Minggu, 30 November 2014

Antara Desa dan Kota

Kota, terutama Jakarta sebagi metropolitan, selalu membuat terpesona manusia-manusia Indonesia. Pun begitu mungkin dengan penduduk di belahan bumi lain pada kota-kota metropolitan di negaranya. Kota selalu menjadi magnet dan alasan untuk orang-orang desa mendatanginya, bahkan kemudian mencintainya. Untuk yang terakhir, saya termasuk di dalamnya. Saya mencintai kota. Sungguh. Saya mencintai Jakarta, Bandung, Semarang, dan tak lupa Yogyakarta. Pada keempat kota saja itu dulu saya setidaknya menyatakan cinta. Jakarta terutama. Untuk ukuran orang yang tak tinggal dan bekerja di sana, intensitas kunjungan saya bisa dikatakan cukup sering. Minimal seminggu sekali. Entah itu sengaja mengikuti satu dua kegiatan, sekedar jalan dan liburan, atau hanya sekedar lewat karena hendak ke Bekasi atau Bogor misalnya. Iitu cukup membuat saya hafal beberapa rute dan jalanan-jalanan Jakarta.

Walaupun begitu, hingga saat ini, sama sekali tak pernah terlintas dalam diri untuk bekerja apalagi tinggal dan menetap di Jakarta. Entahlah. Tapi tak sedikit pun berpikir ke sana. Bekerja dan tinggal di daerah penyokong sudah membuat saya begitu bahagia. Sesekali berkereta, naik busway, angkutan umum lain, atau berjalan kaki di Jakarta amatlah saya nikmati. Namun megahnya metropolitan, indah dan rapinya tata kota di sana, tetap tak membuat saya berpikir untuk menetap di dalamnya.

Ada yang lebih saya cintai dan nikmati: kembali ke desa. Semenjak dulu saya mencintai desa. Mungkin desa bisa disebut sebagai cinta pertama saya. Desa dengan segala kesederhanaanya, dapat memalingkan saya dari kemegahan gedung-gedung pencakar langit kota. Ia dengan hamparan sawah dan sungai-sungainya (baik sungai kecil atau besar) selalu berhasil membuat saya terpesona.

Tapi bagaimanapun juga, saya tetap mencintai kota. Ia tetap akan menjadi warna dalam kehidupan seseorang yang ingin sekali tinggal di desa. Mungkin ini seperti adagium lama yang berbunyi, mencintai tak harus memiliki. Tinggal dan bekerja di desa, hidup sederhana dengan gaya orang desa, namun berpikiran maju (yang katanya) selayaknya orang-orang kota, dan dapat dengan mudahnya bepergian ke kota, adalah mimpi ideal saya.

Terlepas dari itu semua, tak menutup kemungkinan jika pada suatu keadaan di masa depan, saya terpaksa harus ke kota. (Walau itu tak saya harapkan). Jalan hidup tak ada yang  tahu. Karena bagi saya, rencana hidup selalu dinamis. Sedinamis track record jalan hidup yang selama ini selalu tak terduga. Yang terpenting ialah mimpi untuk menjadi manusia bermanfaat sepanjang hayat harus tetap menjadi tekad.

Kamis, 27 November 2014

Bogor - Pandeglang

“Yakin mau lewat sana? Jalur sana tanjakannya serem-serem lho.” Seorang kawan mengingatkan sebelum perjalanan dimulai. Awalnya memang membuat nyali sedikit bergeming. Apalagi setelah menjelaskan jalur yang kami bicarakan terlalu berbahaya dilewati dengan bersepeda. Selain karena sepanjang jalan adalah lebih banyak hutan, juga karena banyaknya mobil-mobil besar yang seringkali lewat jalur yang akan saya lalui. Tapi mengingat ini adalah rencana yang sempat tertunda berkali-kali, kembali saya bulatkan tekad untuk melanjutkan perjalanan ini, seorang diri.

Dengan bismillah, pagi-pagi buta selepas shubuh saya berangkat. Setelah mampir sebentar di Darmaga dan mengayuh beberapa jam lamanya, barulah apa yang diceritakan mulai terasa. Sesungguhnya jauh sebelum ini pun saya pernah melewati jalur ini. Bedanya dulu menggunakan kendaraan umum. Sepanjang perjalanan biasanya saya tertidur pulas karena perjalanan yang cukup panjang. Maka ketika kali ini bersepeda, tak ada kesempatan sedikit pun untuk dapat tidur atau berleha-leha karena berburu dengan waktu untuk menyelesaikan perjalanan hingga sampai tujuan: rumah di Pandeglang.

Selama perjalanan, berkelebatlah segala hal yang justru membuat saya semakin semangat: kelelahan di jalan, ditodong begal, dicuri (atau mungkin diculik? :D), terserempet atau bahkan tertabrak truk atau bus, lalu tak ada yang tahu, dibiarkan begitu saja di pinggir jalan hingga enath kapan ditemukan. Apalagi ponsel saya mati semenjak perjalanan dimulai. Dan celakanya saya sama sekali tidak memberitahu orang tua saya tentang perjalanan ini.

Tapi semua kelabat itu terobati oleh pemandangan yang begitu memanjakan mata: hamparan hijaunya persawahan, bentangan kebun kelapa sawit sejauh mata memandang, kontur perbukitan dengan kelokan jalannya sebagai hiasan, tanjakan-tanjakan dan turunan-turunan curam, hutan yang termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak sepanjang sisi bahu jalan, berselang-seling dengan satu dua pedesaan. Maha karya Allah yang amat mempesona. Dan semua itu membuat saya menikmati perjalanan.
Bentangan perkebunan kelapa sawit menjadi backround
Hujan yang mengguyur di seperempat perjalanan terakhir mengulurkan jadwal yang sudah tersusun rapi dalam kepala. Setelah kemaghriban di perjalanan dari Rangkas, akhirnya saya dapat menyelesaikan perjalanan yang sudah lama saya rencanakan ini: bersepeda Bogor-Pandeglang.

Untuk seseorang yang baru 3 tahun memiliki sepeda, mungkin jarak 124 km ditempuh seharian cukup membahagiakan diri sendiri. Saya bahkan  sempat tak percaya bisa menempuh 124 km dalam sehari. Apalagi jalur yang saya tempuh berkelok-kelok, penuh tanjakan dan turunan yang curam. Maka setelah melalui semua, kini waktunya beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan selanjutnya.

Minggu, 09 November 2014

Pilihan

Sekali pilihan telah ditetapkan, pantang sesungguhnya kita menyesali pada apa-apa yang telah kita pilih dan putuskan. Karena dari sana akan timbul pengandaian. Dan junjungan kita Rasulullah SAW melarang kita untuk mengandaikan pada apa-apa yang telah kita lalui di masa lalu, termasuk keputusan-keputusan yang telah kita buat. Andai aku dulu memilih ini, mungkin akan begini; andai aku dulu tak mengambil ini, bisa saja terjadi ini.

Segala yang telah kita putuskan, walaupun merasa mutlak itu adalah keputusan kita sendiri, sesungguhnya pada itu ada yang menggerakkan kita pada yang kita pilih, disadari atau tidak disadari. Maka sesungguhnya, menyesali sebuah keputusan dan mengandaikan pada yang telah terjadi, bisa menimbulkan rasa ketidakbersyukuran atas apa yang Allah cenderung pilihkan. Ah, aku sudah seperti Jabariyah saja dalam hal ini. Tapi aku tak menganut itu, sungguh. Bagiku, ada lahan yang Allah sediakan pada kita untuk memilih, dan ada pula lahan yang memang kita tak diberi pilihan sama sekali. Dalam hal ini, aku jadi Asy’ariyah sepertinya ya? Pada lahan yang pertama itu kita dianjurkan untuk meminta dipilihkan oleh-Nya melalui apa yang disebut istikhoroh. Istikhoroh adalah tentang pengakuan kelemahan kita pada apa-apa yang tak bisa kita ambil keputusannya sendirian.

Pada akhirnya nanti, kita akan tiba pada masa dimana kita tetap pada pilihan-pilihan yang telah kita putuskan, meskipun ada tawaran untuk mengulang waktu kembali pada masa lalu. Di sanalah kita akan sadar betapa rencana Allah begitu indah atas setiap makhluk ciptaan-Nya. Betapa skenario yang dibuat-Nya amatlah cerdas bagi semua makhluk yang ada. Dari sanalah kita belajar tentang kebersyukuran.

Terlepas dari kita menganut faham Asy’ariyah, Qodariah bahkan Jabariyah, kita tetap butuh Allah untuk memilihkan.

Maka bagi saya selain kumpulan doa-doa, kita saat ini adalah kumpulan keputusan pilihan-pilihan kita di masa lalu.