Kamis, 31 Juli 2014

Curug Gendang

Setelah melepas baju dan mengambil sedikit ancang-ancang, saya menghempaskan tubuh saya dari ketinggian 7 meter menuju sebuah kolam yang terbentuk dari genangan air terjun di bawah sana.

“Byuur!” suara tubuh saya beradu dengan air kolam di bawah air terjun tersebut. Terakhir kali meloncat seperti ini saya alami sekitar 10 tahun lalu saat masih seusia SMP dari atas karang ke sebuah leuwi di sungai Ciujung. Itu pun hanya sekitar 2-3 meter tingginya. Maka tak heran perkara loncat-meloncat dari atas air terjun ini menjadi ajang uji adrenalin bagi saya. Dalam hitungan kurang dari dua detik, kaki saya sudah berada di dalam air sesaat setelah sebelumnya berada di atas batu besar hitam tempat terakhir saya menjejakkan kaki.
Curug tampak atas
Setiap tahunnya, saya dan teman-teman SMA selalu melakukan touring untuk mengeksplorasi objek-objek wisata di daerah Banten. Setelah Ujung Kulon, Pantai Camara, Pantai Sawarna, di tiga tahun ke belakang, tahun ini kami memutuskan ke Curug Gendang di daerah Carita. Telah lama hasrat berkunjung kesana terpendam dalam diri, terutama saya pribadi.

Curug berasal dari bahasa sunda yang berarti air terjun. Sedangkan gendang berarti alat musik yang terbuat dari kulit yang biasa dipukul untuk membunyikannya. Katanya, nama ini muncul karena suara air terjun yang jatuh seperti suara gendang. Curug Gendang berada di kawasan hutan wisata Carita, sekitar 50 km dari pusat kota Pandeglang.

Untuk menuju kesana, dari Kota Pandeglang kami melalui jalan alternatif Mandalawangi-Jiput ke Carita hingga tiba di jalan Anyer-Labuan. Karena ini musim libur lebaran, hampir sepanjang perjalanan kami menemui kemacetan. Tiba di Pasir Putih kami berbelok masuk menyusuri jalan selebar 2 meter dari beton sejauh 1 kilometer, lalu disusul 2 kilometer jalan berbatu. Di pos pemberhentian terakhir, kami harus memarkirkan kendaraan yang kami bawa.

Selanjutnya jalan kecil dengan bebatuan dan tanah lembab harus kita lalui dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan asri yang menyejukkan mata. Pepohonan besar dan kecil menemani kami menyusuri punggung bukit kawasan hutan wisata ini. Suara burung dan satwa lain, gemericik air sungai jauh di bawah lembah sepanjang jalan setapak juga turut mengiringi. Setelah berjalan kaki sekitar 2 km, kami akhirnya tiba di tempat tujuan: Curug Gendang.
Curug tampak bawah. (sumber foto: google.com)
Selepas shalat ashar dan melakukan sedikit ritual sebelum berenang, kami meloncat satu-persatu dari ketinggian 7 meter menuju kolam di bawah air terjun. Sekitar satu jam lebih kami habiskan menikmati sejuknya air dari hutan hujan ini. Berenang, berendam, bermain air, berfoto, bercengkrama sambil sesekali membercandai teman yang tak berani meloncat. :p

Kami memutuskan untuk meninggalkan Curug Gendang saat senja mulai menyapa. Curug sudah sepi, tinggal kami dan beberapa pemuda yang sepertinya hendak menginap karena mereka membawa tenda.

Tak jauh dari Curug Gendang ada penginapan yang cukup terjangkau baik harga maupun lokasi. Pondok Pasanggrahan namanya. Kami melepas lelah setelah dan bergelut dengan kemacetan sepanjang perjalanan tadi di penginapan yang dikelola Perum Perhutani ini. Pondok ini menyajikan pemandangan yang cukup mempesona. Karena letaknya yang berada di atas bukit, dari depan pondok kami dapat menyaksikan Pantai Carita yang ramai oleh pengunjung. Saat paginya, udara sejuk khas hutan hujan menjadi bonus menikmati pemandangan ini.

Setelah menjelajah Curug Gendang dan menginap di Pondok Pasanggrahan, kami menyusuri Pantai Carita, lalu makan siang di Saung Mang Sam’un di Panimbang, berenang sejenak di pantai yang relatif sepi, lalu pulang melewati jalur Panimbang-Sobang-Angsana-Munjul-Picung-Saketi-Cikadueun-Pandeglang, setelah sebelumnya bersilaturahmi ke salah seorang teman kami di Picung yang tak sempat ikut touring tahunan ini.

Senin, 28 Juli 2014

Selamat Jalan atau Selamat Tinggalkah?

Kita berseru kata-kata cinta, tanpa pernah berbuat apa-apa. Hanya diucap tanpa diserap. Hanya dijalani tanpa isi. Lalu setelah kita berada di penghujung pertemuan, betapa kita menyesal karena pernah tak mengacuhkan. Benarlah kata sebuah syair lagu: kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya amatlah berharga. Dan inilah kita, merindui dia yang telah pergi, padahal saat hadir tak pernah padanya benar-benar mencintai.

Padanyalah seharusnya kita titipkan harapan perubahan. Padanya pula semestinya kita serahkan jiwa-jiwa kotor untuk dibersihkan. Kita pasrahkan diri untuk dididik padanya selama sebulan: Sekolah Ramadhan.

Lebaran bisa untuk semua, tapi Idul Fitri tidak. Lebaran bisa untuk anak-anak, dewasa, tua, renta, yang berpuasa atau tidak; sama saja. Mereka berbahagia, berpesta, bersuka cita. Tak lebih. Tapi Idul Fitri hanya untuk beberapa dari kita. Bagi mereka yang kita pun tak pernah tahu siapa-siapa saja. Bukankah puasa hanya urusan hamba dan Allah saja? Hanya berdua.

Di Idul Fitri kita bergembira sekaligus berduka. Menangis setelah sebelumnya tertawa. Merasa terbersihkan walau harus merasa ditinggalkan. Hingga kita kebingungan, selamat jalan atau selamat tinggalkah yang mesti kita ucapkan?

Sabtu, 19 Juli 2014

Terima Kasih

Kata ‘selamat’ menjadi begitu berkesan saat disampaikan pada waktu yang tepat. Ucapan terima kasih ini, walau disampaikan terlambat, semoga tak mengurangi rasa yang tak sempat terungkap.

Tak ada pembalasan kata ‘selamat’ selain ungkapan terima kasih. Itu yang kita tahu selama ini. Tapi di atas semua itu, ada yang lebih indah dari sekedar kata: doa. Dengannya, sejauh apapun jarak ia tak dapat menjadi alasan untuk tak dapat datang.

Maka selain terima kasih juga do’a, apalagikah yang harus kuungkapkan untuk membayar ini semua?


Tangerang Selatan, 08 Ramadhan 1435 H.