Senin, 28 September 2015

Mengambil Ilmu dari Ustadz

Orang bijak berucap bahwa setiap orang harus selalu punya guru. Karena tak setiap ilmu dapat diajarkan oleh buku. Pun begitu dengan yang ada dalam kepalaku. Maka pilihan untuk ‘ikut’ guru –yang biasa dipanggil ustadz, setelah lulus sekolah menengah dulu adalah pilihan yang mendatangkan kebersyukuran, hingga sekarang.

Datang dengan malu-malu untuk menawarkan diri ikut salah seorang guru adalah perkara yang tak mudah. Saat teman-teman sebaya berlomba melanjutkan pendidikan, aku memilih jalan yang berbeda: ikut dengan seorang guru. Bukan untuk waktu sehari dua hari, sebulan dua bulan, tapi untuk waktu bertahun-tahun. Bahkan hingga sekarang setelah hampir 7 tahun berlalu.

Ilmu, sekali lagi, tak selalu tentang apa yang tertulis dalam buku. Ia ada dalam setiap hal yang kita temui. Ia tersemat dalam setiap kegiatan yang kita lalui. Langsung atau tidak langsung. Apa-apa yang terlihat dalam keseharian pun bisa jadi ilmu. Dan dari para guru yang pernah aku ikuti dan temui, aku belajar begitu banyak ilmu dan teladan.

Di sana, kita akan belajar tentang dedikasi saat para orang-orang terbaik memutuskan untuk menempuh jalan yang katanya tak selalu melimpah dalam hal materi. Menyumbangkan waktu, tenaga, harta, bahkan mungkin jiwa untuk dunia pendidikan. Bahkan ada yang kemudian mengatasnamakan pengabdian.

Kita akan belajar tentang loyalitas saat orang bisa bertahun-tahun, bahkan seumur hidup tinggal dan bekerja di satu tempat. Bukan tak ada pilihan, tapi memang sebuah keputusan. Saat tempat kerja bukan hanya tempat mencari nafkah, kita bahkan akan menemukan orang yang mewakafkan diri di dalamnya.

Kita juga akan diajari tentang keberkahan harta saat apa yang kita dapatkan secara materi selalu minus jika di-matematika-kan, tapi selalu membuat merasa berkecukupan. Selalu saja ada jalan untuk dapat melanjutkan hidup. Entah jalan itu datang dari mana persisnya kita tak pernah tahu. Yang jelas ada kekuatan di luar kemampuan manusia yang mengatur semua itu.

Dan kita akan belajar tentang keikhlasan yang mungkin saat ini jarang ditemukan. Ilmu ikhlas memang tak mudah dinilai dan tak mudah dijalani. Bahkan katanya butuh sepanjang hayat mempelajari. Ia letaknya jauh di dalam hati. Walau tak pernah ada yang tahu isi hati, setidaknya kita bisa melihat dari apa yang dijalani sehari-hari. Dan aku menemukan percikan-percikan keikhlasan itu di tempat-tempat yang selama ini aku singgahi.

Serang, penghujung Agustus dua ribu lima belas.
Seorang murid.

Tidak ada komentar: