Senin, 19 Januari 2015

Niat

“Boleh jadi amalan kecil menjadi besar pahalanya disebabkan niat. Dan boleh jadi amalan besar menjadi kecil pahalanya hanya karena niat.” ¬ Abdullah bin Mubarak
Setelah perkara iman, dalam pembahasan hadits, niat selalu diutamakan dalam penyampaian. Persis seperti thaharah dalam pembahasan fiqih ibadah. Ini menggambarkan begitu besar dan penting keduanya. Kebersihan diri dengan thaharah mengawali segala bentuk ibadah (mahdhoh), dan kebersihan hati dengan niat mengawali segala bentuk perbuatan.

Perkara niat kadang terlihat sepele memang, tetapi niat dan iman amatlah berkaitan. Bahkan perkara yang terlihat kecil ini dapat saja menjadi tolak ukur ketauhidan seseorang. Melibatkan Allah dalam setiap niat yang diikrarkan, akan disertai dengan cara-cara yang baik pada apa yang akan, sedang dan telah dikerjakan. Niat tak sekedar hanya nawaitu dalam pelafalan. Ia terikrar di hati yang paling dalam. Maka perkara niat tak ada yang lebih tahu dari pemilik hati itu sendiri dan tentunya Sang Maha Pembolak-balik hati.

Niat menentukan apa yang kita dapat. Terutama bagi hal-hal yang tak terlihat, yang menyangkut perkara-perkara akhirat. Sebut saja pahala. Shalat yang disertai dengan riya, mana iya ia berpahala. Tapi makan sebagai rutinitas sehari-hari jika juga diniatkan sebagai bagian dari ibadah, bukan tak mungkin pahala mengalir setiap hari darinya. Pun begitu setiap kali akan mengambil keputusan. Jika yang kita kerjakan akan diniatkan untuk sesuatu, maka pada apa diniatkannya itulah yang akan kita dapat. Sekolah kita, ya hanya akan mendapat nilai jika diniatkan untuk mencari nilai. Interaksi sosial kita, ya hanya akan mendapat popularitas jika diniatkan mencari popularitas. Kerja kita, ya hanya akan mendapatkan uang jika diniatkan semata-mata mencari uang. Mengingat semua ini kita patut berhati-hati. Niat ini berpengaruh pada ke depannya nanti.

Terlepas dari letak niat di tiga tempat sebagaimana pernah kita ketahui: sebelum berbuat, di tengah-tengah, dan atau setelahnya; tetaplah sebelum menjalani apa yang akan kita lalui, yakinkan bahwa kita telah memperbaiki niat ini. Hingga pada apa pun yang terjadi di depan nanti, ada Allah yang senantiasa membersamai. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri di masa depan jika tanpa menyematkan nama-Nya dalam setiap niat yang kita ikrarkan. Kita juga tak pernah tahu jalan yang akan ditempuh akan sampai atau tidak. Tapi yang jelas, niat pada apa yang dijalani telah dibenarkan. Hingga jika pun tak membuahkan hasil di dunia, dengan perantara niat kita bisa mendapat hasilnya di akhirat nantinya.

Niat, sekali lagi adalah pekerjaan hati. Dan selalu saja, yang melibatkan hati menjadi rumit sekali. Perkara hati kadang memang sulit mendapatkan titik temunya. Tapi terus berusaha adalah hal terbaik yang kita punya. Lurukan niat, sempurnakan ikhtiar, lalu bertawakkallah dengan do’a. Begitu kan seharusnya kita?

Senin, 12 Januari 2015

Ambisius pada Harta

Aku tak terlalu suka dengan orang-orang yang begitu ambisius dalam mengejar harta. Begitulah sebuah deklarasi dariku semenjak dulu. Ketidaksukaanku pada golongan orang-orang seperti itu pernah mengalami puncaknya pada satu waktu di masa lalu. Saat mereka yang dekat denganku mengejar harta sebanyak-banyaknya. Menumpuk pundi-pundi rupiah setinggi-tingginya. Mengejar nominal tertentu sejadi-jadinya. Lalu memperlihatkannya sebagai ukuran kesuksesan pada semua orang, padaku juga. Cir!

Lebih spesifiknya lagi aku berani menggambarkan bahwa itu membuat mereka makin materialistis saja. Mengejar segala tanpa pernah berfikir apakah mereka bahagia menjalaninya atau tidak. Dan tanpa pernah peduli apakah mereka perlu dan butuh itu semua, ataukah hanya menaikkan gengsi atas dasar ego semata?

Dan tahukah kau, akhir-akhir ini aku sepertinya mulai sedikit terjangkiti. Ah, jangan sampai. Inginku mengadu pada Tuhan tentang perkara ini. Bolehkah aku tak dipusingkan oleh perkara materi? Sungguh aku benci. Tak adakah yang bisa kulakukan tanpa terbelenggu persoalan harta? Sungguh aku tak suka. Telah tibakah masa idealismeku harus dikalahkan dengan realita? Sungguh aku tak mau.

Aku selalu membayangkan, di jaman Rasulullah sepertinya hal ini tak terlalu menjadi perhatian. Iya ada yang kaya dan ada yang tak punya. Tapi itu tetap tak menjadi pusat perhatian dan bukan permasalahan. Iman tetap menjadi acuan. Perkara berlomba mengumpulkan amal daripada harta sepertinya indah sekali. Apa aku pergi ke jaman itu saja? Selain bisa hidup bersama beliau dan  para sahabat, akan begitu mudahnya apa-apa yang berkaitan dengan harta. Aku bisa membayangkannya, mungkin seperti kehidupan di Baduy sana. Bekerja mencari nafkah tak terlalu kompleks terlihatnya. Pendidikan anak tak harus dipusingkan dengan sekolah berbiaya tinggi. Kejar-mengejar harta dan kompetisi dalam karir kerja tak ada. Untuk menikah dan tak punya harta, cukup bermahar dengan apa yang kita punya dan hafalan pun tak apa. Tak ada pesta-pesta penuh pora.

Atau aku menjadi burung saja yang pergi pagi dengan perut kosong dan pulang sore dengan perut terisi. Tanpa khawatir besok makan apa, beli dimana, di warung mana, jalan-jalan kemana, beli apa untuk kebutuhan ini dan itu. Tanpa cemas pula bulan ini harus bayar listrik, kontrakan, segala jenis cicilan, air, dan tagihan lainnya. Tanpa khawatir butuh berapa biaya untuk sekolah, menikah, beranak-pinak, dan mati, -yang kini pun perlu biaya. Tapi jikakah aku meminta semua itu, iyakah itu menjadi rasa ketidakbersyukuranku?

Barangkali, setiap jaman punya masanya. Ini jamanku, masa dimana materi menjadi ukuran bahkan segalanya. Mau bagaimana lagi. Mau tak mau, harus dihadapi. Walau harus menghadapi kesan bahwa orang berharta seperti punya segalanya, dan sebaliknya. Pun setiap penciptaan ada konsekuensinya. Dan ini adalah konsekuensi sebagai manusia. Makhluk sempurna yang Allah amanahkan menjadi khalifah di dunia. Mengharuskan mempergunakan akal yang ia punya untuk dapat hidup, hingga kembali ke asalnya di akhirat sana.

Semoga amalku dan amalmu terkumpul lebih banyak dari harta yang kita punya. Dan itu menolong kita kembali kepadaNya suatu hari nanti. Semoga.

Selasa, 30 Desember 2014

Catatan Perjalanan (2)

Kita sepakat, beperjalanan menggunakan kereta api mengharuskan kita untuk membuang jauh-jauh kebiasaan telat. Jika tidak, silahkan katakan selamat jalan dan biarkan kereta api itu berangkat, tanpa peduli kita telah ikut atau tidak. Maka kecuali kau anak pejabat, jangan sekali-kali naik kereta (atau pesawat) datang terlambat.

Kita akan tahu, 12 orang yang berperjalanan dengan waktu 4 hari 3 malam dan destinasi yang tak hanya satu adalah hal yang akan merepotkan. Sungguh tidak mudah beradu argumentasi menyusun rencana perjalanan, berdebat pada perkara destinasi mana yang harus dikunjungi dan mana yang tidak, juga mana yang harus dituju lebih awal dan mana yang harus diakhirkan, dan semua perkara remeh temeh menyangkut dana selama di jalan. Maka kecuali kau terbiasa beperjalanan, menyusun itinerary dan tak menderita darah tinggi, jangan sekali-kali ikut serta beradu argumentasi.

Kita juga akan paham, dengan teman perjalanan sebanyak dan waktu selama itu di daerah orang, segalanya kadang tidak begitu saja menjadi mudah semudah yang dibayangkan. Akan ada hal-hal yang terjadi di luar dugaan saat sudah di jalan. Maka kecuali menggunakan jasa agen perjalanan atau dibentuk kepanitiaan, jangan sekali-kali beperjalanan dengan lebih dari 10 orang, durasi lebih dari 4 hari, dengan banyak destinasi yang dikunjungi.

Kita setuju, beperjalananan di musim hujan akan selalu banyak rencana yang akan batal atau direncanaulangkan. Cuaca kadang memang menjadi penghalang bagi kita untuk beperjalanan. Apalagi di daerah yang jelas-jelas telah diketahui terkena banjir dan hujan hampir setiap malam. Maka kecuali kau telah siap dengan segala kemungkinan, jangan sekali-kali memaksakan keinginan untuk beperjalanan di musim penghujan, apalagi masuk ke hutan.

Dalam beperjalanan kita yakin, duduk di samping abang sopir angkot akan memberi banyak pengetahuan yang jarang didapatkan. Maka kecuali kau introvert dan pemalu, jangan  sekali-kali duduk di depan bersama abang sopir dan diam saja tanpa mendapatkan apa-apa.

Kita akan mengerti, membatalkan atau mengubah rencana di detik-detik akhir melatih daya improvisasi yang kita miliki. Maka kecuali kau seorang yang punya imajinasi, jangan sekaili-kali membatalkan atau mengubah rencana yang telah disusun di detik-detik akhir eksekusi.

Kita juga akan sadar, beperjalanan dengan banyak orang akan ada ego yang kita pendam atau keinginan yang diurungkan. Teman perjalanan akan menentukan bagaimana mood kita sepanjang perjalanan. Kadang kita mesti pilih-pilih akan hal ini. Maka kecuali kau berjiwa toleransi tinggi dan pandai memaklumi, jangan sekali-kali merasa perjalanan milik sendiri dan mengajak teman-teman yang tak kau kenal benar.

Kita juga telah diajarkan, shalat jamak dan/atau qashar di perjalanan adalah keringanan yang ditawarkan dan bukan sebuah kewajiban untuk dilaksanakan. Maka kecuali kau menemukan dalil yang pasti tentang kewajiban jamak dan/atau qashar di perjalanan ini, jangan sekali-kali memaksakan apalagi menyalahkan dia yang tak menggunakannya dalam perjalanan. Mungkin shalat di bus atau kereta masih tabu di antara kita ya..

Pada akhirnya kita akan belajar, sesulit dan semudah apapun segala sesuatu, semua itu pasti akan berlalu dan menjadi pengalaman yang meninggalkan pelajaran. Maka kecuali kau tidak mau mendapatkan apa-apa, silahkan tidur dan berleha-leha saja di rumah.

Catatan Perjalanan (1)

“Tak ada yang diambil selain foto dan pelajaran. Tak ada yang ditinggalkan selain jejak dan kenangan.” – Seseorang dalam perjalanannya.

Perjalanan biasa dilakukan sendirian atau bersama-sama. Dengan keluarga, teman-teman, pasangan, atau pun orang yang baru dikenal. Tapi pada akhirnya kita akan setuju bahwa perjalanan bersama siapa pun akan menyenangkan dilakukan. (Orang menyebalkan menjadi pengecualian. :p)

Rasa-rasanya jarang sekali saya melakukan perjalanan dengan jumlah teman perjalanan lebih dari 3 orang: 11 orang, kecuali sedang membawa rombongan atau ikut open trip. Dengan teman perjalanan sebanyak itu, mungkin ukuran 4 hari 3 malam  menjadi terlalu lama bagi mereka yang tak biasa. Bahkan menjadi merepotkan ketika destinasi yang dituju lebih dari satu dan semuanya direncanakan sendiri dari awal pergi hingga pulang kembali. Beberapa destinasi di antaranya diputuskan di jalan.

Menjelajahi daerah yang tak satu pun dari kami pernah tinggal di dalamnya lebih dari seminggu, -bahkan ada yang baru mengunjungi, adalah hal yang tak mudah. Menyusun itinerary sendiri, berkendara tanpa kendaraan pribadi, tertinggal kereta api, agenda yang batal karena jarak dan cuaca, - atau hanya sekedar salah informasi dan riset kurang dalam, adu ide dan solusi menentukan tempat bermalam, hingga perkara dana untuk makan, sewa angkot atau pun ngeteng adalah bumbu yang hadir menghiasi perjalanan 4 hari kemarin.

Perjalanan bersama adalah arena latihan untuk mengendalikan ego setiap dari kita, melatih daya improvisasi yang kita punya, hingga mengenal lebih dekat satu sama lainnya. Dalam perjalanan bersama kita juga akan dipertontonkan berbagai macam pertunjukan sebagai bentuk pengejewantahan kepribadian seseorang. Kebiasaan-kebiasaan orang lain yang kadang bersitegang dan bersinggungan dengan kebiasaan kita akan kita saksikan. Lalu kita punya persepsi berbeda dengan yang selama ini kita punya terhadapnya. Makin mengenal dan berusaha memahami.
12 Laskar Pengembara
Akhirnya adalah tak salah pada Bandung kami menjatuhkan pilihan. Semoga ia dan segala yang telah dilalui selama 72 jam di sana menjadi pupuk persahabatan. Kita tahu sendiri mengelilingi Bandung, baik kabupaten atau pun kota tak cukup hanya 4 hari. Tapi saya yakin, Banjaran, Citeureup Indeung, Gunung Puntang, Air terjung Kahuripan, Kolam Cinta, Goa Belanda, Tebing Karaton, Masjid Raya, Jalan Asia Afrika, Jalan Braga, Taman Jomblo, Taman Cikapayang Dago, Lapangan Gasibu, Gedung Sate, Taman Lansia, Museum Geologi, Museum Pos, hingga stasiun Kiara Condong dan segala apa yang membersamainya, -termasuk abang sopir yang ngabodor sepanjang jalan, akan menjadikan semua yang ikut serta dalam perjalanan akan saling mengenal lebih baik dan lebih dalam dari sebelum-sebelumnya. Jika pun tidak, saya yakin ia telah memberikan efek pada masing-masing dari kita. Setidaknya kantong menjadi lebih tipis. :p

Maka persis seperti yang diucapkan seorang bijak: lakukanlah perjalanan, maka dengan itu kau akan tahu watak sebenarnya seorang teman.

Namun jika harus memilih, sejujurnya aku lebih nyaman beperjalanan sendiri. Walaupun pada akhirnya aku akan, dan harus beperjalanan tak sendirian. Ya, minimal berdua: denganmu.

Senin, 29 Desember 2014

Memuliakan atau Menghinakan

Makhluk bernama wanita selalu saja membuat para lelaki terpesona sekaligus tersiksa. Bagaimana tidak, dengan pesonanya ia selalu dapat memikat setiap mata. Dengan pesonanya pula, lelaki dibuat untuk pandai-pandai memendam, mengaduk, dan mengolah rasa. Mungkin untuk itu ia dicipta. Begitu juga kau padaku. Segala hal yang ada padamu selalu saja menjadi misteri. Berita tentangmu selalu saja menarik bagiku. Membuatku terkagum-kagum, terpesona, terpikat, lalu tak ada yang bisa dilakukan selain menyimpan. Diam-diam. Sesekali, terang-terangan.

Dulu jauh sebelum kita bertemu, tak pernah aku setersiksa ini menjalani rasa. Ingin memuliakan dengan menikahimu, aku belum mampu. Ingin menghinakan dengan memacarimu, aku tak mau. Tak ada yang dapat kuperbuat selain mengolah rasa rindu ini sendirian - hingga kadang tercampur dengan pilu. Tak dapat pula kujalani apapun selain dengan menunggu. Mempersiapkan segala hal untuk nanti datang menjemputmu. Semoga. Dengan penuh harap dan ucap pada Tuhan pemilik segala.

Ya, jika memang belum mampu memuliakan(nya), jangan sampai menghinakan(nya).

Rabu, 10 Desember 2014

Kebaikan Seorang Muslim

“Salah satu kebaikan dari seorang muslim ialah meninggalkan apa-apa yang tak bermanfaat baginya.” – Al-Hadits

Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi memungkinkan kita mengakses segala hal yang kita ingin dan tidak inginkan; berita yang kita butuh dan tidak butuhkan; konten yang pada kita mendatangkan dan tidak mendatangkan kebermanfaatan, dengan amat mudahnya. Tak mengenal batas usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, lintas batas negara, ras, dan suku bangsa, serta tak mengenal batas waktu. Kita dapat mengkses tanpa mengenal batas. Jika pun ada, batas itu sesungguhnya kita sendirilah yang harus menciptakannya.

Kita dihadapkan pada keadaan dimana begitu banyak hal yang sulit dihindari. Disajikan dengan banyaknya informasi tanpa adanya filtrasi. Saat menonton televisi kita disuguhkan berita-berita yang cenderung tak objektif, acara infotainment yang sudah tak mengindahkan norma dan etika, reality show yang menyajikan hal-hal yang bagi saya sedikit –untuk mengatakan tidak, mengandung makna. Bukan maksud mengeneralisir, tapi itulah yang sebagian besar terjadi. Pun begitu saat membuka internet. Iklan-iklan tak layak memenuhi layar, konten-konten dewasa ada dimana-mana, berita-berita yang jauh dari kaidah jurnalistik muncul dengan mudahnya, status-status facebook yang mungkin tak perlu kita ketahui kemungkinan besar akan kita baca, twitwar yang kadang tanpa mengindahkan etika dan penuh cela bisa muncul begitu saja di linimasa.

Melalui itu semua, barangkali kita menjadi terlalu banyak tahu  hal yang tak semestinya kita ketahui. Isi kepala kita dipenuhi hal-hal yang sesungguhnya tak terlalu mendatangkan manfaat bagi diri kita sendiri. Semakin banyak tahu hal yang tak semestinya kita ketahui, pada akhirnya menjadi penyebab bagi sebagian besar dari kita mengapa begitu sering merasa gelisah,  merasa terlalu banyak pikiran, sulit fokus dan berkonsentrasi. Produktifitas kerja, amal dan ibadah menjadi terpengaruh jua.

Satu-satunya cara untuk menghentikannya ialah dengan mematikan segala hal yang berhubungan dengan itu semua. Tapi rasa-rasanya cukup sulit melihat pada zaman dimana kita saat ini berada. Pada akhirnya, mungkin pesan dari junjungan kita patut kita renungkan dan laksanakan: min husnil islamil mar’i tarkuhu maa laa ya’nihi. Bahwa meninggalkan apa-apa yang tak bermanfaat bagi kita sebagai seorang muslim, adalah salah satu kebaikan bagi kita.

Segala sesuatu yang hendak kita lakukan, jalani, ambil, seharusnya kita pikirkan terlebih dahulu apakah akan mendatangkan manfaat atau tidak, memiliki nilai guna atau tidak, atau hanya akan mendatangkan kemudharatan, menimbulkan kedengkian, dendam, hasad, dan hasut yang kesemuanya justru mengantarkan pada kesia-siaan.

Bahkan di media sosial yang saat ini begitu akrab dengan keseharian pun, kita dituntut untuk dapat menerapkan itu. Ketika posting, upload, shared foto, share link, baca link berita, atau apapun itu. Selama dirasa tak bermanfaat dan justru mendatangkan kemudharatan, maka alangkah lebih baik kita tinggalkan. Karena dengan begitu bukankah dapat menjadi kebaikan?

Minggu, 30 November 2014

Antara Desa dan Kota

Kota, terutama Jakarta sebagi metropolitan, selalu membuat terpesona manusia-manusia Indonesia. Pun begitu mungkin dengan penduduk di belahan bumi lain pada kota-kota metropolitan di negaranya. Kota selalu menjadi magnet dan alasan untuk orang-orang desa mendatanginya, bahkan kemudian mencintainya. Untuk yang terakhir, saya termasuk di dalamnya. Saya mencintai kota. Sungguh. Saya mencintai Jakarta, Bandung, Semarang, dan tak lupa Yogyakarta. Pada keempat kota saja itu dulu saya setidaknya menyatakan cinta. Jakarta terutama. Untuk ukuran orang yang tak tinggal dan bekerja di sana, intensitas kunjungan saya bisa dikatakan cukup sering. Minimal seminggu sekali. Entah itu sengaja mengikuti satu dua kegiatan, sekedar jalan dan liburan, atau hanya sekedar lewat karena hendak ke Bekasi atau Bogor misalnya. Iitu cukup membuat saya hafal beberapa rute dan jalanan-jalanan Jakarta.

Walaupun begitu, hingga saat ini, sama sekali tak pernah terlintas dalam diri untuk bekerja apalagi tinggal dan menetap di Jakarta. Entahlah. Tapi tak sedikit pun berpikir ke sana. Bekerja dan tinggal di daerah penyokong sudah membuat saya begitu bahagia. Sesekali berkereta, naik busway, angkutan umum lain, atau berjalan kaki di Jakarta amatlah saya nikmati. Namun megahnya metropolitan, indah dan rapinya tata kota di sana, tetap tak membuat saya berpikir untuk menetap di dalamnya.

Ada yang lebih saya cintai dan nikmati: kembali ke desa. Semenjak dulu saya mencintai desa. Mungkin desa bisa disebut sebagai cinta pertama saya. Desa dengan segala kesederhanaanya, dapat memalingkan saya dari kemegahan gedung-gedung pencakar langit kota. Ia dengan hamparan sawah dan sungai-sungainya (baik sungai kecil atau besar) selalu berhasil membuat saya terpesona.

Tapi bagaimanapun juga, saya tetap mencintai kota. Ia tetap akan menjadi warna dalam kehidupan seseorang yang ingin sekali tinggal di desa. Mungkin ini seperti adagium lama yang berbunyi, mencintai tak harus memiliki. Tinggal dan bekerja di desa, hidup sederhana dengan gaya orang desa, namun berpikiran maju (yang katanya) selayaknya orang-orang kota, dan dapat dengan mudahnya bepergian ke kota, adalah mimpi ideal saya.

Terlepas dari itu semua, tak menutup kemungkinan jika pada suatu keadaan di masa depan, saya terpaksa harus ke kota. (Walau itu tak saya harapkan). Jalan hidup tak ada yang  tahu. Karena bagi saya, rencana hidup selalu dinamis. Sedinamis track record jalan hidup yang selama ini selalu tak terduga. Yang terpenting ialah mimpi untuk menjadi manusia bermanfaat sepanjang hayat harus tetap menjadi tekad.