Sabtu, 08 Maret 2014

Di Antara Gerbong Kereta Barang

Jika ditanya dimana peristiwa paling menegangkan selama berperjalanan terjadi, maka jawabannya seperti judul tulisan ini: di antara gerbong kereta barang. Peristiwa yang paling menguji adrenalin tersebut -bagi saya tentunya, adalah bergelantungan di antara gerbong kereta barang pukul 11 malam sendirian tanpa teman.

Peristiwa ini terjadi di sebuah akhir pekan pada pertengahan tahun lalu. Saat itu saya pergi ke Baduy Dalam bersama beberapa teman. Kami mencoba rute yang tak biasa orang lalui. Dan karena ini di luar rencana, maka semuanya menjadi tak terduga: kehabisan ongkos dan perbekalan, pulangnya tak ada kendaraan umum walau masih siang, juga harus berjalan lebih jauh daripada biasanya hingga kaki kami pegal semua. Sampai pada akhirnya secara bergantian kami mendapatkan tumpangan dari sebuah truk pengangkut kayu, mobil ELF yang sudah tak beroperasi lagi, dan mobil pick up dari Bojong Manik hingga stasiun kereta Rangkasbitung. Kami tiba di stasiun jelang akhir senja. Teman-teman saya pulang menuju Jakarta yang keretanya masih ada. Sedangkan saya yang tujuannya ke Serang harus duduk sendirian di stasiun karena kereta terakhir ke Serang telah lewat dua jam sebelumnya.

Bisa saja saya menunggu sampai besok hingga kereta menuju Serang datang. Namun besok pagi ada kegiatan di kampus yang tak bisa ditinggalkan. Dan karena besok kereta jam 10 pagi baru datang, maka mau tak mau malam itu juga saya harus pulang.

Hendak naik mobil, tapi tak memungkinkan karena uang di dompet telah habis, hanya selembar dua ribu rupiah yang tersisa. Di ATM  pun hanya saldo minimal yang ada. Maka satu-satunya pilihan adalah menumpang kereta barang yang biasa lewat sekitar jam 10 malam. Saya sedikit  hafal jadwal kereta tersebut karena kostan tak jauh dari rel kereta.

Ilustrasi (foto oleh Egi Mardani)
Maka ketika kereta yang ditunggu-tunggu datang, hap! Saya menaiki gerbong kedua dari belakang. Bodohnya saya adalah tidak meminta izin kepada masinis kereta barang tersebut, juga pada petugas yang ada di stasiun. Maka berkelebatlah berbagai macam bayangan dalam diri saya: terpeleset dari tempat berdiri yang sempit, kaki dan tangan pegal hingga tak terasa pegangan kemudian terlepas begitu saja, terpelanting jatuh dari gerbong, terlindas putaran roda besi kereta, terhempas dari kereta dan terbentur pepohonan, terpental jauh ke tengah persawahan, lalu kemudian menjadi mayat tak bertuan. Apapun bisa terjadi saat itu. Dan jika itu benar-benar terjadi, tak ada yang tahu keadaan saya, selain Tuhan.

Sepanjang perjalanan Rangkasbitung - Serang itu berbagai macam doa saya ucap. Asma Allah tak hentinya-hentinya saya rapal tak berkesudahan. Jika seandainya saya mati malam itu, setidaknya saya tidak dalam keadaan yang buruk-buruk amat. Begitu pikir saya saat itu sambil memandangi langit malam yang penuh bintang. Itulah hiburan saya satu-satunya saat itu. Tapi sayangnya hiburan itu tak berhasil melaksanakan tugasnya dengan sempurna. Saya tetap dibayangi perasaan-perasaan tadi.

Satu jam perjalanan, bahkan lebih, diantara gerbong itu adalah masa paling mendebarkan: berada di tengah gelapnya malam tanpa penerangan, di atas si ular besi yang berlari teramat kencang, dan bergelantungan di antara gerbong kereta barang tanpa izin, semua itu adalah sebuah tindakan bodoh yang justru telah melewati beberapa perhitungan sebelumnya. Walau semuanya tak tepat.

Lalu ternyata cerita saya tersebut tak berakhir hanya disitu. Uji adrenalin saya saat itu berlanjut dengan tidak berhentinya kereta barang yang saya tumpangi di stasiun Serang. Ia melaju terus hingga tiba di sebuah stasiun sebelum Merak. Saya tak hafal namanya. Lalu saya terpaksa berjalan kembali di tengah kota industri yang mulai lengang karena telah lewat tengah malam. Hanya beberapa mobil kontainer yang lewat yang saya temukan, ditambah pula pemandangan beberapa orang laki-laki dan perempuan dalam warung remang-remang. Ah, dasar! Laki-laki dengan dengan tatapan tak bersahabat menambah berkecamuknya perasaan saya saat itu.

Saya terselamatkan dari semua kengerian dini hari itu oleh seorang bapak baik hati yang memberi tumpangan menuju Cilegon, di mesjid Agung Cilegon si bapak berhenti.

Cerita petualangan saya saat itu diakhiri dengan tidur di depan gerbang mesjid yang terkunci, terhiasi rintik-rintik gerimis jam 2 dini hari, dan kucing-kucingan dengan kondektur kereta penumpang dari Merak yang hendak ke Tanah Abang melewati Serang saat paginya. Pagi itu bagi saya kostan adalah tempat ternyaman di dunia, bak semewah-mewahnya istana.

Bagi beberapa orang yang telah sering melakukan perjalanan, mungkin semua itu tadi adalah hal biasa. Tapi bagi saya yang masih amatiran, yang beperjalanan baru menjadi candu 3 tahun ke belakang, itu adalah perjalanan yang tak terlupakan.

Maka ini adalah ceritaku, mana ceritamu?

Jumat, 28 Februari 2014

Islamic Book Fair

“Sebaik-baik teman duduk sepanjang waktu adalah buku” - Pepatah Arab

Pameran Buku Islam terbesar di Indonesia, yang lebih dikenal dengan Islamic Book Fair, untuk tahun ini resmi dibuka siang tadi oleh salah satu tokoh nasional yang juga mantan wakil presiden Republik Indonesia, Pak Jusuf Kalla. Awalnya saya hendak menghadiri siang tadi, tapi besok saja main ke Senayannya.

Malam ini saya ingin bercerita tentang keranjingannya saya mengunjungi event tahunan semacam book fair ini. Keranjingan tidak hanya mengunjungi, namun juga merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli buku-buku yang diingini. Bahkan terkadang sampai menghabiskan pundi-pundi materi yang dimiliki. Setiap kesempatan itu ada, saya tak pernah membiarkannya begitu saja. Dan kesempatan itu hampir setiap tahun datang. Keranjingan ini dimulai sekitar 4 tahun lalu, saat dimana pertama kalinya saya berkunjung ke Islamic Book Fair saat itu.

Masih jelas dalam ingatan saya bagaimana pada hari itu, Kamis 11 Maret 2010, dengan menggunakan hak meninggalkan kelas yang diambil tanpa pikir panjang, saya meninggalkan 2 mata kuliah sisa selepas siang. Dari Serang, untuk pertama kalinya menuju Jakarta dengan berkereta, sendirian saja. Saat itu memang tak ada teman yang diajak ikut serta.

Ini akibat sebuah kabar tentang pelaksanaan Islamic Book Fair dari 5 sampai 14 Maret 2010 di Istora Senayan, Jakarta. Info dari seorang teman yang mengatakan bahwa buku-buku di sana dijual dengan harga miring, bahkan dibanting. Pun buku-buku Islamnya sangat lengkap melebihi toko buku manapun. Saya yang belum pernah mengunjungi book fair sama sekali, hanya mengiyakan tanpa mengajukan interupsi. Karena kebetulan saya mahasiswa Ekonomi Islam yang sedang mencari buku-buku pendukung kuliah yang harganya cocok dengan kantong mahasiswa. Kebetulan! Teriak saya dalam hati.

Namun sepulang dari sana, bukan hanya buku pendukung kuliah yang saya dapatkan, tapi beberapa buku Islam berhasil saya bawa pulang: Tafsir Mishbah Vol I, Perempuan, Jilbab karya Quraish Shihab, juga beberapa buku fiksi berupa novel seperti Tetralogi Laskar Pelangi saya beli. Saya agak lupa dan cukup tak menyangka dapat membeli buku sebanyak itu saat itu. Padahal untuk membeli buku Mata Kuliah saja harus iuran dengan teman semasa SMA yang kebetulan satu fakultas. Rezeki memang ada aja ya.

Maka Semenjak itu, saya tak pernah absen dalam beberapa book fair yang diselenggarakan di Jakarta di tahun-tahun berikutnya. Terlebih semenjak saat itu, saya makin akrab dengan kereta. Perjalanan Serang – Jakarta dengan berkereta menjadi biasa karena sering beperjalanan, yang tak hanya ke Jakarta.

Indonesia Book Fair, yang biasanya pertengahan tahun; Jakarta Book Fair yang tahun-tahun terakhir ini berganti nama menjadi Jak Book Fiesta, yang biasanya akhir tahun; bersama Islamic Book Fair, ketiga agenda itu saya tak pernah absen. Walau pergi kesana pernah hanya berkunjung tanpa membeli satu buku pun. Anggap aja refreshing. Lagipula tarif Serang – Palmerah 4000 rupiah saja dengan berkereta. Anggap saja pengurangan jatah makan siang.

Saat ini, begitu mudahnya menuju ke Senayan sana. Apalagi saat ini saya bekerja dan tinggal di sekitaran Bintaro, Tangerang Selatan, dekat stasiun pula. Untuk menuju ke Gelora Bung Karno hanya melewati 4 stasiun: Sudimara – Jurang Mangu – Pondok Ranji – Kebayoran – Palmerah. Turun di Palmerah tinggal jalan kaki sekitar 1 km. Bahkan bersepeda pun bisa jika ingin. Saking tidak ribet dan mudahnya, saya pernah mengikutsertakan beberapa santri pula.
Desain Poster Islamic Book Fair 2014
Saya terkagum-kagum pada ulama-ulama terdahulu yang begitu mencintai buku bahkan melebihi harta benda yang dimilikinya. Bahkan saya pernah mendengar seorang ulama yang menjual rumahnya demi untuk membeli beberapa buku dan manuskrip kuno. Maka apa yang saya belanjakan pada buku semenjak 4 tahun terkahir ini tak seberapa dibanding para ulama tersebut.

Saya adalah salah satu penikmat buku-buku cetak. Saya tidak terlalu suka pada buku elektronik atau yang biasa kita sebut e-book. Entahlah. Ada sebuah kenikmatan sendiri saat membaca buku cetak: mencium harum buku yang baru dibeli, membuka plastik yang membungkusnya, membolak-balik tiap halaman satu persatu secara perlahan, merasakan permukaan kertas yang disentuh telapak tangan, memandangi lembaran kertas yang dihiasi huruf dari tinta hitam, hingga memandangi lekat-lekat tiap huruf tersebut yang mengantarkan pada ilmu, kisah dan pengetahuan. Bagi saya semua itu adalah sebuah kenikmatan yang tak didapat pada e-book. Maka tak heran jika saya begitu keranjingan mengunjungi book fair hampir setiap tahunnya, dan menghabiskan sebagian besar –bahkan pernah semua, isi tabungan yang dimiliki untuk membeli buku. Saya keranjingan semenjak dulu ketika masih masa sangat amat menghemat karena bersaing dengan kebutuhan lain sebagai mahasiswa yang hidup dan menghidupi diri sendiri, hingga kini dengan penghasilan yang lebih dari cukup untuk menyisihkan sebagiannya untuk membeli buku-buku yang belum kesampaian dimiliki.

Maka semahal apapun, jika ingin saya miliki ia akan saya beli. Karena sebagaimana seorang teman, sebenarnya ia tak dapat dihargai. Buku terlalu amat berharga bagi saya. Ia memang pantas disebut sebaik-baiknya teman saat duduk, dimanapun. Terutama saat sedang menunggu: sesuatu ataupun seseorang.

Tapi saya yakin, setelah buku, yang akan menjadi sebaik-baik teman duduk sepanjang waktu, adalah kamu. :D

Selasa, 25 Februari 2014

Secret Admirer

Aku tak pernah tahu hingga kapan akan menghanyutkanmu dalam diam berkepanjangan. Sejatinya ada rasa ingin menyapa, tapi mulut ini masih butuh ribuan jam terbang untuk melakukannya. Maka jangan pernah beranggapan hanya karena tak menyapamu, aku tak pernah menaruh perhatian.

Aku tak pernah tahu hingga kapan akan menghindar saat kita bertatap muka tanpa sengaja. Jika pun terpaksa bertemu dan menyapa, hanya kikuk yang bersemayam di balik senyuman. Aku hanya tak ingin mendekatimu lalu kemudian mengotori niatku selama ini. Maka jangan pernah beranggapan hanya karena aku selalu menghindar, aku takut padamu atau bahkan menaruh kebencian.

Aku tak pernah tahu hingga kapan akan diam tanpa obrolan atau paling sekedar menanyakan kabar, saat kita bertemu berdua di restoran atau bangku taman. Sejujurnya aku ingin sekali melempar beberapa pertanyaan. Sayangnya jangankan pertanyaan, senyuman pun tak dapat kusunggingkan. Maka jangan pernah mengira hanya karena aku selalu dingin dan masam saat bertemu, aku tak pernah menyimpan perasaan padamu.

Aku tak pernah tahu hingga kapan akan dilanda kegugupan saat kau mengirim atau membalas pesan. Sejatinya ingin kuteruskan balas-membalas pesan singkat itu berlanjut pada obrolan dan percakapan. Tapi aku benar-benar tak sanggup. Maka jangan pernah mengira hanya karena aku tak membalas pesan aku tak peduli dan masa bodoh padamu.

Aku tak pernah tahu hingga kapan akan diam tanpa sapa dan tanya padamu perihal apa yang kau rayakan. Sekedar mengucap selamat bahkan: saat ulang tahun, lulus ujian, menang perlombaan, kelulusan, dan segala macam kegembiraan yang kau rasakan. Maka jangan pernah mengira hanya karena aku tak mengucapkan selamat padamu, aku tak pernah mendoakan.

Aku tak pernah tahu hingga kapan akan mengagumi dengan cara seperti ini. Aku hanya takut rasa kagum ini akan berubah menjadi lebih dari takaran yang telah diberikan Tuhan. Maka jangan pernah beranggapan hanya karena aku tak pernah menanyakan kabarmu setiap hari atau minggu, aku tak menaruh kekaguman.

Aku tak pernah tahu hingga kapan akan melakukan hal yang entah dibilang bodoh atau tidak ini padamu. Hanya Tuhan yang tahu. Aku yakin Dia kan menyampaikan jawaban pada kita melalui makhluknya bernama waktu.

Senin, 24 Februari 2014

Paspor Oh Paspor

Petugas  : “Untuk apa bikin paspor?”
Saya        : “Untuk pergi ke tanah suci.. dan keliling dunia.” *dengan pede-nya*
Petugas   : *nada sinis* “Kamu punya uang berapa mau keliling dunia?”
Saya  : “Yaah jalan mah ada aja, Pak..”
Petugas  : “Zaman sekarang itu kalo mau ke luar negeri aja harus punya banyak uang, apalagi ini keliling dunia.”
Saya       : “Ini si bapak kok ngomongannya gini ya, sinis amat sama saya.“ *dalam hati*
Petugas  : “Selasa besok ambil. Bawa surat rekomendasi dari agen travel yang mau dipake. Sekarang harus pake surat rekomendasi buat dapet paspor”
Saya       : “Itu aturan dari mana? UU Nomer berapa? Umrohnya juga belum tahu mau kapan. Masa udah minta surat rekomendasi travel agen.” *masih dalam hati, males nerusin* :D

Itu adalah sepenggal percakapan antara saya dan salah seorang petugas Kantor Imigrasi (Kanim) Kelas I Serang saat sesi wawancara dalam rangka pembuatan paspor  beberapa waktu lalu. Walau belum memiliki kepastian kapan akan menggunakan paspor tersebut, saya memaksakan untuk membuatnya. Sebagai salah satu cara memantaskan diri diundang ke bait-Nya. Itu tujuan utama saya. Membuat paspor memang sudah menjadi semacam to do list saat awal-awal masa kuliah dulu. Tapi selalu tertunda karena satu dan lain hal.

Setelah mendengar kabar bahwa semenjak 2013 pembuatan paspor bisa dilakukan secara online (atau semenjak dulu ya? sayanya saja yang tak tahu. hhe..), maka saya pun ingin mencobanya. Berbekal searching dan tanya sana-sini, membuat paspor online ternyata memang cepat dan cukup mudah, tak sesulit seperti orang-orang ceritakan saat membuat paspor.

Biasanya, saat membuat paspor (tanpa via online) mengharuskan kita datang ke kantor imigrasi tiga kali. Pertama kalinya untuk menyerahkan segala data yang dibutuhkan ke kantor imigrasi, mulai dari Kartu Tanda Pengenal, Akte Kelahiran/Ijazah, Kartu Keluarga, dan lain-lain. Fotocopy-an dan aslinya dibawa serta. Kedua kalinya untuk pengambilan sidik jari, foto dan wawancara. Dan terakhir kalinya, biasanya 4 hari kerja setelah foto dan wawancara, untuk mengambil paspor yang telah jadi.

Bedanya dengan pembuatan paspor secara online, kita hanya cukup datang dua kali. Karena kedatangan pertama telah digantikan oleh pendaftaran lewat dunia maya tadi. Tak ada beda dengan yang biasa, kita hanya  mengisi form yang ada di website imigrasi, meng-upload hasil scanning dokumen asli sumber data-data kita tersebut, lalu kemudian nanti akan mendapatkan undangan untuk hadir pada hari yang telah kita tentukan sendiri. Setelah mendapatkan undangan, kita diharuskan membayar ke salah satu bank yang telah bekerja sama dengan imigrasi. Jadi sekarang tidak ada ceritanya pembayaran di Kanim.
Surat 'Undangan' dari Direktorat Jenderal Imigrasi
Maka berangkatlah saya dari Tangerang menuju Serang pada hari yang ditentukan. Dengan berkereta, angkot, bus, lalu angkot, hingga akhirnya ojeg, tibalah saya di Kanim Kelas I Serang, setelah sebelumnya mampir di Bank untuk melakukan pembayaran. Berbekal dokumen-dokumen persyaratan asli dan struk dari bank tadi, saya pun mengambil nomor antrian dan dipersilahkan mengisi beberapa hal yang harus diisi: surat pernyataan bermaterai, form data diri yang tak jauh saat mengisi online, lalu kemudian menyerahkan pada penjaga loket dengan tak lupa menyertakan struk pembayaran. hingga kemudian menunggu panggilan untuk pengambilan sidik jari, foto dan wawancara. 

Seperti yang diceritkan di awal tulisan, sesi wawancara ini cukup tidak nyaman bagi saya. Entah sengaja ingin membuat saya rendah diri, atau memang telah menjadi pola pikir si bapak pewawancara bahwa  pergi ke luar negeri adalah hal yang hampir mustahil bagi kebanyakan orang. Apapun itu, semoga ia hanya memang sengaja, untuk menguji saya saja yang kemudian berhasil lulus dalam ujiannya hari itu. Maaf ya, Pa.. Sinisme bapak tidak mempan bagi saya. :D

Singkat cerita, setelah 4 hari kerja saya datang kembali ke Kanim Kelas I Serang dengan tanpa membawa surat rekomendasi dari agen travel yang diminta si bapak pewawancara sebelumnya. Karena saya yakin, tidak ada perkara mengenai itu di peraturan perundangan. Itu sih buatan si bapak aja. Maka dengan hanya membawa tanda bukti pengambilan dan struk pembayaran bank yang kemarin, akhirnya saya menerima tanda pengenal yang dapat diterima seluruh dunia itu. Alhamdulillah..


Jumat, 31 Januari 2014

Aku Hanya

Aku hanya laki-laki biasa yang tak pernah bermimpi untuk punya segala: kendaraan mewah, istana megah, harta melimpah, dan segala hal lain yang serba wah. Pada semua itu aku tak memiliki ketertarikan sama sekali.

Aku hanya laki-laki yang bermimpi untuk punya rumah sederhana dengan tiga kamar di dalamnya: untuk kita berdua, anak-anak kita, dan tamu yang sesering mungkin akan datang karena sengaja kita undang; entah itu sahabat dekat, kawan lama, orang tua kita atau bahkan orang yang sedang dalam beperjalanan yang butuh tempat beristirahat semalam.

Aku hanya laki-laki yang tak punya banyak keinginan. Maka jangan heran jika aku tak pernah menuntut banyak darimu. Juga maafkan aku tak dapat memberikan banyak hal yang kau inginkan: beli perabot teranyar, berbelanja di butik terkenal, dan hal lain yang mungkin bagiku terdengar asing.

Aku hanya laki-laki yang tak bisa tidur terlalu larut malam. Maka maafkan aku jika tak dapat selalu menemanimu begadang. Tak banyak hal yang dapat kuberi saat kau begadang selain coklat panas dan sebuah pelukan tiba-tiba dari belakang di sepertiga akhir malam.

Aku hanya laki-laki pendiam yang tak banyak bicara. Maka tak usahlah malu untuk membuka pembicaraan dan memulainya. Dan tak usah khawatir, jika sudah berbincang aku dapat bertahan berjam-jam, apalagi bersamamu.

Aku hanya laki-laki biasa yang tak pandai dimintai pendapat bijak. Tapi tak usah takut untuk mendengar pendapatku tentang masakanmu hasil latihan seharian: kurang gula atau kelebihan garam. Aku adalah orang yang tak pernah mengeluh perihal makanan. Apalagi masakanmu, rasa-rasanya lidahku hanya akan kenal satu rasa: enak.

Aku hanya laki-laki pengecut yang tak pernah berani mengatakan apa yang kurasakan. Aku hanya sedang mengumpulkan keberanian hingga waktu yang tepat itu datang. Bukan apa-apa, bagiku kau tak pantas menjadi seorang pacar. Kau hanya pantas dijadikan perempuan pendamping masa depan.

Aku hanya laki-laki tak tahu diri dan tak tahu malu. Laki-laki yang pada saatnya nanti tiba-tiba mengajakmu menikah lalu kemudian memutuskan menemui ayahmu di rumah. Atau mungkin langsung menemui ayahmu tanpa memberitahumu. Kurang ajar sekali bukan? Terlalu ekstrim bagimu ya?

Aku hanya laki-laki yang tak dapat memberikan banyak hal selain kesetiaan dan tanggung jawab padamu dan anak-anak kita nanti. Selain itu, sedikit sekali yang dapat kuberi.
Aku hanya laki-laki yang saat ini tak dapat melakukan apa-apa selain memanjatkan do’a setiap malam. Diam-diam.

Maafkan aku jika aku seperti ini. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Maka bersediakah kau hidup bersamaku nanti?

Jumat, 24 Januari 2014

Sebuah Pertemuan

Senja tadi kau datang. Membawa setangkup harap dalam barisan kata. Aku penasaran akan apa yang ada di dalamnya. Sejenak ingin kuperiksa. Ah, tapi untuk apa? Kau bukan siapa-siapaku kan?

Tapi, kau sudah terlanjur hadir di hadapanku membawa semuanya. Haruskah kubiarkan? Tak sopan sekali aku padamu. Baik, kuambil saja.

Malamnya kau menyapa. Menjadi sebuah bayang dalam tempias hujan. Aku sejenak ragu menemui.

Tapi begitulah dirimu, pada akhirnya selalu berhasil membuatku menyerah dan memaksaku membukakan pintu.

Sofa dalam ruang tamu membisu. Semenjak tadi ia memperhatikanku. Musik di luar pun penuh gemuruh. Tak biasanya hujan sedengki ini padaku. Aku curiga, jangan-jangan mereka berdua cemburu.

Secangkir teh aku ajak untuk menemaniku menemuimu.

"Kenapa kita berdua begitu kikuk?" Tanyaku padamu, dalam hati.
"Mungkin karena kita saling malu." Aku yakin itu jawabanmu.
"Tapi itukah alasanmu datang padaku malam ini? Hanya membawa sebuah kekikukan?" Aku kembali bertanya, dalam gumam.
"Lalu sebagai tuan rumah, inikah yang kau suguhkan?" Ia sepertinya mendengar apa yang kugumamkan.

Ia pergi tanpa salam. "Tak sopan!" Sambil menyerukan itu dalam hati, aku justru menertawai diri sendiri yang tetap memandanginya dari kejauhan. Seiring dengan ia yang hilang tenggelam di kegelapan malam dan derasnya air hujan.

*untuk sebuah senja di awal Februari, tahun lalu.

Kamis, 09 Januari 2014

Sepotong Surga

“Go easy on me
I can’t help what I’m doing
Go easy on me
Oh, I can’t help what I’m doing....”

Lantunan lagu Renegade-nya Kings of Convenience mengiringi langkahku menjejaki pasir putih yang menghampar seluas tanah lapang. Rerimbunan daratan hijau berhiaskan karang coklat kehitaman samar-samar hadir jauh di ujung pandangan. Deburan ombak pantai, suara desiran pasir yang tersapu air laut, iring-iringan burung camar yang nyanyiannya bersahutan, perahu para nelayan yang makin menjauhi daratan, langit senja yang mulai menjingga, turut menghiasi pemandangan sore itu. Penggalan lirik romantis yang dilantunkan duo Erlend dan Eirik itu menambah syahdunya suasana. Rasa-rasanya segala fikiran yang bergelantungan di kepala semenjak tadi, bahkan semenjak seminggu lalu saat masih di kampus, terbang ikut terbawa bersama angin laut Selat Sunda. Segala beban yang ada di pundak serasa jatuh dan tersapu air laut kemudian bergabung bersama buih ombak di lautan.

Bersama dua orang teman, aku sedang dalam misi perjalanan menuju sebuah tempat yang membuatku penasaran semenjak dua hari lalu. Untuk mewujudkannya, kami harus menyusuri pantai yang masih perawan dengan berjalan kaki selama lebih dari satu jam. Tempat itu ada di ujung pantai yang sedari tadi kami amati.
Awalnya aku mengutuk keberadaanku disini, di desa terpencil yang jauh dari keramaian: merasa terasingkan, tak berpengalaman, tak bisa mengakses sinyal, seakan pengangguran, merasa gabut, dan perasaan lain yang merundung tak berkesudahan, yang semuanya bermuara pada keinginan untuk segera pulang. Apalagi perkara sinyal ini. Sedih sekali rasanya hidup tanpa sinyal ya. Atau mungkin karena sinyal itu penghantar kerinduanku pada seseorang? Hha.. Entahlah.

Desa ini sebenarnya tak terlalu jauh dari Ibukota negara, Jakarta. Hanya sekitar 200 kilometer saja dan tak harus menyeberangi lautan untuk mencapainya. Tapi tetap saja, keberadaan desa ini seolah begitu amat jauh dari peradaban. Dan bagiku mungkin karena perkara sinyal yang membuat kesal tadi, semua itu terasa amat berlebihan. Rasa-rasanya ingin sekali secepatnya pergi meninggalkan semua ini.

Tapi kemudian hal itu berubah 180 derajat karena sebuah kejadian. Sore itu di hari kedua keberadaanku di kampung Camara, aku makin penasaran pada apa yang pernah diceritakan seorang teman akan sebuah tempat yang katanya eksotis. Letaknya tak jauh dari basecamp tempat kami tinggal. Sekitar satu jam perjalanan mungkin. Maka jelang salah satu kegiatan di pantai berakhir, aku memutuskan untuk menuju kesana. Bersama seorang teman yang kemudian disusul seorang lagi. Bertigalah kami menyusuri pantai yang sepi, jauh dari hiruk pikuk orang-orang.

Sebelum mencapai tempat itu, kami dihadang sebuah sungai yang membelah pasir putih hendak bermuara ke lautan. Sungai ini hampir membuat kami putus asa dan memutuskan kembali ke basecamp. Mengurungkan niat pergi kesana. Bagaimana tidak, airnya yang setinggi paha dan bisa jadi akan lebih tinggi jika jelang malam sekembalinya kami dari sana. Ini menjadi semacam perdebatan diantara kami. Karena ketika pulang, air laut di mulut muara tak berubah menjadi pasang, bahkan sungai yang kami lalui itu cenderung lebih dangkal. Jadi sebenarnya air laut itu menjadi pasang atau surutkah ketika malam? Kami beradu argumen dan saling mengajukan teori yang cenderung tak berdasar tentang ini ketika pulang. :D

Menyeberangi sungai yang bermuara ke bibir pantai. 
Tumpukan karang dan belukar yang tersembul disela-selanya harus kami daki sebelum mencapai tempat tujuan. Tanah yang dimimpikan-mimipikan. Tempat yang membuatku penasaran semenjak dua hari lalu ini letaknya memang agak tinggi. Namun setelah berhasil memanjat dengan penuh hati-hati karena licin, tibalah kami di tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku pribadi.

Kami disuguhkan pemandangan yang menakjubkan. Kalimat-kalimat pujian pada Allah aku rapal berkali-kali dalam hati. Ini sungguh pemandangan yang pertama aku lihat seumur hidup. Padang rumput persis seperti di film Teletubies hampir tak kupercayai. Hijau muda, luas menghampar, rapi seperti disirami dan dirawat setiap hari. Diselingi pohon kelapa yang jaraknya beraturan satu sama lain di tengah-tengahnya. Berjejer rapi seperti barisan peserta upacara. Ada danau air tawar berada tak jauh dari kami berdiri, sepelemparan tangan jauhnya dari kami. Danau mini itu dikelilingi pepohoan yang rindang. Asri dan menyejukkan. Padang rumput yang katanya lapangan golf yang telah tak digunakan ini ujungnya berakhir di laut selat Sunda. Pembatas keduanya hanya karang-karang tak beraturan tapi justru menjadi simfoni yang indah mempesona mata. Ada pohon cemara berdiri kokoh di salah satu tumpukan karang yang menjadi pembatas antara hamparan rumput hijau dan laut biru itu. Memperindah pemandangan saja ia. Ini semacam surga mungkin kali ya. Pikirku dalam hati, menggumam sendiri. Aku begitu menikmati tempat ini. Aku selayaknya anak kecil yang menemukan tempat bermain. Berlarian, bercerita tentang tempat ini, berandai-andai, berteriak, tertawa kecil, lalu kemudian berfoto-foto. Jika saja matahari tak hendak tenggelam, aku akan seharian disini.

Aku pulang dengan membawa rasa gembira dan semangat dari padang rumput nan indah tadi. Kami pulang. Kembali menyusuri pantai yang sama saat matahari hampir ditelan lautan. Bergegas menuju basecamp untuk buka puasa bersama. Tepat saat matahari menghilang kami datang. Setelah mengambil ta’jil dari panitia, aku memilih duduk di luar memandangi sisa pijaran matahari di langit Ramadhan tahun ini. Menikmati sisa-sisa keelokan padang rumput tadi. Merenungi sejenak dan menyimpannya dalam memori.

Hari-hari selanjutnya membuatku serasa punya semangat baru lagi. Hari demi hari berlalu, kegundahan pergi, dan aku merasa mendapatkan keluarga baru disini. Hidup memang kadang membingungkan ya. Satu saat kau merasa tak begitu baik, tapi beberapa saat kemudian kau bisa saja merasa sangat amat baik. Hati memang mudah terbolak-balikkan memang. Begitu juga dengan perasaan. Mengenai perasaanku padamu, semoga hukum ini tak berlaku. (?) #eh #salahfokus


Camara, di sebuah senja awal Ramadhan tahun lalu.

*dikembangkan dari sebuah catatan milik salah seorang dari kami bertiga: Achmad Anwar Sanusi, Eneng Khairun Nisa, Westra Tanribali.