Jumat, 31 Oktober 2014

Seorang Mentor

Kita patut bersyukur dikenalkan oleh Allah pada orang-orang yang memberikan kita ilmu dan pengalaman secara cuma-cuma dalam salah satu episode perjalanan hidup kita di dunia. Karena memang tak semua orang ingin berbagi dan peduli pada orang lain. Dan tak semua orang pula peduli pada perkembangan diri pribadinya. Atas hal itu, saya mengucap banyak-banyak hamdalah. Maka tulisan ini pun hadir sebagai ungkapan syukur saya atas sebuah perkenalan saya dengan seseorang di tempat saya bekerja selama setahun terakhir ini.

Lama menjadi seorang jurnalis, bahkan semenjak kuliah, saya kira adalah faktor terbesar yang menjadi penyebab semangat juang atasan saya ini begitu tinggi dalam bekerja, dan dalam segala hal yang ia jalani. Tekun, ulet, gigih, pantang menyerah, dan cekatan dipertontonkan secara langsung pada saya, dan secara tak langsung menjadi pembelajaran bagi saya pribadi.

Pengalaman-pengalaman yang diceritakannya jika dalam perjalanan, mulai dari wawancara dengan orang-orang terkenal hingga melihat potongan tubuh manusia di lokasi pengeboman -karena ia menjadi satu-satunya wartawan yang berhasil masuk sesaat setelah bom J.W. Marriot meledak, memberikan gambaran bagaimana gigihnya seorang jurnalis. Dan saya banyak belajar dari sana.

Dalam karir amatir saya bekerja 5 tahun ke belakang, memang baru kali ini benar-benar merasakan bekerja berkantor nine to five seperti orang-orang Jakarta. Bedanya jarak kantor dan tempat tinggal saya tak lebih dari semenit perjalanan. :D Saya belajar betapa pentingnya menjalin komunikasi, membangun kepercayaan diri, ilmu manajemen dan juga marketing. Bagaimana menjual -satu hal saja dulu, apa yang semestinya kita jual. Sesuatu yang amat berguna untuk bisnis yang akan saya kembangkan nanti.

“Kerjakan sebisa dan semaksimal mungkin, cari cara dan celah untuk dapat melakukannya. Setelah itu, katakan inilah yang saya bisa. Harus diteruskan atau tidak yang penting kita sudah berusaha semampu kita.” Salah satu kata-kata yang saya ingat saat menceritakan bagaimana ia dengan cepat dipromosikan di perusahaan multinasional tempatnya bekerja dulu hingga akhirnya saat ini membangun sebuah perusahaan dari awal bersama saya juga: Akhlak Mulia Center Indonesia. Berbuat lebih dan berusaha sebisa dan semaksimal mungkin, nasihatnya.

Mewarnai, diwarnai, dan punya warna adalah filosofi hidup yang memang sebenarnya pernah saya dengar, namun kembali diingatkan beserta contoh nyatanya di depan saya. Berani berbicara apa yang seharusnya saya dan orang lain lakukan pada hal-hal yang semestinya dilakukan, adalah salah satu yang saya dapat.

Melaluinya juga saya menjadi lebih mengenal Jakarta, walau kami tak berkantor dan tinggal di Jakarta. Pengalaman masa kecil dan remaja serta tinggal lama di Jakarta, apalagi wartawan, menjadi penyebabnya. Topik tentang rute jalan, transportasi yang digunakan, hingga jalan-jalan tikusnya selalu menjadi obrolan yang menarik selama di perjalanan.

Maka atas semua itu, sudah sepatutnyalah saya berterima kasih kepada atasan, rekan kerja, teman diskusi, teman mengobrol santai, sekaligus teman bercanda saya itu. Dan mungkin tak berlebihan jika saya anggap juga sebagai guru dan mentor saya.

Terima kasih banyak, ayahnya Qisha dan Thara!

Jumat, 17 Oktober 2014

Ujian

Kita pasti pernah (dan mungkin masih) memiliki teman yang menjengkelkan; partner kerja yang tak dapat diandalkan; tetangga yang seringkali menyulut kemarahan; atau bahkan kerabat yang membuat kita tak nyaman. Kita kadang jengkel, kesal, marah, menggerutu, hingga mengeluh karena keberadaannya. Bahkan kalau bisa, kita ingin pergi jauh-jauh hingga tak dapat lagi bertemu. Padahal dengan dipertemukan dengan mereka, bisa jadi itu adalah ujian bagi kita: ujian kesabaran.

Satu waktu kita dipertemukan dengan teman semasa kecil dulu. Lama tak bertemu, banyak sekali perbedaan tampak dari ia yang dulu. Ia dianggap lebih berhasil dilihat dari karir dan ukuran materi. Lalu kita membandingkan pencapaian kita yang menurut kita begini-begini saja dengan ia yang melesat jauh meninggalkan kita. Hingga kemudian kita kadang mengutuki jalan hidup yang hingga saat ini telah dijalani. Kadang kita tak sadar bahwa kedatangannya kembali pada kehidupan, bagi kita adalah sebagai sebuah ujian: ujian kesyukuran.

Pada waktu lain mungkin kita kehilangan hal-hal yang amat kita sukai; benda-benda kesayangan yang dicuri; kepergian orang-orang yang begitu kita cintai –entah sementara atau selamanya; Lalu kita marah pada Tuhan karena ketidakadilan-Nya, versi kita. Hingga kadang kita dibuat lupa pada doa-doa yang kita inginkan, Allah jawab dengan sebuah ujian: ujian keikhlasan.

Sekali bahkan beberapa kali dalam hidup kita pasti pernah disakiti, dikhianati, dicaci, dimaki, dijauhi, diterlantarkan, dibuang, dihina oleh orang lain atau oleh orang terdekat bahkan. Hingga bisa jadi kita merasa manusia paling menderita dan malang yang pernah ada. Padahal itu pun pasti sebuah ujian: ujian kedewasaan. Ujian yang dapat membuat kita menjadi lebih kuat, lebih bijak, dan lebih tegar dan lebih siap menghadapi jalan hidup yang membentang di depan.

Pada orang-orang yang Allah dekatkan dengan kita, bisa jadi mereka adalah ujian: ujian kesabaran, kesyukuran, keikhlasan, kedewasaan, dan ujian-ujian lain.

Dengan mengirimkan mereka, mungkin itulah cara Allah membuat kita lebih sabar, lebih bersyukur, lebih ikhlas, lebih dewasa, lebih kuat, dan lebih bijak. Bisa jadi kan?

Kamis, 09 Oktober 2014

Mengapa Saat Ini Kita Bertemu?

Seperti halnya masa lalu, masa depan pun kadang datang tanpa pernah kita undang. Dengan seenaknya ia datang bersama kenangan sembari menebar harapan. Aku sesungguhnya tak peduli siapa dirimu; benarkah akan menjadi masa depanku atau hanya selintas datang lalu pergi begitu saja hingga mengkristal menjadi kenangan. Aku pun tak peduli akan menjadi apa dirimu di masa depanku nanti; sekedar teman atau menjadi seseorang yang begitu spesial hingga kematian datang. Aku hanya ingin bertanya, tidakkah kau datang setelah aku undang saja?
Rasa-rasanya kita terlalu awal untuk bertemu. Kau terlalu dini untuk datang pada kehidupanku. Aku belum belajar bagaimana menahan rindu. Aku juga belum tahu cara mengungkap cinta selain dengan doa. Aku bahkan belum tahu bagaimana menghadap pada ayah seorang wanita sebaya.
Kau tak pernah tahu ‘kan bagaimana rasanya dikoyak rindu yang kemudian berujung pilu?
Kau juga tak pernah merasa ‘kan bagaimana memendam rasa yang belum saatnya tiba?
Dan tentunya kau juga tak pernah tahu bagaimana perasaan lelaki saat memutuskan menghadap ayah seorang wanita yang padanya si lelaki menyimpan rasa?
Mungkin aku harus belajar lebih banyak untuk mencintaimu hanya dengan rindu.
Aku perlu waktu.

Selasa, 09 September 2014

Behind the Scene

Bagi saya, segala sesuatu yang alami tanpa dibuat-buat adalah indah. Pun begitu dalam mengambil gambar. Saya memiliki kesenangan tersendiri ketika mengambil momen-momen tak sadar kamera. Saya suka foto-foto candid.

Kamera adalah perpanjangan mata. Ia seperti mata kita. Maka apa yang ditangkap, selayaknya tanpa dibuat-buat, selayaknya tanpa direka-reka. Seperti halnya mata juga, tugas kamera mengambil lalu menyimpan. Jika mata mengabadikan momen dengan menyimpannya dalam memori hingga menjadi kenangan, maka kamera mengabadikannya dengan menyimpannya dalam gambar – yang pada akhirnya menjadi kenangan juga.*Ini apa-apaan bahas kenangan segala* #halah.

Intinya saya ingin menyampaikan, di perjalanan ke Baduy kemarin, saya berhasil mengabadikan beberapa momen yang tampak alami. Ketika teman-teman saya berfoto bersama terutama berfoto selfie – yang saat ini sedang ngetrend, saya abadikan momen-momen itu. Klik!

Yang unik bagi saya adalah ketika hasil foto momen mereka berselfie disandingkan dengan hasil foto selfie mereka.

Here are the pictures!

Scene 1
 
Scene 2
Scene 3
Rasa-rasanya masih banyak foto-foto candid yang berhasil saya ambil saat perjalan ke Baduy kemarin, baik yang selfie atau pun tidak. Tapi yang dapat disandingkan dengan hasil fotonya dan dianggap layak, hanya ini. Yah, namanya juga tak terencana. Wong saya kemarin ga bawa kamera. :D

Sabtu, 30 Agustus 2014

Berhenti Mengagumi

Aku mundur.
Takkan lagi berusaha membacamu seperti semenjak 56 bulan lalu.
Terima kasih.

Tertanda,
Yang pernah dan masih mengagumimu.

Kamis, 28 Agustus 2014

Definisi Bahagia

Sesederhana dapat kembali pergi ke Cibeo untuk ke-16 kalinya setelah sekian lama tak mengunjungi. Padahal bagi sebagian besar orang, pergi kesana adalah pengalaman hidup yang cukup sekali dijalani. Lalu aku, seperti tak pernah merasa cukup walau masuki bilang ke-100 suatu saat nanti.

Sesederhana dapat kembali memegang EOS 600D setelah sekian lama tak berjumpa. Selalu saja ada rasa bahagia saat mengintip sesuatu -atau seseorang, dari balik viewfinder kamera. Menangkap momen yang tak pernah bisa terulangi. Mengabadikan saat-saat yang tak dapat dilakukan lagi. Memindahkan bukti kebesaran Allah pada bentuk lain hingga dapat orang lain nikmati.

Sesederhana dapat kembali memunguti sampah plastik sepanjang jalan setapak dari Baduy Luar hingga Baduy Dalam dan sebaliknya. Rasa-rasanya saat ini aku memungutnya tak harus sesering dulu saat memulainya 3 tahun lalu. Semoga orang-orang memang semakin sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan alam yang Allah ciptakan.

Sesederhana dapat kembali beperjalanan bersama carrier kesayangan. Sudah lama sekali rasanya ia tak diajak jalan-jalan. Diajak merasakan teriknya matahari, teduhnya rimbunan dedaunan, lelahnya berjalan kaki 24 kilometer, terjebak pekat malam dalam hutan. Bersamanya aku selalu menikmati asiknya perjalanan. Teman perjalanan tak harus selalu orang bukan?

Sesederhana dapat bertemu kawan-kawan baru setelah selama ini hanya berjumpa di dunia maya. Beberapa di antaranya hanya tahu nama saja. Kau tahu kan rasanya bertemu teman-teman yang berbeda denganmu? Sikap, kebiasaan, dan karakter yang berbeda. Bahkan 180 derajat perbedaanya. Walau dalam beberapa hal kalian sama. Ah, bikin hidup lebih berwarna.

Sesederhana dapat melepaskan orang dari kesusahan dan kepayahannya. Berusaha menghilangkan beban dari pundak dan punggungnya –baik arti konotatif maupun dalam arti sebenarnya, semampu kita. Melihat orang lain senang karena bantuan kita kadang menjadi kebahagiaan yang sulit untuk diungkapkan.

Bagi setiap orang bahagia memiliki definisi tersendiri. Bagiku, bahagia sesederhana itu.

Minggu, 10 Agustus 2014

Ujian Kesyukuran

Ingin kuceritakan tentang sebuah nama: Khaerullah. Milik seorang sahabat, sekaligus seteru.

Masih tersimpan dalam ingatanku dulu, saat pertama kali kami bertemu. Ia selalu ingin menjadi yang pertama, sayangnya ada aku. Ia selalu ingin menjadi bintang seorang, sayangnya tak dapat sendirian. Ia ingin menjadi ketua di organisasi, tapi lagi-lagi ada aku. Sudah seperti batu sandungan saja aku dianggapnya.


Semua perseteruan yang kami alami tak menjadi alasan untuk bermusuhan. Bahkan sebaliknya. Semenjak kami sekelas, tak pernah sekalipun kami terpisah tempat duduk. Selama dua tahun di sisa hidup kami di sekolah menengah pertama, kami selalu berbagi meja. Kami bersaing sengit sekaligus berteman akrab. Kami berseteru namun berkawan dekat. Kemana-mana berdua. Bahkan sudah seperti sepasang kekasih saja. Pelajaran kesukaan kami sama, ekstrakurikuler yang kami ikuti sama, hobi kami sama, guru favorit kami juga sama. Perempuan yang kami puja saja tak sama. Kami adalah kawan tempat saling berbagi, bermain, bergurau, juga diskusi. Bersamaan dengan itu kami pun adalah rival abadi, hingga kini.


Sampai pada akhirnya selepas lulus SMP, ku ajak ia untuk kembali satu sekolah agar dapat duduk semeja. Ia menolak dengan jawaban: aku bosan menjadi nomor dua. Begitulah kira-kira jawabannya. Dan aku terima.


Benar saja, keinginannya terpenuhi: juara kelas, selalu rangking pertama, ketua organisasi sekolah, juara berbagai lomba, semua didapatkannya selama SMA. Walau pada satu kesempatan pada sebuah lomba tingkat kabupaten, kami bertemu mewakili sekolah masing-masing. Dan ia kembali menjadi nomor dua.


Bagiku ia adalah ujian. Ujian agar aku tak pongah dan takabur atas apa yang aku dapatkan. Agar aku tak sombong atas apa yang aku usahakan.


Berselang beberapa tahun kemudian, kami berpisah tanpa kabar. Ku temui kembali ia saat telah mengenakan toga di jurusan impiannya. Jurusan yang sesuai dengan pelajaran favorit kami dan sempat kami rebutkan saat olympiade SMA: Teknik Kimia. Sedangkan aku? Baru melewati setengah perjalanan untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku juga berada di jurusan yang tak pernah terbayangkan dan tak pernah dicita-citakan: Ekonomi Islam.


Dan ia kembali menjadi ujian. Ujian agar aku tak kufur nikmat atas apa yang telah Allah limpahkan. Agar tak membanding-bandingkan jalan hidup yang telah Allah gariskan.


Ada saat aku merasa menang, dan ada pula saat dimana aku merasa dikalahkan. Walau definisi menang-kalah dalam hal ini masih dalam perdebatan. Hingga akhirnya, pada hari ini aku merasa ia kembali menang. Memenangkan hati seseorang: wanita pujaan. Dan aku? Masih disini belum beranjak menemukanmu.


Maka atas semua ceritaku, sahabat sekaligus seteruku itu, adalah sebenar-benarnya ujian: ujian kesyukuran.