Sabtu, 27 April 2013

Sawarna, Pesona Pantai Selatan Jawa*


“Kata orang kota, disana ada jejak si Kabayan.” Ucap seorang kakek dalam bahasa sunda padaku, sambil menunjuk ke arah Karang Bodas.

Karang Bodas adalah salah satu dari setidaknya lima tempat yang paling sering dikunjungi oleh wisatwan di Desa Sawarna ini, selain Pantai Ciantir, Tanjung Layar, Legon Pari, dan Goa Lalay.

Bodas berasal dari bahasa sunda yang berarti putih, tak lain karena bukit yang menjorok ke arah laut ini sebagian besar terdiri dari karang dan batu cadas berwarna putih. Adapun yang disebut jejak si Kabayan adalah sebuah lubang besar berbentuk tapak. Walau tak mirip tapak kaki. Jejak si Kabayan ini pun sebenarnya adalah sebutan dari wisatawan lokal saja. Sebagian besar warga Sawarna tak pernah tahu tentang keberadaan jejak si Kabayan tersebut.

Sawarna sendiri adalah sebuah desa yang berada di selatan pulau Jawa bagian Barat. Persisnya di Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten.

Dalam 2 tahun terakhir ini, Sawarna telah menjelma menjadi destinasi favorit bagi wisatawan. Terutama bagi mereka yang terjebak rutinitas sehari-sehari di perkotaan. Tapi aku ada disini hanya karena sebuah rasa penasaran. Maka dengan menggendong carrier kesayangan, aku putuskan untuk backpackeran, sendirian.

Pantai Ciantir menyambut saat pertama datang ke Desa Sawarna, setelah sebelumnya aku harus melewati jembatan gantung, kemudian menembus perkampungan yang penuh dengan homestay hingga hampir pesisir pantai.

Beberapa warung berjejer di tepian pantai, menghadap ke lautan. Keduanya dipisahkan bentangan lautan pasir yang cukup luas untuk sebuah pantai. Bahkan aku temukan gawang bambu yang mungkin digunakan untuk bermain sepak bola.

Selain arealnnya yang cukup luas tadi, pasirnya pun halus, putih juga bersih. Itulah mungkin kenapa pantai ini sering disebut juga Pantai Pasir Putih. Ombaknya pun cukup besar, bahkan sangat besar di waktu-waktu tertentu. Maka tak heran ada spanduk larangan berenang yang di pasang di waktu-waktu tertentu tadi. Ini karena memang pantai ini berada di selatan pulau jawa, yang menghadap langsung ke Samudera Hindia.

Berjalan beberapa ratus meter ke arah timur menyusuri pantai, ku temukan Tanjung Layar. Dia begitu mempesona. Bagaimana tidak, dua buah batu besar menjulang setinggi kurang lebih 10 meter dan panjang 20 meter juga lebar sekitar 2 meter, berada 30 meter dari garis pantai. Ditambah lagi didepannya ada karang yang seolah menjaga layar ini dari terjangan ombak.

Ke arah timur lagi ada Karang Bodas yang aku ceritakan tadi, kemudian Karang Beureum hingga kemudian Legon Pari. Legon Pari merupakan pantai yang menjorok ke daratan. Pasirnya sekilas tak jauh berbeda dengan di Pantai Ciantir. Aku hanya memandangnya dari kejauhan. hari sudah siang, aku sedikit memutar arah untuk mencari jalan ke Goa Lalay.

Dengan mengandalkan keterangan beberapa warga, dan setelah berjalan kaki sekitar 1 jam, akhirnya aku berhasil menyambangi Goa Lalay. Ternyata tidak sesulit yang dibayangkan, walau aku harus menyusuri jalan setapak menembus perkebun warga, meniti pematang-pematang sawah, menyeberangi sungai, melewati jembatan gantung, hingga menyisir kuburan. Menurut warga, ada dua goa sebenarnya di Sawarna ini. Hanya karena masalah waktu, aku sambangi yang ini saja.

Karena Goa Lalay berarti Goa Kelelawar, seharusnya ada kelelawar di dalam goa ini. Tapi yang kutemui hanya stalaktit-stalaktit goa yang cantik yang berjejer apik bersama aliran sungai kecil yang airnya segar sepanjang goa. Namun kata warga memang suka ada kelelawar yang bersarang di gua ini.

Setelah hari mulai sore, aku kembali ke tempat awal dengan mengambil rute yang berbeda. Melemaskan kaki setelah seharian berjalan mengitari Sawarna. Melewati dinginnya hembusan angin laut di atas dipan sebuah warung makan di pinggir pantai.
Pada akhirnya, aku yang sebenarnya tak terlalu menyukai pantai, mengubah statment itu setelah mengunjungi Sawarna.


*Tulisan tahun lalu, sayang kalo ngga dipublish. :D

Selasa, 16 April 2013

Profesi = Ibadah

Kita setuju bahwa kita diciptakan untuk beribadah. Sebagaimana yang telah agama kita ajarkan. Dan kita pun sepakat bahwa ibadah memiliki banyak bentuk. Secara garis besarnya digolongkan menjadi dua; mahdhoh dan ghoiru mahdhoh. Ya, kita sepakat bahwa ibadah itu tidak hanya shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, dan ibadah lain yang hubungannya langsung dengan Allah. Karena menyingkirkan duri dari jalanpun merupakan ibadah. Kita tahu dan sepakat itu.

Pun begitu dengan apa yang kita jalani saat ini, dan kedepannya yang menjadi cita-cita kita. Atau profesi yang telah, sedang dan akan kita jalani nanti. Semuanya adalah merupakan bentuk ibadah.

Tak peduli berapa kali dan sebanyak apapun kita mengganti cita-cita semenjak kecil hingga sekarang, atau mungkin ada yang tetap istiqomah di cita-cita yang dipilihnya. Juga tak peduli profesi yang sedang atau akan kita jalani sesuai passion atau tidak. Itu juga tak jadi soal. Walau memang lebih baik sesuai dengan passion, karena dengan passion kita akan menemukan versi terbaik dalam diri kita. Begitu katanya. Namun bukan berarti yang tidak sesuai passion itu tidak baik. Kita tidak bisa menjamin hal itu. Karena harus diakui, di masyarakat sana banyak orang-orang yang jangankan tahu apalagi mengerti konsep passion, berfikir tentang sebuah profesi dan pekerjaan pun mereka tidak. Yang ada dalam fikiran mereka hanya bagaimana caranya bisa bertahan dalam menjalani kehidupan. Selama bisa memberi makan anak istri, itu sudah cukup.

Kita tidak berhak menganggap satu profesi lebih baik dari profesi yang lain atau bahkan menganggap satu profesi lebih mulia dari profesi yang lain. Semua jenis profesi itu adalah mulia selama mempunyai dampak positif bagi masyarakat, setidaknya bagi saya seperti itu.

Profesi apapun yang kita pilih, disiplin ilmu apapun yang kita tekuni, selama itu kita jalani dengan sebaik-baiknya adalah merupakan ibadah sesungguhnya. Karena dengan menjalani dengan sebaik-baiknya, profesi itu pada saatnya akan mempunyai dampak positif yang begitu besar bagi masyarakat, dan menjadi ladang amal bagi kita.

Menjadi dokter yang membantu meringankan tidak hanya orang-orang sakit tapi juga orang orang-orang kecil yang sakit, menjadi guru yang ikhlas mentransferkan berjuta ilmu pada generasi setelahnya, menjadi arsitek yang membangun bangunan megah yang memiliki sejuta manfaat bagi umat, menjadi jurnalis yang objektif dalam menyampaikan berita dan ikut dalam mencerdaskan masyarakat, menjadi birokrat yang setia melayani dan mengabdi kepada masyarakat, menjadi hakim yang seadil-adilnya tanpa melihat golongan tertentu, semua itu adalah profesi mulia dan termasuk ibadah. Ibadah yang hubungannya dengan manusia.

Maka sebenarnya menjadi apapun diri kita: Guru, Dokter, Perawat, Jurnalis, Arsitek, Bankir, Birokrat, Diplomat, Politikus, Hakim, Ulama, Seniman, Pengusaha, Selebriti atau menjadi yang tak punya dan tak ingin memiliki gelar apapun, yang terpenting adalah bukan terkenal atau tidaknya kita, bergengsi atau tidaknya profesi kita, tinggi atau rendahnya kedudukan kita, bukan pula besar kecilnya gaji kita. Tapi yang terpenting adalah  kebermanfaatan kita: pada diri sendiri dengan bagaimana menjadi sebaik-baiknya orang dalam disiplin ilmu atau profesi yang kita jalani; dan kepada lingkungan serta masyarakat dengan bagaimana kita punya peran postif didalamnya. Dengan semuanya tetap diiringi ketaatan pada Allah dengan bagaimana kita selama hidup selalu berada di jalan yang sesuai tuntunanNya dan meniatkannya sebagai bagian dari ibadah kepadaNya.

Waallahu’alam bishowab.

Kehilangan

Saya pernah berada pada masa amat begitu mencintai ilmu. Masih jelas dalam bayangan saya, belajar hingga jauh larut malam; di dalam kamar, di atas meja belajar, di depan kelas, di ruang kelas, di bawah tangga kelas hingga ketiduran, di perpustakaan, di bawah temaram lampu PJU,  bahkan di trotoar semalaman.

Bukan hanya karena besoknya ada ujian, atau karena ingin menjadi juara kelas. Tapi karena saya memang begitu menyukai pelajaran yang saya pelajari.

Dan saat ini, saya sedang mencari-cari rasa yang telah lama hilang itu.

Senin, 04 Maret 2013

Membelah Bukit

Ini tentang sosok yang mempunyai pengaruh besar dalam hidupku, yang begitu menginspirasiku, semenjak kecilku hingga saat ini.
Ini tentang kakekku, Abdul Mutholib-ku hingga kini. Mahbub bin Abdul Fakar bin Afiq.
Kakekku adalah pria yang tangguh dan pekerja keras. Masih tersimpan dengan baik dalam memoriku, saat ia ingin mengelola sebuah tempat yang dianggap tidak bersahabat; sebuah rawa, dipinggir sawah, cukup jauh dari perkampungan, dibiarkan saja tak terurus, penuh kubangan tempat mandi kerbau, dikelilingi semak belukar pula. Ceritanya dia ingin menjadikan tempat  itu sebagai tempat usaha. Orang-orang kampung menyarankan lebih baik cari tempat lain. Tak usah saja. Banyak yang meragukannya.
Memang karena sudah wataknya yang keras. Ia tetap ingin mewujudkan keinginannya itu. Maka berbulan-bulan ia, kedua anak laki-lakinya (yang tak lain pamanku), kakakku dan aku sendiri mengolah rawa yang sudah tak ada yang mau mengurusnya semenjak dulu itu. Berhari-hari kami menyingkirkan tumbuhan-tumbuhan rawa yang ada disana. Berbulan-bulan kami mencangkul, memadatkan tanahnya, mengelola airnya, membuat irigasi, mendirikan gubuk, memasang listrik, dan menuliskan plang ‘jual beli ikan dan pemancingan’. Ya, kami berhasil mengubah rawa yang terkenal tak bersahabat itu menjadi sebuah pemancingan yang ramai dan tempat berkumpul beberapa warga kampung setiap sorenya. Menjadi tempat nongkrong bapak-bapak, ibu-ibu yang membawa anak-anaknya bermain.
Dan yang terakhir, baru-baru ini kakekku yang keras itu mencoba membelah bukit. Sebenar-benarnya bukit, bukan kiasan. Ya, dia ingin membelah bukit dalam arti sebenarnya. 
Biar sedikit kujelaskan dengan gambar apa yang kumaksudkan. 


Pada  gambar itu ada sungai yang berbelok melingkari sebuah daratan. Ukuran lebar sungai sekitar 5-6 meter, ini adalah salah satu aliran sungai Ciujung yang melewati kampung halamanku. Hulu sungainya sendiri ada di Baduy dalam. 
Jadi ceritanya, kakekku ingin mencoba memindahkan aliran sungai Ciujung itu dengan meluruskannya membelah daratan. Membuat aliran baru untuk sungai. Dalam gambar dengan menarik garis lurus dari A ke B. Dan daratan itu bentuknya adalah sebuah bukit. Tinggi bukitnya sekitar 10 sampai belasan meter. Maka artinya ia ingin membelah bukit.
Aliran sungai yang berhasil ia pindahkan, ingin ia jadikan tempat pembibitan ikan. Airnya yang mengalir besar serta jernih sangat cocok untuk itu. Mimpinya ia ingin seperti apa yang ada di waduk Cirata, di Jatiluhur sana.
Banyak yang meragukannya, apalagi tempat dibalik bukit itu memiliki cerita mistis yang cukup terkenal. Banyak pula yang melarangnya untuk tidak meneruskannya. Tapi kakekku tak bergeming, ia tetap meneruskan.
Ya aku tahu dia tak lagi muda, tapi yang lebih aku tahu adalah semangatnya masih tetap muda dan akan terus muda. Katanya, ini pun mimpinya sejak ia muda.
Dan bulan kemarin, aku sempat ikut menaklukan bukit itu, bersamanya.  
Ini penampakkan bukitnya.
Yang berdiri paling depan itu kakekku (jika mengacu pada gambar sebelummnya, kakekku berdiri di B).
Sayangnya, kini dia sakit-sakitan. Akhirnya mamahku memutuskan untuk mengajaknya ke Pandeglang. Kini dia bersamaku di rumah. Semoga dia cepat diberi kesembuhan.

اللّمّ ربّ النّاس أذهب بأس إشفيه أنت الشّافىء لاشفاءًا إلّا شفائك شفاءًالايغادرسقماً ولا ألماً

Minggu, 25 November 2012

Dara(ku)

Aku                 : "Tadz, ana boleh melihara burung ya?"
Ustadz             : “Burung apa?”
Aku                 : “Burung merpati. Boleh ya, Tadz?”
Ustadz             : (mimik penuh tanda tanya.  tak memberi jawaban)
Aku                 : "Ya, Tadz..? Boleh ya?!" (mencoba meyakinkan)
Ustadz             : (diam sejenak) "Tapi jangan sampai kotor."
Aku                 : "Na’am, Tadz. Syukron, Tadz.." (pergi dengan begitu gembiranya).
Percakapan kecil itu mengawali niatku untuk memelihara burung merpati, burung dara lebih tepatnya, saat aku SMA dulu, hampir 5 tahun lalu. Niat yang awalnya dihinggapi kepesimisan, karena memang saat musim wabah flu burung baru saja usai. Tapi keinginan untuk memelihara burung dara itu begitu kuat menghinggapiku. Selain sebagai salah satu caraku untuk mengalihkan diri dari kejenuhan kegiatan sekolah, aku juga rindu pada burung dara yang pernah aku pelihara di rumah saat Sekolah Dasar dulu. Dengan memelihara burung dara juga, saat itu aku punya mimpi untuk menjadikan sekolahku seperti kota-kota di eropa yang selalu di hiasi burung jinak itu.
Akhirnya atas bantuan salah seorang adik kelas, aku mendapatkan 2 burung dara. Black dan Brown mereka kuberi nama, tak lain karena warna bulu mereka hitam dan coklat pekat.
Dua minggu kulewatkan dengan membuat kandang, membeli pakan, memberi makan tiap pagi sebelum sarapan, mengganti minum tiap 2 hari sekali, menengok mereka diatas genset, hingga ku lepaskan mereka setelah dirasa cukup.
Perlu diketahui, adalah sebuah kebiasaan dari seekor burung dara jika kita mengurungnya sekitar 2 minggu atau lebih di dalam kandang kemudian melepaskannya, maka dia tak akan pergi begitu saja tetapi akan kembali ke kandang tersebut, menganggapnya sebagai rumah tempat kembali sejauh manapun dia pergi. Hingga pernah ada kejadian 2 tahun kemudian saat aku telah lulus. Saat ustadz membawa mereka ke Jakarta, mereka dapat kembali ke kandangnya di sekolahku, di Pandeglang, menempuh puluhan, bahkan ratusan kilometer untuk sampai kembali kesana.
Beberapa minggu kemudian Black dan Brown kedatangan sepasang merpati putih sebagai teman barunya. Mereka berteman, akrab, walau sebelumnya sering berkelahi dan saling mematuki. Terlebih Black dan Brown yang mungkin merasa ada penghuni asing di kandangnya, hingga akhirnya mereka 'berkolaborasi' menghasilkan si Belang, percampuran dari warna putih dan hitam di bulu-bulunya. Mereka tumbuh, berkembang biak dengan baik hingga jumlah mereka semua mencapai 12.
Aku bersama mereka tak sampai satu semester, tapi jalinan persahabatan antara aku dan mereka begitu dekat, sampai mereka hafal suara panggilan dan tepukan tanganku. Aku merasa, ada sebuah ikatan yang tak dapat dijelaskan antara aku dan mereka. Bahkan setelah lulus dari SMA, saat tiba di gerbang sekolah, aku melihat mereka terbang dari arah asrama putra menuju lapangan parkir depan kantor untuk menemuiku. Bahkan terkadang mereka datang lebih dulu seolah sedang menungguku.
"Dari tadi nungguin kamu tuh, Ci.." salah seorang Petugas Keamanan sekolah padaku.

Dan tadi pagi, saat aku bermain ke SMA-ku, entah tiba-tiba aku begitu merindukan mereka.
Rindu akan suara mereka yang sesungguhnya sulit kutiru.
Rindu akan patukan paruh mereka di telapak tanganku.
Rindu akan cengkreman cakar mereka diatas lenganku.
Rindu melihat mereka berebut nasi atau jagung dariku.
Rindu menyentuh dan mengusap bulu halus mereka.
Rindu menyapa dan disapa oleh mereka setiap pagi.
Rindu untuk curhat pada mereka tentang apa yang terjadi padaku.
Rindu untuk ‘mengobrol’ dengan mereka tentang kegiatan-kegiatanku.
Rindu untuk ‘berbincang’ dengan mereka tentang kehidupan.
Rindu untuk ‘menertawakan’ sandiwara hidup.

Dan pernah hidup bersama mereka, mengingat-ingatnya dan kemudian merindukannya kemudian adalah sebuah anugerah untukku.


Minggu, 16 September 2012

Dari Ojeg Sawarna, hingga KRL Ibukota


Ini bukan tentang Sawarna. Ini tentang perjalanan kesana. Perjalanan menuju destinasi wisata yang sudah 6 tahun dikenal sampai mancanegara katanya. Perjalanan yang entah tertunda sudah berapa lama. Perjalanan yang sebenarnya karena motif penasaran belaka (hhe..). Perjalanan yang saya tempuh sendirian saja, dengan angkutan umum tentunya.
Damri menjadi moda angkutan yang saya pilih untuk menuju ke Bayah, untuk selanjutnya menuju ke Sawarna. Cukup mudah.
Tentang Damri ini, ingin saya ceritakan bagaimana keberadaannya begitu dinantikan dan menguntungkan bagi masyarakat yang punya tujuan ke daerah Banten Selatan; Saketi, Picung, Malingping, Bayah, hingga Cikotok.
Bis ini hanya ada 2 unit. Dan dalam sehari hanya beroperasi dua kali. Mobil pertama rutenya Serang-Cikotok-Serang. Jam 6 pagi berangkat dari Serang, dan jam 6 sore nyampe Serang kembali. Begitu juga mobil yang kedua, berangkatnya sama, hanya rutenya terbalik; Cikotok-Serang-Cikotok. Padahal masyarakat sangat terbantu dengan keberdaanya. Selain karena cepat tanpa ngetem dijalan, juga karena tarifnya terbilang murah jika dibandingkan tarif ELF yang biasa menuju Cikotok. Ini karena bus Damri berpatokan pada tarif yang telah disesuaikan dengan peraturan pemerintah (Supir dan kondekturnya aja berseragam kayak pejabat Dinas Perhubungan). Maka tak heran jika ada seorang ibu yang sengaja menanti bus tiga perempat ini hanya karena merasa murah. Maka di Bus Damri tak ada yang namanya permainan tarif seperti yang biasa terjadi pada mobil ELF dan mobil Bus jurusan Jakarta-Labuan itu.
Tiba di Bayah saya melanjutkan ke Sawarna. Disini agak bingung.
Ketika di Bus, saya sempat tanya-tanya tentang angkutan umum dari Bayah ke Sawarna. Saya tanya ke semua orang yang saya temui.
Kata penumpang Damri disamping saya; tak ada angkutan umum menuju Sawarna.
Penumpang belakang saya;  jawabannya pun sama.
Kondekturnya; juga tak berbeda.
Saya penasaran, maka setelah sampai di Bayah, saya coba keliling ke Pasar dulu dan bertanya ke orang-orang.
Kepada yang saya temuin di terminal Bayah; naik ojeg saja katanya.
Supir angkot di Bayah, entah jurusan mana; begitu juga.
Supir ELF Bayah: tak berbeda jawabannya.
Maka dari 7 orang yang saya tanya, hanya 1 orang yang jawabannya berbeda: ada. (walaupun harus dua kali naik angkutan dan pada ujungnya harus naik ojeg juga. :D)
Selain itu, semuanya menganjurkan naik ojeg.
Saya semakin heran dan penasaran. Destinasi wisata seterkenal Sawarna tak ada angkutan umum menuju kesana? Apalagi dari Bayah ke Sawarna cukup jauh, 12 Km.
Saya benar-benar ingin tahu kenapa? Ada apa?
Selidik punya selidik, ternyata ini semua karena sebuah konflik. Konflik yang melibatkan tukang ojeg.
Sebelum-sebelumnya ternyata pernah ada angkutan umum dari Bayah ke Sawarna. Salah seorang warga berinisiatif untuk mempermudah akses ke tempat wisata tersebut. Tapi setelah beberapa lama angkot itu beroperasi, terjadi kejadian dimana mobil angkot tersebut dipecahkan kaca-kacanya oleh beberapa orang suatu malam.
Kemudian hal yang sama terjadi ketika kedua kalinya ketika angkutan umum yang berbeda selang beberapa lama mengalami kejadian serupa. Secara sengaja dihancurkan oleh orang-orang yang entah siapa tak diketahui secara pasti.
Maka 2 kali keberadaan angkutan umum Bayah-Sawarna, 2 kali pula ketidakberadaannya mengikuti.
Ternyata setelah beberapa lama akar masalah dan biang keroknya terungkap juga. Yang menjadi desas-desus warga Sawarna ternyata bukan isapan jempol belaka. Para tukang ojeg tidak rela ‘ladang’ mereka diambil oleh angkutan umum yang hadir disana. Maka karena konflik antara tukang ojeg dan beberapa orang yang berinisiatif mengadakan angkutan umum Bayah-Sawarna belum selesai juga, angkutan umumpun masih belum dapat dinikmati warga.
Ah konflik memang ada-ada saja.
Saya harap pemerintah mengambil peran ini.
Setelah memperoleh info dari warga Sawarna, esok paginya saya memutuskan untuk pulang lewat jalur berbeda. Tak terencanakan sebelumnya memang. Tapi justru ini tantangan.
Ada mobil ELF langsung dari Sawarna menuju Palabuhan Ratu. Dan sayangnya ini hanya ada satu mobil. Berangkatnya setelah shubuh. Maka beberapa spot yang saya rencanakan dikunjungi harus saya urungkan.
ELF ini satu-satunya angkutan umum yang jadi andalan masyarakat Desa Sawarna untuk menuju Palabuhan Ratu. Sebenarnya ada, tapi kita harus ke Bayah dulu, mencegat ELF jurusan Cikotok-Palabuhan Ratu.
Karena hanya satu tadi, ditambah masyarakat Desa Sawarna begitu membutuhkan keberadaanya, maka alhasil saya bersama 10 orang laki-laki berhasil ‘ditumpuk’ bersama barang-barang bawaan diatap mobil ELF berkapasitas 18 orang tersebut. Sementara sekitar 24 orang dibawah yang kebanyakan perempuan.
Sangat overload memang, tapi ini tak ada pilihan, kawan.
Maka untuk kedua kalinya, pemerintah semoga memperhatikan ini pula.
Kurang lebih seperti ini gambaran mobil yang saya naiki, dengan tambahan beberapa orang lagi diatasnya.

Ada alasan tersendiri dan berbeda-beda mengapa masyarakat Desa Sawarna lebih memilih ke Palabuhan Ratu untuk berbelanja kebutuhan mereka. Bertumpuk dan berjejal di mobil berkapasitas kecil hingga 2 kali lipatnya. Mereka rela-rela ke Propinsi sebelah daripada harus ke Bayah atau Malingping.
Rute yang saya tempuh: Pandeglang-Bayah-Sawarna-Pelabuhan Ratu-Bogor-Jakarta-Rangkas-Pandeglang.
 
Dari Bogor saya berkereta, menuju Jakarta kemudian terus ke Rangkas. 4 ribu saja. Sungguh murah. Maka tak heran jika kereta api selalu dijejali dan dipenuhi penumpang tiap waktunya dan menjadi moda transportasi paling favorit bagi kalangan menengah ke bawah. Rencana kenaikan tarif Oktober nantipun sepertinya takkan mengurangi antusias masyarakat untuk menggunakan kereta. Walau mungkin banyak yang keberatan dan tidak setuju. Dan sayapun sebenarnya tidak setuju tentang rencana itu, selama itu tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah moda transportasi dan peningkatan pelayanannya pula.

Pandeglang, 02 Juli 2012

Selasa, 11 September 2012

'Oleh-Oleh' Kecil dari Ciamis

Baru saja shubuh tadi saya pulang dari Ciamis. Main di rumah teman yang sudah lama tak berjumpa. Buat saya, 2 hari disana sudah cukup untuk mendapat suasana baru, ilmu baru, pengalaman baru, sudut pandang baru menjalani hidup ini.
Sebenarnya kepergian kesana tak direncakan sebelumnya. Itu hanya obat dari sebuah kekecewaan karena tak jadi pergi ke Pangrango akhir pekan kemarin. Tapi alhamdulillah-nya Ciamis bersedia menjadi tempat 'pelampiasan'. :D
Berawal dari menghadiri wisuda teman-teman SMA di kampus UI Depok, rencana kepergian ke TNGP keesokan harinya tepaksa ditunda karena sesuatu hal. Entah sampai kapan.
Akhirnya berangkat ke stasiun Kota untuk mencari kereta ke arah Ciamis sekalian beli tiketnya. Entah karena akhir pekan atau karena memang sudah biasa, saya harus menunda keberangkatan ke Ciamis dengan kereta keesokan paginya. Karena tiket kereta Serayu Malam tujuan akhir Kroya telah habis terjual.
Ini pertama kalinya saya naik kereta lewat jalur selatan. Dataran tinggi di sekitar Bandung membuat rute kereta harus berbelok-belok, diatas pegunungan. Alhasil saya dapat menyaksikan pemandangan dibawah kaki gunung langsung dari kereta yang sedang berjalan. Ruas jalan tol yang membelah bukit, pemukiman penduduk yang berpola ataupun random, persawahan hijau yang membentang, sungai-sungai yang mengalir dibawah kereta, bukit-bukit menjulang yang justru menjadi tempat roda kereta menapak diatas rel, menjadi pemandangan yang menakjubkan. Ini toh alasan kenapa saya tidak mendapatkan kereta malam hari, fikir saya. Hhe..
Ciamis sendiri sudah sesuai ekspektasi saya selama ini. Sejuk, damai, tenang, dan tentunya tidak se-crowded kota-kota penting lain. Mulai dari alun-alunnya yang rapi, mesjid agungnya yang cukup megah, suasana malam kotanya elok, orang-orangya yang hangat, hingga hal yang saya paling suka, logat bahasa sunda lemes yang digunakan. Mengobrol dengan teman, bergurau, berjalan-jalan dikota dan suasana baru jadi kegiatan saya disana.
Pulang dari Ciamis saya mendapat beberapa oleh-oleh, salah satunya sebuah pencerahan tentang mengapa teman-teman sebaya saya, adik-adik saya, begitu ingin cepat-cepat menyelesaikan studinya, ingin cepat-cepat menyelesaikan kulihanya, dan ingin cepat-cepat segera mendapat pekerjaan.
Saya menemukan bahwa sebagian, atau bahkan mayoritas orang, ingin cepat-cepat bekerja agar segera dapat memiliki apa yang mereka inginkan. Dengan bekerja kita bisa mendapatkan ini dan itu dengan mudah, dengan bekerja kita berekspektasi bahwa kehidupan kita akan makmur dan sejahtera, dan dengan bekerja kita bisa memiliki segalanya dengan merocek kantong yang diisi dengan gaji yang kita dapat.
Tapi sekali lagi, itu hanya sebagian. Motivasi orang ingin segera menyelesaikan sekolah dan kuliah kemudian segera bekerja memang berbeda-beda. Tapi harus diakui, banyak orang yang motivasinya seperti yang saya ungkapkan diatas. Dan menurut saya, ini bisa membuat kita menjadi manusia materialistis.
Coba sekarang fikir-fikir lagi deh, yang lagi sekolah atau kuliah, kenapa ingin cepat-cepat lulus dan segera bekerja? Padahal secara tidak langsung, ketika kita ingin segera lulus sekolah, segera lulus kuliah, segera bekerja, segera berkeluarga, itu artinya kita ingin segera tua, dan artinya pula segera mendekati kematian. :p
Inginnya yang segera-segera melulu.
Hufth..! Menikmati apa yang saat ini dijalani itu memang tidak mudah.
Perjalanan kemarin dan sebelum-sebelumnya (dan kedepannya semoga), memang selalu mendatangkan pelajaran-pelajaran baru. Seperti kata Imam Syafi’i, walaupun itu menghabiskan uang dan tenaga, akan terbayar dengan 5 manfaat yang akan didatangkannya, salah satunya ilmu dan pelajaran-pelajaran baru.
Lagian menurut saya, uang itu akan habis pula kok pada akhirnya. Bisa dicari lagi. Rezeki Allah masih melimpah ruah di bumi ini.
Dan tenaga akan bisa diisi lagi dengan makan. Juga dengan istirahat pada saat waktunya nanti. Takkan pernah habis selama kita masih hidup dan menjaga kesehatan.
Beda dengan ilmu, pengalaman berharga, pelajaran baru, akan sulit didapatkan dengan mudah dengan hanya diam disatu tempat saja.
Dan di perjalanan pulang dalam bus Merdeka menuju Serang, sempat terfikirkan dan timbul harapan benak saya, semoga kelak suatu saat nanti saya punya pendamping yang suka jalan-jalan juga.. *lho??? :D