Minggu, 26 Juli 2015

Ukuran Sukses

Saat uang menjadi simbol kemakmuran, kesejahteraan, dan kesuksesan, barangkali kita perlu menengok suku Lamalera di Lembata sana yang masih mengandalkan barter dalam transaksi di pasar-pasar tradisional. Itu terjadi dalam masyarakat modern yang mereka jalani. Atau tak usah jauh-jauh, tengok saja suku Baduy yang semua bentuk rumahnya serupa, –lagi sederhana. Pun dengan pakaian yang mereka gunakan tak ada yang menunjukan strata sosial dan kedudukan. Kekayaan mereka hanya diukur oleh jumlah lumbung padi yang mereka punya. Untuk dijual lalu kemudian ditukar dengan uang? Bukan. Tapi untuk makan beberapa waktu kedepan. Pantang bagi mereka menjual padi-padi yang mereka punya. Mereka tak begitu butuh dan bahkan tak tergantung dengan simbol-simbol kemakmuran, kesejahteraan, dan kesuksesan yang selama ini kita gunakan: uang.

Pertama: yang butuh uang sesungguhnya bukanlah kita, tapi transaksi yang kita cipta.

Coba sejenak kita lihat, saat kita kembali berkumpul setelah sekian tahun dengan teman-teman semasa sekolah atau kuliah misalnya, masing-masing dari kita membawa kendaraan pribadinya, pakaian terbaiknya, menyebutkan jabatannya di perusahaan ini dan itu. Masing-masing dari kita mungkin kita akan mengukur kesuksesan dengan keberlimpahan harta, juga dengan tingginya jabatan atau tahta, serta segala hal materi yang mengikutinya. Maka kadang ini bukan hanya menjadi sebuah reuni dan silaturahmi, tapi juga ajang unjuk prestasi dan eksistensi. Saat yang sama hilanglah kebanggaan bahwa anak kita yang baru menginjak usia 5 tahun telah hafal 3 juz dari Al-Qur’an. Tertutupi pula kesuksesan kita mendidik anak yang telah bisa dan terbiasa berbagi makanan dengan teman-temannya saat dari sang ibu ia mendapat makanan. Tak akan dianggap bahkan hilang eksistensi kita saat keberadaan kita punya peran ditengah-tengah masyarakat, –syukur-syukur memberi kebermanfaatan.

Kedua: kita seringkali hanya menilai segalanya dari hal-hal yang kasat mata. Yang tak kasat hilang entah kemana.

Manusia mengukur kesuksesan dari kekayaan dan uang yang dipunyanya. Jika itu ukuran kesuksesan, bagaimana dengan orang-orang yang lahir jauh sebelum kita? Dari zaman Rasulullah SAW hingga zaman setelahnya. Itu saja. Atau tak usah jauh-jauh, bagaimana dengan kakek saya yang tak pernah merasakan naik mobil pribadi seumur hidupnya? Rasa-rasanya mereka tidak bisa merasakan yang namanya kesuksesan sebagaimana yang kita definisikan. Sukses hanya itu menjadi milik mereka yang dapat memiliki hampir segalanya, yang dapat mempunyai apa yang mereka ingini. Mungkin begitu. Atau mungkin ukuran kesuksesan setiap zamannya memiliki definisi sendiri. Ia selalu berubah seiring waktu berganti. Ia pula tergantung dari sudut pandang mana kita melihat dan mendefinisikannya, –walau dalam agama kita telah diajari bahwa ukurannya adalah iman dan takwa.

Ketiga: sesungguhnya definisi sukses itu sendiri adalah nisbi. Tak ada yang tahu pasti.

Kamis, 16 Juli 2015

Bekerja Adalah Menunggu

“Jika semua dijalani sesuai porsi, yakin tak ada yang salah dengan apa-apa yang kita jalani. Kita tak harus jadi gila kerja untuk menjadi kaya.” - Seseorang

Kita sepakat bahwa bekerja adalah upaya untuk menjaga keberlangsungan hidup di dunia, ia salah satu cara agar kita tetap bisa makan dan membiayai segala kebutuhan. Kita juga sepakat bahwa bekerja adalah salah satu bentuk kegiatan mengisi kekosongan, layaknya bermain, menyalurkan hobi, atau jalan-jalan. Bedanya, ia menghasilkan uang. Begitu bukan?

Bekerja dalam bayangan sebagian besar orang saat ini adalah bekerja dari jam sekian hingga jam sekian. Masuk jam delapan, lalu jam lima sore pulang. Sebagian beranggapan dan menuntut demikian. Lalu kita yang tak punya jam kerja seperti itu kadang dianggap tak mewakili kata bekerja sebagaimana mestinya, -sebagaimana definisi orang-orang kebanyakan lebih tepatnya, atau kita bahkan bisa dianggap tak memiliki prospek kehidupan yang layak di masa depan.

Bekerja dalam bayanganku adalah salah satu bentuk kegiatan untuk mengisi kekosongan dalam jeda dua waktu shalat. Dengan bekerja, -sama halnya dengan bermain, menyalurkan hobi, kita sesungguhnya sedang mengisi kekosongan waktu di antara satu waktu shalat dengan waktu shalat selanjutnya. Misal antara waktu shalat Shubuh dan Dzuhur, Dzuhur dan Ashar, dan seterusnya. Ia seperti sebuah kegiatan untuk menunggu. Ya, menunggu. Maka menunggu waktu shalat selanjutnya datang seharusnya menjadi hakikat kerja kita. Seperti hidup ini yang pada hakikatnya menunggu juga.

Dalam menunggu itu kita mencari kegiatan bermanfaat, baik untuk diri sendiri atau pun orang lain. Salah satunya ya kerja ini. Konsekuensi dari menunggu ini adalah ketika yang ditunggu telah datang, maka sudah seharusnya kita mengakhiri kegiatan menunggu itu, atau menundanya. Apapun kegiatan yang sedang dilakukan dalam masa menunggu itu. Karena menunggu adalah menunggu, dia hanya selingan, bukan tujuan. Sayangnya kita terkadang lupa akan hal itu. Kita seringkali lupa bahwa kita hanya menunggu dan juga (me)lupa(kan) yang ditunggu sesungguhnya telah datang.

Jika kita beralasan bahwa waktu shalat akan mengurangi jam kerja, mengurangi gaji kita, dan atau rezeki kita nantinya ikut berkurang juga, rasa-rasanya kita patut belajar pada orang-orang terdahulu: para sabiquunalawwaluun. Bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat meninggalkan segala pekerjaannya ketika waktu shalat datang. Apakah kemudian rezeki mereka berkurang? Sama sekali tidak. Justru rezeki mereka seolah bertambah dan beberapa tetap bisa menjadi kaya. Sebut saja Utsman bin ‘Affan dan Abdurrachman bin ‘Auf. Rasulullah pun begitu, hanya gaya hidup beliau saja yang sederhana. Bahkan bukan perkara harta saja mereka kaya, perkara amal pun tak beda. Mereka kaya harta dan kaya amal. Apa iya mereka mendapatkan semua itu karena mengurangi waktu shalat dan menunda shalat karena kerja? Atau bahkan karena gila kerja? Justru sebaliknya. Mereka menyerahkan perkara rezeki hanya pada pemilik dan pemberi rezeki itu sendiri.

Maka jika kita tetap bekerja saat waktu shalat datang, sesungguhnya itu telah mencederai hakikat kerja itu sendiri. Dan bahkan jika kerja itu justru mengganggu dan tak mempedulikan datangnya waktu shalat, makna kerja itu perlu dipertanyakan.