Rabu, 30 April 2014

Kata-Kata Hujan


Selain melodi dan aroma, rasa-rasanya hujan pun punya kata-kata. Sesekali coba baca setiap deret aksara yang ditulisnya. Juga dengar setiap rima yang ia cipta. Jika kau telisik lebih dalam lagi pada setiap bulir air hujan yang datang, akan kau temukan ragam puisi, prosa atau bahkan sekedar kata ‘hai’. Apalagi jika kau berani merasai setiap tempias hujan, kau ‘kan dapati dan kenali jejak aksara dari setiap kata-kata hujan yang merangkai sebuah cerita.

Dengan kata-kata itu ia mengajak kita berbicara. Dengan aksara yang dilukis di langit gelap ia menyampaikan sesuatu pada kita. Bisa jadi itu bukan hanya kata-kata milik hujan. Milik awan yang ingin mencumbui bumi, bisa. Milik Tuhan yang menjawab do’a makhluknya –atau mungkin mengirim murka pada manusia, mungkin juga. Atau bisa pula itu milik seseorang yang mengirimkan salam pada yang dikaguminya. Karena aku percaya, setiap dari kita dapat berkirim pesan dan salam satu sama lain melalui hujan, lewat kata-katanya. Tentu yang paham hanya si pengirim dan si penerima. Kita yang tuli dan buta hanya mengenali lewat suara berisik di atas genteng dan percik air yang mengotori ubin depan rumah.

Dalam seperjuta bulir hujan, ada ribuan salam milik para pecinta kenangan, pengharap masa depan, dan penikmat kesendirian yang dikirimkan. Merekalah –diluar para pecinta hujan tentunya, orang-orang yang punya banyak kontribusi akan kata-kata hujan yang seringkali sulit terbaca. Hanya mereka yang dengan mudahnya membaca dan mengenali. Lagipula, kadang si penerima tak selalu dalam bentuk materi.

Diiringi partitur hujan dan aroma khas pertichor –yang juga tak dapat tercium oleh semua, pesan dan salam itu dikirim dengan perantara kata-kata milik hujan. Ini semacam pinjam-meminjam kata-kata antara hujan dan manusia. Salam yang sama dapat digunakan untuk orang yang berbeda, namun tentu aroma dan melodinya tak sama. Maka setiap dari kita dapat mendengar kata-kata hujan yang berbeda. Saling kirim-terima pesan dan salam terjadi selama hujan turun. Setiap kata-kata akan terdengar khas dan berbeda pada setiap telinga. Tergantung pada kombinasi kata, melodi dan aroma. Maka sesungguhnya hujan itu sendiri adalah misteri dan rahasia bagi setiap diri kita.

Setelah hujan reda, hanya residu yang tertinggal. Pesan dan salam tak tersampaikan akan kita lihat bertebaran di atas genangan. Bercampur dengan air coklat pekat lalu terbawa ke lautan. Lalu pada saatnya nanti ia akan kembali ke langit membawa pesan-pesan yang sempat tak terkirimkan, lalu mengubahnya menjadi hujan hingga kata-kata itu sampai pada tujuan. Kiraku, siklusnya seperti itu.

Lalu, kamu, tak mendengarkah apa yang disampaikan hujan di penghujung senja ini? Jika iya, mungkin itu salam dariku yang dibawanya untukmu. Jika tidak –atau belum, mohon tunggu hingga salam itu tiba di hujan berikutnya.

Tangerang Selatan, pada sebuah senja di medio April dua ribu empat belas

Senin, 28 April 2014

Mimpi Masa Kecil

“Bukan kota yang padat dan gemerlap yang membuat negeri kita kukuh, tetapi desa-desa yang maju dan mandirilah yang akan membuat negeri kita kuat dan tangguh.” - Singgih S. Kartono

Ketidaksengajaan mengantarkan saya pada sebuah foto terkait sebuah kegiatan bernama 1st International Conference of Village Revitalition beberapa waktu lalu. Dengan digerakkan rasa penasaran, saya putuskan untuk browsing sana-sini, intip ini itu, add orang-orang untuk mengetahui kegiatan tersebut lebih detail lagi, hingga akhirnya saya berhasil dibuat berdecak kagum olehnya.

Bahwa kegiatan ini merupakan agenda dua tahunan milik International Conference of Design for Sustainability dari Jepang. Untuk pertama kalinya ia diselenggarakan di sebuah desa bernama Kandangan di daerah Temanggung, Jawa Tengah akhir Maret lalu. Dan dua tahun mendatang akan kembali diselenggarakan di Kyoto, Jepang.

Sesuai dengan namanya, kegiatan yang mengambil tema ‘It’s Time Back to Village’ ini terdiri dari berbagai diskusi, workshop, seminar, presentasi makalah, mengenai revitalisasi desa selama beberapa hari. Para pendatang, terutama orang-orang kota diajak untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk mengembangkan desa sesuai potensi besar yang dimiliki. Jadi pendatang atau pengunjung tidak hanya ‘menikmati’ desa, namun ada kontribusi yang diberikan pada apa yang mereka kunjungi. Kurang lebih begitulah konsepnya. Oiya, dalam kegiatan ini juga ada bike tour dengan sepeda bambu dan menginap di homestay unik di desa Kandangan.

Dengan konsep homestay sederhana yang berada tepat di pinggir sawah, jalanan menuju homestay melalui pematang, jalanan setapak yang rapi dengan tetap mempertahankan kesan alami, rumah pohon mungil di kebun kopi, bersepeda keliling desa dengan sepeda yang frame-nya dari bambu -yang kemudian saya kenal dengan nama Spedagi, berhasil membuat saya terkagum-kagum.


Sebuah acara internasional namun diselenggarakan di sebuah desa adalah hal baru bagi saya. Desa ini pastilah telah memenuhi syarat dan tentunya segala hal telah dipersiapkannya. Karena tidak mudah menyelenggarakan konferensi tingkat internasional, apalagi di desa.

Adalah Singgih Susilo Kartono yang menjadi pelopor pengembangan desa ini. Ia benar-benar jeli melihat potensi desa kelahirannya. Dengan ilmu yang dimilikinya, kayu yang melimpah ia sulap menjadi radio kayu Magno yang mendunia. Kebiasaannya bersepeda dipadukan dengan banyaknya bambu di desa, berhasil membuat karya terbarunya: Spedagi. Sepeda dengan frame terbuat dari bambu ini baru dipasarkan awal tahun ini.

Dengan produknya yang mendunia, ia memiliki kolega-kolega di berbagai negara. Dengan itu pula ia mendapat dukungan untuk menyelenggarakan kegiatan semacam ini di desa. Dengan Magno dan Spedagi, ia memperkenalkan bahwa desa adalah tempat yang aman dan juga nyaman untuk menyelenggarakan konferensi internasional. Bahkan lebih dari itu.

Semangat dan tekadnya untuk mengembangkan desa sesuai potensi besarnya -dengan melibatkan warga berperan aktif di dalamnya, saya rasa telah berhasil ia wujudkan. Salah satu indikator tentu atas apresiasi yang positif dari kegiatan ini. Juga tentunya dari Magno dan Spedagi yang tak ia bangun sendiri.

Segala yang saya temukan terkait konferensi, Kandangan, Spedagi, dan Pak Singgih, seolah telah membangunkan mimpi-mimpi masa kecil saya dulu. Dan dari sana pula semangat untuk membangun tempat kelahiran kembali menggelora. Jadi, fix-lah ini mah harus sama orang Banten. (?)

*Foto-foto dalam tulisan ini diambil oleh para peserta ICVR 2014

Senin, 14 April 2014

Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri

Puisi membuatku hidup abadi. Bersamanya, aku, juga dirimu takkan pernah mati. Kita ‘kan selamanya hadir dalam satu puisi. Setidaknya, untuk seribu tahun lagi. Jika pun satu masa saat ragaku terkungkung dalam himpitan gelap gulita telah tiba, takkan kubiarkan dengannya aku tak dapat berkirim kata merangkai doa. Dalam setiap baitnya, akan kutulis nama indahmu. Kuukir doa terbaikku untukmu. Kurangkaikan kata terindah tentangmu. Didalamnya kita hanya berdua: aku, kamu.

Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati

Karena dalam setiap baitnya, puisi selalu memiliki jiwa. Dengan kata, kita berbicara tentang makna. Tanpa kata kita ‘kan kaku, ragu, bahkan beku. Jika pun dengannya kita tetap kaku, ragu, bahkan beku, ia ‘kan tetap indah dengan cara yang ia punya. Dengan kata pula kita menyampaikan rindu penuh pilu. Sembilu karena diantara kita tak ada ucap. Hingga akhirnya, kata-lah, yang dengannya ia dapat terungkap. 

Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari

Adalah kata, benda budaya yang tak pernah bisa kita pahami maknanya. Hanya terka yang kita punya terhadapnya. Di dalamnya kita temukan rangkaian aksara miliki jiwa. Aksara itu menjadi terjemah sebuah kosakata bernama cinta. Cinta penuh terka yang berjiwa. Selayaknya jiwa, ia sulit dipahami bahkan oleh pemiliknya sendiri. Namun jika pada satu saat nanti tiba masa tentang rahasia aksara itu, ‘kan kusampaikan padamu. Aku janji.

*Sebuah interpretasi atas sajak Sapardi Djoko Damono, Pada Suatu Hari Nanti (1991)

Senin, 31 Maret 2014

Stimulasi Dunia Pendidikan Indonesia

Ada tiga penyakit di masyarakat yang karenanya bangsa mana pun dan dimana pun tidak akan mampu bersaing. Ketiga penyakit itu adalah kemisikinan, ketidaktahuan dan keterbelakangan. Ibarat tubuh, agar tahan terhadap berbagai macam penyakit, haruslah daya imunitasnya ditingkatkan, satu diantaranya adalah melalui vaksinasi. Nah, pendidikan merupakan salah satu bentuk ‘vaksin’ agar terhindar dari tiga penyakit tersebut. Selain sebagai ‘vaksin’, pendidikan juga merupakan elevator sosial untuk  dapat meningkatkan status sosial. Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh dalam sambutannya ketika peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dengan tema “Meningkatkan Kualitas dan Akses Berkeadilan” 2 Mei 2013 yang lalu.

Banyak hal yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Yang terbaru adalah implementasi kurikulum 2013 yang –walaupun banyak menimbulkan pro dan kontra - tahun ajaran ini mulai diterapkan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah secara bertahap dan terbatas. Bertahap artinya tidak semua kelas, tetapi hanya kelas I dan kelas IV untuk jejang SD, kelas VII untuk jejang SMP, dan kelas X untuk jenjang SMA dan SMK. Terbatas artinya jumlah sekolah yang melaksanakannya diseusaikan dengan tingkat kesiapan sekolah. Baik secara teknis dan nonteknis.

Berbagai program dunia pendidikan seolah dipercepat demi mengejar semacam target pada tahun 2045, saat Indonesia merayakan ulang tahunnya yang ke-100. Saat generasi bangsa telah menjadi generasi emas dan mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang unggul. Itulah tekad yang jauh-jauh hari sudah dicanangkan. Optimisme itu muncul karena melihat bangsa ini memiliki anugerah yang luar biasa yang disebut bonus demografi. Yaitu saat negara lain dibuat khawatir dengan banyaknya generasi tua atau nonproduktif, Indonesia justru memiliki jumlah Sumber Daya Manusi (SDM) muda yang berlimpah.

Untuk membentuk generasi emas yang diharapkan itu, mulai saat ini para calon generasi emas tersebut perlu dipersiapkan. Salah satunya adalah dengan memfasilitasi mereka dengan akses pendidikan yang mudah dijangkau. Berbagai program digalakkan pemerintah, baik dari sisi ketersedian satuan pendidikan ataupun keterjangkauan dari sisi pembiayaan. Mulai dari sertifikasi guru hingga standar UN ditingkatkan. Dari program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hingga Bidik Misi diperbanyak. Dari anggaran untuk pendidikan yang tinggi hingga pergantian kurikulum yang intensitasnya ikut-ikutan tinggi.

Sayangnya segala upaya yang dilakukan belum maksimal. Terutama di daerah-daerah tertinggal. Salah satunya di Banten yang memiliki 2 dari 113 daerah tertinggal. Kedua daerah itu adalah Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Penulis pribadi menemukan salah satu contoh kasus belum maksimalnya upaya yang dilakukan pemerintah tersebut, yaitu di Sekolah Satu Atap di Desa Cilograng, Kecamatan Cilograng, Kabupaten Lebak. Guru di Sekolah Satu Atap ini hanya berjumlah dua orang. Bapak guru dan Ibu guru. Memprihatinkan. Keduanya diberi tanggung jawab penuh untuk menjadi tenaga pendidik di daerah terpencil dengan kemampuan dan ketersediaan fasilitas seadanya. Tidak hanya bergantian dalam mengajar, dalam berlibur dan mengambil cuti pulang kampung pun mereka harus bergantian. Sekolah benar-benar tidak bisa ditinggalkan bersamaan. Hal ini berlangsung cukup lama, hingga pada akhirnya kedua guru tersebut memilih menjadi sepasang suami istri dan memutuskan menetap disana.

Kekosongan guru ini memang masalah klasik. Tidak hanya di Banten tapi hampir di seluruh Indonesia. Terutama di daerah terluar, tertinggal, terdepan. Hal ini kemudian yang memunculkan gerakan Indonesia Mengajar yang diinisiasi Anies Baswedan pada tahun 2010 yang lalu. Hingga kemudian muncul gerakan-gerakan sejenis di daerah, bahkan hingga ke kampus-kampus. Gerakan Mari Mengajar salah satunya.  Dan seperti biasa, pemerintah selalu memiliki program responsif dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Yaitu dengan munculnya Program Sarjana Mengajar di Daerah Terluar, Tertinggal, Terdepan. (SM3T) dua tahun kemudian.

Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan Indonesia Mengajar dan sejenisnya memiliki banyak dampak dan manfaat. Baik bagi para pengajarnya maupun bagi peserta didik dan sekolahnya. Bahkan bagi masyarakat sekitar. Namun harus diakui gerakan ini tidak dapat menjadi solusi masalah kekosongan guru. Dan juga tidak dapat menggantikan peran guru dalam mendidik dan mengajar. Karena pendidik dalam definisi Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi, baik itu sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya. Guru harus benar-benar memiliki kualifikasi. Ada kualitas tinggi yang harus dimiliki. Seperti di negara-negara maju, dimana guru adalah profesi yang prestisius. Gaji tinggi, kesejahteraan terjamin. Menjadi guru tidak mudah. Karena begitu banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Maka tak ayal jika guru-guru untuk pendidikan dasar banyak yang bergelar profesor. Hal ini karena pendidikan sejatinya merupakan suatu upaya mengubah pola fikir seorang manusia. Maka hendaknya pendidikan ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses perkembangan umat manusia.

Selain itu juga, pendidikan merupakan akumulasi dari proses yang berlangsung begitu lama. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengawal proses pendidikan ini. Bahkan ada yang mendefinisikan pendidikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Ia berlangsung tidak dalam batas usia tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup, sejak lahir (bahkan sejak awal hidup dalam kandungan) hingga mati. Maka tidak mudah menjadi guru dalam upaya membimbing dan mengawal peserta didik dalam menempuh proses pendidikannya. Dan tidak juga sosok guru ini tergantikan dengan mudahnya.

Namun sesungguhnya gerakan ini telah menjadi sebuah stimulus bagi pemerintah agar lebih peduli pada masalah-masalah dunia pendidikan, dalam hal ini kekosongan guru di daerah tertinggal. Salah satunya ditunjukkan dengan sikap responsif pemerintah tadi dengan program SM3T-nya. Pemerintah seolah dibukakan matanya tentang realita pendidikan di Indonesia.

Maka kedepan butuh lebih banyak stimulus-stimulus yang harus diciptakan untuk dapat merangsang pemerintah. Agar pemerintah disadarkan dan dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi dengan dunia pendidikan Indonesia. Terutama di daerah terluar, tertinggal, terdepan. Harus ada sebuah formulasi khusus agar pemerintah lebih peka dan dapat melihat dengan jelas masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini, tidak hanya dunia pendidikan. Dan mahasiswa dianggap paling mumpuni mengambil peran ini. Bukan lagi hanya dengan formulasi dalam bentuk demonstrasi yang –walaupun mahasiswa mengklaim bertujuan baik - justru menjadikan citra buruk di masyarakat.

Apapun bentuk formula itu kemudian, pada intinya setiap dari kita memang harus punya peran dalam pendidikan dinegeri ini. Baik secara langsung ataupun tidak langsung. Karena mendidik, seperti kata Anies Baswedan, adalah bukan hanya tugas guru, tugas sekolah ataupun tugas pemerintah tapi mendidik adalah tugas dan tanggung jawab setiap orang terdidik. Kesadaran ini memang harus tertanam dengan baik dalam setiap diri orang terdidik di negeri ini, salah satunya mahasiswa. Sehingga tiga penyakit yang karenanya sebuah bangsa tidak akan mampu bersaing, tidak menjangkiti bangsa ini. Atau, bangsa ini memang sudah terjangkiti dan sedang berusaha mengobatinya?

*tulisan publikasi ulang ini merupakan sanksi ketidakhadiran saya pada taklimat pertama jelang kegiatan Mari Mengajar di pedalaman Banten tahun lalu.

Rabu, 26 Maret 2014

60 Tahun Taufiq Ismail

"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah." (QS. Al-'Alaq : 1-3)

Jelang sore kemarin, atas info seorang teman (terima kasih kepadanya saya ucapkan, semoga segala urusannya dimudahkan), saya menghadiri acara “60 Tahun Puisi Taufiq Ismail dalam Terjemahan Inggris” di Kampus UI Salemba. Sebenarnya ketertarikan saya menghadiri acara tersebut adalah lebih karena pembahas buku Taufiq Ismail berjudul “Dust on Dust (Debu di Atas Debu)” itu adalah penyair pujaan saya, Sapardi Djoko Damono. Namun menyaksikan dua penyair besar Indonesia hadir dalam satu acara adalah sebuah pengalaman yang luar biasa. Melalui catatan sederhana ini, ingin saya bagikan sedikit hal yang saya dapatkan.


Saya tidak akan menyampaikan detail jalannya acara, ataupun apa yang dibahas oleh Pa Sapardi terkait buku Pa Taufiq yang terdiri dari 3 jilid itu. Saya ingin menyampakin beberapa poin yang saya dapat dari apa yang disampaikan Pak Taufiq.

Pertama,
Segala hal yang telah dicapai seorang Taufiq Ismail hingga 60 tahun berkarya sebagai penyair, adalah tak lepas dari pengalaman masa kecil yang begitu melekat sampai saat ini. Beliau masih ingat saat ayah dan ibunya yang selepas shalat Isya selalu duduk di sofa dan membaca buku-buku tebal. Pun begitu dengan ibunya. Juga pada setiap bulan, beliau selalu diajak ke toko buku dan dipersilahkan mengambil 2 buah buku yang disukainya, buku apapun itu. Saat menemukan nama ayahnya di bawah judul sebuah tulisan pada sebuah harian, dan puisi ciptaan ibunya di sebuah majalah, beliau terkagum-kagum. Sejak saat itu beliau ingin menjiplak ayah dan ibunya. Semenjak itulah beliau membaca segala buku seperti ayah dan ibunya -bahkan buku yang tak dimengertinya. Saat itulah beliau bercita-cita ingin menjadi sastrawan. Padahal ayah dan Ibunya adalah dua orang guru agama. Guru tafsir Al-Qur'an jika saya tak salah dengar. Bahkan Ayahnya biasa disebut Buya saat masih di Minang. Pilihan untuk menjadi sastrawan dan dokter hewan tak dicegah kedua orang tua. Beliau bersyukur.

Kedua,
Pa Taufiq yang saat saya tanya tentang mimpi besarnya yang di masa tua belum terwujudkan, beliau menjawab, bahwa beliau ingin suatu saat nanti pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah SMA hanya mengajarkan dua hal: membaca buku - terutama sastra, dan menulis karangan. Selama ini, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah SMA kita hanyalah mengulang-mengulang pelajaran saat SD dan SMP. ‘Awalan-sisipan-akhiran, awalan-sisipan-akhiran, awalan-sisipan-akhiran’ selalu itu yang diajarkan, katanya. Atau paling tidak majas dan perihal tanda baca. Padahal pelajaran itu dirasa telah cukup diajarkan.

Budaya membaca bangsa kita sangatlah rendah -terutama sastra. Itu yang menjadi sebab kita jauh tertinggal dari bangsa lain. Padahal kita telah 68 tahun merdeka. Hal itu yang kemudian memunculkan istilah ‘tragedi nol buku’ dari Pa Taufiq. Istilah ini muncul atas penelitiannya terhadap kewajiban membaca buku pada siswa-siswi SMA di 13 negara di dunia. Hasilnya, SMA di Jepang mewajibkan siswa-siswinya membaca 5 judul buku pertahun, Singapura  6 judul buku, Prancis 10 judul buku, Amerika 16 judul buku, dan Indonesia 0 judul buku! Judul buku yang diwajibkan disini adalah buku sastra. Menurutnya, di negara-negara maju, walau pelajar-pelajar disana menekuni sains, matematika, ekonomi, sosial, teknologi, dan lainnya, namun pelajaran sastra tetap diwajibkan untuk dipelajari. Selengkapnya tentang Tragedi Nol Buku ada disini.

Pun begitu dengan mengarang. Selama ini, selama kita SMA, paling kita diwajibkan hanya membuat satu karangan dalam satu tahun atau bahkan tiga tahun. Dan itupun bisa ditebak, jika bukan tentang cita-cita, pasti tentang berkunjung ke rumah nenek saat liburan tiba.

Pa Taufiq ingin, setiap sekolah SMA di Indonesia mewajibkan siswa-siswinya membaca paling tidak 10 buku pertahun atau 30 buku selama 3 tahun. Dan mewajibkan kepada mereka untuk menulis satu karangan setiap minggu, 18 karangan per semester, atau 108 karangan selama 3 tahun. Menurutnya, memang ada beberapa sekolah yang menerapkan wajib membaca buku dan mengarang ini. Tapi jumlahnya masihlah sangat amat sedikit. Itupun sekolah-sekolah swasta internasional.

Saat ini beliau, bersama Pa Sapardi juga, sedang ingin mewujudkan itu. Ini ditempuh bukan untuk menciptkan penyair atau sastrawan. Tapi karena membaca sastra akan mengasah emosi dan daya imajinasi. Hal itu yang kemudian tidak hanya meningkatkan kecerdasan otak, tapi juga kecerdasan emosi dan logika berfikir.

Terakhir, dalam catatan ini.
Bahwa hari ini, membuat puisi telah disalahartikan oleh sebagian besar kalangan anak muda sebagai pelarian dari kegalauan. Itu yang disinyalir menjadi salah satu alasan minimnya ketertarikan anak muda saat ini membuat puisi. Pa Taufiq memang tak menyangkal dan menyayangkan hal tersebut, namun menurut beliau itu tak seharusnya kita dipedulikan. Dan tidak boleh menghambat. Biarkan saja. Berkarya, ya berkarya saja. Tak usah terlalu memikirkan semua itu. Begitu katanya.

Sabtu, 08 Maret 2014

Di Antara Gerbong Kereta Barang

Jika ditanya dimana peristiwa paling menegangkan selama berperjalanan terjadi, maka jawabannya seperti judul tulisan ini: di antara gerbong kereta barang. Peristiwa yang paling menguji adrenalin tersebut -bagi saya tentunya, adalah bergelantungan di antara gerbong kereta barang pukul 11 malam sendirian tanpa teman.

Peristiwa ini terjadi di sebuah akhir pekan pada pertengahan tahun lalu. Saat itu saya pergi ke Baduy Dalam bersama beberapa teman. Kami mencoba rute yang tak biasa orang lalui. Dan karena ini di luar rencana, maka semuanya menjadi tak terduga: kehabisan ongkos dan perbekalan, pulangnya tak ada kendaraan umum walau masih siang, juga harus berjalan lebih jauh daripada biasanya hingga kaki kami pegal semua. Sampai pada akhirnya secara bergantian kami mendapatkan tumpangan dari sebuah truk pengangkut kayu, mobil ELF yang sudah tak beroperasi lagi, dan mobil pick up dari Bojong Manik hingga stasiun kereta Rangkasbitung. Kami tiba di stasiun jelang akhir senja. Teman-teman saya pulang menuju Jakarta yang keretanya masih ada. Sedangkan saya yang tujuannya ke Serang harus duduk sendirian di stasiun karena kereta terakhir ke Serang telah lewat dua jam sebelumnya.

Bisa saja saya menunggu sampai besok hingga kereta menuju Serang datang. Namun besok pagi ada kegiatan di kampus yang tak bisa ditinggalkan. Dan karena besok kereta jam 10 pagi baru datang, maka mau tak mau malam itu juga saya harus pulang.

Hendak naik mobil, tapi tak memungkinkan karena uang di dompet telah habis, hanya selembar dua ribu rupiah yang tersisa. Di ATM  pun hanya saldo minimal yang ada. Maka satu-satunya pilihan adalah menumpang kereta barang yang biasa lewat sekitar jam 10 malam. Saya sedikit  hafal jadwal kereta tersebut karena kostan tak jauh dari rel kereta.

Ilustrasi (foto oleh Egi Mardani)
Maka ketika kereta yang ditunggu-tunggu datang, hap! Saya menaiki gerbong kedua dari belakang. Bodohnya saya adalah tidak meminta izin kepada masinis kereta barang tersebut, juga pada petugas yang ada di stasiun. Maka berkelebatlah berbagai macam bayangan dalam diri saya: terpeleset dari tempat berdiri yang sempit, kaki dan tangan pegal hingga tak terasa pegangan kemudian terlepas begitu saja, terpelanting jatuh dari gerbong, terlindas putaran roda besi kereta, terhempas dari kereta dan terbentur pepohonan, terpental jauh ke tengah persawahan, lalu kemudian menjadi mayat tak bertuan. Apapun bisa terjadi saat itu. Dan jika itu benar-benar terjadi, tak ada yang tahu keadaan saya, selain Tuhan.

Sepanjang perjalanan Rangkasbitung - Serang itu berbagai macam doa saya ucap. Asma Allah tak hentinya-hentinya saya rapal tak berkesudahan. Jika seandainya saya mati malam itu, setidaknya saya tidak dalam keadaan yang buruk-buruk amat. Begitu pikir saya saat itu sambil memandangi langit malam yang penuh bintang. Itulah hiburan saya satu-satunya saat itu. Tapi sayangnya hiburan itu tak berhasil melaksanakan tugasnya dengan sempurna. Saya tetap dibayangi perasaan-perasaan tadi.

Satu jam perjalanan, bahkan lebih, diantara gerbong itu adalah masa paling mendebarkan: berada di tengah gelapnya malam tanpa penerangan, di atas si ular besi yang berlari teramat kencang, dan bergelantungan di antara gerbong kereta barang tanpa izin, semua itu adalah sebuah tindakan bodoh yang justru telah melewati beberapa perhitungan sebelumnya. Walau semuanya tak tepat.

Lalu ternyata cerita saya tersebut tak berakhir hanya disitu. Uji adrenalin saya saat itu berlanjut dengan tidak berhentinya kereta barang yang saya tumpangi di stasiun Serang. Ia melaju terus hingga tiba di sebuah stasiun sebelum Merak. Saya tak hafal namanya. Lalu saya terpaksa berjalan kembali di tengah kota industri yang mulai lengang karena telah lewat tengah malam. Hanya beberapa mobil kontainer yang lewat yang saya temukan, ditambah pula pemandangan beberapa orang laki-laki dan perempuan dalam warung remang-remang. Ah, dasar! Laki-laki dengan dengan tatapan tak bersahabat menambah berkecamuknya perasaan saya saat itu.

Saya terselamatkan dari semua kengerian dini hari itu oleh seorang bapak baik hati yang memberi tumpangan menuju Cilegon, di mesjid Agung Cilegon si bapak berhenti.

Cerita petualangan saya saat itu diakhiri dengan tidur di depan gerbang mesjid yang terkunci, terhiasi rintik-rintik gerimis jam 2 dini hari, dan kucing-kucingan dengan kondektur kereta penumpang dari Merak yang hendak ke Tanah Abang melewati Serang saat paginya. Pagi itu bagi saya kostan adalah tempat ternyaman di dunia, bak semewah-mewahnya istana.

Bagi beberapa orang yang telah sering melakukan perjalanan, mungkin semua itu tadi adalah hal biasa. Tapi bagi saya yang masih amatiran, yang beperjalanan baru menjadi candu 3 tahun ke belakang, itu adalah perjalanan yang tak terlupakan.

Maka ini adalah ceritaku, mana ceritamu?

Jumat, 28 Februari 2014

Islamic Book Fair

“Sebaik-baik teman duduk sepanjang waktu adalah buku” - Pepatah Arab

Pameran Buku Islam terbesar di Indonesia, yang lebih dikenal dengan Islamic Book Fair, untuk tahun ini resmi dibuka siang tadi oleh salah satu tokoh nasional yang juga mantan wakil presiden Republik Indonesia, Pak Jusuf Kalla. Awalnya saya hendak menghadiri siang tadi, tapi besok saja main ke Senayannya.

Malam ini saya ingin bercerita tentang keranjingannya saya mengunjungi event tahunan semacam book fair ini. Keranjingan tidak hanya mengunjungi, namun juga merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli buku-buku yang diingini. Bahkan terkadang sampai menghabiskan pundi-pundi materi yang dimiliki. Setiap kesempatan itu ada, saya tak pernah membiarkannya begitu saja. Dan kesempatan itu hampir setiap tahun datang. Keranjingan ini dimulai sekitar 4 tahun lalu, saat dimana pertama kalinya saya berkunjung ke Islamic Book Fair saat itu.

Masih jelas dalam ingatan saya bagaimana pada hari itu, Kamis 11 Maret 2010, dengan menggunakan hak meninggalkan kelas yang diambil tanpa pikir panjang, saya meninggalkan 2 mata kuliah sisa selepas siang. Dari Serang, untuk pertama kalinya menuju Jakarta dengan berkereta, sendirian saja. Saat itu memang tak ada teman yang diajak ikut serta.

Ini akibat sebuah kabar tentang pelaksanaan Islamic Book Fair dari 5 sampai 14 Maret 2010 di Istora Senayan, Jakarta. Info dari seorang teman yang mengatakan bahwa buku-buku di sana dijual dengan harga miring, bahkan dibanting. Pun buku-buku Islamnya sangat lengkap melebihi toko buku manapun. Saya yang belum pernah mengunjungi book fair sama sekali, hanya mengiyakan tanpa mengajukan interupsi. Karena kebetulan saya mahasiswa Ekonomi Islam yang sedang mencari buku-buku pendukung kuliah yang harganya cocok dengan kantong mahasiswa. Kebetulan! Teriak saya dalam hati.

Namun sepulang dari sana, bukan hanya buku pendukung kuliah yang saya dapatkan, tapi beberapa buku Islam berhasil saya bawa pulang: Tafsir Mishbah Vol I, Perempuan, Jilbab karya Quraish Shihab, juga beberapa buku fiksi berupa novel seperti Tetralogi Laskar Pelangi saya beli. Saya agak lupa dan cukup tak menyangka dapat membeli buku sebanyak itu saat itu. Padahal untuk membeli buku Mata Kuliah saja harus iuran dengan teman semasa SMA yang kebetulan satu fakultas. Rezeki memang ada aja ya.

Maka Semenjak itu, saya tak pernah absen dalam beberapa book fair yang diselenggarakan di Jakarta di tahun-tahun berikutnya. Terlebih semenjak saat itu, saya makin akrab dengan kereta. Perjalanan Serang – Jakarta dengan berkereta menjadi biasa karena sering beperjalanan, yang tak hanya ke Jakarta.

Indonesia Book Fair, yang biasanya pertengahan tahun; Jakarta Book Fair yang tahun-tahun terakhir ini berganti nama menjadi Jak Book Fiesta, yang biasanya akhir tahun; bersama Islamic Book Fair, ketiga agenda itu saya tak pernah absen. Walau pergi kesana pernah hanya berkunjung tanpa membeli satu buku pun. Anggap aja refreshing. Lagipula tarif Serang – Palmerah 4000 rupiah saja dengan berkereta. Anggap saja pengurangan jatah makan siang.

Saat ini, begitu mudahnya menuju ke Senayan sana. Apalagi saat ini saya bekerja dan tinggal di sekitaran Bintaro, Tangerang Selatan, dekat stasiun pula. Untuk menuju ke Gelora Bung Karno hanya melewati 4 stasiun: Sudimara – Jurang Mangu – Pondok Ranji – Kebayoran – Palmerah. Turun di Palmerah tinggal jalan kaki sekitar 1 km. Bahkan bersepeda pun bisa jika ingin. Saking tidak ribet dan mudahnya, saya pernah mengikutsertakan beberapa santri pula.
Desain Poster Islamic Book Fair 2014
Saya terkagum-kagum pada ulama-ulama terdahulu yang begitu mencintai buku bahkan melebihi harta benda yang dimilikinya. Bahkan saya pernah mendengar seorang ulama yang menjual rumahnya demi untuk membeli beberapa buku dan manuskrip kuno. Maka apa yang saya belanjakan pada buku semenjak 4 tahun terkahir ini tak seberapa dibanding para ulama tersebut.

Saya adalah salah satu penikmat buku-buku cetak. Saya tidak terlalu suka pada buku elektronik atau yang biasa kita sebut e-book. Entahlah. Ada sebuah kenikmatan sendiri saat membaca buku cetak: mencium harum buku yang baru dibeli, membuka plastik yang membungkusnya, membolak-balik tiap halaman satu persatu secara perlahan, merasakan permukaan kertas yang disentuh telapak tangan, memandangi lembaran kertas yang dihiasi huruf dari tinta hitam, hingga memandangi lekat-lekat tiap huruf tersebut yang mengantarkan pada ilmu, kisah dan pengetahuan. Bagi saya semua itu adalah sebuah kenikmatan yang tak didapat pada e-book. Maka tak heran jika saya begitu keranjingan mengunjungi book fair hampir setiap tahunnya, dan menghabiskan sebagian besar –bahkan pernah semua, isi tabungan yang dimiliki untuk membeli buku. Saya keranjingan semenjak dulu ketika masih masa sangat amat menghemat karena bersaing dengan kebutuhan lain sebagai mahasiswa yang hidup dan menghidupi diri sendiri, hingga kini dengan penghasilan yang lebih dari cukup untuk menyisihkan sebagiannya untuk membeli buku-buku yang belum kesampaian dimiliki.

Maka semahal apapun, jika ingin saya miliki ia akan saya beli. Karena sebagaimana seorang teman, sebenarnya ia tak dapat dihargai. Buku terlalu amat berharga bagi saya. Ia memang pantas disebut sebaik-baiknya teman saat duduk, dimanapun. Terutama saat sedang menunggu: sesuatu ataupun seseorang.

Tapi saya yakin, setelah buku, yang akan menjadi sebaik-baik teman duduk sepanjang waktu, adalah kamu. :D