Sabtu, 29 Juni 2013

Muqoddimatussafar

"Simpanlah mimpi besarmu, sedikit demi sedikit kau mewujudkannya menjadi nyata." -Yollanda Octavitri, seorang kawan.

Diketik melalui ponsel dengan penuh kesabaran, dari sudut sebuah bangunan di desa yang ada di salah satu dari 113 kabupaten tertinggal di Indonesia, saya ingin coba menuliskan sedikit tentang latar belakang perjalanan saya keliling Banten dengan sepeda sendirian hari ini dan beberapa hari kedepan.

Sedikit berlebihan memang, karena sudah amat banyak orang-orang yang menggunakan sepeda dalam beperjalanan jarak jauh: antar kota, antar pulau, antar negara, bahkan antar benua; keliling Jawa, keliling Indonesia, keliling Eropa, keliling Amerika Selatan, bahkan keliling dunia. Dan saya? hanya keliling Banten. Tak ada apa-apanya. Tapi karena tak ada cerita yang lebih indah dari cerita tentang diri sendiri, ingin coba saya lanjutkan tulisan ini. Jadi yang tak tertarik -dan daripada membuang waktu, silahkan akhiri bacaannya sampai kalimat ini saja. :D

Setiap dari kita pasti punya mimpi, mimpi besar. Entah itu mimpi bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, juga agama. Pun begitu dengan saya -yang hobi bersepeda, senang beperjalanan, menyukai fotografi, dan cinta pada daerah sendiri punya mimpi besar yang ingin diwujudkan. Banyak cara yg dilakukan demi terwujudnya mimpi-mimpi kita. Banyak bentuk usaha yg ditempuh sebagai upaya untuk mewujudkan mimpi-mimpi tersebut. Saya sendiri memilih menggabungkan keempat hal yang selama ini saya jalani tadi sebagai salah satu upayanya. Dan kemudian saya pun memutuskan untuk mengupayakannya tidak nanti jika sudah menjadi ini dan itu, tapi sekarang, saat ini juga (walau hanya permulaan). Masa depan tak ada yang tahu, umur tak ada yang menjamin bukan?

Maka jika ada yang bertanya-tanya mengapa saya mau menempuh perjalanan dengan mengayuh sepeda sejauh 569 kilometer sendirian tanpa kawan, jawabannya karena sebuah mimpi. Ya, mimpi. Mimpi apa itu? Sebuah mimpi besar yang biarlah waktu saja yang akan menjawabnya.

Dan karena perjalanan ini merupakan awal dari salah satu mimpi besar saya untuk Banten, maka perjalanan ini saya namakan: muqoddimatussafar.

Rute Muqoddimatussafar
 Pandeglang, 15 Juni 2013
*Tulisan saat perjalanan keliling Banten beberapa waktu yang lalu, tulisan aslinya disini. Tulisan-tulisan selanjutnya, mohon tunggu ya.. #sokpenting #plak

Senin, 27 Mei 2013

Secret Admirer


Semenjak mengenalnya beberapa tahun lalu, aku tahu dan sadar dia telah secara tidak langsung selalu menginspirasiku dalam segala hal. Tulisan, perbuatan, bahkan sebuah mimpi. Dari sana rasa kagum itu kemudian muncul.

Saat itu, aku memutuskan untuk menjaga jarak darinya. Jika pun ada interaksi, sekedar dan seperlunya saja. Aku tak ingin berlebihan. Aku takut rasa kagum ini menjadi bertambah dan berubah bukan hanya sebuah kekaguman, tapi rasa yang lebih dari itu. Rasa yang lebih atas dari sebuah kekaguman pada seorang wanita sebaya. Aku hanya tak ingin itu terjadi. Cukup aku mengaguminya saja, dengan caraku sendiri.

Aku begitu berharap bisa menemukan sosok seperti dia suatu saat nanti. Untuk bisa menemani sisa hidup didunia ini.

Tapi yang tak pernah terfikirkan olehku, mengapa aku tak pernah berfikir untuk menjadikan dia saja sosok yang kucari itu? Hmm..

Kamis, 23 Mei 2013

Upacara Seba yang Berbeda

Sempat ada tarik ulur mengenai waktu penyelenggaraan upacara Seba tahun ini antara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Banten dengan Masyarakat Suku Baduy. Dengan alasan tertentu, Disbudpar provinsi Banten meminta masyarakat Baduy memajukan waktu penyelenggaran upacara Seba agar waktunya tepat. Namun pada akhirnya, upacara Seba tahun ini tetap berlangsung sesuai rencana awal: tanggal 17, 18, 19 Mei 2013.

Tahun ini Penulis berkesempatan kembali mengikuti salah satu adat tradisi suku Baduy yang biasa dilaksanakan setahun sekali. Ada beberapa, bahkan banyak perbedaan -walau bukan hal mendasar, yang Penulis temukan secara kasat mata dalam upacara Seba tahun ini dibanding upacara Seba tahun-tahun sebelumnya. Pada tulisan ketiga tentang upacara Seba ini, Penulis hanya ingin menyampaikan perbedaan-perbedaan yang dilihat secara kasat mata tersebut.

Untuk yang belum tahu apa itu upacara Seba, silahkan baca tulisan Penulis sebelumnya, Upacara Seba (1) dan Upacara Seba (2).

Perbedaan pertama dimulai dari diri Penulis. Jika tahun lalu hanya dari Rangkasbitung menuju Serang, tahun ini Penulis berkesempatan mengikuti upacara Seba dari perjalanan awal di Kaduketug hingga ke tujuan akhir di Kota Serang.

Selain itu, tahun ini Penulis mencoba berjual beli pernak-pernik dan hasil kerajinan warga Baduy selama kegiatan upacara Seba berlangsung. Jual beli tersebut dilakukan dengan sistem murabahah (maklum lah mahasiswa ekonomi Islam).

Selain itu juga, saat perjalanan dengan sepeda ‘mengawal’ rombongan Baduy dalam dari Rangkasbitung menuju Serang, ban sepeda Penulis mengalami kebocoran. Hingga akhirnya memutuskan berjalan bersama rombongan Baduy dalam berjalan kaki menghabiskan sisa setengah perjalanan.

Selain itu juga (masih ada lagi), Penulis berhasil mendokumentasikan seluruh rangkaian upacara Seba tahun ini dengan tidak menggunakan kamera pinjaman lagi. Alhamdulillah. :)

Perbedaan selanjutnya dari upacara Seba itu sendiri. Upacara Seba tahun ini merupakan Seba Gede. Dan juga merupakan Seba terbesar yang pernah dilaksanakan. Upacara Seba tahun 2012 kemarin hanya diikuti oleh 1439 warga Baduy, yang terdiri dari 1388 orang Baduy luar dan 51 Baduy dalam. Namun tahun ini jumlahnya meningkat menjadi 1779 yang terdiri dari 1709 Baduy luar dan 70 Baduy dalam. Karena merupakan Seba Gede, hasil pertanian yang dibawa pun lebih banyak. Dan tidak hanya hasil pertanian, namun juga membawa alat-alat yang biasa digunakan masyarakat Baduy sehari-hari: dulang, nyiru, aseupan bahkan golok.

Jika pada tahun-tahun sebelumnya penerimaan oleh Bupati Lebak atau Bapa Gede dilaksanakan setelah waktu Isya, sekitar jam 8 malam. Kali ini acara didilaksanakan setelah waktu maghrib, dan berlangsung tidak di pendopo. Dan acaranya pun tak lebih dari setengah jam (karena tidak ada dialog antara Bapak Gede dan warga masyarakat Baduy). Penulis sempat kecolongan, karena tidak menghadiri acara tersebut. Dan pemberitahuan ini pun ternyata mendadak, karena rencana awal memang akan dilaksanakan seperti biasa, jam 8 malam di Pendopo Kabupaten Lebak.

Esoknya, jika seperti biasanya warga Baduy dari Rangkasbitung langsung menuju Pendopo Gubernur di Kota Serang, kali ini 1779 warga Baduy diminta mampir ke Disbudpar di Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) di daerah Palima. Baru kemudian melanjutkan menuju pendopo Gubernur Banten di Pusat Kota Serang dengan berjalan kaki bersama untuk mengikuti acara pada malam harinya.

Malam harinya, upacara Seba tahun ini dihadiri oleh tamu undangan dari berbagai negara: Belanda, Australia. Penulis menemukan beberapa turis duduk di barisan depan bersama jajaran dari pemerintahan provinsi Banten.

Berbeda dari sebelumnya juga, ketika acara penerimaan dan dialog hampir selesai, Gubernur Banten atau Ibu Gede menyempatkan berfoto ditengah-tengah 1779 warga Baduy yang memadati pendopo Gubernur Banten semenjak sore. Hal ini sempat tak direncanakan juga, karena sebelumnya Ibu Gede hendak meninggalkan tempat, namun diminta beberapa wartawan untuk menuju tengah kerumunan warga Baduy dan berfoto bersama mereka sambil melambaikan tangan.

Itu beberapa perbedaan yang Penulis temukan selama 3 hari kemarin. Ada perbedaan-perbedaan tak kasat mata pula yang Penulis yang temukan dalam upacara Seba tahun ini. Namun sepertinya itu butuh tulisan tersendiri untuk menyampaikannya.

Berikut beberapa momen-momen yang berhasil Penulis dokumentasikan selama rangkaian upacara Seba beberapa hari yang lalu.


Foto-foto lebih lengkapnya bisa dilihat disini

Sabtu, 27 April 2013

Sawarna, Pesona Pantai Selatan Jawa*


“Kata orang kota, disana ada jejak si Kabayan.” Ucap seorang kakek dalam bahasa sunda padaku, sambil menunjuk ke arah Karang Bodas.

Karang Bodas adalah salah satu dari setidaknya lima tempat yang paling sering dikunjungi oleh wisatwan di Desa Sawarna ini, selain Pantai Ciantir, Tanjung Layar, Legon Pari, dan Goa Lalay.

Bodas berasal dari bahasa sunda yang berarti putih, tak lain karena bukit yang menjorok ke arah laut ini sebagian besar terdiri dari karang dan batu cadas berwarna putih. Adapun yang disebut jejak si Kabayan adalah sebuah lubang besar berbentuk tapak. Walau tak mirip tapak kaki. Jejak si Kabayan ini pun sebenarnya adalah sebutan dari wisatawan lokal saja. Sebagian besar warga Sawarna tak pernah tahu tentang keberadaan jejak si Kabayan tersebut.

Sawarna sendiri adalah sebuah desa yang berada di selatan pulau Jawa bagian Barat. Persisnya di Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten.

Dalam 2 tahun terakhir ini, Sawarna telah menjelma menjadi destinasi favorit bagi wisatawan. Terutama bagi mereka yang terjebak rutinitas sehari-sehari di perkotaan. Tapi aku ada disini hanya karena sebuah rasa penasaran. Maka dengan menggendong carrier kesayangan, aku putuskan untuk backpackeran, sendirian.

Pantai Ciantir menyambut saat pertama datang ke Desa Sawarna, setelah sebelumnya aku harus melewati jembatan gantung, kemudian menembus perkampungan yang penuh dengan homestay hingga hampir pesisir pantai.

Beberapa warung berjejer di tepian pantai, menghadap ke lautan. Keduanya dipisahkan bentangan lautan pasir yang cukup luas untuk sebuah pantai. Bahkan aku temukan gawang bambu yang mungkin digunakan untuk bermain sepak bola.

Selain arealnnya yang cukup luas tadi, pasirnya pun halus, putih juga bersih. Itulah mungkin kenapa pantai ini sering disebut juga Pantai Pasir Putih. Ombaknya pun cukup besar, bahkan sangat besar di waktu-waktu tertentu. Maka tak heran ada spanduk larangan berenang yang di pasang di waktu-waktu tertentu tadi. Ini karena memang pantai ini berada di selatan pulau jawa, yang menghadap langsung ke Samudera Hindia.

Berjalan beberapa ratus meter ke arah timur menyusuri pantai, ku temukan Tanjung Layar. Dia begitu mempesona. Bagaimana tidak, dua buah batu besar menjulang setinggi kurang lebih 10 meter dan panjang 20 meter juga lebar sekitar 2 meter, berada 30 meter dari garis pantai. Ditambah lagi didepannya ada karang yang seolah menjaga layar ini dari terjangan ombak.

Ke arah timur lagi ada Karang Bodas yang aku ceritakan tadi, kemudian Karang Beureum hingga kemudian Legon Pari. Legon Pari merupakan pantai yang menjorok ke daratan. Pasirnya sekilas tak jauh berbeda dengan di Pantai Ciantir. Aku hanya memandangnya dari kejauhan. hari sudah siang, aku sedikit memutar arah untuk mencari jalan ke Goa Lalay.

Dengan mengandalkan keterangan beberapa warga, dan setelah berjalan kaki sekitar 1 jam, akhirnya aku berhasil menyambangi Goa Lalay. Ternyata tidak sesulit yang dibayangkan, walau aku harus menyusuri jalan setapak menembus perkebun warga, meniti pematang-pematang sawah, menyeberangi sungai, melewati jembatan gantung, hingga menyisir kuburan. Menurut warga, ada dua goa sebenarnya di Sawarna ini. Hanya karena masalah waktu, aku sambangi yang ini saja.

Karena Goa Lalay berarti Goa Kelelawar, seharusnya ada kelelawar di dalam goa ini. Tapi yang kutemui hanya stalaktit-stalaktit goa yang cantik yang berjejer apik bersama aliran sungai kecil yang airnya segar sepanjang goa. Namun kata warga memang suka ada kelelawar yang bersarang di gua ini.

Setelah hari mulai sore, aku kembali ke tempat awal dengan mengambil rute yang berbeda. Melemaskan kaki setelah seharian berjalan mengitari Sawarna. Melewati dinginnya hembusan angin laut di atas dipan sebuah warung makan di pinggir pantai.
Pada akhirnya, aku yang sebenarnya tak terlalu menyukai pantai, mengubah statment itu setelah mengunjungi Sawarna.


*Tulisan tahun lalu, sayang kalo ngga dipublish. :D

Selasa, 16 April 2013

Profesi = Ibadah

Kita setuju bahwa kita diciptakan untuk beribadah. Sebagaimana yang telah agama kita ajarkan. Dan kita pun sepakat bahwa ibadah memiliki banyak bentuk. Secara garis besarnya digolongkan menjadi dua; mahdhoh dan ghoiru mahdhoh. Ya, kita sepakat bahwa ibadah itu tidak hanya shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, dan ibadah lain yang hubungannya langsung dengan Allah. Karena menyingkirkan duri dari jalanpun merupakan ibadah. Kita tahu dan sepakat itu.

Pun begitu dengan apa yang kita jalani saat ini, dan kedepannya yang menjadi cita-cita kita. Atau profesi yang telah, sedang dan akan kita jalani nanti. Semuanya adalah merupakan bentuk ibadah.

Tak peduli berapa kali dan sebanyak apapun kita mengganti cita-cita semenjak kecil hingga sekarang, atau mungkin ada yang tetap istiqomah di cita-cita yang dipilihnya. Juga tak peduli profesi yang sedang atau akan kita jalani sesuai passion atau tidak. Itu juga tak jadi soal. Walau memang lebih baik sesuai dengan passion, karena dengan passion kita akan menemukan versi terbaik dalam diri kita. Begitu katanya. Namun bukan berarti yang tidak sesuai passion itu tidak baik. Kita tidak bisa menjamin hal itu. Karena harus diakui, di masyarakat sana banyak orang-orang yang jangankan tahu apalagi mengerti konsep passion, berfikir tentang sebuah profesi dan pekerjaan pun mereka tidak. Yang ada dalam fikiran mereka hanya bagaimana caranya bisa bertahan dalam menjalani kehidupan. Selama bisa memberi makan anak istri, itu sudah cukup.

Kita tidak berhak menganggap satu profesi lebih baik dari profesi yang lain atau bahkan menganggap satu profesi lebih mulia dari profesi yang lain. Semua jenis profesi itu adalah mulia selama mempunyai dampak positif bagi masyarakat, setidaknya bagi saya seperti itu.

Profesi apapun yang kita pilih, disiplin ilmu apapun yang kita tekuni, selama itu kita jalani dengan sebaik-baiknya adalah merupakan ibadah sesungguhnya. Karena dengan menjalani dengan sebaik-baiknya, profesi itu pada saatnya akan mempunyai dampak positif yang begitu besar bagi masyarakat, dan menjadi ladang amal bagi kita.

Menjadi dokter yang membantu meringankan tidak hanya orang-orang sakit tapi juga orang orang-orang kecil yang sakit, menjadi guru yang ikhlas mentransferkan berjuta ilmu pada generasi setelahnya, menjadi arsitek yang membangun bangunan megah yang memiliki sejuta manfaat bagi umat, menjadi jurnalis yang objektif dalam menyampaikan berita dan ikut dalam mencerdaskan masyarakat, menjadi birokrat yang setia melayani dan mengabdi kepada masyarakat, menjadi hakim yang seadil-adilnya tanpa melihat golongan tertentu, semua itu adalah profesi mulia dan termasuk ibadah. Ibadah yang hubungannya dengan manusia.

Maka sebenarnya menjadi apapun diri kita: Guru, Dokter, Perawat, Jurnalis, Arsitek, Bankir, Birokrat, Diplomat, Politikus, Hakim, Ulama, Seniman, Pengusaha, Selebriti atau menjadi yang tak punya dan tak ingin memiliki gelar apapun, yang terpenting adalah bukan terkenal atau tidaknya kita, bergengsi atau tidaknya profesi kita, tinggi atau rendahnya kedudukan kita, bukan pula besar kecilnya gaji kita. Tapi yang terpenting adalah  kebermanfaatan kita: pada diri sendiri dengan bagaimana menjadi sebaik-baiknya orang dalam disiplin ilmu atau profesi yang kita jalani; dan kepada lingkungan serta masyarakat dengan bagaimana kita punya peran postif didalamnya. Dengan semuanya tetap diiringi ketaatan pada Allah dengan bagaimana kita selama hidup selalu berada di jalan yang sesuai tuntunanNya dan meniatkannya sebagai bagian dari ibadah kepadaNya.

Waallahu’alam bishowab.

Kehilangan

Saya pernah berada pada masa amat begitu mencintai ilmu. Masih jelas dalam bayangan saya, belajar hingga jauh larut malam; di dalam kamar, di atas meja belajar, di depan kelas, di ruang kelas, di bawah tangga kelas hingga ketiduran, di perpustakaan, di bawah temaram lampu PJU,  bahkan di trotoar semalaman.

Bukan hanya karena besoknya ada ujian, atau karena ingin menjadi juara kelas. Tapi karena saya memang begitu menyukai pelajaran yang saya pelajari.

Dan saat ini, saya sedang mencari-cari rasa yang telah lama hilang itu.

Senin, 04 Maret 2013

Membelah Bukit

Ini tentang sosok yang mempunyai pengaruh besar dalam hidupku, yang begitu menginspirasiku, semenjak kecilku hingga saat ini.
Ini tentang kakekku, Abdul Mutholib-ku hingga kini. Mahbub bin Abdul Fakar bin Afiq.
Kakekku adalah pria yang tangguh dan pekerja keras. Masih tersimpan dengan baik dalam memoriku, saat ia ingin mengelola sebuah tempat yang dianggap tidak bersahabat; sebuah rawa, dipinggir sawah, cukup jauh dari perkampungan, dibiarkan saja tak terurus, penuh kubangan tempat mandi kerbau, dikelilingi semak belukar pula. Ceritanya dia ingin menjadikan tempat  itu sebagai tempat usaha. Orang-orang kampung menyarankan lebih baik cari tempat lain. Tak usah saja. Banyak yang meragukannya.
Memang karena sudah wataknya yang keras. Ia tetap ingin mewujudkan keinginannya itu. Maka berbulan-bulan ia, kedua anak laki-lakinya (yang tak lain pamanku), kakakku dan aku sendiri mengolah rawa yang sudah tak ada yang mau mengurusnya semenjak dulu itu. Berhari-hari kami menyingkirkan tumbuhan-tumbuhan rawa yang ada disana. Berbulan-bulan kami mencangkul, memadatkan tanahnya, mengelola airnya, membuat irigasi, mendirikan gubuk, memasang listrik, dan menuliskan plang ‘jual beli ikan dan pemancingan’. Ya, kami berhasil mengubah rawa yang terkenal tak bersahabat itu menjadi sebuah pemancingan yang ramai dan tempat berkumpul beberapa warga kampung setiap sorenya. Menjadi tempat nongkrong bapak-bapak, ibu-ibu yang membawa anak-anaknya bermain.
Dan yang terakhir, baru-baru ini kakekku yang keras itu mencoba membelah bukit. Sebenar-benarnya bukit, bukan kiasan. Ya, dia ingin membelah bukit dalam arti sebenarnya. 
Biar sedikit kujelaskan dengan gambar apa yang kumaksudkan. 


Pada  gambar itu ada sungai yang berbelok melingkari sebuah daratan. Ukuran lebar sungai sekitar 5-6 meter, ini adalah salah satu aliran sungai Ciujung yang melewati kampung halamanku. Hulu sungainya sendiri ada di Baduy dalam. 
Jadi ceritanya, kakekku ingin mencoba memindahkan aliran sungai Ciujung itu dengan meluruskannya membelah daratan. Membuat aliran baru untuk sungai. Dalam gambar dengan menarik garis lurus dari A ke B. Dan daratan itu bentuknya adalah sebuah bukit. Tinggi bukitnya sekitar 10 sampai belasan meter. Maka artinya ia ingin membelah bukit.
Aliran sungai yang berhasil ia pindahkan, ingin ia jadikan tempat pembibitan ikan. Airnya yang mengalir besar serta jernih sangat cocok untuk itu. Mimpinya ia ingin seperti apa yang ada di waduk Cirata, di Jatiluhur sana.
Banyak yang meragukannya, apalagi tempat dibalik bukit itu memiliki cerita mistis yang cukup terkenal. Banyak pula yang melarangnya untuk tidak meneruskannya. Tapi kakekku tak bergeming, ia tetap meneruskan.
Ya aku tahu dia tak lagi muda, tapi yang lebih aku tahu adalah semangatnya masih tetap muda dan akan terus muda. Katanya, ini pun mimpinya sejak ia muda.
Dan bulan kemarin, aku sempat ikut menaklukan bukit itu, bersamanya.  
Ini penampakkan bukitnya.
Yang berdiri paling depan itu kakekku (jika mengacu pada gambar sebelummnya, kakekku berdiri di B).
Sayangnya, kini dia sakit-sakitan. Akhirnya mamahku memutuskan untuk mengajaknya ke Pandeglang. Kini dia bersamaku di rumah. Semoga dia cepat diberi kesembuhan.

اللّمّ ربّ النّاس أذهب بأس إشفيه أنت الشّافىء لاشفاءًا إلّا شفائك شفاءًالايغادرسقماً ولا ألماً