Selasa, 09 September 2014

Behind the Scene

Bagi saya, segala sesuatu yang alami tanpa dibuat-buat adalah indah. Pun begitu dalam mengambil gambar. Saya memiliki kesenangan tersendiri ketika mengambil momen-momen tak sadar kamera. Saya suka foto-foto candid.

Kamera adalah perpanjangan mata. Ia seperti mata kita. Maka apa yang ditangkap, selayaknya tanpa dibuat-buat, selayaknya tanpa direka-reka. Seperti halnya mata juga, tugas kamera mengambil lalu menyimpan. Jika mata mengabadikan momen dengan menyimpannya dalam memori hingga menjadi kenangan, maka kamera mengabadikannya dengan menyimpannya dalam gambar – yang pada akhirnya menjadi kenangan juga.*Ini apa-apaan bahas kenangan segala* #halah.

Intinya saya ingin menyampaikan, di perjalanan ke Baduy kemarin, saya berhasil mengabadikan beberapa momen yang tampak alami. Ketika teman-teman saya berfoto bersama terutama berfoto selfie – yang saat ini sedang ngetrend, saya abadikan momen-momen itu. Klik!

Yang unik bagi saya adalah ketika hasil foto momen mereka berselfie disandingkan dengan hasil foto selfie mereka.

Here are the pictures!

Scene 1
 
Scene 2
Scene 3
Rasa-rasanya masih banyak foto-foto candid yang berhasil saya ambil saat perjalan ke Baduy kemarin, baik yang selfie atau pun tidak. Tapi yang dapat disandingkan dengan hasil fotonya dan dianggap layak, hanya ini. Yah, namanya juga tak terencana. Wong saya kemarin ga bawa kamera. :D

Sabtu, 30 Agustus 2014

Berhenti Mengagumi

Aku mundur.
Takkan lagi berusaha membacamu seperti semenjak 56 bulan lalu.
Terima kasih.

Tertanda,
Yang pernah dan masih mengagumimu.

Kamis, 28 Agustus 2014

Definisi Bahagia

Sesederhana dapat kembali pergi ke Cibeo untuk ke-16 kalinya setelah sekian lama tak mengunjungi. Padahal bagi sebagian besar orang, pergi kesana adalah pengalaman hidup yang cukup sekali dijalani. Lalu aku, seperti tak pernah merasa cukup walau masuki bilang ke-100 suatu saat nanti.

Sesederhana dapat kembali memegang EOS 600D setelah sekian lama tak berjumpa. Selalu saja ada rasa bahagia saat mengintip sesuatu -atau seseorang, dari balik viewfinder kamera. Menangkap momen yang tak pernah bisa terulangi. Mengabadikan saat-saat yang tak dapat dilakukan lagi. Memindahkan bukti kebesaran Allah pada bentuk lain hingga dapat orang lain nikmati.

Sesederhana dapat kembali memunguti sampah plastik sepanjang jalan setapak dari Baduy Luar hingga Baduy Dalam dan sebaliknya. Rasa-rasanya saat ini aku memungutnya tak harus sesering dulu saat memulainya 3 tahun lalu. Semoga orang-orang memang semakin sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan alam yang Allah ciptakan.

Sesederhana dapat kembali beperjalanan bersama carrier kesayangan. Sudah lama sekali rasanya ia tak diajak jalan-jalan. Diajak merasakan teriknya matahari, teduhnya rimbunan dedaunan, lelahnya berjalan kaki 24 kilometer, terjebak pekat malam dalam hutan. Bersamanya aku selalu menikmati asiknya perjalanan. Teman perjalanan tak harus selalu orang bukan?

Sesederhana dapat bertemu kawan-kawan baru setelah selama ini hanya berjumpa di dunia maya. Beberapa di antaranya hanya tahu nama saja. Kau tahu kan rasanya bertemu teman-teman yang berbeda denganmu? Sikap, kebiasaan, dan karakter yang berbeda. Bahkan 180 derajat perbedaanya. Walau dalam beberapa hal kalian sama. Ah, bikin hidup lebih berwarna.

Sesederhana dapat melepaskan orang dari kesusahan dan kepayahannya. Berusaha menghilangkan beban dari pundak dan punggungnya –baik arti konotatif maupun dalam arti sebenarnya, semampu kita. Melihat orang lain senang karena bantuan kita kadang menjadi kebahagiaan yang sulit untuk diungkapkan.

Bagi setiap orang bahagia memiliki definisi tersendiri. Bagiku, bahagia sesederhana itu.

Minggu, 10 Agustus 2014

Ujian Kesyukuran

Ingin kuceritakan tentang sebuah nama: Khaerullah. Milik seorang sahabat, sekaligus seteru.

Masih tersimpan dalam ingatanku dulu, saat pertama kali kami bertemu. Ia selalu ingin menjadi yang pertama, sayangnya ada aku. Ia selalu ingin menjadi bintang seorang, sayangnya tak dapat sendirian. Ia ingin menjadi ketua di organisasi, tapi lagi-lagi ada aku. Sudah seperti batu sandungan saja aku dianggapnya.


Semua perseteruan yang kami alami tak menjadi alasan untuk bermusuhan. Bahkan sebaliknya. Semenjak kami sekelas, tak pernah sekalipun kami terpisah tempat duduk. Selama dua tahun di sisa hidup kami di sekolah menengah pertama, kami selalu berbagi meja. Kami bersaing sengit sekaligus berteman akrab. Kami berseteru namun berkawan dekat. Kemana-mana berdua. Bahkan sudah seperti sepasang kekasih saja. Pelajaran kesukaan kami sama, ekstrakurikuler yang kami ikuti sama, hobi kami sama, guru favorit kami juga sama. Perempuan yang kami puja saja tak sama. Kami adalah kawan tempat saling berbagi, bermain, bergurau, juga diskusi. Bersamaan dengan itu kami pun adalah rival abadi, hingga kini.


Sampai pada akhirnya selepas lulus SMP, ku ajak ia untuk kembali satu sekolah agar dapat duduk semeja. Ia menolak dengan jawaban: aku bosan menjadi nomor dua. Begitulah kira-kira jawabannya. Dan aku terima.


Benar saja, keinginannya terpenuhi: juara kelas, selalu rangking pertama, ketua organisasi sekolah, juara berbagai lomba, semua didapatkannya selama SMA. Walau pada satu kesempatan pada sebuah lomba tingkat kabupaten, kami bertemu mewakili sekolah masing-masing. Dan ia kembali menjadi nomor dua.


Bagiku ia adalah ujian. Ujian agar aku tak pongah dan takabur atas apa yang aku dapatkan. Agar aku tak sombong atas apa yang aku usahakan.


Berselang beberapa tahun kemudian, kami berpisah tanpa kabar. Ku temui kembali ia saat telah mengenakan toga di jurusan impiannya. Jurusan yang sesuai dengan pelajaran favorit kami dan sempat kami rebutkan saat olympiade SMA: Teknik Kimia. Sedangkan aku? Baru melewati setengah perjalanan untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku juga berada di jurusan yang tak pernah terbayangkan dan tak pernah dicita-citakan: Ekonomi Islam.


Dan ia kembali menjadi ujian. Ujian agar aku tak kufur nikmat atas apa yang telah Allah limpahkan. Agar tak membanding-bandingkan jalan hidup yang telah Allah gariskan.


Ada saat aku merasa menang, dan ada pula saat dimana aku merasa dikalahkan. Walau definisi menang-kalah dalam hal ini masih dalam perdebatan. Hingga akhirnya, pada hari ini aku merasa ia kembali menang. Memenangkan hati seseorang: wanita pujaan. Dan aku? Masih disini belum beranjak menemukanmu.


Maka atas semua ceritaku, sahabat sekaligus seteruku itu, adalah sebenar-benarnya ujian: ujian kesyukuran.

Kamis, 31 Juli 2014

Curug Gendang

Setelah melepas baju dan mengambil sedikit ancang-ancang, saya menghempaskan tubuh saya dari ketinggian 7 meter menuju sebuah kolam yang terbentuk dari genangan air terjun di bawah sana.

“Byuur!” suara tubuh saya beradu dengan air kolam di bawah air terjun tersebut. Terakhir kali meloncat seperti ini saya alami sekitar 10 tahun lalu saat masih seusia SMP dari atas karang ke sebuah leuwi di sungai Ciujung. Itu pun hanya sekitar 2-3 meter tingginya. Maka tak heran perkara loncat-meloncat dari atas air terjun ini menjadi ajang uji adrenalin bagi saya. Dalam hitungan kurang dari dua detik, kaki saya sudah berada di dalam air sesaat setelah sebelumnya berada di atas batu besar hitam tempat terakhir saya menjejakkan kaki.
Curug tampak atas
Setiap tahunnya, saya dan teman-teman SMA selalu melakukan touring untuk mengeksplorasi objek-objek wisata di daerah Banten. Setelah Ujung Kulon, Pantai Camara, Pantai Sawarna, di tiga tahun ke belakang, tahun ini kami memutuskan ke Curug Gendang di daerah Carita. Telah lama hasrat berkunjung kesana terpendam dalam diri, terutama saya pribadi.

Curug berasal dari bahasa sunda yang berarti air terjun. Sedangkan gendang berarti alat musik yang terbuat dari kulit yang biasa dipukul untuk membunyikannya. Katanya, nama ini muncul karena suara air terjun yang jatuh seperti suara gendang. Curug Gendang berada di kawasan hutan wisata Carita, sekitar 50 km dari pusat kota Pandeglang.

Untuk menuju kesana, dari Kota Pandeglang kami melalui jalan alternatif Mandalawangi-Jiput ke Carita hingga tiba di jalan Anyer-Labuan. Karena ini musim libur lebaran, hampir sepanjang perjalanan kami menemui kemacetan. Tiba di Pasir Putih kami berbelok masuk menyusuri jalan selebar 2 meter dari beton sejauh 1 kilometer, lalu disusul 2 kilometer jalan berbatu. Di pos pemberhentian terakhir, kami harus memarkirkan kendaraan yang kami bawa.

Selanjutnya jalan kecil dengan bebatuan dan tanah lembab harus kita lalui dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan asri yang menyejukkan mata. Pepohonan besar dan kecil menemani kami menyusuri punggung bukit kawasan hutan wisata ini. Suara burung dan satwa lain, gemericik air sungai jauh di bawah lembah sepanjang jalan setapak juga turut mengiringi. Setelah berjalan kaki sekitar 2 km, kami akhirnya tiba di tempat tujuan: Curug Gendang.
Curug tampak bawah. (sumber foto: google.com)
Selepas shalat ashar dan melakukan sedikit ritual sebelum berenang, kami meloncat satu-persatu dari ketinggian 7 meter menuju kolam di bawah air terjun. Sekitar satu jam lebih kami habiskan menikmati sejuknya air dari hutan hujan ini. Berenang, berendam, bermain air, berfoto, bercengkrama sambil sesekali membercandai teman yang tak berani meloncat. :p

Kami memutuskan untuk meninggalkan Curug Gendang saat senja mulai menyapa. Curug sudah sepi, tinggal kami dan beberapa pemuda yang sepertinya hendak menginap karena mereka membawa tenda.

Tak jauh dari Curug Gendang ada penginapan yang cukup terjangkau baik harga maupun lokasi. Pondok Pasanggrahan namanya. Kami melepas lelah setelah dan bergelut dengan kemacetan sepanjang perjalanan tadi di penginapan yang dikelola Perum Perhutani ini. Pondok ini menyajikan pemandangan yang cukup mempesona. Karena letaknya yang berada di atas bukit, dari depan pondok kami dapat menyaksikan Pantai Carita yang ramai oleh pengunjung. Saat paginya, udara sejuk khas hutan hujan menjadi bonus menikmati pemandangan ini.

Setelah menjelajah Curug Gendang dan menginap di Pondok Pasanggrahan, kami menyusuri Pantai Carita, lalu makan siang di Saung Mang Sam’un di Panimbang, berenang sejenak di pantai yang relatif sepi, lalu pulang melewati jalur Panimbang-Sobang-Angsana-Munjul-Picung-Saketi-Cikadueun-Pandeglang, setelah sebelumnya bersilaturahmi ke salah seorang teman kami di Picung yang tak sempat ikut touring tahunan ini.

Senin, 28 Juli 2014

Selamat Jalan atau Selamat Tinggalkah?

Kita berseru kata-kata cinta, tanpa pernah berbuat apa-apa. Hanya diucap tanpa diserap. Hanya dijalani tanpa isi. Lalu setelah kita berada di penghujung pertemuan, betapa kita menyesal karena pernah tak mengacuhkan. Benarlah kata sebuah syair lagu: kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya amatlah berharga. Dan inilah kita, merindui dia yang telah pergi, padahal saat hadir tak pernah padanya benar-benar mencintai.

Padanyalah seharusnya kita titipkan harapan perubahan. Padanya pula semestinya kita serahkan jiwa-jiwa kotor untuk dibersihkan. Kita pasrahkan diri untuk dididik padanya selama sebulan: Sekolah Ramadhan.

Lebaran bisa untuk semua, tapi Idul Fitri tidak. Lebaran bisa untuk anak-anak, dewasa, tua, renta, yang berpuasa atau tidak; sama saja. Mereka berbahagia, berpesta, bersuka cita. Tak lebih. Tapi Idul Fitri hanya untuk beberapa dari kita. Bagi mereka yang kita pun tak pernah tahu siapa-siapa saja. Bukankah puasa hanya urusan hamba dan Allah saja? Hanya berdua.

Di Idul Fitri kita bergembira sekaligus berduka. Menangis setelah sebelumnya tertawa. Merasa terbersihkan walau harus merasa ditinggalkan. Hingga kita kebingungan, selamat jalan atau selamat tinggalkah yang mesti kita ucapkan?

Sabtu, 19 Juli 2014

Terima Kasih

Kata ‘selamat’ menjadi begitu berkesan saat disampaikan pada waktu yang tepat. Ucapan terima kasih ini, walau disampaikan terlambat, semoga tak mengurangi rasa yang tak sempat terungkap.

Tak ada pembalasan kata ‘selamat’ selain ungkapan terima kasih. Itu yang kita tahu selama ini. Tapi di atas semua itu, ada yang lebih indah dari sekedar kata: doa. Dengannya, sejauh apapun jarak ia tak dapat menjadi alasan untuk tak dapat datang.

Maka selain terima kasih juga do’a, apalagikah yang harus kuungkapkan untuk membayar ini semua?


Tangerang Selatan, 08 Ramadhan 1435 H.