ia sedang menempuh pendidikannya di sebuah SMA ternama di kotanya. Ia yang semenjak kecil tak pernah merasakan kasih sayang dan tak mengenal seorang ayah, tiba-tiba merindukannya.

Satu waktu ia temukan sosok ayah pada beberapa orang di sekolahnya. Ia disapa, diayomi, didorong, dinasihati, didukung, diperhatikan. Saat itu, ia merasa telah mendapatkan hal yang telah lama ia idamkan: kasih sayang seorang ayah. Lalu kemudian mengapa harus terpikirkan untuk mencari dan menemui? Hanyakah karena ingin melihat sosok seorang ayah yang terceritakan mirip dengannya? Kata orang-orang yang pernah mengenal ayahnya, ia dan sang Ayah bagai pinang dibelah dua. Pusing bukan kepalang si pemuda dibuatnya dengan cerita tersebut. Dan karena ia tak pernah punya selembar fotopun di rumahnya, ia makin penasaran saja.

Pada masa itu ia ragu, hendak mencintai atau membenci. Hendak menghujat atau memuji. Hingga pada akhirnya saat usianya menginjak kepala dua ia mengumpulkan nyali untuk menemui sang Ayah. Ah, perkara yang tak mudah bukan menemui orang yang telah berani meninggalkan diri dan ibumu sendirian di awal-awal kehidupan?

Akhirnya ia bertemu sosok yang selama ini diceritakan orang-orang yang telah mengenalnya. Sosok yang sedikit ia tahu dari ibunya.

Ini perkara perang yang seperti dalam kisah imajinasi. Sisi baik dan jahat diri berebut. Satu sama lain saling meyakinkan. Saling menangkis dan menjatuhkan. Dan membuang si pemuda pada jurang kebimbangan. Apa yang musti dilakukan.

Hingga ia tiba pada akhir perseteruan, lalu sejenak berfikir dan merenung, “Bagaimanapun juga ia adalah ayahku. Yang darahnya telah mengalir dalam tubuhku...”

“... dengan kepergiannya dulu, ia telah membuatmu mandiri. Jauh lebih mandiri dari orang-orang sebayamu.” Ada yang menambahkan kalimat miliknya. Entah dari ruang hati sebelah mana suara itu datang.

Pertemuan singkat sekali. Teramat singkat bahkan. Tak ada tegur sapa berarti. Jikapun ada, hanya basa-basi. Dalam diam mereka hanya ada hening. Tak lebih.

Ia pulang dengan perasaan hampa yang tak pernah bisa ia definisikan. Antara rasa bahagia telah menemukan seorang ayah yang begitu lama didambakan, dan rasa bersalah telah memperlakukan ia tak selayaknya ayah sendiri -untuk tidak mengatakan mengacuhkannya.

Ia pergi membawa masa lalu yang ia telah ia datangi. Lalu kemudian meninggalkannya kembali karena telah ada yang ia bawa: kenangan kepedihan.

Sebelum pergi, ia mengucapkan terima kasih pada sang Ayah karena telah memilih ibunya sebagai istri. Dan semenjak itu si pemuda tak pernah lagi menemui ayahnya.

Tertanda,

Si pemuda, yang tiba-tiba merindukan ayahnya sesaat setelah merindui ibunya.

Selasa, 03 Juni 2014

Sederhana

Saat teman-temanmu berkendara motor dan mobil pribadi, kau sangat menyukai naik kendaraan umum dan kereta api. Bagimu tak berkendara pribadi bukan hanya perkara filosofis, tapi memang sudah menjadi gaya hidup yang telah mengakar kuat. Lihat, bagaimana dalam hal ini kau telah membuatku terpikat.

Saat orang-orang tampil dengan berbagai gaya busana, kau tetap memakai kerudungmu yang rapi lagi sederhana. Dipadupadankan dengan penampilan yang seringkali membuatku tercengang. Padahal biasa saja menurut orang-orang. Tak peduli kau berkali-kali memakai jenis busana yang itu-itu saja dengan warna kerudung yang selalu sama: hijau tosca, biru langit, dan jingga. Bagiku, justru semua itu tampak istimewa.

Saat wanita lain membeli berbagai kosmetik untuk mempercantik diri, kau lebih memilih membelanjakan hartamu pada buku-buku yang kau sukai, pada perjalanan ke tempat-tempat yang ingin kau kunjungi. Juga saat mereka menghabiskan uangnya berbelanja di butik-butik mewah, kau justru menggunakannya untuk beperjalanan ke negeri antah berantah.

Aku menemukan kata sederhana pada setiap langkahmu, cara berjalanmu, sikapmu, tingkah lakumu, cara bicaramu, cara dudukmu, busanamu, kerudungmu, hingga senyummu. Aku bahkan harus mencari kata lain yang lebih sederhana dari kata sederhana.

Kata sederhana telah melekat pada namamu. Dirimu adalah sederhana itu sendiri. Maka jangan heran jika definisi kata sederhana dalam kamusku juga amatlah sederhana: kamu.

Lalu, harus kupersembahkankah padamu cinta yang sederhana pula?
Semoga jawaban kita sama.

Minggu, 01 Juni 2014

Kampanye Bulan Juni

Rasa-rasanya bulan Juni akan menjadi bulan paling ‘panas’ tahun ini. Seperti yang kita tahu, tak lama lagi kita akan punya pemimpin baru. Dan dua pertiga dari Juni dipilih untuk digunakan kampanye secara resmi. Aku sebenarnya heran, kenapa harus Juni?

Maka di bulan ini, mungkin bukan hujan yang bijak lagi arif seperti kata Sapardi yang akan kita temui. Akan kita temukan banyaknya caci, maki dan benci di sana-sini. Saling serang antar pihak menjadi biasa. Kata-kata ejekan menjadi makanan sehari-hari di dunia maya.

Mungkin bukan pula hujan yang sabar yang akan datang. Tapi berbagai macam serangan, ejekan, dan aib dari para calon pemimpin kita yang akan diumbar. Alih-alih menampakkan keunggulan, tak lengkap rasanya bagi kita tanpa memperlihatkan kebobrokan lawan. Cir..!

Kampanye pemilu kali ini tak seperti kampanye 5 atau bahkan 10 tahun lalu. Ketika itu media sosial belum menjamur dan menjadi dunia kedua bagi masyarakat kita. Kali ini ia menjelma menjadi wadah yang dirasa mudah untuk berkampanye, untuk bersuara, bahkan tanpa etika. Bulan-bulan sebelumnya sudah terlalu banyak jenis kampanye kita saksikan. Maka bisa dipastikan pada bulan ini akan lebih banyak lagi bemacam cara kampanye akan kita temukan.

Jika di antara kita merasa jengah, coba ke media sosial sebelah. Cari kicauan bertagarkan #kampanyepositifplease, #kampanyeadem, #kampanyepostif atau sejenisnya. Semoga ia bisa menjadi obat dari kejengahan.

Atau coba sesekali tinggalkan dunia maya, pergi ke dunia nyata lalu pergi ke desa-desa. Di sana politik menjadi biasa saja. Tak mewah, tak megah. Tak ada perkelahian dan caci maki hanya karena berbeda pilihan.

Jika masih tetap jengah bahkan makin muak, mohon sabar saja. Setelah 9 Juli perdebatan dan pekelahian ini akan segera diakhiri. Semua ini akan berakhir. Sabar saja.

Tiba-tiba aku berharap pada Tuhan semoga sepanjang bulan ini turun hujan. Hujan sebijak, searif dan sesabar kata Sapardi. Jikapun hujan itu tak turun ke bumi, semoga ia turun ke hati setiap orang di negeri ini.

Senin, 26 Mei 2014

Kembali pada Masa Lalu?

Sabtu, 24 Mei 2014, jelang siang, saya seolah dibawa oleh benda bernama waktu pada satu masa, beberapa lebih tepatnya. Dibawanya saya melalui lorong miliknya. Tak sampai selesai satu masa, sudah ditariknya saya ke masa berikutnya. Begitu seterusnya hingga kembali pada masa dimana saya berdiri saat ini. Seolah saya diajak jalan-jalan oleh waktu pada timeline hidup saya sendiri.

Timeline itu bermula pada tahun saat saya, seorang anak pelosok yang desanya berbatasan dengan desa milik salah satu suku terpelosok di Indonesia, berpindah Sekolah Dasar. Tak pernah saya menyangka akan bisa bersekolah ke kota. Ke sebenar-benarnya kota sih tidak, ke tempat yang lebih kota mungkin iya. Saat itu saya hanya ikut apa yang dikatakan orang tua. Sekolah ya sekolah. Jika tidak, ya tak apa.

Lalu timeline itu tiba-tiba beranjak saja pada masa tiga tahun di Sekolah Menengah Pertama. Tiga tahun di sana saya lewati dengan cukup meninggalkan banyak kesan. Menjadi siswa yang tidak bandel-bandel amat, bahkan sebaliknya. Begitu katanya. Timeline masa SMP itu sepertinya bergambar dan bervideo. Diputarkannya video itu di depan saya. Dan tentunya hanya saya yang bisa menyaksikan. Salah satu cuplikan video itu ketika saya berderai air mata memberikan sambutan pada acara perpisahan.

Pada masa Sekolah Menengah Atas, timeline itu lebih terperinci. Entah mengapa. Mungkin karena kenangan di sana yang teramat dalam sekali. Satu persatu potongan gambar dan video selama disana kembali diputar dan diperlihatkan. Banyak, banyak sekali. Dan sekali lagi, hanya saya yang bisa melihat dan menyaksikan. Salah satunya lagi-lagi ketika perpisahan, saat saya dan seorang rekan berpelukan dengan tergugu penuh haru kala itu. Sedemikian pedihnyakah perpisahan?

Dari cuplikan-cuplikan video masa SMA itu saya merasa, mungkin saya tak kan pernah merasakan bagaimana rasanya memakai seragam putih abu-abu jika tidak berada di sana. Menjadi bagian dari sekolah di bawah kaki Gunung Karang kemudian menjadi salah satu kesyukuran terbesar saya.

Di masa SMA itu lalu saya jatuh cinta pada sebuah nama: Cahaya Madani. Saya begitu cinta pada segala hal yang ada di Cahaya Madani: pada udara paginya, suasana malamnya, langit dan bintang-bintangnya, para penghuninya, pada podiumnya, jalan aspal dan setapaknya, masjidnya, asramanya, perpustakaannya, tiap bangunannya, bahkan pada rumput dan ilalangnya. Saya sempat heran mengapa bisa terjadi. Tapi saya sadar, kadang cinta itu memang tak butuh definisi.

Masa tiga tahun disana kemudian menjadi masa yang paling berkesan dan paling indah dalam hidup. Bahkan saya masih sering terbayang masa-masa itu. Mungkin ini definisi ‘gagal move on’ bagi saya. Hha..

Cukup sulit bagi saya untuk melepaskan bayang-bayang pada kenangan selama di sana. Hingga akhirnya saya tahu bahwa untuk melepaskan diri dari belenggu masa lalu hanya ada dua cara: meninggalkannya jauh-jauh dan tak pernah mengingatnya sama sekali hingga hilang bersama waktu, atau kembali padanya dengan menjadi bukan diri saya pada masa itu.

Manakah yang akan kemudian akhirnya saya pilih? Rasa-rasanya saya harus menanyakannya dulu pada Sang Pemilik waktu.

Selasa, 13 Mei 2014

Seorang Tamu

Tidakkah kau sebelumnya memberitahuku perihal kedatanganmu? Meminta izin masuk seperti layaknya seorang tamu. Tidak seperti ini: tiba-tiba berdiri di depan pintu kamar. Hingga membuatku melemparkan pertanyaan, kau ini utusan Tuhan untuk menguji kesetiaan atau memang dikirimkan-Nya untuk menggantikan? Sejujurnya aku heran. Atas pertanyaan itu kau memberikan jawaban sebuah senyuman. Dan aku makin heran.

Lalu sebenarnya kau ini siapa? Tiba-tiba datang lalu membuat tata letak rumahku berantakan. Kau tahu? Kedatanganmu membuat kamarku terguncang. Entahlah! Lihat, aku makin keheranan bukan?

Maukah kau bertanggung jawab pada semua ini? Membantuku merapikan kembali tata letak rumahku yang telah kau kacaukan.

Atau begini saja, aku tawarkan padamu sebuah pilihan: menetap di sini bersamaku, atau kembali ke rumahmu layaknya tamu yang datang lalu pergi begitu saja. Karena mungkin kau telah punya rumah untuk ditinggali. Hanya ada dua pilihan: hendak tinggal, atau meninggalkan.

Aku butuh jawaban. Aku pinta sekarang.

Pertemuan kita mungkin memang sudah takdir Tuhan, tapi iyakah jatuh hati padamu juga sebuah suratan? Itu yang semenjak tadi aku pertanyakan.


Untukmu, yang datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Kamis, 08 Mei 2014

Bukan Tak Mungkin

Jikapun aku memanjatkan doa untukmu setiap malam, bukan tak mungkin ada yang berdoa untukmu setiap waktu. Dan di saat bersamaan, ada yang memanjatkan doa untukku lebih sering dari doaku padamu.

Jikapun aku menaruh perhatian padamu diam-diam, bukan tak mungkin ada yang memperhatikanmu lebih rajin dariku. Juga di saat bersamaan, ada yang memperhatikanku  tanpa pernah aku tahu.

Jikapun aku berkeinginan kuat menjadikanmu pendamping hidup, bukan tak mungkin jika besok Tuhan membolak-balikkan hati dan mengubah segalanya hingga sesuatu yang tak pernah terpikirkan pun terjadi.

Dan jikapun aku memintamu pada Tuhan tanpa malu-malu, bukan tak mungkin ada pula yang memintamu pada Tuhan sembari memintamu pada ayahmu terang-terangan. Pada posisi ini aku telah kalah telak bukan?

Maka pada akhirnya aku harus siap ketika disuguhkan sebuah kenyataan bahwa ternyata ada yang lebih sering mendoakanmu daripadaku.

Dan pada akhirnya pula aku harus mempercayai  kata-kata, “jika pada akhirnya kamu tidak bersama orang yang kau sering sebut dalam doamu, mungkin kamu akan dibersamakan dengan orang yang diam-diam sering menyebut namamu dalam doanya.”

Ya, mungkin ada doa yang lebih kuat hingga Tuhan lebih mengabulkannya.

Selasa, 06 Mei 2014

Upacara Seba: Sebuah Pesan

Satu-satunya ritual adat budaya Baduy yang melibatkan orang-orang di luar suku mereka, baru saja usai: upacara Seba. Setiap tahunnya selalu ada saja yang berbeda dan menarik dari upacara yang merupakan tradisi tahunan suku Baduy ini. Pun begitu dengan tahun ini saat saya kembali berkesempatan mengikutinya. Maka izinkan saya membagikan hal yang kiranya mesti diketahui semua.

Tulisan ini bukan tentang perbedaan sebutan Bapa Gede yang kini diganti Ibu Gede karena terjadi pergantian kepemimpinan di Kabupaten Lebak pada upacara Seba kemarin. Bukan pula tentang panggilan Ibu Gede yang hilang di pendopo Gubernur dan digantikan dengan panggilan Bapak Wakil Gubernur -bukan Bapa Gede, karena Ibu Gede sedang tersandung masalah tapi tetap ingin bertahan dijalannya. Juga bukan tentang keikutsertaan saya yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang biasanya bersepeda namun tahun ini ikut berjalan kaki dari Rangkas ke Serang -walau tak sepenuhnya.

Selain ingin menyampaikan dan mengingatkan kembali apa itu upacara Seba  melalui catatan saya 2 tahun lalu disini, dan disini, ada hal lain yang ingin saya sampaikan selain itu semua. Ini tentang pesan yang disampaikan langsung ataupun tak langsung dari apa yang saya lihat, dengar, dan alami saat Seba kemarin.

Bahwa masyarakat Baduy tak pernah tahu apa itu global warming ataupun pemanasan global, tapi rasa-rasanya mereka adalah masyarakat yang paling peduli terhadap hutan dan lingkungan daripada kita.

Masyarakat Baduy juga tak pernah belajar ilmu ekonomi, bahkan sekolahpun mereka tidak, tapi mereka paham dampak pariwisata terhadap ekonomi Banten hingga perkampungan mereka direlakan menjadi tujuan wisata budaya. Dengan risiko mereka akan ‘terkontaminasi’ budaya yang terbawa orang-orang dari luar Baduy. Dan mereka pun sebisa mungkin mereka tidak membatasi jumlah wisatawan yang datang berkunjung kesana, yang jumlahnya kadang bisa membludak saat masa liburan sekolah.

Namun dibalik itu ada keluhan orang-orang Baduy yang dikunjungi masyarakat luar sebagai wisatawan, yang tidak bisa menghormati dan mematuhi budaya dan adat istiadat mereka.

Maka terceritakanlah tentang tenggelamnya pemuda di sungai terlarang di Baduy hingga meninggal, tentang perilaku orang-orang kota yang tetap membawa kebiasaan hura-huranya ke perkampungan suku Baduy, juga cerita ribut-ribut dan obrolan ngalor-ngidul mereka hingga tengah malam disana. Padahal di perkampungan suku Baduy, selepas matahari tenggelam pun sudah hampir tak ada kehidupan. Juga tentang lingkungan hutan dan huma mereka yang tak terjaga dari tangan-tangan jahil di antara kita.

Kata mereka, berapapun banyaknya, sepuluh atau dua puluh bahkan ratusan orang berombongan datang kesana, syaratnya hanya satu: jangan membuat kewalahan. Kewalahan dalam arti kehidupan mereka tak terusik dan terganggu. Caranya adalah dengan mengikuti adat istiadat milik mereka. Toh cuma satu atau dua hari saja kan?

Coba perhatikan di upacara Seba kemarin, saat acara tertunda setengah sampai satu jam di pendopo bersama Bupati dan Gubernur, tak sedikitpun terdengar suara di antara mereka yang telah berkumpul di pendopo. Sunyi senyap. Lihat pula mereka yang mengumpulkan bungkus nasi setelah mereka makan. Bersih tak berserakan. Lihat juga mereka yang berjumlah 17 orang (suku Baduy Dalam) yang berjalan kaki dari Ciboleger hingga ke Serang sejauh sekitar 90 kilometer, mereka selalu beriringan dan selalu berada di sebelah kiri bahu jalan raya.


Mereka begitu menghormati kita bukan saat ada di wilayah kita?
Maka apakah kita tak juga menghormati mereka barang sehari saja saat berkunjung kesana?

*Foto-foto lebih lengkap Seba tahun ini ada disini

Rabu, 30 April 2014

Kata-Kata Hujan


Selain melodi dan aroma, rasa-rasanya hujan pun punya kata-kata. Sesekali coba baca setiap deret aksara yang ditulisnya. Juga dengar setiap rima yang ia cipta. Jika kau telisik lebih dalam lagi pada setiap bulir air hujan yang datang, akan kau temukan ragam puisi, prosa atau bahkan sekedar kata ‘hai’. Apalagi jika kau berani merasai setiap tempias hujan, kau ‘kan dapati dan kenali jejak aksara dari setiap kata-kata hujan yang merangkai sebuah cerita.

Dengan kata-kata itu ia mengajak kita berbicara. Dengan aksara yang dilukis di langit gelap ia menyampaikan sesuatu pada kita. Bisa jadi itu bukan hanya kata-kata milik hujan. Milik awan yang ingin mencumbui bumi, bisa. Milik Tuhan yang menjawab do’a makhluknya –atau mungkin mengirim murka pada manusia, mungkin juga. Atau bisa pula itu milik seseorang yang mengirimkan salam pada yang dikaguminya. Karena aku percaya, setiap dari kita dapat berkirim pesan dan salam satu sama lain melalui hujan, lewat kata-katanya. Tentu yang paham hanya si pengirim dan si penerima. Kita yang tuli dan buta hanya mengenali lewat suara berisik di atas genteng dan percik air yang mengotori ubin depan rumah.

Dalam seperjuta bulir hujan, ada ribuan salam milik para pecinta kenangan, pengharap masa depan, dan penikmat kesendirian yang dikirimkan. Merekalah –diluar para pecinta hujan tentunya, orang-orang yang punya banyak kontribusi akan kata-kata hujan yang seringkali sulit terbaca. Hanya mereka yang dengan mudahnya membaca dan mengenali. Lagipula, kadang si penerima tak selalu dalam bentuk materi.

Diiringi partitur hujan dan aroma khas pertichor –yang juga tak dapat tercium oleh semua, pesan dan salam itu dikirim dengan perantara kata-kata milik hujan. Ini semacam pinjam-meminjam kata-kata antara hujan dan manusia. Salam yang sama dapat digunakan untuk orang yang berbeda, namun tentu aroma dan melodinya tak sama. Maka setiap dari kita dapat mendengar kata-kata hujan yang berbeda. Saling kirim-terima pesan dan salam terjadi selama hujan turun. Setiap kata-kata akan terdengar khas dan berbeda pada setiap telinga. Tergantung pada kombinasi kata, melodi dan aroma. Maka sesungguhnya hujan itu sendiri adalah misteri dan rahasia bagi setiap diri kita.

Setelah hujan reda, hanya residu yang tertinggal. Pesan dan salam tak tersampaikan akan kita lihat bertebaran di atas genangan. Bercampur dengan air coklat pekat lalu terbawa ke lautan. Lalu pada saatnya nanti ia akan kembali ke langit membawa pesan-pesan yang sempat tak terkirimkan, lalu mengubahnya menjadi hujan hingga kata-kata itu sampai pada tujuan. Kiraku, siklusnya seperti itu.

Lalu, kamu, tak mendengarkah apa yang disampaikan hujan di penghujung senja ini? Jika iya, mungkin itu salam dariku yang dibawanya untukmu. Jika tidak –atau belum, mohon tunggu hingga salam itu tiba di hujan berikutnya.

Tangerang Selatan, pada sebuah senja di medio April dua ribu empat belas

Senin, 28 April 2014

Mimpi Masa Kecil

“Bukan kota yang padat dan gemerlap yang membuat negeri kita kukuh, tetapi desa-desa yang maju dan mandirilah yang akan membuat negeri kita kuat dan tangguh.” - Singgih S. Kartono

Ketidaksengajaan mengantarkan saya pada sebuah foto terkait sebuah kegiatan bernama 1st International Conference of Village Revitalition beberapa waktu lalu. Dengan digerakkan rasa penasaran, saya putuskan untuk browsing sana-sini, intip ini itu, add orang-orang untuk mengetahui kegiatan tersebut lebih detail lagi, hingga akhirnya saya berhasil dibuat berdecak kagum olehnya.

Bahwa kegiatan ini merupakan agenda dua tahunan milik International Conference of Design for Sustainability dari Jepang. Untuk pertama kalinya ia diselenggarakan di sebuah desa bernama Kandangan di daerah Temanggung, Jawa Tengah akhir Maret lalu. Dan dua tahun mendatang akan kembali diselenggarakan di Kyoto, Jepang.

Sesuai dengan namanya, kegiatan yang mengambil tema ‘It’s Time Back to Village’ ini terdiri dari berbagai diskusi, workshop, seminar, presentasi makalah, mengenai revitalisasi desa selama beberapa hari. Para pendatang, terutama orang-orang kota diajak untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk mengembangkan desa sesuai potensi besar yang dimiliki. Jadi pendatang atau pengunjung tidak hanya ‘menikmati’ desa, namun ada kontribusi yang diberikan pada apa yang mereka kunjungi. Kurang lebih begitulah konsepnya. Oiya, dalam kegiatan ini juga ada bike tour dengan sepeda bambu dan menginap di homestay unik di desa Kandangan.

Dengan konsep homestay sederhana yang berada tepat di pinggir sawah, jalanan menuju homestay melalui pematang, jalanan setapak yang rapi dengan tetap mempertahankan kesan alami, rumah pohon mungil di kebun kopi, bersepeda keliling desa dengan sepeda yang frame-nya dari bambu -yang kemudian saya kenal dengan nama Spedagi, berhasil membuat saya terkagum-kagum.


Sebuah acara internasional namun diselenggarakan di sebuah desa adalah hal baru bagi saya. Desa ini pastilah telah memenuhi syarat dan tentunya segala hal telah dipersiapkannya. Karena tidak mudah menyelenggarakan konferensi tingkat internasional, apalagi di desa.

Adalah Singgih Susilo Kartono yang menjadi pelopor pengembangan desa ini. Ia benar-benar jeli melihat potensi desa kelahirannya. Dengan ilmu yang dimilikinya, kayu yang melimpah ia sulap menjadi radio kayu Magno yang mendunia. Kebiasaannya bersepeda dipadukan dengan banyaknya bambu di desa, berhasil membuat karya terbarunya: Spedagi. Sepeda dengan frame terbuat dari bambu ini baru dipasarkan awal tahun ini.

Dengan produknya yang mendunia, ia memiliki kolega-kolega di berbagai negara. Dengan itu pula ia mendapat dukungan untuk menyelenggarakan kegiatan semacam ini di desa. Dengan Magno dan Spedagi, ia memperkenalkan bahwa desa adalah tempat yang aman dan juga nyaman untuk menyelenggarakan konferensi internasional. Bahkan lebih dari itu.

Semangat dan tekadnya untuk mengembangkan desa sesuai potensi besarnya -dengan melibatkan warga berperan aktif di dalamnya, saya rasa telah berhasil ia wujudkan. Salah satu indikator tentu atas apresiasi yang positif dari kegiatan ini. Juga tentunya dari Magno dan Spedagi yang tak ia bangun sendiri.

Segala yang saya temukan terkait konferensi, Kandangan, Spedagi, dan Pak Singgih, seolah telah membangunkan mimpi-mimpi masa kecil saya dulu. Dan dari sana pula semangat untuk membangun tempat kelahiran kembali menggelora. Jadi, fix-lah ini mah harus sama orang Banten. (?)

*Foto-foto dalam tulisan ini diambil oleh para peserta ICVR 2014

Senin, 14 April 2014

Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri

Puisi membuatku hidup abadi. Bersamanya, aku, juga dirimu takkan pernah mati. Kita ‘kan selamanya hadir dalam satu puisi. Setidaknya, untuk seribu tahun lagi. Jika pun satu masa saat ragaku terkungkung dalam himpitan gelap gulita telah tiba, takkan kubiarkan dengannya aku tak dapat berkirim kata merangkai doa. Dalam setiap baitnya, akan kutulis nama indahmu. Kuukir doa terbaikku untukmu. Kurangkaikan kata terindah tentangmu. Didalamnya kita hanya berdua: aku, kamu.

Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati

Karena dalam setiap baitnya, puisi selalu memiliki jiwa. Dengan kata, kita berbicara tentang makna. Tanpa kata kita ‘kan kaku, ragu, bahkan beku. Jika pun dengannya kita tetap kaku, ragu, bahkan beku, ia ‘kan tetap indah dengan cara yang ia punya. Dengan kata pula kita menyampaikan rindu penuh pilu. Sembilu karena diantara kita tak ada ucap. Hingga akhirnya, kata-lah, yang dengannya ia dapat terungkap. 

Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari

Adalah kata, benda budaya yang tak pernah bisa kita pahami maknanya. Hanya terka yang kita punya terhadapnya. Di dalamnya kita temukan rangkaian aksara miliki jiwa. Aksara itu menjadi terjemah sebuah kosakata bernama cinta. Cinta penuh terka yang berjiwa. Selayaknya jiwa, ia sulit dipahami bahkan oleh pemiliknya sendiri. Namun jika pada satu saat nanti tiba masa tentang rahasia aksara itu, ‘kan kusampaikan padamu. Aku janji.

*Sebuah interpretasi atas sajak Sapardi Djoko Damono, Pada Suatu Hari Nanti (1991)

Senin, 31 Maret 2014

Stimulasi Dunia Pendidikan Indonesia

Ada tiga penyakit di masyarakat yang karenanya bangsa mana pun dan dimana pun tidak akan mampu bersaing. Ketiga penyakit itu adalah kemisikinan, ketidaktahuan dan keterbelakangan. Ibarat tubuh, agar tahan terhadap berbagai macam penyakit, haruslah daya imunitasnya ditingkatkan, satu diantaranya adalah melalui vaksinasi. Nah, pendidikan merupakan salah satu bentuk ‘vaksin’ agar terhindar dari tiga penyakit tersebut. Selain sebagai ‘vaksin’, pendidikan juga merupakan elevator sosial untuk  dapat meningkatkan status sosial. Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh dalam sambutannya ketika peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dengan tema “Meningkatkan Kualitas dan Akses Berkeadilan” 2 Mei 2013 yang lalu.

Banyak hal yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Yang terbaru adalah implementasi kurikulum 2013 yang –walaupun banyak menimbulkan pro dan kontra - tahun ajaran ini mulai diterapkan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah secara bertahap dan terbatas. Bertahap artinya tidak semua kelas, tetapi hanya kelas I dan kelas IV untuk jejang SD, kelas VII untuk jejang SMP, dan kelas X untuk jenjang SMA dan SMK. Terbatas artinya jumlah sekolah yang melaksanakannya diseusaikan dengan tingkat kesiapan sekolah. Baik secara teknis dan nonteknis.

Berbagai program dunia pendidikan seolah dipercepat demi mengejar semacam target pada tahun 2045, saat Indonesia merayakan ulang tahunnya yang ke-100. Saat generasi bangsa telah menjadi generasi emas dan mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang unggul. Itulah tekad yang jauh-jauh hari sudah dicanangkan. Optimisme itu muncul karena melihat bangsa ini memiliki anugerah yang luar biasa yang disebut bonus demografi. Yaitu saat negara lain dibuat khawatir dengan banyaknya generasi tua atau nonproduktif, Indonesia justru memiliki jumlah Sumber Daya Manusi (SDM) muda yang berlimpah.

Untuk membentuk generasi emas yang diharapkan itu, mulai saat ini para calon generasi emas tersebut perlu dipersiapkan. Salah satunya adalah dengan memfasilitasi mereka dengan akses pendidikan yang mudah dijangkau. Berbagai program digalakkan pemerintah, baik dari sisi ketersedian satuan pendidikan ataupun keterjangkauan dari sisi pembiayaan. Mulai dari sertifikasi guru hingga standar UN ditingkatkan. Dari program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hingga Bidik Misi diperbanyak. Dari anggaran untuk pendidikan yang tinggi hingga pergantian kurikulum yang intensitasnya ikut-ikutan tinggi.

Sayangnya segala upaya yang dilakukan belum maksimal. Terutama di daerah-daerah tertinggal. Salah satunya di Banten yang memiliki 2 dari 113 daerah tertinggal. Kedua daerah itu adalah Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Penulis pribadi menemukan salah satu contoh kasus belum maksimalnya upaya yang dilakukan pemerintah tersebut, yaitu di Sekolah Satu Atap di Desa Cilograng, Kecamatan Cilograng, Kabupaten Lebak. Guru di Sekolah Satu Atap ini hanya berjumlah dua orang. Bapak guru dan Ibu guru. Memprihatinkan. Keduanya diberi tanggung jawab penuh untuk menjadi tenaga pendidik di daerah terpencil dengan kemampuan dan ketersediaan fasilitas seadanya. Tidak hanya bergantian dalam mengajar, dalam berlibur dan mengambil cuti pulang kampung pun mereka harus bergantian. Sekolah benar-benar tidak bisa ditinggalkan bersamaan. Hal ini berlangsung cukup lama, hingga pada akhirnya kedua guru tersebut memilih menjadi sepasang suami istri dan memutuskan menetap disana.

Kekosongan guru ini memang masalah klasik. Tidak hanya di Banten tapi hampir di seluruh Indonesia. Terutama di daerah terluar, tertinggal, terdepan. Hal ini kemudian yang memunculkan gerakan Indonesia Mengajar yang diinisiasi Anies Baswedan pada tahun 2010 yang lalu. Hingga kemudian muncul gerakan-gerakan sejenis di daerah, bahkan hingga ke kampus-kampus. Gerakan Mari Mengajar salah satunya.  Dan seperti biasa, pemerintah selalu memiliki program responsif dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Yaitu dengan munculnya Program Sarjana Mengajar di Daerah Terluar, Tertinggal, Terdepan. (SM3T) dua tahun kemudian.

Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan Indonesia Mengajar dan sejenisnya memiliki banyak dampak dan manfaat. Baik bagi para pengajarnya maupun bagi peserta didik dan sekolahnya. Bahkan bagi masyarakat sekitar. Namun harus diakui gerakan ini tidak dapat menjadi solusi masalah kekosongan guru. Dan juga tidak dapat menggantikan peran guru dalam mendidik dan mengajar. Karena pendidik dalam definisi Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi, baik itu sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya. Guru harus benar-benar memiliki kualifikasi. Ada kualitas tinggi yang harus dimiliki. Seperti di negara-negara maju, dimana guru adalah profesi yang prestisius. Gaji tinggi, kesejahteraan terjamin. Menjadi guru tidak mudah. Karena begitu banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Maka tak ayal jika guru-guru untuk pendidikan dasar banyak yang bergelar profesor. Hal ini karena pendidikan sejatinya merupakan suatu upaya mengubah pola fikir seorang manusia. Maka hendaknya pendidikan ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses perkembangan umat manusia.

Selain itu juga, pendidikan merupakan akumulasi dari proses yang berlangsung begitu lama. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengawal proses pendidikan ini. Bahkan ada yang mendefinisikan pendidikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Ia berlangsung tidak dalam batas usia tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup, sejak lahir (bahkan sejak awal hidup dalam kandungan) hingga mati. Maka tidak mudah menjadi guru dalam upaya membimbing dan mengawal peserta didik dalam menempuh proses pendidikannya. Dan tidak juga sosok guru ini tergantikan dengan mudahnya.

Namun sesungguhnya gerakan ini telah menjadi sebuah stimulus bagi pemerintah agar lebih peduli pada masalah-masalah dunia pendidikan, dalam hal ini kekosongan guru di daerah tertinggal. Salah satunya ditunjukkan dengan sikap responsif pemerintah tadi dengan program SM3T-nya. Pemerintah seolah dibukakan matanya tentang realita pendidikan di Indonesia.

Maka kedepan butuh lebih banyak stimulus-stimulus yang harus diciptakan untuk dapat merangsang pemerintah. Agar pemerintah disadarkan dan dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi dengan dunia pendidikan Indonesia. Terutama di daerah terluar, tertinggal, terdepan. Harus ada sebuah formulasi khusus agar pemerintah lebih peka dan dapat melihat dengan jelas masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini, tidak hanya dunia pendidikan. Dan mahasiswa dianggap paling mumpuni mengambil peran ini. Bukan lagi hanya dengan formulasi dalam bentuk demonstrasi yang –walaupun mahasiswa mengklaim bertujuan baik - justru menjadikan citra buruk di masyarakat.

Apapun bentuk formula itu kemudian, pada intinya setiap dari kita memang harus punya peran dalam pendidikan dinegeri ini. Baik secara langsung ataupun tidak langsung. Karena mendidik, seperti kata Anies Baswedan, adalah bukan hanya tugas guru, tugas sekolah ataupun tugas pemerintah tapi mendidik adalah tugas dan tanggung jawab setiap orang terdidik. Kesadaran ini memang harus tertanam dengan baik dalam setiap diri orang terdidik di negeri ini, salah satunya mahasiswa. Sehingga tiga penyakit yang karenanya sebuah bangsa tidak akan mampu bersaing, tidak menjangkiti bangsa ini. Atau, bangsa ini memang sudah terjangkiti dan sedang berusaha mengobatinya?

*tulisan publikasi ulang ini merupakan sanksi ketidakhadiran saya pada taklimat pertama jelang kegiatan Mari Mengajar di pedalaman Banten tahun lalu.