Senin, 19 Agustus 2013

Sisi Gelap

"Selama hidupmu, kau punya sisi gelap?" Tanyaku ditengah obrolan kami tentang masa lalu.

"Tentu. Setiap orang pasti punya sisi gelap dalam hidupnya, Kawan. Pun begitu dengan diriku. Punya sisi gelap dalam hidup yang pernah kujalani. Bahkan sisi tergelap aku menganggapnya. Dan aku merasa cukup sekali saja merasakannya. Aku tak ingin mengulanginya lagi. Cukup sekali aku terjatuh di lubang itu. Sekali! dua kali tak perlu." Jawabnya tegas dan panjang lebar. Rasa-rasanya curhatan ini akan menjadi semakin dalam.

"Bagaimana kau menyikapinya?" Aku memancing.

"Entahlah, semua memori itu ingin aku ikat erat-erat, kumasukan dalam peti, lalu ku gembok. Kumasukan dalam peti yang berbeda, lalu ku gembok lagi. Kumasukan dalam peti lagi, dan ku gembok lagi. Lalu ku rantai dan ku gembok untuk terakhir kalinya, dengan gembok baja. Lalu peti itu kubawa ketengah lautan Pasifik, tepat di palung Mariana, palung terdalam dunia. Aku jatuhkan disana. Dengan pemberat tentunya. Keempat kunci gemboknya ku ikut sertakan. Ah, tidak! Aku lebur saja dalam tungku pandai besi." Pancinganku dapat. Panjang lebar ia jelaskan. Lebay sih, tapi dapat kuterima.

Ingin ku lemparkan pertanyaan tentang maksud masa gelapnya itu. Tapi sebelum itu kulakukan, ia kembali meneruskan. Kalimat-kalimatnya tadi ternyata belum selesai.

"Atau dengan cara lain, file-filenya ku kumpulkan kedalam satu folder, ku delete. Ku buka recycle bin nya. Ku empty-kan recycle bin itu. Dan Recuva aku format agar tidak dapat mencari file-file itu. Lalu kemudian aku install ulang laptopnya. Ah, atau ku jual saja ya? Tidak, tidak. Aku masih memerlukannya."

Dia lengah, ini kesempatanku melempar pancingan kedua.

"Sudahlah, kawan.. Aku telah menjatuhkannya ke dasar lautan. Mungkin sekaran sudah sampai. Tak usah kau berusaha mengambilnya kembali. Akan sulit. Sulit sekali." Dia tak mengizinkanku melempar joran pertanyaan selanjutnya.

Walaupun sebenarnya aku ragu akan pernyataan terakhirnya itu, tapi sepertinya dia memang sudah tak ingin membicarakannya lagi.

Senin, 29 Juli 2013

Bersepeda Keliling Banten (Part 1)

‘PDG 23’, tertulis jelas di tugu penanda jarak setinggi satu meter disamping saya. Pusat kota masih sejauh kilometer yang tertera disana, matahari hampir tenggelam, sedangkan saya masih di perjalanan yang sebagian besarnya hutan. Akan menginap disinikah saya malam ini?

Saya kembali bergerak. Mengayuh sepeda dengan mengandalkan tenaga yang masih tersisa. Setelah menempuh perjalanan Serang-Cilegon-Anyer-Carita-Caringin-Jiput sejauh 90 km, saya memilih beristirahat sejenak dipinggir jalan. Lebih sering dari sebelum-sebelumnya. Karena rute 15 km terakhir lebih banyak tanjakkan. Jauh berbeda dengan rute yang telah ditempuh dari Serang hingga Carita semenjak pagi.

Hari ini, Sabtu, 15 Juni 2013 adalah hari pertama saya bersepeda berkeliling Banten. Melewati 4 Kabupaten dan 4 Kota di Propinsi Banten dengan mengendarai sepeda. Menempuh jarak kurang lebih 600 km-rute yang cukup panjang bagi pemula seperti saya-dengan tekad ingin melihat Banten lebih dekat, mencoba mengenal Banten lebih dalam.

Sore hari saya tiba di sebuah daerah antara Kecamatan Jiput dan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang. Pegunungan Akarsari terbentang di sepanjang jalan yang saya lewati. Dibawahnya hutan luas dan areal persawahan menghampar. Sebagian berundak-undak, sebagiannya lagi luas menghampar. Sebagian ditanami padi, sebagiannya lagi ditanami tanaman palawija. Sebagian padi hampir menguning, sebagian lagi baru ditanam. Karena ini daerah pegunungan, maka tak aneh jika jalan yang saya tempuh kali ini membuat susah payah dalam mengayuh sepeda. Tanjakan bernama tanjakan Banganga adalah puncak dari kesusahpayahan saya itu. Tanjakan itu begitu masyhur bagi penduduk sekitar Jiput-Mandalawangi. Bagaimana tidak, tanjakan sepanjang setengah kilometer ini kemiringanya hampir 45 derajat. Melihatnya saja sudah ngeri. Tinggi sekali. Dari puncaknya saja saya bisa melihat laut Selat Sunda terbentang luas saat menengok ke belakang. Maka sepedapun mau tak mau harus dituntun. Jangankan sepeda, terkadang ada motor dan mobil yang tak kuat menyelesaikan tanjakan ini sampai akhir.

Beberapa menit menjelang matahari terbenam sebelum adzan maghrib berkumandang, saya menemukan langgar. Sebuah tempat shalat dengan kapasitas sekitar seratus orang. Langgar di Desa Pandat, Kecamatan Mandalawangi, 18 km dari pusat kota Pandeglang ini menjadi pilihan untuk beristirahat malam nanti. Setelah membersihkan diri, shalat dan hendak mencari warung makan, seseorang menghampiri. Seorang kakek tua, berusia sekitar 60-an, bersarungkan, berbaju koko, berkopiah putih, dengan garis wajah yang tak bisa disangkal lagi telah keriput,  mendekati saya. Tersenyum. Menyapa. Kemudian bertanya. Saya memperkenalkan diri sebagai mahasiswa yang sedang berkeliling Banten. Kami mengobrol singkat, kemudian ia memperkenalkan diri. “Ibnu Mas’ud,..” diam sepekersekian detik kemudian melanjutkan, “S.Ag.” Sedikit tak percaya lelaki tua di sebuah kampung yang cukup tertinggal ini memiliki gelar. Peduli terhadap pendidikan saya menarik kesimpulan. Padahal Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu dari 113 daerah tertinggal di Indonesia tahun 2013 menurut Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Apa mungkin ini sekarang? Dulu tidak. Ironis, karena ternyata ia satu-satunya sarjana yang ada di desa ini. Dan memang ia begitu dihormati. Entah karena usianya, gelarnya atau karena hal lain darinya yang tidak saya ketahui. Saya lihat itu saat ia mengajak saya mengikuti ngariung selepas maghrib disalah satu rumah warga. 

Ngariung merupakan sebuah tradisi umat muslim -terutama di daerah pedesaan- untuk berkumpul dan mendo’akan sebuah hajat bersama-sama. Ngariung dilaksanakan ketika ada sebuah peringatan. Ada muludan saat bulan Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah sebagai peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ada Safaran saat bulan safar. Ada ruwahan saat bulan Sya’ban. Ada haul untuk mengingat waktu meninggalnya kerabat dekat. Ada juag ngariung ketika hendak menghadapi bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Bahkan sekedar saat menempati rumah baru, warga disini seperti warga Pandeglang dan Banten pada umumnya melaksanakan ngariung. Mereka mengundang para tetangga atau warga desa untuk berkumpul dan berdo’a bersama-sama, dipimpin oleh seseorang yang dianggap layak. Biasanya sesepuh atau ustadz. Kemudian pulangnya setiap orang yang hadir mendapat satu jatah berkat. Berkat sendiri adalah makanan dalam satu wadah yang berisi nasi, dan lauk pauknya diatasnya, ditutup daun pisang kemudian dibungkus plastik. Lauk pauknya biasanya berupa ikan mas, daging ayam, telur, mie dan bihun serta kentang.

Rumah panggung dengan berdindingkan bilik bambu menyambut saya dan Abah Mas’ud, begitulah orang-orang desa menyebutnya. Terasnya yang cukup luas telah dipenuhi lelaki berseragamkan pakaian Islami: sarung, baju koko, peci kopiah. Sebagian besarnya telah tua. Hanya segelintir saya temukan anak muda seusia saya disana. Kami dipersilahkan masuk kedalam, begitu juga dengan saya. Duduk di samping para sesepuh desa, dijamu bak tamu kehormatan. Saya duduk tepat disamping kiri Abah Mas’ud. Sedikit memojok ke sudut ruangan berukuran 3x5 meter berdindingkan bilik bambu ini. Saya kaget saat baru saja duduk langsung disuguhi secangkir kopi dan sebatang rokok. Rokok sudah seperti hal wajib sepertinya disini. Sempat menolak karena memang tidak merokok, tapi seseorang disebelah kiri saya mencegahnya. “ambil saja, sudah jatahnya” bisiknya dengan bahasa sunda. Mungkin maksudnya ini sudah dianggarkan oleh pemilik hajat. Maka menolaknya sama dengan memberikan anggaran bukan pada haknya. Tapi tetap saja saya tidak mengambil sebatang rokok itu, membiarkannya  begitu saja. Saya hanya menyeruput kopi hitam yang disuguhkan. Pahit. Mungkin karena ini kopi racikan sendiri dan saya tak biasa meminum kopi. Saya makan saja penganan yang telah disediakan di depan kami. 

Temaram lampu bolham menyinari kami yang berada di ruangan. Seseorang yang juga telah sepuh yang duduk disebelah kanan Pa Mas’ud membuka secarik kertas dari saku baju koko putihnya. Sang pembaca tahlil itu sebelumnya mempersilahkan Abah Mas’ud, tapi Abah Mas’ud balik mempersilahkan. Mungkin hanya basa-basi untuk menghormati yang lebih tua. Setelah membenarkan kain hijau yang mengalungi pundaknya ia membaca kertas tersebut dengan suara cukup nyaring. Itu adalah nama-nama yang hendak 'dihadiahi' do’a dari kami yang ngariung malam ini. Ternyata sang pemilik rumah sedang melaksanakan ngariung haul. Maka inti dari ngariung ini adalah yang masih hidup mendo’akan yang telah mati. Berkat adalah ungkapan terima kasih dari kerabat yang telah meninggal kepada orang-orang yang telah datang.

Setelah ngariung berakhir, banyak warga yang menawarkan untuk menginap di rumah mereka. Ada yang halus lembut, adapula yang sedikit memaksa. Keramahan yang penuh kehangatan sebetulnya. Namun saya tetap memilih pergi ke langgar untuk beristirahat. Takut merepotkan tuan rumah nantinya. Saya terlelap, setelah sebelumnya menyantap berkat dari ngariung tadi. Tertidur pulas, mengistirahatkan tubuh ini setelah mengayuh seharian untuk melanjutkan petualangan selanjutnya besok pagi.

Senin, 22 Juli 2013

Hari Lahir


وَالسَّلاَمٌ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوْتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali." (Q.S. Maryam: 33)

Orang-orang di dunia ini tahu, dan memang harus tahu, kapan tepatnya mereka dilahirkan. Namun, sebagian kecil dari mereka tak pernah tahu hari dan tanggal kelahiran mereka. Beberapa diantaranya bahkan hanya tahu harinya saja. Aku termasuk diantaranya.
Yang kutahu hanya hari aku dilahirkan. Menjelang siang. Ibuku tak mencatat detailnya. Seingatnya aku lahir hari kedelapan bulan puasa. Itu saja. Seingatnya. Oh!
Tahun nya? Entahlah. Yang disebutkan hanya antara tahun x, tahun y dan tahun z. Yang jelas saat Soeharto masih bercokol dinegeri ini.
Di KTP bagaimana? Jangan tanya, sama seperti kakek dan mamahku: mene(m)bak.
Akte kelahiran? Kalau bukan karena kewajiban saat masuk SMA, mungkin hingga detik ini, kertas selembar bertuliskan hari, jam, tanggal, tahun kelahiran itu tak pernah aku miliki. Karena hingga hampir lulus kuliah pun kertas itu tak pernah aku butuhkan.
Maka hingga kini sesungguhnya aku tak pernah merayakan apa yang dinamakan peringatan hari kelahiran, hari ulang tahun orang-orang menyebutnya.
Selain karena di keluarga tak ada budaya seperti itu, juga aku memang tak terlalu mementingkannya, dan, aku juga tak tahu harus kapan merayakannya. Paling-paling saat Ramadhan hari kedelapan, itupun kalau ingat. Alhamdulillah tahun ini aku ingat.
Ah, dunia ini memang terkadang lucu. Aku tertawakan saja dia. Hahaha.. Tak salah  kan?
Bukankah Rasulullah pun tak tahu kapan beliau dilahirkan? Sepengatahuanku, tak ada satu riwayatpun yang mengacu pada peringatan kelahiran Rasulullah setiap tahunnya, saat beliau hidup. Penanggalan hijriyah saja ada pada masa Umar kan? Dan yang tiap tahun kita  peringati sebagai maulidnya adalah terjadi setelah berabad-abad beliau tak ada.
Baik, ulang tahun adalah salah satu momentum perubahan. Aku tahu dan yakin itu. Dengan beribu alasan orang-orang merayakan hari ini sebagai waktu yang tepat untuk melakukan perubahan.
Selain senang karena kita di beri kesempatan untuk dapat mencapai lamanya waktu tertentu di dunia, kita pun harus sedih karena sesungguhnya kita telah kehilangan hari-hari jatah yang Tuhan beri di dunia ini. Bayangkan jika kita di beri tahu bahwa usia kita adalah 60 tahun misal, maka setiap tahunnya kita akah bersedih karena jatah kita berkurang untuk hidup di dunia ini.
Agak klise memang, tapi bagiku hal itu kita yang menciptakan sendiri.
Dahlan Iskan, menteri BUMN  itu, menteri yang selalu tampil dengan gayanya yang nyentrik itupun tak pernah tahu kapan ia lahir. Makanya dia memilih tanggal 17 agustus dengan tujuan agar hari ulang tahunnya juga dirayakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Ah, kenapa aku tak memberitahukan pada kalian 12 Rabiul Awal saja ya? :D 

Camara, 08 Ramadhan 1434 H / 17 Juli 2013 M

Sabtu, 29 Juni 2013

Muqoddimatussafar

"Simpanlah mimpi besarmu, sedikit demi sedikit kau mewujudkannya menjadi nyata." -Yollanda Octavitri, seorang kawan.

Diketik melalui ponsel dengan penuh kesabaran, dari sudut sebuah bangunan di desa yang ada di salah satu dari 113 kabupaten tertinggal di Indonesia, saya ingin coba menuliskan sedikit tentang latar belakang perjalanan saya keliling Banten dengan sepeda sendirian hari ini dan beberapa hari kedepan.

Sedikit berlebihan memang, karena sudah amat banyak orang-orang yang menggunakan sepeda dalam beperjalanan jarak jauh: antar kota, antar pulau, antar negara, bahkan antar benua; keliling Jawa, keliling Indonesia, keliling Eropa, keliling Amerika Selatan, bahkan keliling dunia. Dan saya? hanya keliling Banten. Tak ada apa-apanya. Tapi karena tak ada cerita yang lebih indah dari cerita tentang diri sendiri, ingin coba saya lanjutkan tulisan ini. Jadi yang tak tertarik -dan daripada membuang waktu, silahkan akhiri bacaannya sampai kalimat ini saja. :D

Setiap dari kita pasti punya mimpi, mimpi besar. Entah itu mimpi bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, juga agama. Pun begitu dengan saya -yang hobi bersepeda, senang beperjalanan, menyukai fotografi, dan cinta pada daerah sendiri punya mimpi besar yang ingin diwujudkan. Banyak cara yg dilakukan demi terwujudnya mimpi-mimpi kita. Banyak bentuk usaha yg ditempuh sebagai upaya untuk mewujudkan mimpi-mimpi tersebut. Saya sendiri memilih menggabungkan keempat hal yang selama ini saya jalani tadi sebagai salah satu upayanya. Dan kemudian saya pun memutuskan untuk mengupayakannya tidak nanti jika sudah menjadi ini dan itu, tapi sekarang, saat ini juga (walau hanya permulaan). Masa depan tak ada yang tahu, umur tak ada yang menjamin bukan?

Maka jika ada yang bertanya-tanya mengapa saya mau menempuh perjalanan dengan mengayuh sepeda sejauh 569 kilometer sendirian tanpa kawan, jawabannya karena sebuah mimpi. Ya, mimpi. Mimpi apa itu? Sebuah mimpi besar yang biarlah waktu saja yang akan menjawabnya.

Dan karena perjalanan ini merupakan awal dari salah satu mimpi besar saya untuk Banten, maka perjalanan ini saya namakan: muqoddimatussafar.

Rute Muqoddimatussafar
 Pandeglang, 15 Juni 2013
*Tulisan saat perjalanan keliling Banten beberapa waktu yang lalu, tulisan aslinya disini. Tulisan-tulisan selanjutnya, mohon tunggu ya.. #sokpenting #plak

Senin, 27 Mei 2013

Secret Admirer


Semenjak mengenalnya beberapa tahun lalu, aku tahu dan sadar dia telah secara tidak langsung selalu menginspirasiku dalam segala hal. Tulisan, perbuatan, bahkan sebuah mimpi. Dari sana rasa kagum itu kemudian muncul.

Saat itu, aku memutuskan untuk menjaga jarak darinya. Jika pun ada interaksi, sekedar dan seperlunya saja. Aku tak ingin berlebihan. Aku takut rasa kagum ini menjadi bertambah dan berubah bukan hanya sebuah kekaguman, tapi rasa yang lebih dari itu. Rasa yang lebih atas dari sebuah kekaguman pada seorang wanita sebaya. Aku hanya tak ingin itu terjadi. Cukup aku mengaguminya saja, dengan caraku sendiri.

Aku begitu berharap bisa menemukan sosok seperti dia suatu saat nanti. Untuk bisa menemani sisa hidup didunia ini.

Tapi yang tak pernah terfikirkan olehku, mengapa aku tak pernah berfikir untuk menjadikan dia saja sosok yang kucari itu? Hmm..

Kamis, 23 Mei 2013

Upacara Seba yang Berbeda

Sempat ada tarik ulur mengenai waktu penyelenggaraan upacara Seba tahun ini antara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Banten dengan Masyarakat Suku Baduy. Dengan alasan tertentu, Disbudpar provinsi Banten meminta masyarakat Baduy memajukan waktu penyelenggaran upacara Seba agar waktunya tepat. Namun pada akhirnya, upacara Seba tahun ini tetap berlangsung sesuai rencana awal: tanggal 17, 18, 19 Mei 2013.

Tahun ini Penulis berkesempatan kembali mengikuti salah satu adat tradisi suku Baduy yang biasa dilaksanakan setahun sekali. Ada beberapa, bahkan banyak perbedaan -walau bukan hal mendasar, yang Penulis temukan secara kasat mata dalam upacara Seba tahun ini dibanding upacara Seba tahun-tahun sebelumnya. Pada tulisan ketiga tentang upacara Seba ini, Penulis hanya ingin menyampaikan perbedaan-perbedaan yang dilihat secara kasat mata tersebut.

Untuk yang belum tahu apa itu upacara Seba, silahkan baca tulisan Penulis sebelumnya, Upacara Seba (1) dan Upacara Seba (2).

Perbedaan pertama dimulai dari diri Penulis. Jika tahun lalu hanya dari Rangkasbitung menuju Serang, tahun ini Penulis berkesempatan mengikuti upacara Seba dari perjalanan awal di Kaduketug hingga ke tujuan akhir di Kota Serang.

Selain itu, tahun ini Penulis mencoba berjual beli pernak-pernik dan hasil kerajinan warga Baduy selama kegiatan upacara Seba berlangsung. Jual beli tersebut dilakukan dengan sistem murabahah (maklum lah mahasiswa ekonomi Islam).

Selain itu juga, saat perjalanan dengan sepeda ‘mengawal’ rombongan Baduy dalam dari Rangkasbitung menuju Serang, ban sepeda Penulis mengalami kebocoran. Hingga akhirnya memutuskan berjalan bersama rombongan Baduy dalam berjalan kaki menghabiskan sisa setengah perjalanan.

Selain itu juga (masih ada lagi), Penulis berhasil mendokumentasikan seluruh rangkaian upacara Seba tahun ini dengan tidak menggunakan kamera pinjaman lagi. Alhamdulillah. :)

Perbedaan selanjutnya dari upacara Seba itu sendiri. Upacara Seba tahun ini merupakan Seba Gede. Dan juga merupakan Seba terbesar yang pernah dilaksanakan. Upacara Seba tahun 2012 kemarin hanya diikuti oleh 1439 warga Baduy, yang terdiri dari 1388 orang Baduy luar dan 51 Baduy dalam. Namun tahun ini jumlahnya meningkat menjadi 1779 yang terdiri dari 1709 Baduy luar dan 70 Baduy dalam. Karena merupakan Seba Gede, hasil pertanian yang dibawa pun lebih banyak. Dan tidak hanya hasil pertanian, namun juga membawa alat-alat yang biasa digunakan masyarakat Baduy sehari-hari: dulang, nyiru, aseupan bahkan golok.

Jika pada tahun-tahun sebelumnya penerimaan oleh Bupati Lebak atau Bapa Gede dilaksanakan setelah waktu Isya, sekitar jam 8 malam. Kali ini acara didilaksanakan setelah waktu maghrib, dan berlangsung tidak di pendopo. Dan acaranya pun tak lebih dari setengah jam (karena tidak ada dialog antara Bapak Gede dan warga masyarakat Baduy). Penulis sempat kecolongan, karena tidak menghadiri acara tersebut. Dan pemberitahuan ini pun ternyata mendadak, karena rencana awal memang akan dilaksanakan seperti biasa, jam 8 malam di Pendopo Kabupaten Lebak.

Esoknya, jika seperti biasanya warga Baduy dari Rangkasbitung langsung menuju Pendopo Gubernur di Kota Serang, kali ini 1779 warga Baduy diminta mampir ke Disbudpar di Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) di daerah Palima. Baru kemudian melanjutkan menuju pendopo Gubernur Banten di Pusat Kota Serang dengan berjalan kaki bersama untuk mengikuti acara pada malam harinya.

Malam harinya, upacara Seba tahun ini dihadiri oleh tamu undangan dari berbagai negara: Belanda, Australia. Penulis menemukan beberapa turis duduk di barisan depan bersama jajaran dari pemerintahan provinsi Banten.

Berbeda dari sebelumnya juga, ketika acara penerimaan dan dialog hampir selesai, Gubernur Banten atau Ibu Gede menyempatkan berfoto ditengah-tengah 1779 warga Baduy yang memadati pendopo Gubernur Banten semenjak sore. Hal ini sempat tak direncanakan juga, karena sebelumnya Ibu Gede hendak meninggalkan tempat, namun diminta beberapa wartawan untuk menuju tengah kerumunan warga Baduy dan berfoto bersama mereka sambil melambaikan tangan.

Itu beberapa perbedaan yang Penulis temukan selama 3 hari kemarin. Ada perbedaan-perbedaan tak kasat mata pula yang Penulis yang temukan dalam upacara Seba tahun ini. Namun sepertinya itu butuh tulisan tersendiri untuk menyampaikannya.

Berikut beberapa momen-momen yang berhasil Penulis dokumentasikan selama rangkaian upacara Seba beberapa hari yang lalu.


Foto-foto lebih lengkapnya bisa dilihat disini

Sabtu, 27 April 2013

Sawarna, Pesona Pantai Selatan Jawa*


“Kata orang kota, disana ada jejak si Kabayan.” Ucap seorang kakek dalam bahasa sunda padaku, sambil menunjuk ke arah Karang Bodas.

Karang Bodas adalah salah satu dari setidaknya lima tempat yang paling sering dikunjungi oleh wisatwan di Desa Sawarna ini, selain Pantai Ciantir, Tanjung Layar, Legon Pari, dan Goa Lalay.

Bodas berasal dari bahasa sunda yang berarti putih, tak lain karena bukit yang menjorok ke arah laut ini sebagian besar terdiri dari karang dan batu cadas berwarna putih. Adapun yang disebut jejak si Kabayan adalah sebuah lubang besar berbentuk tapak. Walau tak mirip tapak kaki. Jejak si Kabayan ini pun sebenarnya adalah sebutan dari wisatawan lokal saja. Sebagian besar warga Sawarna tak pernah tahu tentang keberadaan jejak si Kabayan tersebut.

Sawarna sendiri adalah sebuah desa yang berada di selatan pulau Jawa bagian Barat. Persisnya di Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten.

Dalam 2 tahun terakhir ini, Sawarna telah menjelma menjadi destinasi favorit bagi wisatawan. Terutama bagi mereka yang terjebak rutinitas sehari-sehari di perkotaan. Tapi aku ada disini hanya karena sebuah rasa penasaran. Maka dengan menggendong carrier kesayangan, aku putuskan untuk backpackeran, sendirian.

Pantai Ciantir menyambut saat pertama datang ke Desa Sawarna, setelah sebelumnya aku harus melewati jembatan gantung, kemudian menembus perkampungan yang penuh dengan homestay hingga hampir pesisir pantai.

Beberapa warung berjejer di tepian pantai, menghadap ke lautan. Keduanya dipisahkan bentangan lautan pasir yang cukup luas untuk sebuah pantai. Bahkan aku temukan gawang bambu yang mungkin digunakan untuk bermain sepak bola.

Selain arealnnya yang cukup luas tadi, pasirnya pun halus, putih juga bersih. Itulah mungkin kenapa pantai ini sering disebut juga Pantai Pasir Putih. Ombaknya pun cukup besar, bahkan sangat besar di waktu-waktu tertentu. Maka tak heran ada spanduk larangan berenang yang di pasang di waktu-waktu tertentu tadi. Ini karena memang pantai ini berada di selatan pulau jawa, yang menghadap langsung ke Samudera Hindia.

Berjalan beberapa ratus meter ke arah timur menyusuri pantai, ku temukan Tanjung Layar. Dia begitu mempesona. Bagaimana tidak, dua buah batu besar menjulang setinggi kurang lebih 10 meter dan panjang 20 meter juga lebar sekitar 2 meter, berada 30 meter dari garis pantai. Ditambah lagi didepannya ada karang yang seolah menjaga layar ini dari terjangan ombak.

Ke arah timur lagi ada Karang Bodas yang aku ceritakan tadi, kemudian Karang Beureum hingga kemudian Legon Pari. Legon Pari merupakan pantai yang menjorok ke daratan. Pasirnya sekilas tak jauh berbeda dengan di Pantai Ciantir. Aku hanya memandangnya dari kejauhan. hari sudah siang, aku sedikit memutar arah untuk mencari jalan ke Goa Lalay.

Dengan mengandalkan keterangan beberapa warga, dan setelah berjalan kaki sekitar 1 jam, akhirnya aku berhasil menyambangi Goa Lalay. Ternyata tidak sesulit yang dibayangkan, walau aku harus menyusuri jalan setapak menembus perkebun warga, meniti pematang-pematang sawah, menyeberangi sungai, melewati jembatan gantung, hingga menyisir kuburan. Menurut warga, ada dua goa sebenarnya di Sawarna ini. Hanya karena masalah waktu, aku sambangi yang ini saja.

Karena Goa Lalay berarti Goa Kelelawar, seharusnya ada kelelawar di dalam goa ini. Tapi yang kutemui hanya stalaktit-stalaktit goa yang cantik yang berjejer apik bersama aliran sungai kecil yang airnya segar sepanjang goa. Namun kata warga memang suka ada kelelawar yang bersarang di gua ini.

Setelah hari mulai sore, aku kembali ke tempat awal dengan mengambil rute yang berbeda. Melemaskan kaki setelah seharian berjalan mengitari Sawarna. Melewati dinginnya hembusan angin laut di atas dipan sebuah warung makan di pinggir pantai.
Pada akhirnya, aku yang sebenarnya tak terlalu menyukai pantai, mengubah statment itu setelah mengunjungi Sawarna.


*Tulisan tahun lalu, sayang kalo ngga dipublish. :D