Selasa, 31 Mei 2016

Beruntung

Pernah dalam satu keinginan untuk memiliki pendamping hidup asli orang Banten. Allah beri lebih dari pada itu: keturunan pendiri Banten. Aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa ia yang Allah kini takdirkan menjadi pendamping hidupku, memiliki garis keturunan yang bersandar pada Sultan Maulana Hasanuddin pendiri kesultanan Banten itu. Aku benar-benar tak pernah tahu sebelumnya.

Pernah dalam diri ini terbesit mempunyai istri senang beperjalanan. Allah hadiahkan lebih dari itu: ‘anak gunung’. Itulah kemudian mengapa kami memilih beperjalanan ke Gunung Papandayan sehari setelah melangsungkan pernikahan. Selain karena istri telah hafal jalur Papandayan karena telah 6 kali pergi kesana, juga karena bagi kami bepergian setelah menikah tak selalu harus di hotel mewah dan tempat nyaman saja. Sesekali mendaki gunung dan mendirikan tenda di sana adalah salah satu pilihan yang patut dicoba.
 
Pernah diri ini juga punya mimpi memiliki pasangan yang cinta anak dan keluarga. Allah kirimkan lebih dari itu: sarjana Ilmu Keluarga. Salah seorang temanku bahkan mengatakan para lulusan jurusan yang hanya ada satu di Indonesia ini layak disebut ‘ibu-ibu bersertifikat’. Kabarnya itu disematkan karena memang selama 4 tahun perkuliahan yang dipelajari hanya tentang keluarga, teori-teorinya dan segala seluk beluk yang menghisainya. Hanya tinggal praktiknya saja. Dan kini waktunya.
 
Pernah satu masa terbesit untuk tak tinggal di kota, cukup di desa. Allah kirimkan perempuan kota yang rela meninggalkan karir pribadinya dan ikut bersama ke desa. Menjauhi dan meninggalkan kota yang justru dianggap ‘magnet’ bagi sebagian orang cukup menyulitkan. Apalagi yang telah bertahun-tahun hidup dan tinggal disana. Pada kampung bernama Pasirmanggu, desa Dahu, 25 km dari ibukota kabupaten Serang akhirnya kami jatuhkan pilihan sebagai tempat tinggal dan hidup bersama. Tinggal dan hidup di desa adalah sebuah cita-cita.

Aku selalu meminta untuk dinikahkan oleh Allah, pada siapa saja. Terserah pada-Nya. Allah kemudian memberi lebih dari segalanya. Maha Baik Allah atas segala nikmat yang telah diberikan pada hamba-Nya yang hina ini. Atas segala apa yang telah Dia berikan pada aku yang bukan siapa-siapa ini hingga detik ini.
 
Maka jika ada yang berkata bahwa Ifah beruntung mendapatkanku, sesungguhnya ingin kukatakan bahwa akulah yang amat beruntung mendapatkan Ifah. :)

Jumat, 20 Mei 2016

2016: Tahun Menikah

Tiap masa yang dijalani pasti memiliki kenangan berarti. Tiap tahun yang dilalui pasti mempunyai kesan tersendiri. Tahun-tahun yang telah terlewati bisa membekas bagi sebagian orang, bisa juga tidak bagi sebagian yang lain. Pun dengan tahun ini. Apa yang telah dan akan dijalani tahun ini bisa menjadi kenangan yang begitu mendalam dan berkesan, atau bisa juga biasa saja hanya mengulang rutinitas harian dan bulanan, tanpa terselip satu hal besar yang mengubah hidup di tahun-tahun mendatang.

Atas semua hal itu, seringkali kita memiliki sebutan bagi tiap tahun yang (sedang dan akan) dijalani. Dan bagi saya pribadi, tahun 2016 ini adalah tahunnya menikah. Bagaimana tidak, hingga jelang medio 2016 saja, lebih dari 20 orang yang saya kenal dekat telah menggenapkan separuh agamanya. Mulai dari lingkungan pesantren tempat saya tinggal, teman-teman Madanian, teman-teman semasa perkuliahan, hingga teman-teman beperjalanan.
Di pesantren tempat saya tinggal ada delapan orang yang menikah hingga Mei ini, termasuk saya di dalamnya (*lalu nyengir). Di antara alumni CMBBS ada dua pasang Madanian yang menjalin ikatan pernikahan, ditambah lagi di teman-teman angkatan ada lima orang. Hanya di antara teman semasa perkuliahan saja yang menikah cuma seorang. Di antara teman-teman beperjalanan pun ada dua pasang yang sampai paruh tahun ini melangsungkan pernikahan. Lihat, 2016 benar-benar tahun menikah ‘kan?
Pernikahan selalu saja menghadirkan kebahagiaan. Lebih dari itu mengundang keberkahan. Setidaknya itu yang disampaikan Kiyai pondok yang selalu merasa senang jika ada ustadz-ustadzah di pondok yang menikah. Terlebih tahun ini yang terbanyak. Kebahagiaan itu beliau cerminkan dengan selalu hadir di setiap pernikahan yang ada. Menghadiri akadnya, bahkan menjadi penasihat pernikahannya. Dengan yang menikah semakin banyak, rasa bahagia menjadi makin berlipat, keberkahan pun akan makin dekat. Seperti halnya pak Kiyai, saya (dan kita) pun amat begitu senang dan bahagia saat tahu ada teman-teman yang mengikat janji dalam ikatan suci. Hanya barangkali tak setiap pernikahan dapat saya hadiri.
2016 masih menyisakan lebih separuhnya. Entah siapa lagi setelah ini. Mari menanti!

Minggu, 08 Mei 2016

Hari Raya

Setiap dari kita rasa-rasanya memiliki hari yang patut dirayakan. Bisa hari yang dirayakan bersama seluruh dunia: Idul Fitri, Idul Adha. Atau pun hari yang dirayakan hanya setiap masing-masing dari kita; atas sebuah proses dalam setiap tahapan kehidupan yang sedang, telah, dan memang harus kita lewati; atas sebuah perpindahan fase yang musti kita jalani: kelahiran, pernikahan, bahkan pun kematian.

Merayakan cinta adalah ungkapan terima kasih atas anugerah yang telah diberikanNya. Dari setiap anugerah yang telah diberikan, barangkali rasa cinta adalah rasa tertinggi yang telah Dia beri. Perayaannya tentu pada cinta suci yang diakui oleh agama dan negara.
Merayakan cinta adalah merayakan kemenangan atas usaha syetan dalam upaya pengejawantahan cinta yang tak seharusnya. Mereka yang telah terus berusaha, hingga usaha terakhirnya, menggoda kita agar tidak menjalankan perintahNya. Menggoda kita dalam mempermainkan rasa dan cinta yang kita punya. Hingga akhirnya kita menang atas mereka.
Merayakan cinta adalah bentuk kesyukuran atas sebuah proses yang oleh Allah haruskan. Sebuah proses dalam upaya meraih keridhoaanNya, menggapai surgaNya.
Maka sesungguhnya inti dari semua perayaan adalah kesyukuran. Ya, kesyukuran. Selamat hari raya. Selamat merayakan cinta.
Perjalanan Pandeglang-Bogor, jelang 08 Mei 2016