Selasa, 30 Desember 2014

Catatan Perjalanan (2)

Kita sepakat, beperjalanan menggunakan kereta api mengharuskan kita untuk membuang jauh-jauh kebiasaan telat. Jika tidak, silahkan katakan selamat jalan dan biarkan kereta api itu berangkat, tanpa peduli kita telah ikut atau tidak. Maka kecuali kau anak pejabat, jangan sekali-kali naik kereta (atau pesawat) datang terlambat.

Kita akan tahu, 12 orang yang berperjalanan dengan waktu 4 hari 3 malam dan destinasi yang tak hanya satu adalah hal yang akan merepotkan. Sungguh tidak mudah beradu argumentasi menyusun rencana perjalanan, berdebat pada perkara destinasi mana yang harus dikunjungi dan mana yang tidak, juga mana yang harus dituju lebih awal dan mana yang harus diakhirkan, dan semua perkara remeh temeh menyangkut dana selama di jalan. Maka kecuali kau terbiasa beperjalanan, menyusun itinerary dan tak menderita darah tinggi, jangan sekali-kali ikut serta beradu argumentasi.

Kita juga akan paham, dengan teman perjalanan sebanyak dan waktu selama itu di daerah orang, segalanya kadang tidak begitu saja menjadi mudah semudah yang dibayangkan. Akan ada hal-hal yang terjadi di luar dugaan saat sudah di jalan. Maka kecuali menggunakan jasa agen perjalanan atau dibentuk kepanitiaan, jangan sekali-kali beperjalanan dengan lebih dari 10 orang, durasi lebih dari 4 hari, dengan banyak destinasi yang dikunjungi.

Kita setuju, beperjalananan di musim hujan akan selalu banyak rencana yang akan batal atau direncanaulangkan. Cuaca kadang memang menjadi penghalang bagi kita untuk beperjalanan. Apalagi di daerah yang jelas-jelas telah diketahui terkena banjir dan hujan hampir setiap malam. Maka kecuali kau telah siap dengan segala kemungkinan, jangan sekali-kali memaksakan keinginan untuk beperjalanan di musim penghujan, apalagi masuk ke hutan.

Dalam beperjalanan kita yakin, duduk di samping abang sopir angkot akan memberi banyak pengetahuan yang jarang didapatkan. Maka kecuali kau introvert dan pemalu, jangan  sekali-kali duduk di depan bersama abang sopir dan diam saja tanpa mendapatkan apa-apa.

Kita akan mengerti, membatalkan atau mengubah rencana di detik-detik akhir melatih daya improvisasi yang kita miliki. Maka kecuali kau seorang yang punya imajinasi, jangan sekaili-kali membatalkan atau mengubah rencana yang telah disusun di detik-detik akhir eksekusi.

Kita juga akan sadar, beperjalanan dengan banyak orang akan ada ego yang kita pendam atau keinginan yang diurungkan. Teman perjalanan akan menentukan bagaimana mood kita sepanjang perjalanan. Kadang kita mesti pilih-pilih akan hal ini. Maka kecuali kau berjiwa toleransi tinggi dan pandai memaklumi, jangan sekali-kali merasa perjalanan milik sendiri dan mengajak teman-teman yang tak kau kenal benar.

Kita juga telah diajarkan, shalat jamak dan/atau qashar di perjalanan adalah keringanan yang ditawarkan dan bukan sebuah kewajiban untuk dilaksanakan. Maka kecuali kau menemukan dalil yang pasti tentang kewajiban jamak dan/atau qashar di perjalanan ini, jangan sekali-kali memaksakan apalagi menyalahkan dia yang tak menggunakannya dalam perjalanan. Mungkin shalat di bus atau kereta masih tabu di antara kita ya..

Pada akhirnya kita akan belajar, sesulit dan semudah apapun segala sesuatu, semua itu pasti akan berlalu dan menjadi pengalaman yang meninggalkan pelajaran. Maka kecuali kau tidak mau mendapatkan apa-apa, silahkan tidur dan berleha-leha saja di rumah.

Catatan Perjalanan (1)

“Tak ada yang diambil selain foto dan pelajaran. Tak ada yang ditinggalkan selain jejak dan kenangan.” – Seseorang dalam perjalanannya.

Perjalanan biasa dilakukan sendirian atau bersama-sama. Dengan keluarga, teman-teman, pasangan, atau pun orang yang baru dikenal. Tapi pada akhirnya kita akan setuju bahwa perjalanan bersama siapa pun akan menyenangkan dilakukan. (Orang menyebalkan menjadi pengecualian. :p)

Rasa-rasanya jarang sekali saya melakukan perjalanan dengan jumlah teman perjalanan lebih dari 3 orang: 11 orang, kecuali sedang membawa rombongan atau ikut open trip. Dengan teman perjalanan sebanyak itu, mungkin ukuran 4 hari 3 malam  menjadi terlalu lama bagi mereka yang tak biasa. Bahkan menjadi merepotkan ketika destinasi yang dituju lebih dari satu dan semuanya direncanakan sendiri dari awal pergi hingga pulang kembali. Beberapa destinasi di antaranya diputuskan di jalan.

Menjelajahi daerah yang tak satu pun dari kami pernah tinggal di dalamnya lebih dari seminggu, -bahkan ada yang baru mengunjungi, adalah hal yang tak mudah. Menyusun itinerary sendiri, berkendara tanpa kendaraan pribadi, tertinggal kereta api, agenda yang batal karena jarak dan cuaca, - atau hanya sekedar salah informasi dan riset kurang dalam, adu ide dan solusi menentukan tempat bermalam, hingga perkara dana untuk makan, sewa angkot atau pun ngeteng adalah bumbu yang hadir menghiasi perjalanan 4 hari kemarin.

Perjalanan bersama adalah arena latihan untuk mengendalikan ego setiap dari kita, melatih daya improvisasi yang kita punya, hingga mengenal lebih dekat satu sama lainnya. Dalam perjalanan bersama kita juga akan dipertontonkan berbagai macam pertunjukan sebagai bentuk pengejewantahan kepribadian seseorang. Kebiasaan-kebiasaan orang lain yang kadang bersitegang dan bersinggungan dengan kebiasaan kita akan kita saksikan. Lalu kita punya persepsi berbeda dengan yang selama ini kita punya terhadapnya. Makin mengenal dan berusaha memahami.
12 Laskar Pengembara
Akhirnya adalah tak salah pada Bandung kami menjatuhkan pilihan. Semoga ia dan segala yang telah dilalui selama 72 jam di sana menjadi pupuk persahabatan. Kita tahu sendiri mengelilingi Bandung, baik kabupaten atau pun kota tak cukup hanya 4 hari. Tapi saya yakin, Banjaran, Citeureup Indeung, Gunung Puntang, Air terjung Kahuripan, Kolam Cinta, Goa Belanda, Tebing Karaton, Masjid Raya, Jalan Asia Afrika, Jalan Braga, Taman Jomblo, Taman Cikapayang Dago, Lapangan Gasibu, Gedung Sate, Taman Lansia, Museum Geologi, Museum Pos, hingga stasiun Kiara Condong dan segala apa yang membersamainya, -termasuk abang sopir yang ngabodor sepanjang jalan, akan menjadikan semua yang ikut serta dalam perjalanan akan saling mengenal lebih baik dan lebih dalam dari sebelum-sebelumnya. Jika pun tidak, saya yakin ia telah memberikan efek pada masing-masing dari kita. Setidaknya kantong menjadi lebih tipis. :p

Maka persis seperti yang diucapkan seorang bijak: lakukanlah perjalanan, maka dengan itu kau akan tahu watak sebenarnya seorang teman.

Namun jika harus memilih, sejujurnya aku lebih nyaman beperjalanan sendiri. Walaupun pada akhirnya aku akan, dan harus beperjalanan tak sendirian. Ya, minimal berdua: denganmu.

Senin, 29 Desember 2014

Memuliakan atau Menghinakan

Makhluk bernama wanita selalu saja membuat para lelaki terpesona sekaligus tersiksa. Bagaimana tidak, dengan pesonanya ia selalu dapat memikat setiap mata. Dengan pesonanya pula, lelaki dibuat untuk pandai-pandai memendam, mengaduk, dan mengolah rasa. Mungkin untuk itu ia dicipta. Begitu juga kau padaku. Segala hal yang ada padamu selalu saja menjadi misteri. Berita tentangmu selalu saja menarik bagiku. Membuatku terkagum-kagum, terpesona, terpikat, lalu tak ada yang bisa dilakukan selain menyimpan. Diam-diam. Sesekali, terang-terangan.

Dulu jauh sebelum kita bertemu, tak pernah aku setersiksa ini menjalani rasa. Ingin memuliakan dengan menikahimu, aku belum mampu. Ingin menghinakan dengan memacarimu, aku tak mau. Tak ada yang dapat kuperbuat selain mengolah rasa rindu ini sendirian - hingga kadang tercampur dengan pilu. Tak dapat pula kujalani apapun selain dengan menunggu. Mempersiapkan segala hal untuk nanti datang menjemputmu. Semoga. Dengan penuh harap dan ucap pada Tuhan pemilik segala.

Ya, jika memang belum mampu memuliakan(nya), jangan sampai menghinakan(nya).

Rabu, 10 Desember 2014

Kebaikan Seorang Muslim

“Salah satu kebaikan dari seorang muslim ialah meninggalkan apa-apa yang tak bermanfaat baginya.” – Al-Hadits

Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi memungkinkan kita mengakses segala hal yang kita ingin dan tidak inginkan; berita yang kita butuh dan tidak butuhkan; konten yang pada kita mendatangkan dan tidak mendatangkan kebermanfaatan, dengan amat mudahnya. Tak mengenal batas usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, lintas batas negara, ras, dan suku bangsa, serta tak mengenal batas waktu. Kita dapat mengkses tanpa mengenal batas. Jika pun ada, batas itu sesungguhnya kita sendirilah yang harus menciptakannya.

Kita dihadapkan pada keadaan dimana begitu banyak hal yang sulit dihindari. Disajikan dengan banyaknya informasi tanpa adanya filtrasi. Saat menonton televisi kita disuguhkan berita-berita yang cenderung tak objektif, acara infotainment yang sudah tak mengindahkan norma dan etika, reality show yang menyajikan hal-hal yang bagi saya sedikit –untuk mengatakan tidak, mengandung makna. Bukan maksud mengeneralisir, tapi itulah yang sebagian besar terjadi. Pun begitu saat membuka internet. Iklan-iklan tak layak memenuhi layar, konten-konten dewasa ada dimana-mana, berita-berita yang jauh dari kaidah jurnalistik muncul dengan mudahnya, status-status facebook yang mungkin tak perlu kita ketahui kemungkinan besar akan kita baca, twitwar yang kadang tanpa mengindahkan etika dan penuh cela bisa muncul begitu saja di linimasa.

Melalui itu semua, barangkali kita menjadi terlalu banyak tahu  hal yang tak semestinya kita ketahui. Isi kepala kita dipenuhi hal-hal yang sesungguhnya tak terlalu mendatangkan manfaat bagi diri kita sendiri. Semakin banyak tahu hal yang tak semestinya kita ketahui, pada akhirnya menjadi penyebab bagi sebagian besar dari kita mengapa begitu sering merasa gelisah,  merasa terlalu banyak pikiran, sulit fokus dan berkonsentrasi. Produktifitas kerja, amal dan ibadah menjadi terpengaruh jua.

Satu-satunya cara untuk menghentikannya ialah dengan mematikan segala hal yang berhubungan dengan itu semua. Tapi rasa-rasanya cukup sulit melihat pada zaman dimana kita saat ini berada. Pada akhirnya, mungkin pesan dari junjungan kita patut kita renungkan dan laksanakan: min husnil islamil mar’i tarkuhu maa laa ya’nihi. Bahwa meninggalkan apa-apa yang tak bermanfaat bagi kita sebagai seorang muslim, adalah salah satu kebaikan bagi kita.

Segala sesuatu yang hendak kita lakukan, jalani, ambil, seharusnya kita pikirkan terlebih dahulu apakah akan mendatangkan manfaat atau tidak, memiliki nilai guna atau tidak, atau hanya akan mendatangkan kemudharatan, menimbulkan kedengkian, dendam, hasad, dan hasut yang kesemuanya justru mengantarkan pada kesia-siaan.

Bahkan di media sosial yang saat ini begitu akrab dengan keseharian pun, kita dituntut untuk dapat menerapkan itu. Ketika posting, upload, shared foto, share link, baca link berita, atau apapun itu. Selama dirasa tak bermanfaat dan justru mendatangkan kemudharatan, maka alangkah lebih baik kita tinggalkan. Karena dengan begitu bukankah dapat menjadi kebaikan?

Minggu, 30 November 2014

Antara Desa dan Kota

Kota, terutama Jakarta sebagi metropolitan, selalu membuat terpesona manusia-manusia Indonesia. Pun begitu mungkin dengan penduduk di belahan bumi lain pada kota-kota metropolitan di negaranya. Kota selalu menjadi magnet dan alasan untuk orang-orang desa mendatanginya, bahkan kemudian mencintainya. Untuk yang terakhir, saya termasuk di dalamnya. Saya mencintai kota. Sungguh. Saya mencintai Jakarta, Bandung, Semarang, dan tak lupa Yogyakarta. Pada keempat kota saja itu dulu saya setidaknya menyatakan cinta. Jakarta terutama. Untuk ukuran orang yang tak tinggal dan bekerja di sana, intensitas kunjungan saya bisa dikatakan cukup sering. Minimal seminggu sekali. Entah itu sengaja mengikuti satu dua kegiatan, sekedar jalan dan liburan, atau hanya sekedar lewat karena hendak ke Bekasi atau Bogor misalnya. Iitu cukup membuat saya hafal beberapa rute dan jalanan-jalanan Jakarta.

Walaupun begitu, hingga saat ini, sama sekali tak pernah terlintas dalam diri untuk bekerja apalagi tinggal dan menetap di Jakarta. Entahlah. Tapi tak sedikit pun berpikir ke sana. Bekerja dan tinggal di daerah penyokong sudah membuat saya begitu bahagia. Sesekali berkereta, naik busway, angkutan umum lain, atau berjalan kaki di Jakarta amatlah saya nikmati. Namun megahnya metropolitan, indah dan rapinya tata kota di sana, tetap tak membuat saya berpikir untuk menetap di dalamnya.

Ada yang lebih saya cintai dan nikmati: kembali ke desa. Semenjak dulu saya mencintai desa. Mungkin desa bisa disebut sebagai cinta pertama saya. Desa dengan segala kesederhanaanya, dapat memalingkan saya dari kemegahan gedung-gedung pencakar langit kota. Ia dengan hamparan sawah dan sungai-sungainya (baik sungai kecil atau besar) selalu berhasil membuat saya terpesona.

Tapi bagaimanapun juga, saya tetap mencintai kota. Ia tetap akan menjadi warna dalam kehidupan seseorang yang ingin sekali tinggal di desa. Mungkin ini seperti adagium lama yang berbunyi, mencintai tak harus memiliki. Tinggal dan bekerja di desa, hidup sederhana dengan gaya orang desa, namun berpikiran maju (yang katanya) selayaknya orang-orang kota, dan dapat dengan mudahnya bepergian ke kota, adalah mimpi ideal saya.

Terlepas dari itu semua, tak menutup kemungkinan jika pada suatu keadaan di masa depan, saya terpaksa harus ke kota. (Walau itu tak saya harapkan). Jalan hidup tak ada yang  tahu. Karena bagi saya, rencana hidup selalu dinamis. Sedinamis track record jalan hidup yang selama ini selalu tak terduga. Yang terpenting ialah mimpi untuk menjadi manusia bermanfaat sepanjang hayat harus tetap menjadi tekad.

Kamis, 27 November 2014

Bogor - Pandeglang

“Yakin mau lewat sana? Jalur sana tanjakannya serem-serem lho.” Seorang kawan mengingatkan sebelum perjalanan dimulai. Awalnya memang membuat nyali sedikit bergeming. Apalagi setelah menjelaskan jalur yang kami bicarakan terlalu berbahaya dilewati dengan bersepeda. Selain karena sepanjang jalan adalah lebih banyak hutan, juga karena banyaknya mobil-mobil besar yang seringkali lewat jalur yang akan saya lalui. Tapi mengingat ini adalah rencana yang sempat tertunda berkali-kali, kembali saya bulatkan tekad untuk melanjutkan perjalanan ini, seorang diri.

Dengan bismillah, pagi-pagi buta selepas shubuh saya berangkat. Setelah mampir sebentar di Darmaga dan mengayuh beberapa jam lamanya, barulah apa yang diceritakan mulai terasa. Sesungguhnya jauh sebelum ini pun saya pernah melewati jalur ini. Bedanya dulu menggunakan kendaraan umum. Sepanjang perjalanan biasanya saya tertidur pulas karena perjalanan yang cukup panjang. Maka ketika kali ini bersepeda, tak ada kesempatan sedikit pun untuk dapat tidur atau berleha-leha karena berburu dengan waktu untuk menyelesaikan perjalanan hingga sampai tujuan: rumah di Pandeglang.

Selama perjalanan, berkelebatlah segala hal yang justru membuat saya semakin semangat: kelelahan di jalan, ditodong begal, dicuri (atau mungkin diculik? :D), terserempet atau bahkan tertabrak truk atau bus, lalu tak ada yang tahu, dibiarkan begitu saja di pinggir jalan hingga enath kapan ditemukan. Apalagi ponsel saya mati semenjak perjalanan dimulai. Dan celakanya saya sama sekali tidak memberitahu orang tua saya tentang perjalanan ini.

Tapi semua kelabat itu terobati oleh pemandangan yang begitu memanjakan mata: hamparan hijaunya persawahan, bentangan kebun kelapa sawit sejauh mata memandang, kontur perbukitan dengan kelokan jalannya sebagai hiasan, tanjakan-tanjakan dan turunan-turunan curam, hutan yang termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak sepanjang sisi bahu jalan, berselang-seling dengan satu dua pedesaan. Maha karya Allah yang amat mempesona. Dan semua itu membuat saya menikmati perjalanan.
Bentangan perkebunan kelapa sawit menjadi backround
Hujan yang mengguyur di seperempat perjalanan terakhir mengulurkan jadwal yang sudah tersusun rapi dalam kepala. Setelah kemaghriban di perjalanan dari Rangkas, akhirnya saya dapat menyelesaikan perjalanan yang sudah lama saya rencanakan ini: bersepeda Bogor-Pandeglang.

Untuk seseorang yang baru 3 tahun memiliki sepeda, mungkin jarak 124 km ditempuh seharian cukup membahagiakan diri sendiri. Saya bahkan  sempat tak percaya bisa menempuh 124 km dalam sehari. Apalagi jalur yang saya tempuh berkelok-kelok, penuh tanjakan dan turunan yang curam. Maka setelah melalui semua, kini waktunya beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan selanjutnya.

Minggu, 09 November 2014

Pilihan

Sekali pilihan telah ditetapkan, pantang sesungguhnya kita menyesali pada apa-apa yang telah kita pilih dan putuskan. Karena dari sana akan timbul pengandaian. Dan junjungan kita Rasulullah SAW melarang kita untuk mengandaikan pada apa-apa yang telah kita lalui di masa lalu, termasuk keputusan-keputusan yang telah kita buat. Andai aku dulu memilih ini, mungkin akan begini; andai aku dulu tak mengambil ini, bisa saja terjadi ini.

Segala yang telah kita putuskan, walaupun merasa mutlak itu adalah keputusan kita sendiri, sesungguhnya pada itu ada yang menggerakkan kita pada yang kita pilih, disadari atau tidak disadari. Maka sesungguhnya, menyesali sebuah keputusan dan mengandaikan pada yang telah terjadi, bisa menimbulkan rasa ketidakbersyukuran atas apa yang Allah cenderung pilihkan. Ah, aku sudah seperti Jabariyah saja dalam hal ini. Tapi aku tak menganut itu, sungguh. Bagiku, ada lahan yang Allah sediakan pada kita untuk memilih, dan ada pula lahan yang memang kita tak diberi pilihan sama sekali. Dalam hal ini, aku jadi Asy’ariyah sepertinya ya? Pada lahan yang pertama itu kita dianjurkan untuk meminta dipilihkan oleh-Nya melalui apa yang disebut istikhoroh. Istikhoroh adalah tentang pengakuan kelemahan kita pada apa-apa yang tak bisa kita ambil keputusannya sendirian.

Pada akhirnya nanti, kita akan tiba pada masa dimana kita tetap pada pilihan-pilihan yang telah kita putuskan, meskipun ada tawaran untuk mengulang waktu kembali pada masa lalu. Di sanalah kita akan sadar betapa rencana Allah begitu indah atas setiap makhluk ciptaan-Nya. Betapa skenario yang dibuat-Nya amatlah cerdas bagi semua makhluk yang ada. Dari sanalah kita belajar tentang kebersyukuran.

Terlepas dari kita menganut faham Asy’ariyah, Qodariah bahkan Jabariyah, kita tetap butuh Allah untuk memilihkan.

Maka bagi saya selain kumpulan doa-doa, kita saat ini adalah kumpulan keputusan pilihan-pilihan kita di masa lalu.