Selasa, 26 November 2013

Menjadi Guru: Sebuah Memoar

“Sebaik-baik belajar adalah dengan mengajar.” - Ustadz Najwani, seorang guru.

Merasakan sebenarnya-benarnya kehadiran guru adalah ketika saya duduk di bangku SMP. Saat dimana kasih sayang layaknya seorang ibu sendiri saya terima dari guru-guru ketika itu. Kenapa tidak SD? Dugaan saya, pola pikir seorang Achmad Anwar Sanusi mungkin belum paham mengenai kehadiran dan arti seorang guru saat masih di sekolah dasar. Saat itu saya  belum sadar dan mengerti bahwa yang mengajarkan huruf, angka, membaca, menulis, membuat garis lurus, membuat lingkaran, bahkan memegang pensil dan pulpen yang benar dengan sabarnya, setelah orang tua, adalah guru SD. Setelah beranjak dewasa -dan memang sudah seharusnya, barulah saya tersadarkan akan hal itu. Saat duduk di bangku SMA, pengalaman yang hampir sama dengan masa SMP terulang. Perhatian yang datang dari layaknya seorang ayah, saya rasakan pada saat itu. Alasan pribadi yang begitu kuat dan juga karena lingkungan di SMA yang berasrama menambah kuat kehadiran perasaan tersebut dalam diri saya.

Pengalaman semenjak SD hingga SMA tersebut memberikan pengertian pribadi bahwa sesungguhnya guru bagi saya bukanlah orang tua kedua, melainkan mereka saya sejajarkan dengan orang tua pertama. Bedanya mungkin orang tua yang satu ini tak mengandung dan merawat semenjak kecil.

Di masa perkuliahan, keterikatan saya terhadap guru tak saya rasakan. Mungkin itu salah satu alasan mengapa studinya saya tertunda hingga saat ini. *nyengir* Adakah hubungan diantara keduanya? Ah, tak tahu lah. (Tapi jika merujuk pada nasihat Imam Syafi’i tentang 6 perkara untuk mendapatkan ilmu, sepertinya iya).

Lahir dan besar di keluarga petani dan pedagang, tak terfikirkan oleh saya untuk menjadi seorang guru. Ditambah lagi pada satu waktu, pernah ada seseorang yang memberikan sebuah nasihat, "kalau kamu mau kaya, jangan jadi guru, jadilah pengusaha.” Dan kalimat itu saya dapatkan dari 3 orang guru berbeda, dalam waktu yang berbeda, dan pada jenjang yang berbeda pula.

Saya sepenuhnya yakin dan sadar bahwa menjadi guru memang sulit mengantarkan saya pada keberlimpahan materi. Namun karena sering berada di tengah-tengah guru-guru yang hebat dan penuh dedikasi, membuat saya memiliki keyakinan bahwa menjadi kaya pahala ternyata lebih menggiurkan daripada kaya harta. Alhasil beberapa bulan setelah lulus SMA, November 2008 tepatnya, ketika dihadapakan pada beberapa pilihan, saya memilih menjalani sebuah tahapan hidup dengan mengambil peran sebagai seorang guru.

Mengajar beberapa mata pelajaran berbeda: Tarikh Islam, Imla, Kimia, Ekonomi, IPA, Matematika, Bahasa Inggris, juga Bahasa Indonesia, dalam kurun waktu beberapa tahun membuat saya belajar banyak hal. Mulai dari pengetahuan dari tiap disiplin ilmu yang berbeda, hingga metode belajar yang tidak itu-itu saja. Menjadi guru SMA, SMP, SD, di lembaga bimbingan belajar dan private pribadi merupakan salah satu potongan mozaik dalam hidup yang pernah saya jalani selama 5 tahun ke belakang.

Melihat diri saya dari sisi lain, bisa dikatakan saya termasuk ke dalam golongan guru di Indonesia yang tak memiliki kualifikasi mengajar secara profesional. Saya yakin itu. Karena tak ada dokumen negara yang berkaitan dengan bidang pendidikan yang saya miliki selain NUPTK. Itu pun entah bagaimana sekarang nasibnya, kini tak pernah saya pedulikan lagi. Namun, setiap tanggapan positif dari murid-murid yang pernah belajar bersama saya selalu menjadi penghibur dari sisi lain itu. Maka bisa jadi di mata para murid yang pernah saya ajar mungkin saya bisa dianggap berhasil, tapi di mata menteri pendidikan nasional (sekarang mendikbud), saya nol besar.

Berbagai panggilan yang pernah dan masih disandangkan kepada saya, baik itu pak guru, kakak guru, atau ustadz sekalipun sebenarnya harus diakui cukup berat untuk diemban. Tanggung jawab dari panggilan ketiganya bukanlah main-main, menuntut saya untuk menjadi sebenar-benarnya guru: pantas digugu (dipercaya/dituruti) dan ditiru. Namun harus saya akui, panggilan dan menjadi yang terakhir terasa lebih berat. Selain karena panggilan ustadz identik dengan seseorang yang memiliki pemahaman agama yang luas, juga karena saya dituntut menjadi teladan dan contoh yang patut ditiru oleh para murid karena berada dalam keseharian mereka selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu. Shalat berjama’ah, cara berpakaian, berinteraksi, bersikap pada diri sendiri, hingga tidur sekalipun, selalu menjadi perhatian dan dijadikan contoh ideal bagi para murid. Bahkan ada ungkapan, ustadz itu batuknya saja adalah tarbiyah (pendidikan).

Hidup adalah proses. Kadang kita tak pernah tahu apa yang sedang kita jalani saat ini akan tetap bertahan atau berubah diluar dugaan dalam beberapa waktu ke depan. Dalam hitungan, menit, jam, hari, bulan ataupun tahun. Namun yang jelas, menjadi apapun saya nanti di masa depan, saya bertekad untuk tetap membagikan pengalaman dan ilmu yang sedikit saya miliki dengan cara mengajar. Mengajar siapapun dan dengan cara bagaiamanapun. Persis seperti pesan seorang kiyai guru saya, yang disampaikannya kembali kepada saya, yang tetap menjadi pedoman hingga saat ini, yang secara tidak langsung bisa dikatakan telah mendoktrin saya hingga saat ini, "menjadi apapun dirimu, tetaplah mengajar.”

Maka melalui tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu, madrosatul ula saya, dan semua guru yang pernah mengenal, mengajarkan ilmu, dan telah ‘mengantarkan’ saya hingga berada pada tahap seperti sekarang ini. Jika saja agama mengizinkan, setelah kepada ibu, saya ingin bersujud pula kepada guru.

Terima kasih!

Selasa, 29 Oktober 2013

Hampir Sampai

Aku hampir tiba pada masa yang saat SMA dulu pernah aku bayangkan. Saat dimana aku tiba pada masa dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan bertahan pada idealisme yang ku genggam erat selama ini, atau pilihan melepaskan itu demi keluarga yang aku pegang petuahnya semenjak kecil.

Rasa-rasanya aku tak pernah sekhawatir ini semenjak dulu. Saat studi tertunda setahun dulu pun aku biasa saja. Tapi rasa-rasanya kali ini berbeda.

Dalam masa hampir tiba itu aku masih berusaha mengkompromikan keduanya. Aku sedang berusaha meyakinkan salah satunya. Kepada idealisme-ku atau kepada keluargaku. Setelah 5 tahun tak berhasil, di detik-detik terakhir ini ingin ku coba lagi.

#tetibagalau

Jumat, 04 Oktober 2013

Negeri Seorang 'Raja'

Terceritakanlah sebuah negeri dengan seorang raja. Tercipta dari puing-puing sisa kejayaan negeri sebelumnya yang tertulis tinta emas sejarah masa lalu. Setelah menunggu berabad-abad lamanya, negeri ini terlahir juga ke dunia. Selamat tanpa cacat. Senang bukan main sang raja. Atas kesyukuran itu, diberikanlah 5 dari 8 wilayah yang ada di bawah kekuasaannya pada kerabat-kerabat dan anggota keluarga.

Wilayah pertama dihibahkan pada adiknya bersama entah siapa.
Wilayah kedua diberikan pada iparnya bersama entah siapa.
Wilayah ketiga diserahkan pada ibu tirinya bersama entah siapa.
Wilayah keempat dihadiahkan pada adik tirinya sendirian saja.
Wilayah kelima sempat diperebutkan oleh utusan keluarga besar. Hingga kini masih dalam kecamuk perang yang tak ada yang tahu kapan usai.
Hanya wilayah keenam, ketujuh dan kedelapan yang tidak berikan pada anggota keluarga.

Entah sengaja karena takut dianggap serakah, atau memang ini hanya akan sementara. Namun tak usah khawatir, karena anak-anak dan beberapa anggota keluarga lain telah menjadi utusan negeri sang raja di khayangan. Itu saja sudah cukup.

Negeri ini kaya akan segala: hutan, laut, gunung, sawah, sungai, tambang, emas, perak, permata, mutiara, tanah, air, udara, semuanya! kecuali harta milik rakyat. Pendapatan negeri ini paling melimpah ruah sejagat raya. Sayangnya, sebagian besar rakyatnya termasuk budak-budak yang tak memiliki pekerjaan. Begitu kata khayangan. 2 dari wilayahnya pun termasuk 113 wilayah termiskin yang diumumkan oleh khayangan beberapa pekan kebelakang. Sebagian besar wilayahnya didera kemiskinan dan masih primitif. Namun sebagiannya lagi penuh kekayaan dan sudah modern. Ada celah yang menganga diantara keduanya. Jomplang.

Rakyat bertanya. Ada apa? Raja tak menggubris. Seolah tak ada apa-apa. Ia tutupi semua rasa penasaran rakyatnya itu dengan kebohongan, atau dengan cara termudah: berkilah kemudian diam. Persis  saat ditanya persoalan keterlibatan ibu, anak, adik, ipar, dan sanak saudara di lima wilayahnya tadi yang diakunya atas titah Tuhan melaui rakyat.

Rahasia demi rahasia disembunyikan. Keburukan demi keburukan ditutupi. Hingga seiring berjalannya waktu menjadi kebusukan yang bau. Sebagian besar telah menciumnya. Namun tak ada yang berani melapor pada khayangan. Kalaupun ada, pasti ia akan terlebih dahulu bertemu utusan sang raja di perjalanan. Kemudian ditikam, entah dari depan atau belakang, dan kemudian mayatnya dilempar begitu saja ke lautan.

Bau ini ditutup lebih rapat lagi. Semakin rapi tanpa cela. Rakyat hanya bisa diam, dan tak mampu berbuat apa-apa. Namun dalam diam itu mereka berdoa.

Hingga pada suatu masa Tuhan menjawabnya dengan mengirimkan sekelempok utusan untuk menggali kebusukan-kebusukan yang telah mengakar. Semua rakyat bersorak penuh bahagia. Penuh euforia kemenangan. Awal dari sebuah kemenangan tepatnya. Hingga kemudian masing-masing dari 10 juta jiwa rakyat kembali berdoa. Berdoa demi kemudahan utusan Tuhan tadi.

Oiya, raja yang kuceritakan padamu itu, bukanlah seorang lelaki yang kau bayangkan membawa pedang dan kemudian turun ke medan laga berperang sebagai komandan. Raja itu adalah seorang perempuan pertama yang menjadi raja di muka bumi. Dan hingga cerita ini ku sampaikan, ia masih menjadi raja perempuan terlama yang duduk di singgasana emasnya.

Dan tahu jugakah kau? Negeri yang kuceritakan itu bukanlah negeri di antah berantah tak bernama. Bukan pula negeri yang hanya ada dalam dunia khayal belaka. Negeri itu ada di dunia nyata. Ada. Dan dia punya nama. Nama itu milik sebuah provinsi di sebuah negara bernama Indonesia yang juga kota kelahiran dan tempat ku dibesarkan: Banten.

Sabtu, 14 September 2013

Pertemuan Pertama

Matahari masih cukup jauh menyentuh laut. Langit dipenuhi gerombolan awan yang berarak perlahan menyesaki. Menghalangi separuh sang surya yang hendak menyinari dunia. Hingga pendaran cahayanya pun tak jatuh sempurna pada hamparan pasir pantai yang sedang kususuri.

Di kejauhan, aku menemukan sesosok tubuh terpungkur jongkok diatas karang yang jauhnya seperlemparan tangan dari garis pantai. Sendirian. Aku mendekat. Dari raut wajah dan perawakannya, tampak seorang anak usia belasan tahun disana. Ia sedang asyik dengan yang dilakukannya: memancing. Segera ku ambil kamera saku. Lebih mendekat lagi. Oh, dia menyambut. Sebuah senyuman dilemparkan.

Aku bersama beberapa teman sedang menikmati indahnya langit senja pesisir Selat Sunda. Tak lama setelah tim Mari Mengajar tiba di kampung Camara, Desa Banyuasih, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, kami -aku dan beberapa volunteer memilih pergi ke pantai. Kampung Camara berbatasan langsung dengan laut yang dari tepinya kita dapat melihat Pulau Umang dan Anak Gunung Krakatau di kejauhan. Jarak dari base camp kami tak cukup jauh, sekitar 300 meter saja. Kami tentu senang. Anggap saja ini sebagai obat dari perjalanan 5 jam dengan rute di akhir yang mengocok isi perut -dalam arti yang sebenarnya. Dan juga sebagai hiburan awal dari aksi mengajar 7 hari kami disini.

Saat menghabiskan waktu jelang senja itulah aku mendapati seorang anak yang begitu asyik memancing diatas karang. Perawakannya kurus, kulitnya sawo matang. Rambutnya berponi, ah ia lucu sekali. Jenis lelaki pendiam. Hanya menjawab secukupnya saat aku tanyakan beberapa hal. Atau mungkin karena ia anak kecil ya? Tapi ia cukup ramah. Beberapa kali menebar senyum padaku.

Dengan celana boxer kuning, kaos you can see corak putih kuning dan sebuah wadah berbahan dasar karung terselempang menyilang tepat di dada, ia berpindah dari satu karang ke karang lain. Berjongkok, menengok ke sela-sela karang, mencari lubang, mencoba memangsa makhluk hidup dibalik karang itu dengan mengandalkan joran sederhana beserta gulungan benang miliknya. Ia juga cukup lihai dalam memancing. Dapat kulihat dari banyaknya tangkapan yang di dapat.

Mataku mengikuti ke arah mana ia berjalan. Dari jauh aku memperhatikan. Diantara karang-karang laut ia tengah mencari.  Aku terdiam menikmati pemandangan langka ini.
“Strike..!” tiba-tiba aku berteriak sendiri dari kejauhan. Ia, yang kemudian aku ketahui bernama Ludin, tenang-tenang saja. Ia, yang umpannya ditarik sejenis belut, menariknya dengan tak tergesa. Sejenis belut laut berhasil mengait kail milik Ludin yang berumpankan keong. Laladot ia menyebutnya. Entah apa dalam bahasa Indonesianya binatang laut itu. Aku tak tahu. Persis seperti teman-temannya yang lain yang ada didalam wadah yang ia bawa: Pabalata dan Nyai-nyai. Keduanya nama sejenis ikan laut. Tiga jenis saja yang ia dapat, tapi jumlahnya lebih dari tiga kali lipatnya.

Katanya ia senang sekali memancing setiap sore. Sendirian. Pada saatnya nanti akan ada penjelasan –dan mungkin juga alasan, tentang rutinitas tiap sorenya itu. Mengetahui itu, aku berencana menemuinya esok hari. Secara tidak langsung kami telah membuat kesepakatan untuk kembali bertemu. Ya, esok kami akan bertemu kembali di tempat yang sama dimana kami bertemu. Aku masih ingin tahu banyak tentang dirinya. Tentang sikap kalemnya sesorean ini. Tentang kehidupannya bahkan.

Awan gelap telah melukis birunya langit senja yang juga perlahan berubah warna. Kami pulang menjemput malam. Bersama menuju basecamp. Aku masih penasaran tentang hari esok. Aku sibuk dengan terka-menerka tentang masa datang. Akankah aku mengajar di kelas 4 SDN Banyuasih 4 tempat ia bersekolah setiap harinya? Dapatkah aku mengetahui lebih banyak tentang kehidupan bocah 10 tahun itu? Akankah aku mengenal keluarganya saat home visit nanti? Adakah rahasia miliknya yang akan ku ketahui? Adakah peluang ke arah semua itu? Aku harus menyimpan terka-terkaan itu setidaknya hingga malam nanti.

Senin, 19 Agustus 2013

Sisi Gelap

"Selama hidupmu, kau punya sisi gelap?" Tanyaku ditengah obrolan kami tentang masa lalu.

"Tentu. Setiap orang pasti punya sisi gelap dalam hidupnya, Kawan. Pun begitu dengan diriku. Punya sisi gelap dalam hidup yang pernah kujalani. Bahkan sisi tergelap aku menganggapnya. Dan aku merasa cukup sekali saja merasakannya. Aku tak ingin mengulanginya lagi. Cukup sekali aku terjatuh di lubang itu. Sekali! dua kali tak perlu." Jawabnya tegas dan panjang lebar. Rasa-rasanya curhatan ini akan menjadi semakin dalam.

"Bagaimana kau menyikapinya?" Aku memancing.

"Entahlah, semua memori itu ingin aku ikat erat-erat, kumasukan dalam peti, lalu ku gembok. Kumasukan dalam peti yang berbeda, lalu ku gembok lagi. Kumasukan dalam peti lagi, dan ku gembok lagi. Lalu ku rantai dan ku gembok untuk terakhir kalinya, dengan gembok baja. Lalu peti itu kubawa ketengah lautan Pasifik, tepat di palung Mariana, palung terdalam dunia. Aku jatuhkan disana. Dengan pemberat tentunya. Keempat kunci gemboknya ku ikut sertakan. Ah, tidak! Aku lebur saja dalam tungku pandai besi." Pancinganku dapat. Panjang lebar ia jelaskan. Lebay sih, tapi dapat kuterima.

Ingin ku lemparkan pertanyaan tentang maksud masa gelapnya itu. Tapi sebelum itu kulakukan, ia kembali meneruskan. Kalimat-kalimatnya tadi ternyata belum selesai.

"Atau dengan cara lain, file-filenya ku kumpulkan kedalam satu folder, ku delete. Ku buka recycle bin nya. Ku empty-kan recycle bin itu. Dan Recuva aku format agar tidak dapat mencari file-file itu. Lalu kemudian aku install ulang laptopnya. Ah, atau ku jual saja ya? Tidak, tidak. Aku masih memerlukannya."

Dia lengah, ini kesempatanku melempar pancingan kedua.

"Sudahlah, kawan.. Aku telah menjatuhkannya ke dasar lautan. Mungkin sekaran sudah sampai. Tak usah kau berusaha mengambilnya kembali. Akan sulit. Sulit sekali." Dia tak mengizinkanku melempar joran pertanyaan selanjutnya.

Walaupun sebenarnya aku ragu akan pernyataan terakhirnya itu, tapi sepertinya dia memang sudah tak ingin membicarakannya lagi.

Senin, 29 Juli 2013

Bersepeda Keliling Banten (Part 1)

‘PDG 23’, tertulis jelas di tugu penanda jarak setinggi satu meter disamping saya. Pusat kota masih sejauh kilometer yang tertera disana, matahari hampir tenggelam, sedangkan saya masih di perjalanan yang sebagian besarnya hutan. Akan menginap disinikah saya malam ini?

Saya kembali bergerak. Mengayuh sepeda dengan mengandalkan tenaga yang masih tersisa. Setelah menempuh perjalanan Serang-Cilegon-Anyer-Carita-Caringin-Jiput sejauh 90 km, saya memilih beristirahat sejenak dipinggir jalan. Lebih sering dari sebelum-sebelumnya. Karena rute 15 km terakhir lebih banyak tanjakkan. Jauh berbeda dengan rute yang telah ditempuh dari Serang hingga Carita semenjak pagi.

Hari ini, Sabtu, 15 Juni 2013 adalah hari pertama saya bersepeda berkeliling Banten. Melewati 4 Kabupaten dan 4 Kota di Propinsi Banten dengan mengendarai sepeda. Menempuh jarak kurang lebih 600 km-rute yang cukup panjang bagi pemula seperti saya-dengan tekad ingin melihat Banten lebih dekat, mencoba mengenal Banten lebih dalam.

Sore hari saya tiba di sebuah daerah antara Kecamatan Jiput dan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang. Pegunungan Akarsari terbentang di sepanjang jalan yang saya lewati. Dibawahnya hutan luas dan areal persawahan menghampar. Sebagian berundak-undak, sebagiannya lagi luas menghampar. Sebagian ditanami padi, sebagiannya lagi ditanami tanaman palawija. Sebagian padi hampir menguning, sebagian lagi baru ditanam. Karena ini daerah pegunungan, maka tak aneh jika jalan yang saya tempuh kali ini membuat susah payah dalam mengayuh sepeda. Tanjakan bernama tanjakan Banganga adalah puncak dari kesusahpayahan saya itu. Tanjakan itu begitu masyhur bagi penduduk sekitar Jiput-Mandalawangi. Bagaimana tidak, tanjakan sepanjang setengah kilometer ini kemiringanya hampir 45 derajat. Melihatnya saja sudah ngeri. Tinggi sekali. Dari puncaknya saja saya bisa melihat laut Selat Sunda terbentang luas saat menengok ke belakang. Maka sepedapun mau tak mau harus dituntun. Jangankan sepeda, terkadang ada motor dan mobil yang tak kuat menyelesaikan tanjakan ini sampai akhir.

Beberapa menit menjelang matahari terbenam sebelum adzan maghrib berkumandang, saya menemukan langgar. Sebuah tempat shalat dengan kapasitas sekitar seratus orang. Langgar di Desa Pandat, Kecamatan Mandalawangi, 18 km dari pusat kota Pandeglang ini menjadi pilihan untuk beristirahat malam nanti. Setelah membersihkan diri, shalat dan hendak mencari warung makan, seseorang menghampiri. Seorang kakek tua, berusia sekitar 60-an, bersarungkan, berbaju koko, berkopiah putih, dengan garis wajah yang tak bisa disangkal lagi telah keriput,  mendekati saya. Tersenyum. Menyapa. Kemudian bertanya. Saya memperkenalkan diri sebagai mahasiswa yang sedang berkeliling Banten. Kami mengobrol singkat, kemudian ia memperkenalkan diri. “Ibnu Mas’ud,..” diam sepekersekian detik kemudian melanjutkan, “S.Ag.” Sedikit tak percaya lelaki tua di sebuah kampung yang cukup tertinggal ini memiliki gelar. Peduli terhadap pendidikan saya menarik kesimpulan. Padahal Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu dari 113 daerah tertinggal di Indonesia tahun 2013 menurut Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Apa mungkin ini sekarang? Dulu tidak. Ironis, karena ternyata ia satu-satunya sarjana yang ada di desa ini. Dan memang ia begitu dihormati. Entah karena usianya, gelarnya atau karena hal lain darinya yang tidak saya ketahui. Saya lihat itu saat ia mengajak saya mengikuti ngariung selepas maghrib disalah satu rumah warga. 

Ngariung merupakan sebuah tradisi umat muslim -terutama di daerah pedesaan- untuk berkumpul dan mendo’akan sebuah hajat bersama-sama. Ngariung dilaksanakan ketika ada sebuah peringatan. Ada muludan saat bulan Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah sebagai peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ada Safaran saat bulan safar. Ada ruwahan saat bulan Sya’ban. Ada haul untuk mengingat waktu meninggalnya kerabat dekat. Ada juag ngariung ketika hendak menghadapi bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Bahkan sekedar saat menempati rumah baru, warga disini seperti warga Pandeglang dan Banten pada umumnya melaksanakan ngariung. Mereka mengundang para tetangga atau warga desa untuk berkumpul dan berdo’a bersama-sama, dipimpin oleh seseorang yang dianggap layak. Biasanya sesepuh atau ustadz. Kemudian pulangnya setiap orang yang hadir mendapat satu jatah berkat. Berkat sendiri adalah makanan dalam satu wadah yang berisi nasi, dan lauk pauknya diatasnya, ditutup daun pisang kemudian dibungkus plastik. Lauk pauknya biasanya berupa ikan mas, daging ayam, telur, mie dan bihun serta kentang.

Rumah panggung dengan berdindingkan bilik bambu menyambut saya dan Abah Mas’ud, begitulah orang-orang desa menyebutnya. Terasnya yang cukup luas telah dipenuhi lelaki berseragamkan pakaian Islami: sarung, baju koko, peci kopiah. Sebagian besarnya telah tua. Hanya segelintir saya temukan anak muda seusia saya disana. Kami dipersilahkan masuk kedalam, begitu juga dengan saya. Duduk di samping para sesepuh desa, dijamu bak tamu kehormatan. Saya duduk tepat disamping kiri Abah Mas’ud. Sedikit memojok ke sudut ruangan berukuran 3x5 meter berdindingkan bilik bambu ini. Saya kaget saat baru saja duduk langsung disuguhi secangkir kopi dan sebatang rokok. Rokok sudah seperti hal wajib sepertinya disini. Sempat menolak karena memang tidak merokok, tapi seseorang disebelah kiri saya mencegahnya. “ambil saja, sudah jatahnya” bisiknya dengan bahasa sunda. Mungkin maksudnya ini sudah dianggarkan oleh pemilik hajat. Maka menolaknya sama dengan memberikan anggaran bukan pada haknya. Tapi tetap saja saya tidak mengambil sebatang rokok itu, membiarkannya  begitu saja. Saya hanya menyeruput kopi hitam yang disuguhkan. Pahit. Mungkin karena ini kopi racikan sendiri dan saya tak biasa meminum kopi. Saya makan saja penganan yang telah disediakan di depan kami. 

Temaram lampu bolham menyinari kami yang berada di ruangan. Seseorang yang juga telah sepuh yang duduk disebelah kanan Pa Mas’ud membuka secarik kertas dari saku baju koko putihnya. Sang pembaca tahlil itu sebelumnya mempersilahkan Abah Mas’ud, tapi Abah Mas’ud balik mempersilahkan. Mungkin hanya basa-basi untuk menghormati yang lebih tua. Setelah membenarkan kain hijau yang mengalungi pundaknya ia membaca kertas tersebut dengan suara cukup nyaring. Itu adalah nama-nama yang hendak 'dihadiahi' do’a dari kami yang ngariung malam ini. Ternyata sang pemilik rumah sedang melaksanakan ngariung haul. Maka inti dari ngariung ini adalah yang masih hidup mendo’akan yang telah mati. Berkat adalah ungkapan terima kasih dari kerabat yang telah meninggal kepada orang-orang yang telah datang.

Setelah ngariung berakhir, banyak warga yang menawarkan untuk menginap di rumah mereka. Ada yang halus lembut, adapula yang sedikit memaksa. Keramahan yang penuh kehangatan sebetulnya. Namun saya tetap memilih pergi ke langgar untuk beristirahat. Takut merepotkan tuan rumah nantinya. Saya terlelap, setelah sebelumnya menyantap berkat dari ngariung tadi. Tertidur pulas, mengistirahatkan tubuh ini setelah mengayuh seharian untuk melanjutkan petualangan selanjutnya besok pagi.

Senin, 22 Juli 2013

Hari Lahir


وَالسَّلاَمٌ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوْتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali." (Q.S. Maryam: 33)

Orang-orang di dunia ini tahu, dan memang harus tahu, kapan tepatnya mereka dilahirkan. Namun, sebagian kecil dari mereka tak pernah tahu hari dan tanggal kelahiran mereka. Beberapa diantaranya bahkan hanya tahu harinya saja. Aku termasuk diantaranya.
Yang kutahu hanya hari aku dilahirkan. Menjelang siang. Ibuku tak mencatat detailnya. Seingatnya aku lahir hari kedelapan bulan puasa. Itu saja. Seingatnya. Oh!
Tahun nya? Entahlah. Yang disebutkan hanya antara tahun x, tahun y dan tahun z. Yang jelas saat Soeharto masih bercokol dinegeri ini.
Di KTP bagaimana? Jangan tanya, sama seperti kakek dan mamahku: mene(m)bak.
Akte kelahiran? Kalau bukan karena kewajiban saat masuk SMA, mungkin hingga detik ini, kertas selembar bertuliskan hari, jam, tanggal, tahun kelahiran itu tak pernah aku miliki. Karena hingga hampir lulus kuliah pun kertas itu tak pernah aku butuhkan.
Maka hingga kini sesungguhnya aku tak pernah merayakan apa yang dinamakan peringatan hari kelahiran, hari ulang tahun orang-orang menyebutnya.
Selain karena di keluarga tak ada budaya seperti itu, juga aku memang tak terlalu mementingkannya, dan, aku juga tak tahu harus kapan merayakannya. Paling-paling saat Ramadhan hari kedelapan, itupun kalau ingat. Alhamdulillah tahun ini aku ingat.
Ah, dunia ini memang terkadang lucu. Aku tertawakan saja dia. Hahaha.. Tak salah  kan?
Bukankah Rasulullah pun tak tahu kapan beliau dilahirkan? Sepengatahuanku, tak ada satu riwayatpun yang mengacu pada peringatan kelahiran Rasulullah setiap tahunnya, saat beliau hidup. Penanggalan hijriyah saja ada pada masa Umar kan? Dan yang tiap tahun kita  peringati sebagai maulidnya adalah terjadi setelah berabad-abad beliau tak ada.
Baik, ulang tahun adalah salah satu momentum perubahan. Aku tahu dan yakin itu. Dengan beribu alasan orang-orang merayakan hari ini sebagai waktu yang tepat untuk melakukan perubahan.
Selain senang karena kita di beri kesempatan untuk dapat mencapai lamanya waktu tertentu di dunia, kita pun harus sedih karena sesungguhnya kita telah kehilangan hari-hari jatah yang Tuhan beri di dunia ini. Bayangkan jika kita di beri tahu bahwa usia kita adalah 60 tahun misal, maka setiap tahunnya kita akah bersedih karena jatah kita berkurang untuk hidup di dunia ini.
Agak klise memang, tapi bagiku hal itu kita yang menciptakan sendiri.
Dahlan Iskan, menteri BUMN  itu, menteri yang selalu tampil dengan gayanya yang nyentrik itupun tak pernah tahu kapan ia lahir. Makanya dia memilih tanggal 17 agustus dengan tujuan agar hari ulang tahunnya juga dirayakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Ah, kenapa aku tak memberitahukan pada kalian 12 Rabiul Awal saja ya? :D 

Camara, 08 Ramadhan 1434 H / 17 Juli 2013 M