Jumat, 24 Januari 2014

Sebuah Pertemuan

Senja tadi kau datang. Membawa setangkup harap dalam barisan kata. Aku penasaran akan apa yang ada di dalamnya. Sejenak ingin kuperiksa. Ah, tapi untuk apa? Kau bukan siapa-siapaku kan?

Tapi, kau sudah terlanjur hadir di hadapanku membawa semuanya. Haruskah kubiarkan? Tak sopan sekali aku padamu. Baik, kuambil saja.

Malamnya kau menyapa. Menjadi sebuah bayang dalam tempias hujan. Aku sejenak ragu menemui.

Tapi begitulah dirimu, pada akhirnya selalu berhasil membuatku menyerah dan memaksaku membukakan pintu.

Sofa dalam ruang tamu membisu. Semenjak tadi ia memperhatikanku. Musik di luar pun penuh gemuruh. Tak biasanya hujan sedengki ini padaku. Aku curiga, jangan-jangan mereka berdua cemburu.

Secangkir teh aku ajak untuk menemaniku menemuimu.

"Kenapa kita berdua begitu kikuk?" Tanyaku padamu, dalam hati.
"Mungkin karena kita saling malu." Aku yakin itu jawabanmu.
"Tapi itukah alasanmu datang padaku malam ini? Hanya membawa sebuah kekikukan?" Aku kembali bertanya, dalam gumam.
"Lalu sebagai tuan rumah, inikah yang kau suguhkan?" Ia sepertinya mendengar apa yang kugumamkan.

Ia pergi tanpa salam. "Tak sopan!" Sambil menyerukan itu dalam hati, aku justru menertawai diri sendiri yang tetap memandanginya dari kejauhan. Seiring dengan ia yang hilang tenggelam di kegelapan malam dan derasnya air hujan.

*untuk sebuah senja di awal Februari, tahun lalu.

Kamis, 09 Januari 2014

Sepotong Surga

“Go easy on me
I can’t help what I’m doing
Go easy on me
Oh, I can’t help what I’m doing....”

Lantunan lagu Renegade-nya Kings of Convenience mengiringi langkahku menjejaki pasir putih yang menghampar seluas tanah lapang. Rerimbunan daratan hijau berhiaskan karang coklat kehitaman samar-samar hadir jauh di ujung pandangan. Deburan ombak pantai, suara desiran pasir yang tersapu air laut, iring-iringan burung camar yang nyanyiannya bersahutan, perahu para nelayan yang makin menjauhi daratan, langit senja yang mulai menjingga, turut menghiasi pemandangan sore itu. Penggalan lirik romantis yang dilantunkan duo Erlend dan Eirik itu menambah syahdunya suasana. Rasa-rasanya segala fikiran yang bergelantungan di kepala semenjak tadi, bahkan semenjak seminggu lalu saat masih di kampus, terbang ikut terbawa bersama angin laut Selat Sunda. Segala beban yang ada di pundak serasa jatuh dan tersapu air laut kemudian bergabung bersama buih ombak di lautan.

Bersama dua orang teman, aku sedang dalam misi perjalanan menuju sebuah tempat yang membuatku penasaran semenjak dua hari lalu. Untuk mewujudkannya, kami harus menyusuri pantai yang masih perawan dengan berjalan kaki selama lebih dari satu jam. Tempat itu ada di ujung pantai yang sedari tadi kami amati.
Awalnya aku mengutuk keberadaanku disini, di desa terpencil yang jauh dari keramaian: merasa terasingkan, tak berpengalaman, tak bisa mengakses sinyal, seakan pengangguran, merasa gabut, dan perasaan lain yang merundung tak berkesudahan, yang semuanya bermuara pada keinginan untuk segera pulang. Apalagi perkara sinyal ini. Sedih sekali rasanya hidup tanpa sinyal ya. Atau mungkin karena sinyal itu penghantar kerinduanku pada seseorang? Hha.. Entahlah.

Desa ini sebenarnya tak terlalu jauh dari Ibukota negara, Jakarta. Hanya sekitar 200 kilometer saja dan tak harus menyeberangi lautan untuk mencapainya. Tapi tetap saja, keberadaan desa ini seolah begitu amat jauh dari peradaban. Dan bagiku mungkin karena perkara sinyal yang membuat kesal tadi, semua itu terasa amat berlebihan. Rasa-rasanya ingin sekali secepatnya pergi meninggalkan semua ini.

Tapi kemudian hal itu berubah 180 derajat karena sebuah kejadian. Sore itu di hari kedua keberadaanku di kampung Camara, aku makin penasaran pada apa yang pernah diceritakan seorang teman akan sebuah tempat yang katanya eksotis. Letaknya tak jauh dari basecamp tempat kami tinggal. Sekitar satu jam perjalanan mungkin. Maka jelang salah satu kegiatan di pantai berakhir, aku memutuskan untuk menuju kesana. Bersama seorang teman yang kemudian disusul seorang lagi. Bertigalah kami menyusuri pantai yang sepi, jauh dari hiruk pikuk orang-orang.

Sebelum mencapai tempat itu, kami dihadang sebuah sungai yang membelah pasir putih hendak bermuara ke lautan. Sungai ini hampir membuat kami putus asa dan memutuskan kembali ke basecamp. Mengurungkan niat pergi kesana. Bagaimana tidak, airnya yang setinggi paha dan bisa jadi akan lebih tinggi jika jelang malam sekembalinya kami dari sana. Ini menjadi semacam perdebatan diantara kami. Karena ketika pulang, air laut di mulut muara tak berubah menjadi pasang, bahkan sungai yang kami lalui itu cenderung lebih dangkal. Jadi sebenarnya air laut itu menjadi pasang atau surutkah ketika malam? Kami beradu argumen dan saling mengajukan teori yang cenderung tak berdasar tentang ini ketika pulang. :D

Menyeberangi sungai yang bermuara ke bibir pantai. 
Tumpukan karang dan belukar yang tersembul disela-selanya harus kami daki sebelum mencapai tempat tujuan. Tanah yang dimimpikan-mimipikan. Tempat yang membuatku penasaran semenjak dua hari lalu ini letaknya memang agak tinggi. Namun setelah berhasil memanjat dengan penuh hati-hati karena licin, tibalah kami di tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku pribadi.

Kami disuguhkan pemandangan yang menakjubkan. Kalimat-kalimat pujian pada Allah aku rapal berkali-kali dalam hati. Ini sungguh pemandangan yang pertama aku lihat seumur hidup. Padang rumput persis seperti di film Teletubies hampir tak kupercayai. Hijau muda, luas menghampar, rapi seperti disirami dan dirawat setiap hari. Diselingi pohon kelapa yang jaraknya beraturan satu sama lain di tengah-tengahnya. Berjejer rapi seperti barisan peserta upacara. Ada danau air tawar berada tak jauh dari kami berdiri, sepelemparan tangan jauhnya dari kami. Danau mini itu dikelilingi pepohoan yang rindang. Asri dan menyejukkan. Padang rumput yang katanya lapangan golf yang telah tak digunakan ini ujungnya berakhir di laut selat Sunda. Pembatas keduanya hanya karang-karang tak beraturan tapi justru menjadi simfoni yang indah mempesona mata. Ada pohon cemara berdiri kokoh di salah satu tumpukan karang yang menjadi pembatas antara hamparan rumput hijau dan laut biru itu. Memperindah pemandangan saja ia. Ini semacam surga mungkin kali ya. Pikirku dalam hati, menggumam sendiri. Aku begitu menikmati tempat ini. Aku selayaknya anak kecil yang menemukan tempat bermain. Berlarian, bercerita tentang tempat ini, berandai-andai, berteriak, tertawa kecil, lalu kemudian berfoto-foto. Jika saja matahari tak hendak tenggelam, aku akan seharian disini.

Aku pulang dengan membawa rasa gembira dan semangat dari padang rumput nan indah tadi. Kami pulang. Kembali menyusuri pantai yang sama saat matahari hampir ditelan lautan. Bergegas menuju basecamp untuk buka puasa bersama. Tepat saat matahari menghilang kami datang. Setelah mengambil ta’jil dari panitia, aku memilih duduk di luar memandangi sisa pijaran matahari di langit Ramadhan tahun ini. Menikmati sisa-sisa keelokan padang rumput tadi. Merenungi sejenak dan menyimpannya dalam memori.

Hari-hari selanjutnya membuatku serasa punya semangat baru lagi. Hari demi hari berlalu, kegundahan pergi, dan aku merasa mendapatkan keluarga baru disini. Hidup memang kadang membingungkan ya. Satu saat kau merasa tak begitu baik, tapi beberapa saat kemudian kau bisa saja merasa sangat amat baik. Hati memang mudah terbolak-balikkan memang. Begitu juga dengan perasaan. Mengenai perasaanku padamu, semoga hukum ini tak berlaku. (?) #eh #salahfokus


Camara, di sebuah senja awal Ramadhan tahun lalu.

*dikembangkan dari sebuah catatan milik salah seorang dari kami bertiga: Achmad Anwar Sanusi, Eneng Khairun Nisa, Westra Tanribali.

Selasa, 31 Desember 2013

Hujan dan Kenangan

Pagi ini hujan masih turun membasahi bumi. Kelanjutan dari hujan deras pagi buta tadi. Ia sisa hujan semenjak kemarin sore yang semalam sedikit mereda. Benarlah kata orang jika puncak kemalasan adalah ketika bangun pagi. Apalagi pagi buta. Ditambah hujan deras dan cuaca dingin bersamanya. Ah, puncak dari atas segala kemalasan! Tapi pagi buta tadi aku berhasil melawan itu semua. Kusingkap selimut yang membalutku semenjak beranjak ke peraduan beberapa jam sebelumnya. Bukan karena apa-apa, tak ada yang jadi imam untuk shalat shubuh untuk anak-anak santri.

Suasana pagi buta tadi itu membawaku pada masa beberapa tahun silam. Ini mungkin salah satu dampak dari hujan yang selalu didedungkan orang-orang: mengantarkan kenangan. Perpaduan derasnya hujan dan dinginnya shubuh bukan hanya menusuk hingga ke tulang, namun juga membawa ingatanku pada masa beberapa tahun kebelakang. Bersamanya aku dibawa ber-flasback tentang hal yang kujalani dalam kurun waktu tersebut.

Aku bersyukur semenjak itu aku ditempatkan oleh-Nya pada lingkungan yang 'memaksaku' untuk selalu menjalani ibadah-ibadah rutin kepada-Nya. Walau pada tahun-tahun awal cukup sulit untuk orang yang jauh dikatakan rajin dalam beribadah. Ini semua hampir seperti terpaksa. Akan jadi benar-benar terpaksa jika saja tak ada didikan sama sekali dari orang tua. Tahun kedua dan ketiga cukuplah ada perubahan. Walau tak signifikan. Ya, setidaknya tidak stagnan.

Setelah melewati tahun-tahun di tempat yang sama, di tahun keempat aku ditempatkan pada tempat yang berbeda oleh-Nya. Namun hampir sama. Sama-sama 'memaksaku' untuk melanjutkan rutinitasku dalam beribadah selama tiga tahun sebelumnya: shalat berjama'ah, shalat-shalat sunnah, tilawah Al-Qur'an, juga rutinitas ibadah lainnya. Hanya kali ini dengan posisi berbeda. Tiga tahun pula aku disana.

Mungkin ini cara-Nya menempatkan orang-orang yang belum bisa dikatakan baik. Allah menempatkan seseorang di tempat yang baik bukan berarti orang itu baik. Mungkin karena orang itu tidak baik dan disuruh memperbaiki diri. Iya kan? Aku sadar mungkin diri ini terlalu banyak dosa dan maksiat yang pernah diperbuat.

Pada awalnya menjalani semua rutinitas itu begitu berat. Aku berusaha melewati itu semua. Dan perlahan aku coba menjalani tidak hanya rutinitis belaka. Aku ingin menjalani setiap esensi dibaliknya.

Setelah enam tahun merasa sedikit cukup, aku memutuskan setahun keluar dari lingkungan tersebut. Setahun aku menjadi manusia bebas, menjadi mahasiswa kost-an yang hampir tak punya aturan. Kecuali aturan yang dibuatnya sendiri. Membuatnya pun sesuka hati. Namun kerinduan akan satu hal yang tak bisa aku jelaskan ternyata tak bisa dibohongi. Hingga itu terjawab dengan ditempatkannya kembali aku di lingkungan yang persis dengan setahun sebelumnya.

Aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri yang penuh dosa ini.

Aku bersyukur atas ditempatkannya aku ditempat-tempat yang setidaknya telah 'memaksaku' untuk tetap shalat berjama'ah dan menuntutku untuk beribadah sebaiknya-baiknya. Walau untuk saat ini mungkin itu semua masih sebatas rutinitas belaka.

Aku bersyukur dalam kurun waktu semenjak masa SMA itu, setidaknya ada kenikmatan dalam beribadah yang pernah kurasakan, meski secuil. Dan walau dalam kurun waktu itu pula banyak dosa dan kekhilafan yang pernah kulakukan. *kemudian beristighfar*

Aku bersyukur Dia telah melatihku untuk konsisten dalam menjalankan rutinitas keagamaan semenjak SMA. Dan kini sudah akhir dari 2013 saja. Latihan-latihanku itu sudah kujalani lebih dari 8 tahun ternyata. Sudah sewindu semenjak 2005! *setidaknya itu sudah dikatakan cukup lah menjadi bekalku untuk melatih anak cucuku nantinya. :D

Hidupku di dunia masih panjang (semoga), baru sepertiga perjalanan jika mengacu pada jatah yang sama dengan yang Allah berikan pada Nabi Muhammad manusia kesayangannya. Dalam sepertiga perjalanan itu, sudah terlalu banyak hal yang Dia berikan padaku hingga aku malu untuk meminta lebih banyak lagi. Perkara istri, anak, studi, harta, gaji, dan juga materi lainnya adalah perkara-perkara yang membuatku malu untuk meminta semuanya itu. Bersyukur bagiku lebih dari cukup. Jauh lebih dari cukup.

Selasa, 26 November 2013

Menjadi Guru: Sebuah Memoar

“Sebaik-baik belajar adalah dengan mengajar.” - Ustadz Najwani, seorang guru.

Merasakan sebenarnya-benarnya kehadiran guru adalah ketika saya duduk di bangku SMP. Saat dimana kasih sayang layaknya seorang ibu sendiri saya terima dari guru-guru ketika itu. Kenapa tidak SD? Dugaan saya, pola pikir seorang Achmad Anwar Sanusi mungkin belum paham mengenai kehadiran dan arti seorang guru saat masih di sekolah dasar. Saat itu saya  belum sadar dan mengerti bahwa yang mengajarkan huruf, angka, membaca, menulis, membuat garis lurus, membuat lingkaran, bahkan memegang pensil dan pulpen yang benar dengan sabarnya, setelah orang tua, adalah guru SD. Setelah beranjak dewasa -dan memang sudah seharusnya, barulah saya tersadarkan akan hal itu. Saat duduk di bangku SMA, pengalaman yang hampir sama dengan masa SMP terulang. Perhatian yang datang dari layaknya seorang ayah, saya rasakan pada saat itu. Alasan pribadi yang begitu kuat dan juga karena lingkungan di SMA yang berasrama menambah kuat kehadiran perasaan tersebut dalam diri saya.

Pengalaman semenjak SD hingga SMA tersebut memberikan pengertian pribadi bahwa sesungguhnya guru bagi saya bukanlah orang tua kedua, melainkan mereka saya sejajarkan dengan orang tua pertama. Bedanya mungkin orang tua yang satu ini tak mengandung dan merawat semenjak kecil.

Di masa perkuliahan, keterikatan saya terhadap guru tak saya rasakan. Mungkin itu salah satu alasan mengapa studinya saya tertunda hingga saat ini. *nyengir* Adakah hubungan diantara keduanya? Ah, tak tahu lah. (Tapi jika merujuk pada nasihat Imam Syafi’i tentang 6 perkara untuk mendapatkan ilmu, sepertinya iya).

Lahir dan besar di keluarga petani dan pedagang, tak terfikirkan oleh saya untuk menjadi seorang guru. Ditambah lagi pada satu waktu, pernah ada seseorang yang memberikan sebuah nasihat, "kalau kamu mau kaya, jangan jadi guru, jadilah pengusaha.” Dan kalimat itu saya dapatkan dari 3 orang guru berbeda, dalam waktu yang berbeda, dan pada jenjang yang berbeda pula.

Saya sepenuhnya yakin dan sadar bahwa menjadi guru memang sulit mengantarkan saya pada keberlimpahan materi. Namun karena sering berada di tengah-tengah guru-guru yang hebat dan penuh dedikasi, membuat saya memiliki keyakinan bahwa menjadi kaya pahala ternyata lebih menggiurkan daripada kaya harta. Alhasil beberapa bulan setelah lulus SMA, November 2008 tepatnya, ketika dihadapakan pada beberapa pilihan, saya memilih menjalani sebuah tahapan hidup dengan mengambil peran sebagai seorang guru.

Mengajar beberapa mata pelajaran berbeda: Tarikh Islam, Imla, Kimia, Ekonomi, IPA, Matematika, Bahasa Inggris, juga Bahasa Indonesia, dalam kurun waktu beberapa tahun membuat saya belajar banyak hal. Mulai dari pengetahuan dari tiap disiplin ilmu yang berbeda, hingga metode belajar yang tidak itu-itu saja. Menjadi guru SMA, SMP, SD, di lembaga bimbingan belajar dan private pribadi merupakan salah satu potongan mozaik dalam hidup yang pernah saya jalani selama 5 tahun ke belakang.

Melihat diri saya dari sisi lain, bisa dikatakan saya termasuk ke dalam golongan guru di Indonesia yang tak memiliki kualifikasi mengajar secara profesional. Saya yakin itu. Karena tak ada dokumen negara yang berkaitan dengan bidang pendidikan yang saya miliki selain NUPTK. Itu pun entah bagaimana sekarang nasibnya, kini tak pernah saya pedulikan lagi. Namun, setiap tanggapan positif dari murid-murid yang pernah belajar bersama saya selalu menjadi penghibur dari sisi lain itu. Maka bisa jadi di mata para murid yang pernah saya ajar mungkin saya bisa dianggap berhasil, tapi di mata menteri pendidikan nasional (sekarang mendikbud), saya nol besar.

Berbagai panggilan yang pernah dan masih disandangkan kepada saya, baik itu pak guru, kakak guru, atau ustadz sekalipun sebenarnya harus diakui cukup berat untuk diemban. Tanggung jawab dari panggilan ketiganya bukanlah main-main, menuntut saya untuk menjadi sebenar-benarnya guru: pantas digugu (dipercaya/dituruti) dan ditiru. Namun harus saya akui, panggilan dan menjadi yang terakhir terasa lebih berat. Selain karena panggilan ustadz identik dengan seseorang yang memiliki pemahaman agama yang luas, juga karena saya dituntut menjadi teladan dan contoh yang patut ditiru oleh para murid karena berada dalam keseharian mereka selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu. Shalat berjama’ah, cara berpakaian, berinteraksi, bersikap pada diri sendiri, hingga tidur sekalipun, selalu menjadi perhatian dan dijadikan contoh ideal bagi para murid. Bahkan ada ungkapan, ustadz itu batuknya saja adalah tarbiyah (pendidikan).

Hidup adalah proses. Kadang kita tak pernah tahu apa yang sedang kita jalani saat ini akan tetap bertahan atau berubah diluar dugaan dalam beberapa waktu ke depan. Dalam hitungan, menit, jam, hari, bulan ataupun tahun. Namun yang jelas, menjadi apapun saya nanti di masa depan, saya bertekad untuk tetap membagikan pengalaman dan ilmu yang sedikit saya miliki dengan cara mengajar. Mengajar siapapun dan dengan cara bagaiamanapun. Persis seperti pesan seorang kiyai guru saya, yang disampaikannya kembali kepada saya, yang tetap menjadi pedoman hingga saat ini, yang secara tidak langsung bisa dikatakan telah mendoktrin saya hingga saat ini, "menjadi apapun dirimu, tetaplah mengajar.”

Maka melalui tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu, madrosatul ula saya, dan semua guru yang pernah mengenal, mengajarkan ilmu, dan telah ‘mengantarkan’ saya hingga berada pada tahap seperti sekarang ini. Jika saja agama mengizinkan, setelah kepada ibu, saya ingin bersujud pula kepada guru.

Terima kasih!

Selasa, 29 Oktober 2013

Hampir Sampai

Aku hampir tiba pada masa yang saat SMA dulu pernah aku bayangkan. Saat dimana aku tiba pada masa dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan bertahan pada idealisme yang ku genggam erat selama ini, atau pilihan melepaskan itu demi keluarga yang aku pegang petuahnya semenjak kecil.

Rasa-rasanya aku tak pernah sekhawatir ini semenjak dulu. Saat studi tertunda setahun dulu pun aku biasa saja. Tapi rasa-rasanya kali ini berbeda.

Dalam masa hampir tiba itu aku masih berusaha mengkompromikan keduanya. Aku sedang berusaha meyakinkan salah satunya. Kepada idealisme-ku atau kepada keluargaku. Setelah 5 tahun tak berhasil, di detik-detik terakhir ini ingin ku coba lagi.

#tetibagalau

Jumat, 04 Oktober 2013

Negeri Seorang 'Raja'

Terceritakanlah sebuah negeri dengan seorang raja. Tercipta dari puing-puing sisa kejayaan negeri sebelumnya yang tertulis tinta emas sejarah masa lalu. Setelah menunggu berabad-abad lamanya, negeri ini terlahir juga ke dunia. Selamat tanpa cacat. Senang bukan main sang raja. Atas kesyukuran itu, diberikanlah 5 dari 8 wilayah yang ada di bawah kekuasaannya pada kerabat-kerabat dan anggota keluarga.

Wilayah pertama dihibahkan pada adiknya bersama entah siapa.
Wilayah kedua diberikan pada iparnya bersama entah siapa.
Wilayah ketiga diserahkan pada ibu tirinya bersama entah siapa.
Wilayah keempat dihadiahkan pada adik tirinya sendirian saja.
Wilayah kelima sempat diperebutkan oleh utusan keluarga besar. Hingga kini masih dalam kecamuk perang yang tak ada yang tahu kapan usai.
Hanya wilayah keenam, ketujuh dan kedelapan yang tidak berikan pada anggota keluarga.

Entah sengaja karena takut dianggap serakah, atau memang ini hanya akan sementara. Namun tak usah khawatir, karena anak-anak dan beberapa anggota keluarga lain telah menjadi utusan negeri sang raja di khayangan. Itu saja sudah cukup.

Negeri ini kaya akan segala: hutan, laut, gunung, sawah, sungai, tambang, emas, perak, permata, mutiara, tanah, air, udara, semuanya! kecuali harta milik rakyat. Pendapatan negeri ini paling melimpah ruah sejagat raya. Sayangnya, sebagian besar rakyatnya termasuk budak-budak yang tak memiliki pekerjaan. Begitu kata khayangan. 2 dari wilayahnya pun termasuk 113 wilayah termiskin yang diumumkan oleh khayangan beberapa pekan kebelakang. Sebagian besar wilayahnya didera kemiskinan dan masih primitif. Namun sebagiannya lagi penuh kekayaan dan sudah modern. Ada celah yang menganga diantara keduanya. Jomplang.

Rakyat bertanya. Ada apa? Raja tak menggubris. Seolah tak ada apa-apa. Ia tutupi semua rasa penasaran rakyatnya itu dengan kebohongan, atau dengan cara termudah: berkilah kemudian diam. Persis  saat ditanya persoalan keterlibatan ibu, anak, adik, ipar, dan sanak saudara di lima wilayahnya tadi yang diakunya atas titah Tuhan melaui rakyat.

Rahasia demi rahasia disembunyikan. Keburukan demi keburukan ditutupi. Hingga seiring berjalannya waktu menjadi kebusukan yang bau. Sebagian besar telah menciumnya. Namun tak ada yang berani melapor pada khayangan. Kalaupun ada, pasti ia akan terlebih dahulu bertemu utusan sang raja di perjalanan. Kemudian ditikam, entah dari depan atau belakang, dan kemudian mayatnya dilempar begitu saja ke lautan.

Bau ini ditutup lebih rapat lagi. Semakin rapi tanpa cela. Rakyat hanya bisa diam, dan tak mampu berbuat apa-apa. Namun dalam diam itu mereka berdoa.

Hingga pada suatu masa Tuhan menjawabnya dengan mengirimkan sekelempok utusan untuk menggali kebusukan-kebusukan yang telah mengakar. Semua rakyat bersorak penuh bahagia. Penuh euforia kemenangan. Awal dari sebuah kemenangan tepatnya. Hingga kemudian masing-masing dari 10 juta jiwa rakyat kembali berdoa. Berdoa demi kemudahan utusan Tuhan tadi.

Oiya, raja yang kuceritakan padamu itu, bukanlah seorang lelaki yang kau bayangkan membawa pedang dan kemudian turun ke medan laga berperang sebagai komandan. Raja itu adalah seorang perempuan pertama yang menjadi raja di muka bumi. Dan hingga cerita ini ku sampaikan, ia masih menjadi raja perempuan terlama yang duduk di singgasana emasnya.

Dan tahu jugakah kau? Negeri yang kuceritakan itu bukanlah negeri di antah berantah tak bernama. Bukan pula negeri yang hanya ada dalam dunia khayal belaka. Negeri itu ada di dunia nyata. Ada. Dan dia punya nama. Nama itu milik sebuah provinsi di sebuah negara bernama Indonesia yang juga kota kelahiran dan tempat ku dibesarkan: Banten.

Sabtu, 14 September 2013

Pertemuan Pertama

Matahari masih cukup jauh menyentuh laut. Langit dipenuhi gerombolan awan yang berarak perlahan menyesaki. Menghalangi separuh sang surya yang hendak menyinari dunia. Hingga pendaran cahayanya pun tak jatuh sempurna pada hamparan pasir pantai yang sedang kususuri.

Di kejauhan, aku menemukan sesosok tubuh terpungkur jongkok diatas karang yang jauhnya seperlemparan tangan dari garis pantai. Sendirian. Aku mendekat. Dari raut wajah dan perawakannya, tampak seorang anak usia belasan tahun disana. Ia sedang asyik dengan yang dilakukannya: memancing. Segera ku ambil kamera saku. Lebih mendekat lagi. Oh, dia menyambut. Sebuah senyuman dilemparkan.

Aku bersama beberapa teman sedang menikmati indahnya langit senja pesisir Selat Sunda. Tak lama setelah tim Mari Mengajar tiba di kampung Camara, Desa Banyuasih, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, kami -aku dan beberapa volunteer memilih pergi ke pantai. Kampung Camara berbatasan langsung dengan laut yang dari tepinya kita dapat melihat Pulau Umang dan Anak Gunung Krakatau di kejauhan. Jarak dari base camp kami tak cukup jauh, sekitar 300 meter saja. Kami tentu senang. Anggap saja ini sebagai obat dari perjalanan 5 jam dengan rute di akhir yang mengocok isi perut -dalam arti yang sebenarnya. Dan juga sebagai hiburan awal dari aksi mengajar 7 hari kami disini.

Saat menghabiskan waktu jelang senja itulah aku mendapati seorang anak yang begitu asyik memancing diatas karang. Perawakannya kurus, kulitnya sawo matang. Rambutnya berponi, ah ia lucu sekali. Jenis lelaki pendiam. Hanya menjawab secukupnya saat aku tanyakan beberapa hal. Atau mungkin karena ia anak kecil ya? Tapi ia cukup ramah. Beberapa kali menebar senyum padaku.

Dengan celana boxer kuning, kaos you can see corak putih kuning dan sebuah wadah berbahan dasar karung terselempang menyilang tepat di dada, ia berpindah dari satu karang ke karang lain. Berjongkok, menengok ke sela-sela karang, mencari lubang, mencoba memangsa makhluk hidup dibalik karang itu dengan mengandalkan joran sederhana beserta gulungan benang miliknya. Ia juga cukup lihai dalam memancing. Dapat kulihat dari banyaknya tangkapan yang di dapat.

Mataku mengikuti ke arah mana ia berjalan. Dari jauh aku memperhatikan. Diantara karang-karang laut ia tengah mencari.  Aku terdiam menikmati pemandangan langka ini.
“Strike..!” tiba-tiba aku berteriak sendiri dari kejauhan. Ia, yang kemudian aku ketahui bernama Ludin, tenang-tenang saja. Ia, yang umpannya ditarik sejenis belut, menariknya dengan tak tergesa. Sejenis belut laut berhasil mengait kail milik Ludin yang berumpankan keong. Laladot ia menyebutnya. Entah apa dalam bahasa Indonesianya binatang laut itu. Aku tak tahu. Persis seperti teman-temannya yang lain yang ada didalam wadah yang ia bawa: Pabalata dan Nyai-nyai. Keduanya nama sejenis ikan laut. Tiga jenis saja yang ia dapat, tapi jumlahnya lebih dari tiga kali lipatnya.

Katanya ia senang sekali memancing setiap sore. Sendirian. Pada saatnya nanti akan ada penjelasan –dan mungkin juga alasan, tentang rutinitas tiap sorenya itu. Mengetahui itu, aku berencana menemuinya esok hari. Secara tidak langsung kami telah membuat kesepakatan untuk kembali bertemu. Ya, esok kami akan bertemu kembali di tempat yang sama dimana kami bertemu. Aku masih ingin tahu banyak tentang dirinya. Tentang sikap kalemnya sesorean ini. Tentang kehidupannya bahkan.

Awan gelap telah melukis birunya langit senja yang juga perlahan berubah warna. Kami pulang menjemput malam. Bersama menuju basecamp. Aku masih penasaran tentang hari esok. Aku sibuk dengan terka-menerka tentang masa datang. Akankah aku mengajar di kelas 4 SDN Banyuasih 4 tempat ia bersekolah setiap harinya? Dapatkah aku mengetahui lebih banyak tentang kehidupan bocah 10 tahun itu? Akankah aku mengenal keluarganya saat home visit nanti? Adakah rahasia miliknya yang akan ku ketahui? Adakah peluang ke arah semua itu? Aku harus menyimpan terka-terkaan itu setidaknya hingga malam nanti.