Rabu, 30 April 2014

Kata-Kata Hujan


Selain melodi dan aroma, rasa-rasanya hujan pun punya kata-kata. Sesekali coba baca setiap deret aksara yang ditulisnya. Juga dengar setiap rima yang ia cipta. Jika kau telisik lebih dalam lagi pada setiap bulir air hujan yang datang, akan kau temukan ragam puisi, prosa atau bahkan sekedar kata ‘hai’. Apalagi jika kau berani merasai setiap tempias hujan, kau ‘kan dapati dan kenali jejak aksara dari setiap kata-kata hujan yang merangkai sebuah cerita.

Dengan kata-kata itu ia mengajak kita berbicara. Dengan aksara yang dilukis di langit gelap ia menyampaikan sesuatu pada kita. Bisa jadi itu bukan hanya kata-kata milik hujan. Milik awan yang ingin mencumbui bumi, bisa. Milik Tuhan yang menjawab do’a makhluknya –atau mungkin mengirim murka pada manusia, mungkin juga. Atau bisa pula itu milik seseorang yang mengirimkan salam pada yang dikaguminya. Karena aku percaya, setiap dari kita dapat berkirim pesan dan salam satu sama lain melalui hujan, lewat kata-katanya. Tentu yang paham hanya si pengirim dan si penerima. Kita yang tuli dan buta hanya mengenali lewat suara berisik di atas genteng dan percik air yang mengotori ubin depan rumah.

Dalam seperjuta bulir hujan, ada ribuan salam milik para pecinta kenangan, pengharap masa depan, dan penikmat kesendirian yang dikirimkan. Merekalah –diluar para pecinta hujan tentunya, orang-orang yang punya banyak kontribusi akan kata-kata hujan yang seringkali sulit terbaca. Hanya mereka yang dengan mudahnya membaca dan mengenali. Lagipula, kadang si penerima tak selalu dalam bentuk materi.

Diiringi partitur hujan dan aroma khas pertichor –yang juga tak dapat tercium oleh semua, pesan dan salam itu dikirim dengan perantara kata-kata milik hujan. Ini semacam pinjam-meminjam kata-kata antara hujan dan manusia. Salam yang sama dapat digunakan untuk orang yang berbeda, namun tentu aroma dan melodinya tak sama. Maka setiap dari kita dapat mendengar kata-kata hujan yang berbeda. Saling kirim-terima pesan dan salam terjadi selama hujan turun. Setiap kata-kata akan terdengar khas dan berbeda pada setiap telinga. Tergantung pada kombinasi kata, melodi dan aroma. Maka sesungguhnya hujan itu sendiri adalah misteri dan rahasia bagi setiap diri kita.

Setelah hujan reda, hanya residu yang tertinggal. Pesan dan salam tak tersampaikan akan kita lihat bertebaran di atas genangan. Bercampur dengan air coklat pekat lalu terbawa ke lautan. Lalu pada saatnya nanti ia akan kembali ke langit membawa pesan-pesan yang sempat tak terkirimkan, lalu mengubahnya menjadi hujan hingga kata-kata itu sampai pada tujuan. Kiraku, siklusnya seperti itu.

Lalu, kamu, tak mendengarkah apa yang disampaikan hujan di penghujung senja ini? Jika iya, mungkin itu salam dariku yang dibawanya untukmu. Jika tidak –atau belum, mohon tunggu hingga salam itu tiba di hujan berikutnya.

Tangerang Selatan, pada sebuah senja di medio April dua ribu empat belas

Senin, 28 April 2014

Mimpi Masa Kecil

“Bukan kota yang padat dan gemerlap yang membuat negeri kita kukuh, tetapi desa-desa yang maju dan mandirilah yang akan membuat negeri kita kuat dan tangguh.” - Singgih S. Kartono

Ketidaksengajaan mengantarkan saya pada sebuah foto terkait sebuah kegiatan bernama 1st International Conference of Village Revitalition beberapa waktu lalu. Dengan digerakkan rasa penasaran, saya putuskan untuk browsing sana-sini, intip ini itu, add orang-orang untuk mengetahui kegiatan tersebut lebih detail lagi, hingga akhirnya saya berhasil dibuat berdecak kagum olehnya.

Bahwa kegiatan ini merupakan agenda dua tahunan milik International Conference of Design for Sustainability dari Jepang. Untuk pertama kalinya ia diselenggarakan di sebuah desa bernama Kandangan di daerah Temanggung, Jawa Tengah akhir Maret lalu. Dan dua tahun mendatang akan kembali diselenggarakan di Kyoto, Jepang.

Sesuai dengan namanya, kegiatan yang mengambil tema ‘It’s Time Back to Village’ ini terdiri dari berbagai diskusi, workshop, seminar, presentasi makalah, mengenai revitalisasi desa selama beberapa hari. Para pendatang, terutama orang-orang kota diajak untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk mengembangkan desa sesuai potensi besar yang dimiliki. Jadi pendatang atau pengunjung tidak hanya ‘menikmati’ desa, namun ada kontribusi yang diberikan pada apa yang mereka kunjungi. Kurang lebih begitulah konsepnya. Oiya, dalam kegiatan ini juga ada bike tour dengan sepeda bambu dan menginap di homestay unik di desa Kandangan.

Dengan konsep homestay sederhana yang berada tepat di pinggir sawah, jalanan menuju homestay melalui pematang, jalanan setapak yang rapi dengan tetap mempertahankan kesan alami, rumah pohon mungil di kebun kopi, bersepeda keliling desa dengan sepeda yang frame-nya dari bambu -yang kemudian saya kenal dengan nama Spedagi, berhasil membuat saya terkagum-kagum.


Sebuah acara internasional namun diselenggarakan di sebuah desa adalah hal baru bagi saya. Desa ini pastilah telah memenuhi syarat dan tentunya segala hal telah dipersiapkannya. Karena tidak mudah menyelenggarakan konferensi tingkat internasional, apalagi di desa.

Adalah Singgih Susilo Kartono yang menjadi pelopor pengembangan desa ini. Ia benar-benar jeli melihat potensi desa kelahirannya. Dengan ilmu yang dimilikinya, kayu yang melimpah ia sulap menjadi radio kayu Magno yang mendunia. Kebiasaannya bersepeda dipadukan dengan banyaknya bambu di desa, berhasil membuat karya terbarunya: Spedagi. Sepeda dengan frame terbuat dari bambu ini baru dipasarkan awal tahun ini.

Dengan produknya yang mendunia, ia memiliki kolega-kolega di berbagai negara. Dengan itu pula ia mendapat dukungan untuk menyelenggarakan kegiatan semacam ini di desa. Dengan Magno dan Spedagi, ia memperkenalkan bahwa desa adalah tempat yang aman dan juga nyaman untuk menyelenggarakan konferensi internasional. Bahkan lebih dari itu.

Semangat dan tekadnya untuk mengembangkan desa sesuai potensi besarnya -dengan melibatkan warga berperan aktif di dalamnya, saya rasa telah berhasil ia wujudkan. Salah satu indikator tentu atas apresiasi yang positif dari kegiatan ini. Juga tentunya dari Magno dan Spedagi yang tak ia bangun sendiri.

Segala yang saya temukan terkait konferensi, Kandangan, Spedagi, dan Pak Singgih, seolah telah membangunkan mimpi-mimpi masa kecil saya dulu. Dan dari sana pula semangat untuk membangun tempat kelahiran kembali menggelora. Jadi, fix-lah ini mah harus sama orang Banten. (?)

*Foto-foto dalam tulisan ini diambil oleh para peserta ICVR 2014

Senin, 14 April 2014

Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri

Puisi membuatku hidup abadi. Bersamanya, aku, juga dirimu takkan pernah mati. Kita ‘kan selamanya hadir dalam satu puisi. Setidaknya, untuk seribu tahun lagi. Jika pun satu masa saat ragaku terkungkung dalam himpitan gelap gulita telah tiba, takkan kubiarkan dengannya aku tak dapat berkirim kata merangkai doa. Dalam setiap baitnya, akan kutulis nama indahmu. Kuukir doa terbaikku untukmu. Kurangkaikan kata terindah tentangmu. Didalamnya kita hanya berdua: aku, kamu.

Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati

Karena dalam setiap baitnya, puisi selalu memiliki jiwa. Dengan kata, kita berbicara tentang makna. Tanpa kata kita ‘kan kaku, ragu, bahkan beku. Jika pun dengannya kita tetap kaku, ragu, bahkan beku, ia ‘kan tetap indah dengan cara yang ia punya. Dengan kata pula kita menyampaikan rindu penuh pilu. Sembilu karena diantara kita tak ada ucap. Hingga akhirnya, kata-lah, yang dengannya ia dapat terungkap. 

Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari

Adalah kata, benda budaya yang tak pernah bisa kita pahami maknanya. Hanya terka yang kita punya terhadapnya. Di dalamnya kita temukan rangkaian aksara miliki jiwa. Aksara itu menjadi terjemah sebuah kosakata bernama cinta. Cinta penuh terka yang berjiwa. Selayaknya jiwa, ia sulit dipahami bahkan oleh pemiliknya sendiri. Namun jika pada satu saat nanti tiba masa tentang rahasia aksara itu, ‘kan kusampaikan padamu. Aku janji.

*Sebuah interpretasi atas sajak Sapardi Djoko Damono, Pada Suatu Hari Nanti (1991)