Jumat, 28 Februari 2014

Islamic Book Fair

“Sebaik-baik teman duduk sepanjang waktu adalah buku” - Pepatah Arab

Pameran Buku Islam terbesar di Indonesia, yang lebih dikenal dengan Islamic Book Fair, untuk tahun ini resmi dibuka siang tadi oleh salah satu tokoh nasional yang juga mantan wakil presiden Republik Indonesia, Pak Jusuf Kalla. Awalnya saya hendak menghadiri siang tadi, tapi besok saja main ke Senayannya.

Malam ini saya ingin bercerita tentang keranjingannya saya mengunjungi event tahunan semacam book fair ini. Keranjingan tidak hanya mengunjungi, namun juga merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli buku-buku yang diingini. Bahkan terkadang sampai menghabiskan pundi-pundi materi yang dimiliki. Setiap kesempatan itu ada, saya tak pernah membiarkannya begitu saja. Dan kesempatan itu hampir setiap tahun datang. Keranjingan ini dimulai sekitar 4 tahun lalu, saat dimana pertama kalinya saya berkunjung ke Islamic Book Fair saat itu.

Masih jelas dalam ingatan saya bagaimana pada hari itu, Kamis 11 Maret 2010, dengan menggunakan hak meninggalkan kelas yang diambil tanpa pikir panjang, saya meninggalkan 2 mata kuliah sisa selepas siang. Dari Serang, untuk pertama kalinya menuju Jakarta dengan berkereta, sendirian saja. Saat itu memang tak ada teman yang diajak ikut serta.

Ini akibat sebuah kabar tentang pelaksanaan Islamic Book Fair dari 5 sampai 14 Maret 2010 di Istora Senayan, Jakarta. Info dari seorang teman yang mengatakan bahwa buku-buku di sana dijual dengan harga miring, bahkan dibanting. Pun buku-buku Islamnya sangat lengkap melebihi toko buku manapun. Saya yang belum pernah mengunjungi book fair sama sekali, hanya mengiyakan tanpa mengajukan interupsi. Karena kebetulan saya mahasiswa Ekonomi Islam yang sedang mencari buku-buku pendukung kuliah yang harganya cocok dengan kantong mahasiswa. Kebetulan! Teriak saya dalam hati.

Namun sepulang dari sana, bukan hanya buku pendukung kuliah yang saya dapatkan, tapi beberapa buku Islam berhasil saya bawa pulang: Tafsir Mishbah Vol I, Perempuan, Jilbab karya Quraish Shihab, juga beberapa buku fiksi berupa novel seperti Tetralogi Laskar Pelangi saya beli. Saya agak lupa dan cukup tak menyangka dapat membeli buku sebanyak itu saat itu. Padahal untuk membeli buku Mata Kuliah saja harus iuran dengan teman semasa SMA yang kebetulan satu fakultas. Rezeki memang ada aja ya.

Maka Semenjak itu, saya tak pernah absen dalam beberapa book fair yang diselenggarakan di Jakarta di tahun-tahun berikutnya. Terlebih semenjak saat itu, saya makin akrab dengan kereta. Perjalanan Serang – Jakarta dengan berkereta menjadi biasa karena sering beperjalanan, yang tak hanya ke Jakarta.

Indonesia Book Fair, yang biasanya pertengahan tahun; Jakarta Book Fair yang tahun-tahun terakhir ini berganti nama menjadi Jak Book Fiesta, yang biasanya akhir tahun; bersama Islamic Book Fair, ketiga agenda itu saya tak pernah absen. Walau pergi kesana pernah hanya berkunjung tanpa membeli satu buku pun. Anggap aja refreshing. Lagipula tarif Serang – Palmerah 4000 rupiah saja dengan berkereta. Anggap saja pengurangan jatah makan siang.

Saat ini, begitu mudahnya menuju ke Senayan sana. Apalagi saat ini saya bekerja dan tinggal di sekitaran Bintaro, Tangerang Selatan, dekat stasiun pula. Untuk menuju ke Gelora Bung Karno hanya melewati 4 stasiun: Sudimara – Jurang Mangu – Pondok Ranji – Kebayoran – Palmerah. Turun di Palmerah tinggal jalan kaki sekitar 1 km. Bahkan bersepeda pun bisa jika ingin. Saking tidak ribet dan mudahnya, saya pernah mengikutsertakan beberapa santri pula.
Desain Poster Islamic Book Fair 2014
Saya terkagum-kagum pada ulama-ulama terdahulu yang begitu mencintai buku bahkan melebihi harta benda yang dimilikinya. Bahkan saya pernah mendengar seorang ulama yang menjual rumahnya demi untuk membeli beberapa buku dan manuskrip kuno. Maka apa yang saya belanjakan pada buku semenjak 4 tahun terkahir ini tak seberapa dibanding para ulama tersebut.

Saya adalah salah satu penikmat buku-buku cetak. Saya tidak terlalu suka pada buku elektronik atau yang biasa kita sebut e-book. Entahlah. Ada sebuah kenikmatan sendiri saat membaca buku cetak: mencium harum buku yang baru dibeli, membuka plastik yang membungkusnya, membolak-balik tiap halaman satu persatu secara perlahan, merasakan permukaan kertas yang disentuh telapak tangan, memandangi lembaran kertas yang dihiasi huruf dari tinta hitam, hingga memandangi lekat-lekat tiap huruf tersebut yang mengantarkan pada ilmu, kisah dan pengetahuan. Bagi saya semua itu adalah sebuah kenikmatan yang tak didapat pada e-book. Maka tak heran jika saya begitu keranjingan mengunjungi book fair hampir setiap tahunnya, dan menghabiskan sebagian besar –bahkan pernah semua, isi tabungan yang dimiliki untuk membeli buku. Saya keranjingan semenjak dulu ketika masih masa sangat amat menghemat karena bersaing dengan kebutuhan lain sebagai mahasiswa yang hidup dan menghidupi diri sendiri, hingga kini dengan penghasilan yang lebih dari cukup untuk menyisihkan sebagiannya untuk membeli buku-buku yang belum kesampaian dimiliki.

Maka semahal apapun, jika ingin saya miliki ia akan saya beli. Karena sebagaimana seorang teman, sebenarnya ia tak dapat dihargai. Buku terlalu amat berharga bagi saya. Ia memang pantas disebut sebaik-baiknya teman saat duduk, dimanapun. Terutama saat sedang menunggu: sesuatu ataupun seseorang.

Tapi saya yakin, setelah buku, yang akan menjadi sebaik-baik teman duduk sepanjang waktu, adalah kamu. :D

Selasa, 25 Februari 2014

Secret Admirer

Aku tak pernah tahu hingga kapan akan menghanyutkanmu dalam diam berkepanjangan. Sejatinya ada rasa ingin menyapa, tapi mulut ini masih butuh ribuan jam terbang untuk melakukannya. Maka jangan pernah beranggapan hanya karena tak menyapamu, aku tak pernah menaruh perhatian.

Aku tak pernah tahu hingga kapan akan menghindar saat kita bertatap muka tanpa sengaja. Jika pun terpaksa bertemu dan menyapa, hanya kikuk yang bersemayam di balik senyuman. Aku hanya tak ingin mendekatimu lalu kemudian mengotori niatku selama ini. Maka jangan pernah beranggapan hanya karena aku selalu menghindar, aku takut padamu atau bahkan menaruh kebencian.

Aku tak pernah tahu hingga kapan akan diam tanpa obrolan atau paling sekedar menanyakan kabar, saat kita bertemu berdua di restoran atau bangku taman. Sejujurnya aku ingin sekali melempar beberapa pertanyaan. Sayangnya jangankan pertanyaan, senyuman pun tak dapat kusunggingkan. Maka jangan pernah mengira hanya karena aku selalu dingin dan masam saat bertemu, aku tak pernah menyimpan perasaan padamu.

Aku tak pernah tahu hingga kapan akan dilanda kegugupan saat kau mengirim atau membalas pesan. Sejatinya ingin kuteruskan balas-membalas pesan singkat itu berlanjut pada obrolan dan percakapan. Tapi aku benar-benar tak sanggup. Maka jangan pernah mengira hanya karena aku tak membalas pesan aku tak peduli dan masa bodoh padamu.

Aku tak pernah tahu hingga kapan akan diam tanpa sapa dan tanya padamu perihal apa yang kau rayakan. Sekedar mengucap selamat bahkan: saat ulang tahun, lulus ujian, menang perlombaan, kelulusan, dan segala macam kegembiraan yang kau rasakan. Maka jangan pernah mengira hanya karena aku tak mengucapkan selamat padamu, aku tak pernah mendoakan.

Aku tak pernah tahu hingga kapan akan mengagumi dengan cara seperti ini. Aku hanya takut rasa kagum ini akan berubah menjadi lebih dari takaran yang telah diberikan Tuhan. Maka jangan pernah beranggapan hanya karena aku tak pernah menanyakan kabarmu setiap hari atau minggu, aku tak menaruh kekaguman.

Aku tak pernah tahu hingga kapan akan melakukan hal yang entah dibilang bodoh atau tidak ini padamu. Hanya Tuhan yang tahu. Aku yakin Dia kan menyampaikan jawaban pada kita melalui makhluknya bernama waktu.

Senin, 24 Februari 2014

Paspor Oh Paspor

Petugas  : “Untuk apa bikin paspor?”
Saya        : “Untuk pergi ke tanah suci.. dan keliling dunia.” *dengan pede-nya*
Petugas   : *nada sinis* “Kamu punya uang berapa mau keliling dunia?”
Saya  : “Yaah jalan mah ada aja, Pak..”
Petugas  : “Zaman sekarang itu kalo mau ke luar negeri aja harus punya banyak uang, apalagi ini keliling dunia.”
Saya       : “Ini si bapak kok ngomongannya gini ya, sinis amat sama saya.“ *dalam hati*
Petugas  : “Selasa besok ambil. Bawa surat rekomendasi dari agen travel yang mau dipake. Sekarang harus pake surat rekomendasi buat dapet paspor”
Saya       : “Itu aturan dari mana? UU Nomer berapa? Umrohnya juga belum tahu mau kapan. Masa udah minta surat rekomendasi travel agen.” *masih dalam hati, males nerusin* :D

Itu adalah sepenggal percakapan antara saya dan salah seorang petugas Kantor Imigrasi (Kanim) Kelas I Serang saat sesi wawancara dalam rangka pembuatan paspor  beberapa waktu lalu. Walau belum memiliki kepastian kapan akan menggunakan paspor tersebut, saya memaksakan untuk membuatnya. Sebagai salah satu cara memantaskan diri diundang ke bait-Nya. Itu tujuan utama saya. Membuat paspor memang sudah menjadi semacam to do list saat awal-awal masa kuliah dulu. Tapi selalu tertunda karena satu dan lain hal.

Setelah mendengar kabar bahwa semenjak 2013 pembuatan paspor bisa dilakukan secara online (atau semenjak dulu ya? sayanya saja yang tak tahu. hhe..), maka saya pun ingin mencobanya. Berbekal searching dan tanya sana-sini, membuat paspor online ternyata memang cepat dan cukup mudah, tak sesulit seperti orang-orang ceritakan saat membuat paspor.

Biasanya, saat membuat paspor (tanpa via online) mengharuskan kita datang ke kantor imigrasi tiga kali. Pertama kalinya untuk menyerahkan segala data yang dibutuhkan ke kantor imigrasi, mulai dari Kartu Tanda Pengenal, Akte Kelahiran/Ijazah, Kartu Keluarga, dan lain-lain. Fotocopy-an dan aslinya dibawa serta. Kedua kalinya untuk pengambilan sidik jari, foto dan wawancara. Dan terakhir kalinya, biasanya 4 hari kerja setelah foto dan wawancara, untuk mengambil paspor yang telah jadi.

Bedanya dengan pembuatan paspor secara online, kita hanya cukup datang dua kali. Karena kedatangan pertama telah digantikan oleh pendaftaran lewat dunia maya tadi. Tak ada beda dengan yang biasa, kita hanya  mengisi form yang ada di website imigrasi, meng-upload hasil scanning dokumen asli sumber data-data kita tersebut, lalu kemudian nanti akan mendapatkan undangan untuk hadir pada hari yang telah kita tentukan sendiri. Setelah mendapatkan undangan, kita diharuskan membayar ke salah satu bank yang telah bekerja sama dengan imigrasi. Jadi sekarang tidak ada ceritanya pembayaran di Kanim.
Surat 'Undangan' dari Direktorat Jenderal Imigrasi
Maka berangkatlah saya dari Tangerang menuju Serang pada hari yang ditentukan. Dengan berkereta, angkot, bus, lalu angkot, hingga akhirnya ojeg, tibalah saya di Kanim Kelas I Serang, setelah sebelumnya mampir di Bank untuk melakukan pembayaran. Berbekal dokumen-dokumen persyaratan asli dan struk dari bank tadi, saya pun mengambil nomor antrian dan dipersilahkan mengisi beberapa hal yang harus diisi: surat pernyataan bermaterai, form data diri yang tak jauh saat mengisi online, lalu kemudian menyerahkan pada penjaga loket dengan tak lupa menyertakan struk pembayaran. hingga kemudian menunggu panggilan untuk pengambilan sidik jari, foto dan wawancara. 

Seperti yang diceritkan di awal tulisan, sesi wawancara ini cukup tidak nyaman bagi saya. Entah sengaja ingin membuat saya rendah diri, atau memang telah menjadi pola pikir si bapak pewawancara bahwa  pergi ke luar negeri adalah hal yang hampir mustahil bagi kebanyakan orang. Apapun itu, semoga ia hanya memang sengaja, untuk menguji saya saja yang kemudian berhasil lulus dalam ujiannya hari itu. Maaf ya, Pa.. Sinisme bapak tidak mempan bagi saya. :D

Singkat cerita, setelah 4 hari kerja saya datang kembali ke Kanim Kelas I Serang dengan tanpa membawa surat rekomendasi dari agen travel yang diminta si bapak pewawancara sebelumnya. Karena saya yakin, tidak ada perkara mengenai itu di peraturan perundangan. Itu sih buatan si bapak aja. Maka dengan hanya membawa tanda bukti pengambilan dan struk pembayaran bank yang kemarin, akhirnya saya menerima tanda pengenal yang dapat diterima seluruh dunia itu. Alhamdulillah..