Senin, 26 Mei 2014

Kembali pada Masa Lalu?

Sabtu, 24 Mei 2014, jelang siang, saya seolah dibawa oleh benda bernama waktu pada satu masa, beberapa lebih tepatnya. Dibawanya saya melalui lorong miliknya. Tak sampai selesai satu masa, sudah ditariknya saya ke masa berikutnya. Begitu seterusnya hingga kembali pada masa dimana saya berdiri saat ini. Seolah saya diajak jalan-jalan oleh waktu pada timeline hidup saya sendiri.

Timeline itu bermula pada tahun saat saya, seorang anak pelosok yang desanya berbatasan dengan desa milik salah satu suku terpelosok di Indonesia, berpindah Sekolah Dasar. Tak pernah saya menyangka akan bisa bersekolah ke kota. Ke sebenar-benarnya kota sih tidak, ke tempat yang lebih kota mungkin iya. Saat itu saya hanya ikut apa yang dikatakan orang tua. Sekolah ya sekolah. Jika tidak, ya tak apa.

Lalu timeline itu tiba-tiba beranjak saja pada masa tiga tahun di Sekolah Menengah Pertama. Tiga tahun di sana saya lewati dengan cukup meninggalkan banyak kesan. Menjadi siswa yang tidak bandel-bandel amat, bahkan sebaliknya. Begitu katanya. Timeline masa SMP itu sepertinya bergambar dan bervideo. Diputarkannya video itu di depan saya. Dan tentunya hanya saya yang bisa menyaksikan. Salah satu cuplikan video itu ketika saya berderai air mata memberikan sambutan pada acara perpisahan.

Pada masa Sekolah Menengah Atas, timeline itu lebih terperinci. Entah mengapa. Mungkin karena kenangan di sana yang teramat dalam sekali. Satu persatu potongan gambar dan video selama disana kembali diputar dan diperlihatkan. Banyak, banyak sekali. Dan sekali lagi, hanya saya yang bisa melihat dan menyaksikan. Salah satunya lagi-lagi ketika perpisahan, saat saya dan seorang rekan berpelukan dengan tergugu penuh haru kala itu. Sedemikian pedihnyakah perpisahan?

Dari cuplikan-cuplikan video masa SMA itu saya merasa, mungkin saya tak kan pernah merasakan bagaimana rasanya memakai seragam putih abu-abu jika tidak berada di sana. Menjadi bagian dari sekolah di bawah kaki Gunung Karang kemudian menjadi salah satu kesyukuran terbesar saya.

Di masa SMA itu lalu saya jatuh cinta pada sebuah nama: Cahaya Madani. Saya begitu cinta pada segala hal yang ada di Cahaya Madani: pada udara paginya, suasana malamnya, langit dan bintang-bintangnya, para penghuninya, pada podiumnya, jalan aspal dan setapaknya, masjidnya, asramanya, perpustakaannya, tiap bangunannya, bahkan pada rumput dan ilalangnya. Saya sempat heran mengapa bisa terjadi. Tapi saya sadar, kadang cinta itu memang tak butuh definisi.

Masa tiga tahun disana kemudian menjadi masa yang paling berkesan dan paling indah dalam hidup. Bahkan saya masih sering terbayang masa-masa itu. Mungkin ini definisi ‘gagal move on’ bagi saya. Hha..

Cukup sulit bagi saya untuk melepaskan bayang-bayang pada kenangan selama di sana. Hingga akhirnya saya tahu bahwa untuk melepaskan diri dari belenggu masa lalu hanya ada dua cara: meninggalkannya jauh-jauh dan tak pernah mengingatnya sama sekali hingga hilang bersama waktu, atau kembali padanya dengan menjadi bukan diri saya pada masa itu.

Manakah yang akan kemudian akhirnya saya pilih? Rasa-rasanya saya harus menanyakannya dulu pada Sang Pemilik waktu.

Selasa, 13 Mei 2014

Seorang Tamu

Tidakkah kau sebelumnya memberitahuku perihal kedatanganmu? Meminta izin masuk seperti layaknya seorang tamu. Tidak seperti ini: tiba-tiba berdiri di depan pintu kamar. Hingga membuatku melemparkan pertanyaan, kau ini utusan Tuhan untuk menguji kesetiaan atau memang dikirimkan-Nya untuk menggantikan? Sejujurnya aku heran. Atas pertanyaan itu kau memberikan jawaban sebuah senyuman. Dan aku makin heran.

Lalu sebenarnya kau ini siapa? Tiba-tiba datang lalu membuat tata letak rumahku berantakan. Kau tahu? Kedatanganmu membuat kamarku terguncang. Entahlah! Lihat, aku makin keheranan bukan?

Maukah kau bertanggung jawab pada semua ini? Membantuku merapikan kembali tata letak rumahku yang telah kau kacaukan.

Atau begini saja, aku tawarkan padamu sebuah pilihan: menetap di sini bersamaku, atau kembali ke rumahmu layaknya tamu yang datang lalu pergi begitu saja. Karena mungkin kau telah punya rumah untuk ditinggali. Hanya ada dua pilihan: hendak tinggal, atau meninggalkan.

Aku butuh jawaban. Aku pinta sekarang.

Pertemuan kita mungkin memang sudah takdir Tuhan, tapi iyakah jatuh hati padamu juga sebuah suratan? Itu yang semenjak tadi aku pertanyakan.


Untukmu, yang datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Kamis, 08 Mei 2014

Bukan Tak Mungkin

Jikapun aku memanjatkan doa untukmu setiap malam, bukan tak mungkin ada yang berdoa untukmu setiap waktu. Dan di saat bersamaan, ada yang memanjatkan doa untukku lebih sering dari doaku padamu.

Jikapun aku menaruh perhatian padamu diam-diam, bukan tak mungkin ada yang memperhatikanmu lebih rajin dariku. Juga di saat bersamaan, ada yang memperhatikanku  tanpa pernah aku tahu.

Jikapun aku berkeinginan kuat menjadikanmu pendamping hidup, bukan tak mungkin jika besok Tuhan membolak-balikkan hati dan mengubah segalanya hingga sesuatu yang tak pernah terpikirkan pun terjadi.

Dan jikapun aku memintamu pada Tuhan tanpa malu-malu, bukan tak mungkin ada pula yang memintamu pada Tuhan sembari memintamu pada ayahmu terang-terangan. Pada posisi ini aku telah kalah telak bukan?

Maka pada akhirnya aku harus siap ketika disuguhkan sebuah kenyataan bahwa ternyata ada yang lebih sering mendoakanmu daripadaku.

Dan pada akhirnya pula aku harus mempercayai  kata-kata, “jika pada akhirnya kamu tidak bersama orang yang kau sering sebut dalam doamu, mungkin kamu akan dibersamakan dengan orang yang diam-diam sering menyebut namamu dalam doanya.”

Ya, mungkin ada doa yang lebih kuat hingga Tuhan lebih mengabulkannya.

Selasa, 06 Mei 2014

Upacara Seba: Sebuah Pesan

Satu-satunya ritual adat budaya Baduy yang melibatkan orang-orang di luar suku mereka, baru saja usai: upacara Seba. Setiap tahunnya selalu ada saja yang berbeda dan menarik dari upacara yang merupakan tradisi tahunan suku Baduy ini. Pun begitu dengan tahun ini saat saya kembali berkesempatan mengikutinya. Maka izinkan saya membagikan hal yang kiranya mesti diketahui semua.

Tulisan ini bukan tentang perbedaan sebutan Bapa Gede yang kini diganti Ibu Gede karena terjadi pergantian kepemimpinan di Kabupaten Lebak pada upacara Seba kemarin. Bukan pula tentang panggilan Ibu Gede yang hilang di pendopo Gubernur dan digantikan dengan panggilan Bapak Wakil Gubernur -bukan Bapa Gede, karena Ibu Gede sedang tersandung masalah tapi tetap ingin bertahan dijalannya. Juga bukan tentang keikutsertaan saya yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang biasanya bersepeda namun tahun ini ikut berjalan kaki dari Rangkas ke Serang -walau tak sepenuhnya.

Selain ingin menyampaikan dan mengingatkan kembali apa itu upacara Seba  melalui catatan saya 2 tahun lalu disini, dan disini, ada hal lain yang ingin saya sampaikan selain itu semua. Ini tentang pesan yang disampaikan langsung ataupun tak langsung dari apa yang saya lihat, dengar, dan alami saat Seba kemarin.

Bahwa masyarakat Baduy tak pernah tahu apa itu global warming ataupun pemanasan global, tapi rasa-rasanya mereka adalah masyarakat yang paling peduli terhadap hutan dan lingkungan daripada kita.

Masyarakat Baduy juga tak pernah belajar ilmu ekonomi, bahkan sekolahpun mereka tidak, tapi mereka paham dampak pariwisata terhadap ekonomi Banten hingga perkampungan mereka direlakan menjadi tujuan wisata budaya. Dengan risiko mereka akan ‘terkontaminasi’ budaya yang terbawa orang-orang dari luar Baduy. Dan mereka pun sebisa mungkin mereka tidak membatasi jumlah wisatawan yang datang berkunjung kesana, yang jumlahnya kadang bisa membludak saat masa liburan sekolah.

Namun dibalik itu ada keluhan orang-orang Baduy yang dikunjungi masyarakat luar sebagai wisatawan, yang tidak bisa menghormati dan mematuhi budaya dan adat istiadat mereka.

Maka terceritakanlah tentang tenggelamnya pemuda di sungai terlarang di Baduy hingga meninggal, tentang perilaku orang-orang kota yang tetap membawa kebiasaan hura-huranya ke perkampungan suku Baduy, juga cerita ribut-ribut dan obrolan ngalor-ngidul mereka hingga tengah malam disana. Padahal di perkampungan suku Baduy, selepas matahari tenggelam pun sudah hampir tak ada kehidupan. Juga tentang lingkungan hutan dan huma mereka yang tak terjaga dari tangan-tangan jahil di antara kita.

Kata mereka, berapapun banyaknya, sepuluh atau dua puluh bahkan ratusan orang berombongan datang kesana, syaratnya hanya satu: jangan membuat kewalahan. Kewalahan dalam arti kehidupan mereka tak terusik dan terganggu. Caranya adalah dengan mengikuti adat istiadat milik mereka. Toh cuma satu atau dua hari saja kan?

Coba perhatikan di upacara Seba kemarin, saat acara tertunda setengah sampai satu jam di pendopo bersama Bupati dan Gubernur, tak sedikitpun terdengar suara di antara mereka yang telah berkumpul di pendopo. Sunyi senyap. Lihat pula mereka yang mengumpulkan bungkus nasi setelah mereka makan. Bersih tak berserakan. Lihat juga mereka yang berjumlah 17 orang (suku Baduy Dalam) yang berjalan kaki dari Ciboleger hingga ke Serang sejauh sekitar 90 kilometer, mereka selalu beriringan dan selalu berada di sebelah kiri bahu jalan raya.


Mereka begitu menghormati kita bukan saat ada di wilayah kita?
Maka apakah kita tak juga menghormati mereka barang sehari saja saat berkunjung kesana?

*Foto-foto lebih lengkap Seba tahun ini ada disini

Rabu, 30 April 2014

Kata-Kata Hujan


Selain melodi dan aroma, rasa-rasanya hujan pun punya kata-kata. Sesekali coba baca setiap deret aksara yang ditulisnya. Juga dengar setiap rima yang ia cipta. Jika kau telisik lebih dalam lagi pada setiap bulir air hujan yang datang, akan kau temukan ragam puisi, prosa atau bahkan sekedar kata ‘hai’. Apalagi jika kau berani merasai setiap tempias hujan, kau ‘kan dapati dan kenali jejak aksara dari setiap kata-kata hujan yang merangkai sebuah cerita.

Dengan kata-kata itu ia mengajak kita berbicara. Dengan aksara yang dilukis di langit gelap ia menyampaikan sesuatu pada kita. Bisa jadi itu bukan hanya kata-kata milik hujan. Milik awan yang ingin mencumbui bumi, bisa. Milik Tuhan yang menjawab do’a makhluknya –atau mungkin mengirim murka pada manusia, mungkin juga. Atau bisa pula itu milik seseorang yang mengirimkan salam pada yang dikaguminya. Karena aku percaya, setiap dari kita dapat berkirim pesan dan salam satu sama lain melalui hujan, lewat kata-katanya. Tentu yang paham hanya si pengirim dan si penerima. Kita yang tuli dan buta hanya mengenali lewat suara berisik di atas genteng dan percik air yang mengotori ubin depan rumah.

Dalam seperjuta bulir hujan, ada ribuan salam milik para pecinta kenangan, pengharap masa depan, dan penikmat kesendirian yang dikirimkan. Merekalah –diluar para pecinta hujan tentunya, orang-orang yang punya banyak kontribusi akan kata-kata hujan yang seringkali sulit terbaca. Hanya mereka yang dengan mudahnya membaca dan mengenali. Lagipula, kadang si penerima tak selalu dalam bentuk materi.

Diiringi partitur hujan dan aroma khas pertichor –yang juga tak dapat tercium oleh semua, pesan dan salam itu dikirim dengan perantara kata-kata milik hujan. Ini semacam pinjam-meminjam kata-kata antara hujan dan manusia. Salam yang sama dapat digunakan untuk orang yang berbeda, namun tentu aroma dan melodinya tak sama. Maka setiap dari kita dapat mendengar kata-kata hujan yang berbeda. Saling kirim-terima pesan dan salam terjadi selama hujan turun. Setiap kata-kata akan terdengar khas dan berbeda pada setiap telinga. Tergantung pada kombinasi kata, melodi dan aroma. Maka sesungguhnya hujan itu sendiri adalah misteri dan rahasia bagi setiap diri kita.

Setelah hujan reda, hanya residu yang tertinggal. Pesan dan salam tak tersampaikan akan kita lihat bertebaran di atas genangan. Bercampur dengan air coklat pekat lalu terbawa ke lautan. Lalu pada saatnya nanti ia akan kembali ke langit membawa pesan-pesan yang sempat tak terkirimkan, lalu mengubahnya menjadi hujan hingga kata-kata itu sampai pada tujuan. Kiraku, siklusnya seperti itu.

Lalu, kamu, tak mendengarkah apa yang disampaikan hujan di penghujung senja ini? Jika iya, mungkin itu salam dariku yang dibawanya untukmu. Jika tidak –atau belum, mohon tunggu hingga salam itu tiba di hujan berikutnya.

Tangerang Selatan, pada sebuah senja di medio April dua ribu empat belas

Senin, 28 April 2014

Mimpi Masa Kecil

“Bukan kota yang padat dan gemerlap yang membuat negeri kita kukuh, tetapi desa-desa yang maju dan mandirilah yang akan membuat negeri kita kuat dan tangguh.” - Singgih S. Kartono

Ketidaksengajaan mengantarkan saya pada sebuah foto terkait sebuah kegiatan bernama 1st International Conference of Village Revitalition beberapa waktu lalu. Dengan digerakkan rasa penasaran, saya putuskan untuk browsing sana-sini, intip ini itu, add orang-orang untuk mengetahui kegiatan tersebut lebih detail lagi, hingga akhirnya saya berhasil dibuat berdecak kagum olehnya.

Bahwa kegiatan ini merupakan agenda dua tahunan milik International Conference of Design for Sustainability dari Jepang. Untuk pertama kalinya ia diselenggarakan di sebuah desa bernama Kandangan di daerah Temanggung, Jawa Tengah akhir Maret lalu. Dan dua tahun mendatang akan kembali diselenggarakan di Kyoto, Jepang.

Sesuai dengan namanya, kegiatan yang mengambil tema ‘It’s Time Back to Village’ ini terdiri dari berbagai diskusi, workshop, seminar, presentasi makalah, mengenai revitalisasi desa selama beberapa hari. Para pendatang, terutama orang-orang kota diajak untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk mengembangkan desa sesuai potensi besar yang dimiliki. Jadi pendatang atau pengunjung tidak hanya ‘menikmati’ desa, namun ada kontribusi yang diberikan pada apa yang mereka kunjungi. Kurang lebih begitulah konsepnya. Oiya, dalam kegiatan ini juga ada bike tour dengan sepeda bambu dan menginap di homestay unik di desa Kandangan.

Dengan konsep homestay sederhana yang berada tepat di pinggir sawah, jalanan menuju homestay melalui pematang, jalanan setapak yang rapi dengan tetap mempertahankan kesan alami, rumah pohon mungil di kebun kopi, bersepeda keliling desa dengan sepeda yang frame-nya dari bambu -yang kemudian saya kenal dengan nama Spedagi, berhasil membuat saya terkagum-kagum.


Sebuah acara internasional namun diselenggarakan di sebuah desa adalah hal baru bagi saya. Desa ini pastilah telah memenuhi syarat dan tentunya segala hal telah dipersiapkannya. Karena tidak mudah menyelenggarakan konferensi tingkat internasional, apalagi di desa.

Adalah Singgih Susilo Kartono yang menjadi pelopor pengembangan desa ini. Ia benar-benar jeli melihat potensi desa kelahirannya. Dengan ilmu yang dimilikinya, kayu yang melimpah ia sulap menjadi radio kayu Magno yang mendunia. Kebiasaannya bersepeda dipadukan dengan banyaknya bambu di desa, berhasil membuat karya terbarunya: Spedagi. Sepeda dengan frame terbuat dari bambu ini baru dipasarkan awal tahun ini.

Dengan produknya yang mendunia, ia memiliki kolega-kolega di berbagai negara. Dengan itu pula ia mendapat dukungan untuk menyelenggarakan kegiatan semacam ini di desa. Dengan Magno dan Spedagi, ia memperkenalkan bahwa desa adalah tempat yang aman dan juga nyaman untuk menyelenggarakan konferensi internasional. Bahkan lebih dari itu.

Semangat dan tekadnya untuk mengembangkan desa sesuai potensi besarnya -dengan melibatkan warga berperan aktif di dalamnya, saya rasa telah berhasil ia wujudkan. Salah satu indikator tentu atas apresiasi yang positif dari kegiatan ini. Juga tentunya dari Magno dan Spedagi yang tak ia bangun sendiri.

Segala yang saya temukan terkait konferensi, Kandangan, Spedagi, dan Pak Singgih, seolah telah membangunkan mimpi-mimpi masa kecil saya dulu. Dan dari sana pula semangat untuk membangun tempat kelahiran kembali menggelora. Jadi, fix-lah ini mah harus sama orang Banten. (?)

*Foto-foto dalam tulisan ini diambil oleh para peserta ICVR 2014

Senin, 14 April 2014

Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri

Puisi membuatku hidup abadi. Bersamanya, aku, juga dirimu takkan pernah mati. Kita ‘kan selamanya hadir dalam satu puisi. Setidaknya, untuk seribu tahun lagi. Jika pun satu masa saat ragaku terkungkung dalam himpitan gelap gulita telah tiba, takkan kubiarkan dengannya aku tak dapat berkirim kata merangkai doa. Dalam setiap baitnya, akan kutulis nama indahmu. Kuukir doa terbaikku untukmu. Kurangkaikan kata terindah tentangmu. Didalamnya kita hanya berdua: aku, kamu.

Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati

Karena dalam setiap baitnya, puisi selalu memiliki jiwa. Dengan kata, kita berbicara tentang makna. Tanpa kata kita ‘kan kaku, ragu, bahkan beku. Jika pun dengannya kita tetap kaku, ragu, bahkan beku, ia ‘kan tetap indah dengan cara yang ia punya. Dengan kata pula kita menyampaikan rindu penuh pilu. Sembilu karena diantara kita tak ada ucap. Hingga akhirnya, kata-lah, yang dengannya ia dapat terungkap. 

Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari

Adalah kata, benda budaya yang tak pernah bisa kita pahami maknanya. Hanya terka yang kita punya terhadapnya. Di dalamnya kita temukan rangkaian aksara miliki jiwa. Aksara itu menjadi terjemah sebuah kosakata bernama cinta. Cinta penuh terka yang berjiwa. Selayaknya jiwa, ia sulit dipahami bahkan oleh pemiliknya sendiri. Namun jika pada satu saat nanti tiba masa tentang rahasia aksara itu, ‘kan kusampaikan padamu. Aku janji.

*Sebuah interpretasi atas sajak Sapardi Djoko Damono, Pada Suatu Hari Nanti (1991)