Sabtu, 30 Agustus 2014

Berhenti Mengagumi

Aku mundur.
Takkan lagi berusaha membacamu seperti semenjak 56 bulan lalu.
Terima kasih.

Tertanda,
Yang pernah dan masih mengagumimu.

Kamis, 28 Agustus 2014

Definisi Bahagia

Sesederhana dapat kembali pergi ke Cibeo untuk ke-16 kalinya setelah sekian lama tak mengunjungi. Padahal bagi sebagian besar orang, pergi kesana adalah pengalaman hidup yang cukup sekali dijalani. Lalu aku, seperti tak pernah merasa cukup walau masuki bilang ke-100 suatu saat nanti.

Sesederhana dapat kembali memegang EOS 600D setelah sekian lama tak berjumpa. Selalu saja ada rasa bahagia saat mengintip sesuatu -atau seseorang, dari balik viewfinder kamera. Menangkap momen yang tak pernah bisa terulangi. Mengabadikan saat-saat yang tak dapat dilakukan lagi. Memindahkan bukti kebesaran Allah pada bentuk lain hingga dapat orang lain nikmati.

Sesederhana dapat kembali memunguti sampah plastik sepanjang jalan setapak dari Baduy Luar hingga Baduy Dalam dan sebaliknya. Rasa-rasanya saat ini aku memungutnya tak harus sesering dulu saat memulainya 3 tahun lalu. Semoga orang-orang memang semakin sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan alam yang Allah ciptakan.

Sesederhana dapat kembali beperjalanan bersama carrier kesayangan. Sudah lama sekali rasanya ia tak diajak jalan-jalan. Diajak merasakan teriknya matahari, teduhnya rimbunan dedaunan, lelahnya berjalan kaki 24 kilometer, terjebak pekat malam dalam hutan. Bersamanya aku selalu menikmati asiknya perjalanan. Teman perjalanan tak harus selalu orang bukan?

Sesederhana dapat bertemu kawan-kawan baru setelah selama ini hanya berjumpa di dunia maya. Beberapa di antaranya hanya tahu nama saja. Kau tahu kan rasanya bertemu teman-teman yang berbeda denganmu? Sikap, kebiasaan, dan karakter yang berbeda. Bahkan 180 derajat perbedaanya. Walau dalam beberapa hal kalian sama. Ah, bikin hidup lebih berwarna.

Sesederhana dapat melepaskan orang dari kesusahan dan kepayahannya. Berusaha menghilangkan beban dari pundak dan punggungnya –baik arti konotatif maupun dalam arti sebenarnya, semampu kita. Melihat orang lain senang karena bantuan kita kadang menjadi kebahagiaan yang sulit untuk diungkapkan.

Bagi setiap orang bahagia memiliki definisi tersendiri. Bagiku, bahagia sesederhana itu.

Minggu, 10 Agustus 2014

Ujian Kesyukuran

Ingin kuceritakan tentang sebuah nama: Khaerullah. Milik seorang sahabat, sekaligus seteru.

Masih tersimpan dalam ingatanku dulu, saat pertama kali kami bertemu. Ia selalu ingin menjadi yang pertama, sayangnya ada aku. Ia selalu ingin menjadi bintang seorang, sayangnya tak dapat sendirian. Ia ingin menjadi ketua di organisasi, tapi lagi-lagi ada aku. Sudah seperti batu sandungan saja aku dianggapnya.


Semua perseteruan yang kami alami tak menjadi alasan untuk bermusuhan. Bahkan sebaliknya. Semenjak kami sekelas, tak pernah sekalipun kami terpisah tempat duduk. Selama dua tahun di sisa hidup kami di sekolah menengah pertama, kami selalu berbagi meja. Kami bersaing sengit sekaligus berteman akrab. Kami berseteru namun berkawan dekat. Kemana-mana berdua. Bahkan sudah seperti sepasang kekasih saja. Pelajaran kesukaan kami sama, ekstrakurikuler yang kami ikuti sama, hobi kami sama, guru favorit kami juga sama. Perempuan yang kami puja saja tak sama. Kami adalah kawan tempat saling berbagi, bermain, bergurau, juga diskusi. Bersamaan dengan itu kami pun adalah rival abadi, hingga kini.


Sampai pada akhirnya selepas lulus SMP, ku ajak ia untuk kembali satu sekolah agar dapat duduk semeja. Ia menolak dengan jawaban: aku bosan menjadi nomor dua. Begitulah kira-kira jawabannya. Dan aku terima.


Benar saja, keinginannya terpenuhi: juara kelas, selalu rangking pertama, ketua organisasi sekolah, juara berbagai lomba, semua didapatkannya selama SMA. Walau pada satu kesempatan pada sebuah lomba tingkat kabupaten, kami bertemu mewakili sekolah masing-masing. Dan ia kembali menjadi nomor dua.


Bagiku ia adalah ujian. Ujian agar aku tak pongah dan takabur atas apa yang aku dapatkan. Agar aku tak sombong atas apa yang aku usahakan.


Berselang beberapa tahun kemudian, kami berpisah tanpa kabar. Ku temui kembali ia saat telah mengenakan toga di jurusan impiannya. Jurusan yang sesuai dengan pelajaran favorit kami dan sempat kami rebutkan saat olympiade SMA: Teknik Kimia. Sedangkan aku? Baru melewati setengah perjalanan untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku juga berada di jurusan yang tak pernah terbayangkan dan tak pernah dicita-citakan: Ekonomi Islam.


Dan ia kembali menjadi ujian. Ujian agar aku tak kufur nikmat atas apa yang telah Allah limpahkan. Agar tak membanding-bandingkan jalan hidup yang telah Allah gariskan.


Ada saat aku merasa menang, dan ada pula saat dimana aku merasa dikalahkan. Walau definisi menang-kalah dalam hal ini masih dalam perdebatan. Hingga akhirnya, pada hari ini aku merasa ia kembali menang. Memenangkan hati seseorang: wanita pujaan. Dan aku? Masih disini belum beranjak menemukanmu.


Maka atas semua ceritaku, sahabat sekaligus seteruku itu, adalah sebenar-benarnya ujian: ujian kesyukuran.