Sabtu, 14 Juni 2014

Ayah

Ingin kuceritakan sebuah kisah padamu, Kawan. Kisah tentang seorang pemuda yang tak pernah menyaksikan raut wajah seorang ayah.

Tersebutlah seorang pemuda yang tengah beranjak dewasa. Ia sedang menempuh pendidikannya di sebuah SMA ternama di kotanya. Ia yang semenjak kecil tak pernah merasakan kasih sayang dan tak mengenal seorang ayah, tiba-tiba merindukannya.

Satu waktu ia temukan sosok ayah pada beberapa orang di sekolahnya. Ia disapa, diayomi, didorong, dinasihati, didukung, diperhatikan. Saat itu, ia merasa telah mendapatkan hal yang telah lama ia idamkan: kasih sayang seorang ayah. Lalu kemudian mengapa harus terpikirkan untuk mencari dan menemui? Hanyakah karena ingin melihat sosok seorang ayah yang terceritakan mirip dengannya? Kata orang-orang yang pernah mengenal ayahnya, ia dan sang Ayah bagai pinang dibelah dua. Pusing bukan kepalang si pemuda dibuatnya dengan cerita tersebut. Dan karena ia tak pernah punya selembar fotopun di rumahnya, ia makin penasaran saja.

Pada masa itu ia ragu, hendak mencintai atau membenci. Hendak menghujat atau memuji. Hingga pada akhirnya saat usianya menginjak kepala dua ia mengumpulkan nyali untuk menemui sang Ayah. Ah, perkara yang tak mudah bukan menemui orang yang telah berani meninggalkan diri dan ibumu sendirian di awal-awal kehidupan?

Akhirnya ia bertemu sosok yang selama ini diceritakan orang-orang yang telah mengenalnya. Sosok yang sedikit ia tahu dari ibunya.

Ini perkara perang yang seperti dalam kisah imajinasi. Sisi baik dan jahat diri berebut. Satu sama lain saling meyakinkan. Saling menangkis dan menjatuhkan. Dan membuang si pemuda pada jurang kebimbangan. Apa yang musti dilakukan.

Hingga ia tiba pada akhir perseteruan, lalu sejenak berfikir dan merenung, “Bagaimanapun juga ia adalah ayahku. Yang darahnya telah mengalir dalam tubuhku...”

“... dengan kepergiannya dulu, ia telah membuatmu mandiri. Jauh lebih mandiri dari orang-orang sebayamu.” Ada yang menambahkan kalimat miliknya. Entah dari ruang hati sebelah mana suara itu datang.

Pertemuan singkat sekali. Teramat singkat bahkan. Tak ada tegur sapa berarti. Jikapun ada, hanya basa-basi. Dalam diam mereka hanya ada hening. Tak lebih.

Ia pulang dengan perasaan hampa yang tak pernah bisa ia definisikan. Antara rasa bahagia telah menemukan seorang ayah yang begitu lama didambakan, dan rasa bersalah telah memperlakukan ia tak selayaknya ayah sendiri -untuk tidak mengatakan mengacuhkannya.

Ia pergi membawa masa lalu yang ia telah ia datangi. Lalu kemudian meninggalkannya kembali karena telah ada yang ia bawa: kenangan kepedihan.

Sebelum pergi, ia mengucapkan terima kasih pada sang Ayah karena telah memilih ibunya sebagai istri. Dan semenjak itu si pemuda tak pernah lagi menemui ayahnya.

Tertanda,

Si pemuda, yang tiba-tiba merindukan ayahnya sesaat setelah merindui ibunya.

Selasa, 03 Juni 2014

Sederhana

Saat teman-temanmu berkendara motor dan mobil pribadi, kau sangat menyukai naik kendaraan umum dan kereta api. Bagimu tak berkendara pribadi bukan hanya perkara filosofis, tapi memang sudah menjadi gaya hidup yang telah mengakar kuat. Lihat, bagaimana dalam hal ini kau telah membuatku terpikat.

Saat orang-orang tampil dengan berbagai gaya busana, kau tetap memakai kerudungmu yang rapi lagi sederhana. Dipadupadankan dengan penampilan yang seringkali membuatku tercengang. Padahal biasa saja menurut orang-orang. Tak peduli kau berkali-kali memakai jenis busana yang itu-itu saja dengan warna kerudung yang selalu sama: hijau tosca, biru langit, dan jingga. Bagiku, justru semua itu tampak istimewa.

Saat wanita lain membeli berbagai kosmetik untuk mempercantik diri, kau lebih memilih membelanjakan hartamu pada buku-buku yang kau sukai, pada perjalanan ke tempat-tempat yang ingin kau kunjungi. Juga saat mereka menghabiskan uangnya berbelanja di butik-butik mewah, kau justru menggunakannya untuk beperjalanan ke negeri antah berantah.

Aku menemukan kata sederhana pada setiap langkahmu, cara berjalanmu, sikapmu, tingkah lakumu, cara bicaramu, cara dudukmu, busanamu, kerudungmu, hingga senyummu. Aku bahkan harus mencari kata lain yang lebih sederhana dari kata sederhana.

Kata sederhana telah melekat pada namamu. Dirimu adalah sederhana itu sendiri. Maka jangan heran jika definisi kata sederhana dalam kamusku juga amatlah sederhana: kamu.

Lalu, harus kupersembahkankah padamu cinta yang sederhana pula?
Semoga jawaban kita sama.

Minggu, 01 Juni 2014

Kampanye Bulan Juni

Rasa-rasanya bulan Juni akan menjadi bulan paling ‘panas’ tahun ini. Seperti yang kita tahu, tak lama lagi kita akan punya pemimpin baru. Dan dua pertiga dari Juni dipilih untuk digunakan kampanye secara resmi. Aku sebenarnya heran, kenapa harus Juni?

Maka di bulan ini, mungkin bukan hujan yang bijak lagi arif seperti kata Sapardi yang akan kita temui. Akan kita temukan banyaknya caci, maki dan benci di sana-sini. Saling serang antar pihak menjadi biasa. Kata-kata ejekan menjadi makanan sehari-hari di dunia maya.

Mungkin bukan pula hujan yang sabar yang akan datang. Tapi berbagai macam serangan, ejekan, dan aib dari para calon pemimpin kita yang akan diumbar. Alih-alih menampakkan keunggulan, tak lengkap rasanya bagi kita tanpa memperlihatkan kebobrokan lawan. Cir..!

Kampanye pemilu kali ini tak seperti kampanye 5 atau bahkan 10 tahun lalu. Ketika itu media sosial belum menjamur dan menjadi dunia kedua bagi masyarakat kita. Kali ini ia menjelma menjadi wadah yang dirasa mudah untuk berkampanye, untuk bersuara, bahkan tanpa etika. Bulan-bulan sebelumnya sudah terlalu banyak jenis kampanye kita saksikan. Maka bisa dipastikan pada bulan ini akan lebih banyak lagi bemacam cara kampanye akan kita temukan.

Jika di antara kita merasa jengah, coba ke media sosial sebelah. Cari kicauan bertagarkan #kampanyepositifplease, #kampanyeadem, #kampanyepostif atau sejenisnya. Semoga ia bisa menjadi obat dari kejengahan.

Atau coba sesekali tinggalkan dunia maya, pergi ke dunia nyata lalu pergi ke desa-desa. Di sana politik menjadi biasa saja. Tak mewah, tak megah. Tak ada perkelahian dan caci maki hanya karena berbeda pilihan.

Jika masih tetap jengah bahkan makin muak, mohon sabar saja. Setelah 9 Juli perdebatan dan pekelahian ini akan segera diakhiri. Semua ini akan berakhir. Sabar saja.

Tiba-tiba aku berharap pada Tuhan semoga sepanjang bulan ini turun hujan. Hujan sebijak, searif dan sesabar kata Sapardi. Jikapun hujan itu tak turun ke bumi, semoga ia turun ke hati setiap orang di negeri ini.

Senin, 26 Mei 2014

Kembali pada Masa Lalu?

Sabtu, 24 Mei 2014, jelang siang, saya seolah dibawa oleh benda bernama waktu pada satu masa, beberapa lebih tepatnya. Dibawanya saya melalui lorong miliknya. Tak sampai selesai satu masa, sudah ditariknya saya ke masa berikutnya. Begitu seterusnya hingga kembali pada masa dimana saya berdiri saat ini. Seolah saya diajak jalan-jalan oleh waktu pada timeline hidup saya sendiri.

Timeline itu bermula pada tahun saat saya, seorang anak pelosok yang desanya berbatasan dengan desa milik salah satu suku terpelosok di Indonesia, berpindah Sekolah Dasar. Tak pernah saya menyangka akan bisa bersekolah ke kota. Ke sebenar-benarnya kota sih tidak, ke tempat yang lebih kota mungkin iya. Saat itu saya hanya ikut apa yang dikatakan orang tua. Sekolah ya sekolah. Jika tidak, ya tak apa.

Lalu timeline itu tiba-tiba beranjak saja pada masa tiga tahun di Sekolah Menengah Pertama. Tiga tahun di sana saya lewati dengan cukup meninggalkan banyak kesan. Menjadi siswa yang tidak bandel-bandel amat, bahkan sebaliknya. Begitu katanya. Timeline masa SMP itu sepertinya bergambar dan bervideo. Diputarkannya video itu di depan saya. Dan tentunya hanya saya yang bisa menyaksikan. Salah satu cuplikan video itu ketika saya berderai air mata memberikan sambutan pada acara perpisahan.

Pada masa Sekolah Menengah Atas, timeline itu lebih terperinci. Entah mengapa. Mungkin karena kenangan di sana yang teramat dalam sekali. Satu persatu potongan gambar dan video selama disana kembali diputar dan diperlihatkan. Banyak, banyak sekali. Dan sekali lagi, hanya saya yang bisa melihat dan menyaksikan. Salah satunya lagi-lagi ketika perpisahan, saat saya dan seorang rekan berpelukan dengan tergugu penuh haru kala itu. Sedemikian pedihnyakah perpisahan?

Dari cuplikan-cuplikan video masa SMA itu saya merasa, mungkin saya tak kan pernah merasakan bagaimana rasanya memakai seragam putih abu-abu jika tidak berada di sana. Menjadi bagian dari sekolah di bawah kaki Gunung Karang kemudian menjadi salah satu kesyukuran terbesar saya.

Di masa SMA itu lalu saya jatuh cinta pada sebuah nama: Cahaya Madani. Saya begitu cinta pada segala hal yang ada di Cahaya Madani: pada udara paginya, suasana malamnya, langit dan bintang-bintangnya, para penghuninya, pada podiumnya, jalan aspal dan setapaknya, masjidnya, asramanya, perpustakaannya, tiap bangunannya, bahkan pada rumput dan ilalangnya. Saya sempat heran mengapa bisa terjadi. Tapi saya sadar, kadang cinta itu memang tak butuh definisi.

Masa tiga tahun disana kemudian menjadi masa yang paling berkesan dan paling indah dalam hidup. Bahkan saya masih sering terbayang masa-masa itu. Mungkin ini definisi ‘gagal move on’ bagi saya. Hha..

Cukup sulit bagi saya untuk melepaskan bayang-bayang pada kenangan selama di sana. Hingga akhirnya saya tahu bahwa untuk melepaskan diri dari belenggu masa lalu hanya ada dua cara: meninggalkannya jauh-jauh dan tak pernah mengingatnya sama sekali hingga hilang bersama waktu, atau kembali padanya dengan menjadi bukan diri saya pada masa itu.

Manakah yang akan kemudian akhirnya saya pilih? Rasa-rasanya saya harus menanyakannya dulu pada Sang Pemilik waktu.

Selasa, 13 Mei 2014

Seorang Tamu

Tidakkah kau sebelumnya memberitahuku perihal kedatanganmu? Meminta izin masuk seperti layaknya seorang tamu. Tidak seperti ini: tiba-tiba berdiri di depan pintu kamar. Hingga membuatku melemparkan pertanyaan, kau ini utusan Tuhan untuk menguji kesetiaan atau memang dikirimkan-Nya untuk menggantikan? Sejujurnya aku heran. Atas pertanyaan itu kau memberikan jawaban sebuah senyuman. Dan aku makin heran.

Lalu sebenarnya kau ini siapa? Tiba-tiba datang lalu membuat tata letak rumahku berantakan. Kau tahu? Kedatanganmu membuat kamarku terguncang. Entahlah! Lihat, aku makin keheranan bukan?

Maukah kau bertanggung jawab pada semua ini? Membantuku merapikan kembali tata letak rumahku yang telah kau kacaukan.

Atau begini saja, aku tawarkan padamu sebuah pilihan: menetap di sini bersamaku, atau kembali ke rumahmu layaknya tamu yang datang lalu pergi begitu saja. Karena mungkin kau telah punya rumah untuk ditinggali. Hanya ada dua pilihan: hendak tinggal, atau meninggalkan.

Aku butuh jawaban. Aku pinta sekarang.

Pertemuan kita mungkin memang sudah takdir Tuhan, tapi iyakah jatuh hati padamu juga sebuah suratan? Itu yang semenjak tadi aku pertanyakan.


Untukmu, yang datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Kamis, 08 Mei 2014

Bukan Tak Mungkin

Jikapun aku memanjatkan doa untukmu setiap malam, bukan tak mungkin ada yang berdoa untukmu setiap waktu. Dan di saat bersamaan, ada yang memanjatkan doa untukku lebih sering dari doaku padamu.

Jikapun aku menaruh perhatian padamu diam-diam, bukan tak mungkin ada yang memperhatikanmu lebih rajin dariku. Juga di saat bersamaan, ada yang memperhatikanku  tanpa pernah aku tahu.

Jikapun aku berkeinginan kuat menjadikanmu pendamping hidup, bukan tak mungkin jika besok Tuhan membolak-balikkan hati dan mengubah segalanya hingga sesuatu yang tak pernah terpikirkan pun terjadi.

Dan jikapun aku memintamu pada Tuhan tanpa malu-malu, bukan tak mungkin ada pula yang memintamu pada Tuhan sembari memintamu pada ayahmu terang-terangan. Pada posisi ini aku telah kalah telak bukan?

Maka pada akhirnya aku harus siap ketika disuguhkan sebuah kenyataan bahwa ternyata ada yang lebih sering mendoakanmu daripadaku.

Dan pada akhirnya pula aku harus mempercayai  kata-kata, “jika pada akhirnya kamu tidak bersama orang yang kau sering sebut dalam doamu, mungkin kamu akan dibersamakan dengan orang yang diam-diam sering menyebut namamu dalam doanya.”

Ya, mungkin ada doa yang lebih kuat hingga Tuhan lebih mengabulkannya.

Selasa, 06 Mei 2014

Upacara Seba: Sebuah Pesan

Satu-satunya ritual adat budaya Baduy yang melibatkan orang-orang di luar suku mereka, baru saja usai: upacara Seba. Setiap tahunnya selalu ada saja yang berbeda dan menarik dari upacara yang merupakan tradisi tahunan suku Baduy ini. Pun begitu dengan tahun ini saat saya kembali berkesempatan mengikutinya. Maka izinkan saya membagikan hal yang kiranya mesti diketahui semua.

Tulisan ini bukan tentang perbedaan sebutan Bapa Gede yang kini diganti Ibu Gede karena terjadi pergantian kepemimpinan di Kabupaten Lebak pada upacara Seba kemarin. Bukan pula tentang panggilan Ibu Gede yang hilang di pendopo Gubernur dan digantikan dengan panggilan Bapak Wakil Gubernur -bukan Bapa Gede, karena Ibu Gede sedang tersandung masalah tapi tetap ingin bertahan dijalannya. Juga bukan tentang keikutsertaan saya yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang biasanya bersepeda namun tahun ini ikut berjalan kaki dari Rangkas ke Serang -walau tak sepenuhnya.

Selain ingin menyampaikan dan mengingatkan kembali apa itu upacara Seba  melalui catatan saya 2 tahun lalu disini, dan disini, ada hal lain yang ingin saya sampaikan selain itu semua. Ini tentang pesan yang disampaikan langsung ataupun tak langsung dari apa yang saya lihat, dengar, dan alami saat Seba kemarin.

Bahwa masyarakat Baduy tak pernah tahu apa itu global warming ataupun pemanasan global, tapi rasa-rasanya mereka adalah masyarakat yang paling peduli terhadap hutan dan lingkungan daripada kita.

Masyarakat Baduy juga tak pernah belajar ilmu ekonomi, bahkan sekolahpun mereka tidak, tapi mereka paham dampak pariwisata terhadap ekonomi Banten hingga perkampungan mereka direlakan menjadi tujuan wisata budaya. Dengan risiko mereka akan ‘terkontaminasi’ budaya yang terbawa orang-orang dari luar Baduy. Dan mereka pun sebisa mungkin mereka tidak membatasi jumlah wisatawan yang datang berkunjung kesana, yang jumlahnya kadang bisa membludak saat masa liburan sekolah.

Namun dibalik itu ada keluhan orang-orang Baduy yang dikunjungi masyarakat luar sebagai wisatawan, yang tidak bisa menghormati dan mematuhi budaya dan adat istiadat mereka.

Maka terceritakanlah tentang tenggelamnya pemuda di sungai terlarang di Baduy hingga meninggal, tentang perilaku orang-orang kota yang tetap membawa kebiasaan hura-huranya ke perkampungan suku Baduy, juga cerita ribut-ribut dan obrolan ngalor-ngidul mereka hingga tengah malam disana. Padahal di perkampungan suku Baduy, selepas matahari tenggelam pun sudah hampir tak ada kehidupan. Juga tentang lingkungan hutan dan huma mereka yang tak terjaga dari tangan-tangan jahil di antara kita.

Kata mereka, berapapun banyaknya, sepuluh atau dua puluh bahkan ratusan orang berombongan datang kesana, syaratnya hanya satu: jangan membuat kewalahan. Kewalahan dalam arti kehidupan mereka tak terusik dan terganggu. Caranya adalah dengan mengikuti adat istiadat milik mereka. Toh cuma satu atau dua hari saja kan?

Coba perhatikan di upacara Seba kemarin, saat acara tertunda setengah sampai satu jam di pendopo bersama Bupati dan Gubernur, tak sedikitpun terdengar suara di antara mereka yang telah berkumpul di pendopo. Sunyi senyap. Lihat pula mereka yang mengumpulkan bungkus nasi setelah mereka makan. Bersih tak berserakan. Lihat juga mereka yang berjumlah 17 orang (suku Baduy Dalam) yang berjalan kaki dari Ciboleger hingga ke Serang sejauh sekitar 90 kilometer, mereka selalu beriringan dan selalu berada di sebelah kiri bahu jalan raya.


Mereka begitu menghormati kita bukan saat ada di wilayah kita?
Maka apakah kita tak juga menghormati mereka barang sehari saja saat berkunjung kesana?

*Foto-foto lebih lengkap Seba tahun ini ada disini