Selasa, 30 Juni 2015

Teman Perjalanan

Lahir dari rahim imajinasi. Dibesarkan oleh harapan bersama mimpi. Terpelihara untaian doa dan cinta. Disuapi segenggam pundi-pundi materi. Aku menemukan namanya dalam kelebat malam usai tidur panjang. Tiga tahun usianya semalam. Tak ada yang kurayakan. Kubuatkan untuknya sebuah tulisan. Hanya tulisan. Juga doaku untuk bisa kembali beperjalanan.

Semakin kemari semakin aku paham, bahwa perjalanan tak harus sejauh-jauhnya yang ingin kau tempuh. Selangkah keluar dari pintu rumah pun sudah bisa disebut perjalanan. Walau itu bukan berarti menjadi halangan untuk bepergian jauh. Inti kepergian adalah kepulangan. Beperjalanan adalah untuk kembali pulang. Kita takkan pernah dikatakan pergi jika tak pulang kembali. Kepergian akan menjadi sebuah kepindahan jika tak pernah kembali pulang. Hijrah, begitu kita menyebutnya bukan? Dan ia berbeda dengan safar yang mewakili kata perjalanan.

Bersamanya aku tempuh beberapa perjalanan:dari pedalaman desa hingga gemerlap kota, pantai hingga hutan belantara, dari menumpang kereta barang hingga truk batu bara, dari menemani #muqoddimatussafar hingga #mudikbybike. Bersamanya pula kuhabiskan malam di bawah tenda hingga langit saja tanpa apa-apa, tidur di trotoar jalan, selasar masjid, mushola terminal, emperan toko entah milik siapa, deretan bangku stasiun. 

Beberapa waktu ke belakangan ini aku, katakanlah bersemedi. Mencari diri yang mungkin tak pernah tertemukan. Mencari jiwa yang mungkin tak pernah tersempurnakan. Jauh ke depan nanti ku ingin susuri jejak-jejak Ibnu Batuttah, Marco Polo, James Cook, Magelhans, Perry, Amundsen, hingga Naomi Uemura. Atau kita lampaui Trinity dan Agustinus Wibowo saja dulu. Mimpi tinggi, tak ada yang menyalahi bukan? Sambil beperjalanan ingin pula aku sambil berpuisi. Menulis beberapa larik sajak untuk dikirimkan. Entah kemana dan pada siapa: padamu mungkin.

Ia yang beberapa waktu ke depan kuminta untuk menemaniku, sebelum dipertemukan dengan seseorang yang telah Allah persiapkan. Ia yang kuceritakan, bukan siapa-siapa. Tapi mari ku perkenalkan. :D


Seperti halnya si blek dan si bron juga si blu, ia pun sama kukenal dengan sebuah nama: ijo. I.J.O: ga ada lu ga rame. #naon

Sabtu, 23 Mei 2015

Fakir Motivasi

Ada masa dimana kita menemukan diri kita dalam keadaan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Dihinggapi semangat yang hilang, hasrat yang tiba-tiba lenyap menguap, digelayuti bertumpuk-tumpuk kejenuhan, bergunung-gunung kemalasan, hingga perasaan lain yang membuat kita kehilangan hasrat melakukan sesuatu. Entah itu pada perkara kewajiban atau bukan.

Ada saat dimana kita dilanda keresahan yang kadang tak beralasan dalam melakukan hampir semua hal. Ketidakjelasan rasa yang tak semestinya, lalu tak menemukan tempat berbagi. Beberapa dari kita hanya mampu memendamnya, beberapa lagi melampiaskan dalam perkara-perkara yang beragam: bermanfaat atau pun tak bermanfaat.

Ini bukan hanya perkara apa yang dihadapi, tapi tentang perkara rasa apa yang dijalani. Karena yang dihadapi selalu hampir sama setiap manusia, tapi rasa dalam menjalaninya pasti berbeda setiap dari kita.

Aku yakin dalam setiap fase kehidupan yang pernah kita jalani hingga menginjak saat dimana kita berada saat ini, setiap dari kita merasakan itu semua. Bahkan seorang motivator sekali pun. Kebutuhan kita akan dorongan (dari seseorang, atau bukan orang) seolah menjadi kebutuhan primer saat masa-masa itu tiba.

Seperti halnya iman yang naik dan turun, pun begitu sepertinya semangat yang kita miliki. Saat semua tak ada yang berhasil dilakukan, mungkin pada saat itu kita perlu mengulang-ulang doa yang pernah junjungan kita ajarkan: “Allahumma innii a’udzubika minal hammi wal hazani, wa’audzubika minal ajzi wal kasali,  wa a’udzubika minal jubni wal bukhli, wa a’udzubika min gholabatiddaini wa khohrurrijaali.” Bukan apa-apa, hati kita tak pernah dapat terbolak-balik dengan mudahnya tanpa seizin penciptanya.

Jumat, 27 Maret 2015

Zina Rasa (?)

Pada sebongkah hati dalam dada atau seonggok daging dalam kepalakah ia berada, itu tak menjadi masalah. Tapi perkara rasa, selalu saja membuatku tersiksa. Rasa rindu pada sesuatu, rasa suka pada seseorang, juga rasa cinta pada entah apa; rasa benci pada sesuatu, rasa iri pada seseorang, juga rasa dengki entah pada siapa. Segala rasa itu mememuhi rongga dada dan (atau?) kepala.

Beberapa kali mereka berada pada dosis yang sewajarnya. Tapi lebih sering tidak. Terlalu berlebihan. Aku kadang merasa bosan dengan segala rasa yang seperti punya nyawa sendiri ini. Iyakah ia bagian dari diriku? Atau barangkali ada jiwa lain dalam jiwaku? Jiwa dalam jiwa.

Aku ini sudah seperti tak belajar agama saja, memiliki rasa pada dia yang belum berhak menerimanya. Bahkan menghambakan diri pada sesuatu yang sebenarnya semu. Kemudian mengkambinghitamkan setan dan rekan-rekannya dalam perkara ini. Aku rasa, untuk saat ini aku tak lagi mau. Bosan rasanya mengkambingkanhitamkan mereka tanpa pernah melihat pada diri sendiri sebelumnya.

Aku kira jikalah kita mengenal zina mata, barangkali dalam rasa pun ada hal yang sama. Maka pada apa yang kualami ini bisa termasuk di dalamnya: zina rasa. Merasakan hal-hal yang tak sepatutnya aku punya. Padahal bukankah hati pun akan dimintai pertanggungjawabannya?

Ah, rasa-rasanya aku harus banyak-banyak bermohon ampun kepada Yang Kuasa.

Senin, 19 Januari 2015

Niat

“Boleh jadi amalan kecil menjadi besar pahalanya disebabkan niat. Dan boleh jadi amalan besar menjadi kecil pahalanya hanya karena niat.” ¬ Abdullah bin Mubarak
Setelah perkara iman, dalam pembahasan hadits, niat selalu diutamakan dalam penyampaian. Persis seperti thaharah dalam pembahasan fiqih ibadah. Ini menggambarkan begitu besar dan penting keduanya. Kebersihan diri dengan thaharah mengawali segala bentuk ibadah (mahdhoh), dan kebersihan hati dengan niat mengawali segala bentuk perbuatan.

Perkara niat kadang terlihat sepele memang, tetapi niat dan iman amatlah berkaitan. Bahkan perkara yang terlihat kecil ini dapat saja menjadi tolak ukur ketauhidan seseorang. Melibatkan Allah dalam setiap niat yang diikrarkan, akan disertai dengan cara-cara yang baik pada apa yang akan, sedang dan telah dikerjakan. Niat tak sekedar hanya nawaitu dalam pelafalan. Ia terikrar di hati yang paling dalam. Maka perkara niat tak ada yang lebih tahu dari pemilik hati itu sendiri dan tentunya Sang Maha Pembolak-balik hati.

Niat menentukan apa yang kita dapat. Terutama bagi hal-hal yang tak terlihat, yang menyangkut perkara-perkara akhirat. Sebut saja pahala. Shalat yang disertai dengan riya, mana iya ia berpahala. Tapi makan sebagai rutinitas sehari-hari jika juga diniatkan sebagai bagian dari ibadah, bukan tak mungkin pahala mengalir setiap hari darinya. Pun begitu setiap kali akan mengambil keputusan. Jika yang kita kerjakan akan diniatkan untuk sesuatu, maka pada apa diniatkannya itulah yang akan kita dapat. Sekolah kita, ya hanya akan mendapat nilai jika diniatkan untuk mencari nilai. Interaksi sosial kita, ya hanya akan mendapat popularitas jika diniatkan mencari popularitas. Kerja kita, ya hanya akan mendapatkan uang jika diniatkan semata-mata mencari uang. Mengingat semua ini kita patut berhati-hati. Niat ini berpengaruh pada ke depannya nanti.

Terlepas dari letak niat di tiga tempat sebagaimana pernah kita ketahui: sebelum berbuat, di tengah-tengah, dan atau setelahnya; tetaplah sebelum menjalani apa yang akan kita lalui, yakinkan bahwa kita telah memperbaiki niat ini. Hingga pada apa pun yang terjadi di depan nanti, ada Allah yang senantiasa membersamai. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri di masa depan jika tanpa menyematkan nama-Nya dalam setiap niat yang kita ikrarkan. Kita juga tak pernah tahu jalan yang akan ditempuh akan sampai atau tidak. Tapi yang jelas, niat pada apa yang dijalani telah dibenarkan. Hingga jika pun tak membuahkan hasil di dunia, dengan perantara niat kita bisa mendapat hasilnya di akhirat nantinya.

Niat, sekali lagi adalah pekerjaan hati. Dan selalu saja, yang melibatkan hati menjadi rumit sekali. Perkara hati kadang memang sulit mendapatkan titik temunya. Tapi terus berusaha adalah hal terbaik yang kita punya. Lurukan niat, sempurnakan ikhtiar, lalu bertawakkallah dengan do’a. Begitu kan seharusnya kita?

Senin, 12 Januari 2015

Ambisius pada Harta

Aku tak terlalu suka dengan orang-orang yang begitu ambisius dalam mengejar harta. Begitulah sebuah deklarasi dariku semenjak dulu. Ketidaksukaanku pada golongan orang-orang seperti itu pernah mengalami puncaknya pada satu waktu di masa lalu. Saat mereka yang dekat denganku mengejar harta sebanyak-banyaknya. Menumpuk pundi-pundi rupiah setinggi-tingginya. Mengejar nominal tertentu sejadi-jadinya. Lalu memperlihatkannya sebagai ukuran kesuksesan pada semua orang, padaku juga. Cir!

Lebih spesifiknya lagi aku berani menggambarkan bahwa itu membuat mereka makin materialistis saja. Mengejar segala tanpa pernah berfikir apakah mereka bahagia menjalaninya atau tidak. Dan tanpa pernah peduli apakah mereka perlu dan butuh itu semua, ataukah hanya menaikkan gengsi atas dasar ego semata?

Dan tahukah kau, akhir-akhir ini aku sepertinya mulai sedikit terjangkiti. Ah, jangan sampai. Inginku mengadu pada Tuhan tentang perkara ini. Bolehkah aku tak dipusingkan oleh perkara materi? Sungguh aku benci. Tak adakah yang bisa kulakukan tanpa terbelenggu persoalan harta? Sungguh aku tak suka. Telah tibakah masa idealismeku harus dikalahkan dengan realita? Sungguh aku tak mau.

Aku selalu membayangkan, di jaman Rasulullah sepertinya hal ini tak terlalu menjadi perhatian. Iya ada yang kaya dan ada yang tak punya. Tapi itu tetap tak menjadi pusat perhatian dan bukan permasalahan. Iman tetap menjadi acuan. Perkara berlomba mengumpulkan amal daripada harta sepertinya indah sekali. Apa aku pergi ke jaman itu saja? Selain bisa hidup bersama beliau dan  para sahabat, akan begitu mudahnya apa-apa yang berkaitan dengan harta. Aku bisa membayangkannya, mungkin seperti kehidupan di Baduy sana. Bekerja mencari nafkah tak terlalu kompleks terlihatnya. Pendidikan anak tak harus dipusingkan dengan sekolah berbiaya tinggi. Kejar-mengejar harta dan kompetisi dalam karir kerja tak ada. Untuk menikah dan tak punya harta, cukup bermahar dengan apa yang kita punya dan hafalan pun tak apa. Tak ada pesta-pesta penuh pora.

Atau aku menjadi burung saja yang pergi pagi dengan perut kosong dan pulang sore dengan perut terisi. Tanpa khawatir besok makan apa, beli dimana, di warung mana, jalan-jalan kemana, beli apa untuk kebutuhan ini dan itu. Tanpa cemas pula bulan ini harus bayar listrik, kontrakan, segala jenis cicilan, air, dan tagihan lainnya. Tanpa khawatir butuh berapa biaya untuk sekolah, menikah, beranak-pinak, dan mati, -yang kini pun perlu biaya. Tapi jikakah aku meminta semua itu, iyakah itu menjadi rasa ketidakbersyukuranku?

Barangkali, setiap jaman punya masanya. Ini jamanku, masa dimana materi menjadi ukuran bahkan segalanya. Mau bagaimana lagi. Mau tak mau, harus dihadapi. Walau harus menghadapi kesan bahwa orang berharta seperti punya segalanya, dan sebaliknya. Pun setiap penciptaan ada konsekuensinya. Dan ini adalah konsekuensi sebagai manusia. Makhluk sempurna yang Allah amanahkan menjadi khalifah di dunia. Mengharuskan mempergunakan akal yang ia punya untuk dapat hidup, hingga kembali ke asalnya di akhirat sana.

Semoga amalku dan amalmu terkumpul lebih banyak dari harta yang kita punya. Dan itu menolong kita kembali kepadaNya suatu hari nanti. Semoga.

Selasa, 30 Desember 2014

Catatan Perjalanan (2)

Kita sepakat, beperjalanan menggunakan kereta api mengharuskan kita untuk membuang jauh-jauh kebiasaan telat. Jika tidak, silahkan katakan selamat jalan dan biarkan kereta api itu berangkat, tanpa peduli kita telah ikut atau tidak. Maka kecuali kau anak pejabat, jangan sekali-kali naik kereta (atau pesawat) datang terlambat.

Kita akan tahu, 12 orang yang berperjalanan dengan waktu 4 hari 3 malam dan destinasi yang tak hanya satu adalah hal yang akan merepotkan. Sungguh tidak mudah beradu argumentasi menyusun rencana perjalanan, berdebat pada perkara destinasi mana yang harus dikunjungi dan mana yang tidak, juga mana yang harus dituju lebih awal dan mana yang harus diakhirkan, dan semua perkara remeh temeh menyangkut dana selama di jalan. Maka kecuali kau terbiasa beperjalanan, menyusun itinerary dan tak menderita darah tinggi, jangan sekali-kali ikut serta beradu argumentasi.

Kita juga akan paham, dengan teman perjalanan sebanyak dan waktu selama itu di daerah orang, segalanya kadang tidak begitu saja menjadi mudah semudah yang dibayangkan. Akan ada hal-hal yang terjadi di luar dugaan saat sudah di jalan. Maka kecuali menggunakan jasa agen perjalanan atau dibentuk kepanitiaan, jangan sekali-kali beperjalanan dengan lebih dari 10 orang, durasi lebih dari 4 hari, dengan banyak destinasi yang dikunjungi.

Kita setuju, beperjalananan di musim hujan akan selalu banyak rencana yang akan batal atau direncanaulangkan. Cuaca kadang memang menjadi penghalang bagi kita untuk beperjalanan. Apalagi di daerah yang jelas-jelas telah diketahui terkena banjir dan hujan hampir setiap malam. Maka kecuali kau telah siap dengan segala kemungkinan, jangan sekali-kali memaksakan keinginan untuk beperjalanan di musim penghujan, apalagi masuk ke hutan.

Dalam beperjalanan kita yakin, duduk di samping abang sopir angkot akan memberi banyak pengetahuan yang jarang didapatkan. Maka kecuali kau introvert dan pemalu, jangan  sekali-kali duduk di depan bersama abang sopir dan diam saja tanpa mendapatkan apa-apa.

Kita akan mengerti, membatalkan atau mengubah rencana di detik-detik akhir melatih daya improvisasi yang kita miliki. Maka kecuali kau seorang yang punya imajinasi, jangan sekaili-kali membatalkan atau mengubah rencana yang telah disusun di detik-detik akhir eksekusi.

Kita juga akan sadar, beperjalanan dengan banyak orang akan ada ego yang kita pendam atau keinginan yang diurungkan. Teman perjalanan akan menentukan bagaimana mood kita sepanjang perjalanan. Kadang kita mesti pilih-pilih akan hal ini. Maka kecuali kau berjiwa toleransi tinggi dan pandai memaklumi, jangan sekali-kali merasa perjalanan milik sendiri dan mengajak teman-teman yang tak kau kenal benar.

Kita juga telah diajarkan, shalat jamak dan/atau qashar di perjalanan adalah keringanan yang ditawarkan dan bukan sebuah kewajiban untuk dilaksanakan. Maka kecuali kau menemukan dalil yang pasti tentang kewajiban jamak dan/atau qashar di perjalanan ini, jangan sekali-kali memaksakan apalagi menyalahkan dia yang tak menggunakannya dalam perjalanan. Mungkin shalat di bus atau kereta masih tabu di antara kita ya..

Pada akhirnya kita akan belajar, sesulit dan semudah apapun segala sesuatu, semua itu pasti akan berlalu dan menjadi pengalaman yang meninggalkan pelajaran. Maka kecuali kau tidak mau mendapatkan apa-apa, silahkan tidur dan berleha-leha saja di rumah.

Catatan Perjalanan (1)

“Tak ada yang diambil selain foto dan pelajaran. Tak ada yang ditinggalkan selain jejak dan kenangan.” – Seseorang dalam perjalanannya.

Perjalanan biasa dilakukan sendirian atau bersama-sama. Dengan keluarga, teman-teman, pasangan, atau pun orang yang baru dikenal. Tapi pada akhirnya kita akan setuju bahwa perjalanan bersama siapa pun akan menyenangkan dilakukan. (Orang menyebalkan menjadi pengecualian. :p)

Rasa-rasanya jarang sekali saya melakukan perjalanan dengan jumlah teman perjalanan lebih dari 3 orang: 11 orang, kecuali sedang membawa rombongan atau ikut open trip. Dengan teman perjalanan sebanyak itu, mungkin ukuran 4 hari 3 malam  menjadi terlalu lama bagi mereka yang tak biasa. Bahkan menjadi merepotkan ketika destinasi yang dituju lebih dari satu dan semuanya direncanakan sendiri dari awal pergi hingga pulang kembali. Beberapa destinasi di antaranya diputuskan di jalan.

Menjelajahi daerah yang tak satu pun dari kami pernah tinggal di dalamnya lebih dari seminggu, -bahkan ada yang baru mengunjungi, adalah hal yang tak mudah. Menyusun itinerary sendiri, berkendara tanpa kendaraan pribadi, tertinggal kereta api, agenda yang batal karena jarak dan cuaca, - atau hanya sekedar salah informasi dan riset kurang dalam, adu ide dan solusi menentukan tempat bermalam, hingga perkara dana untuk makan, sewa angkot atau pun ngeteng adalah bumbu yang hadir menghiasi perjalanan 4 hari kemarin.

Perjalanan bersama adalah arena latihan untuk mengendalikan ego setiap dari kita, melatih daya improvisasi yang kita punya, hingga mengenal lebih dekat satu sama lainnya. Dalam perjalanan bersama kita juga akan dipertontonkan berbagai macam pertunjukan sebagai bentuk pengejewantahan kepribadian seseorang. Kebiasaan-kebiasaan orang lain yang kadang bersitegang dan bersinggungan dengan kebiasaan kita akan kita saksikan. Lalu kita punya persepsi berbeda dengan yang selama ini kita punya terhadapnya. Makin mengenal dan berusaha memahami.
12 Laskar Pengembara
Akhirnya adalah tak salah pada Bandung kami menjatuhkan pilihan. Semoga ia dan segala yang telah dilalui selama 72 jam di sana menjadi pupuk persahabatan. Kita tahu sendiri mengelilingi Bandung, baik kabupaten atau pun kota tak cukup hanya 4 hari. Tapi saya yakin, Banjaran, Citeureup Indeung, Gunung Puntang, Air terjung Kahuripan, Kolam Cinta, Goa Belanda, Tebing Karaton, Masjid Raya, Jalan Asia Afrika, Jalan Braga, Taman Jomblo, Taman Cikapayang Dago, Lapangan Gasibu, Gedung Sate, Taman Lansia, Museum Geologi, Museum Pos, hingga stasiun Kiara Condong dan segala apa yang membersamainya, -termasuk abang sopir yang ngabodor sepanjang jalan, akan menjadikan semua yang ikut serta dalam perjalanan akan saling mengenal lebih baik dan lebih dalam dari sebelum-sebelumnya. Jika pun tidak, saya yakin ia telah memberikan efek pada masing-masing dari kita. Setidaknya kantong menjadi lebih tipis. :p

Maka persis seperti yang diucapkan seorang bijak: lakukanlah perjalanan, maka dengan itu kau akan tahu watak sebenarnya seorang teman.

Namun jika harus memilih, sejujurnya aku lebih nyaman beperjalanan sendiri. Walaupun pada akhirnya aku akan, dan harus beperjalanan tak sendirian. Ya, minimal berdua: denganmu.