Minggu, 08 Mei 2016

Hari Raya

Setiap dari kita rasa-rasanya memiliki hari yang patut dirayakan. Bisa hari yang dirayakan bersama seluruh dunia: Idul Fitri, Idul Adha. Atau pun hari yang dirayakan hanya setiap masing-masing dari kita; atas sebuah proses dalam setiap tahapan kehidupan yang sedang, telah, dan memang harus kita lewati; atas sebuah perpindahan fase yang musti kita jalani: kelahiran, pernikahan, bahkan pun kematian.

Merayakan cinta adalah ungkapan terima kasih atas anugerah yang telah diberikanNya. Dari setiap anugerah yang telah diberikan, barangkali rasa cinta adalah rasa tertinggi yang telah Dia beri. Perayaannya tentu pada cinta suci yang diakui oleh agama dan negara.
Merayakan cinta adalah merayakan kemenangan atas usaha syetan dalam upaya pengejawantahan cinta yang tak seharusnya. Mereka yang telah terus berusaha, hingga usaha terakhirnya, menggoda kita agar tidak menjalankan perintahNya. Menggoda kita dalam mempermainkan rasa dan cinta yang kita punya. Hingga akhirnya kita menang atas mereka.
Merayakan cinta adalah bentuk kesyukuran atas sebuah proses yang oleh Allah haruskan. Sebuah proses dalam upaya meraih keridhoaanNya, menggapai surgaNya.
Maka sesungguhnya inti dari semua perayaan adalah kesyukuran. Ya, kesyukuran. Selamat hari raya. Selamat merayakan cinta.
Perjalanan Pandeglang-Bogor, jelang 08 Mei 2016

Kamis, 04 Februari 2016

Sepotong Kenangan

Pa Iwan K. Hamdan saat penanaman pohon di Assa'adah Global Islamic School (AGIS) [dok. Penulis]
Rasanya baru kemarin saya diminta untuk mengambil foto di atas oleh beliau. “Untuk kenang-kenangan pribadi,” aku beliau sambil menyodorkan smartphone miliknya pada saya. Tak disangka itu adalah interaksi dan percakapan terakhir kami berdua.
Rasanya baru kemarin beliau menanyakan kabar saya dan masih mengingat nama saya walau hampir lebih dari 5 tahun kami tak bertemu dan berkomunikasi. Sambil bertanya, “Bagaimana kabar teman-teman? Dimana sekarang Iyus? Dimana sekarang Enggar? Dimana sekarang Nanda?” Disambung dengan ungkapan kesyukuran atas jawaban yang saya berikan. Jika waktu kami banyak, barangkali bisa saja semua teman-teman yang dikenalnya akan disebut dan ditanyakan.

Rasanya baru kemarin berkunjung ke rumah beliau bersama asatidz dari pondok. Rumah yang sama yang saya kunjungi hampir 5 tahun lalu. Rumah yang dari tampilannya kita tak akan percaya bahwa pemiliknya adalah seorang staff ahli bupati, seorang staff ahli gubernur, seorang doktor dan dosen S3, seorang ketua Badan Akreditasi Provinsi, dan jabatan publik lain yang tak pernah saya tahu. Dari beliau saya belajar kesederhanaan.

Rasanya baru kemarin saya diceritakan tentang bagaimana sekolah di bawah kaki gunung karang tempat saya mendapatkan ilmu dibangun dengan kepahitan dan kegetiran. Kemudian dijaga dan dipelihara oleh mimpi besar, usaha keras dan doa tiada henti. Hingga menjadi sebab sekolah itu tetap berdiri kokoh hingga kini. Dari beliau saya belajar bermimpi tinggi.

Rasanya baru kemarin beliau bilang, “Ikut terus sama ustadz Dadang, Ci.. Ambil ilmunya. Ustadz Dadang orang hebat”. Dan ternyata itu adalah nasihat terakhir sebelum kami tak akan pernah bertemu di dunia ini lagi.

Rasanya baru kemarin semua ini terjadi. Hingga kemudian saya tersadar bahwa dunia ini memang sebentar. Selamat jalan, Pa Iwan.. Sampai jumpa!

Allahumaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu’anhu.

Sungguh, saya pun bersaksi bahwa beliau adalah orang baik.

Jumat, 01 Januari 2016

Setia Sejak dalam Rasa

Jika adil harus sejak dalam pikiran, maka setia pun barangkali harus sejak dalam perasaan. Adil adalah perkara akal, sedangkan setia adalah perkara hati. Rasa-rasanya kita telah sepakat bahwa perkara hati (dan tentunya perkara rasa) seringkali membuat kita tersiksa.

Setia semestinya dimulai dari saat mengagumi, bukan ketika mulai mencintai atau mungkin memilliki. Cukuplah hanya satu orang yang bertahta dalam hati. Jika ada tamu datang mengetuk pintu, bukakan untuknya sejenak tanpa perlu mempersilahkannya menetap.

Kecenderungan lelaki adalah mendua, mentiga atau bahkan mungkin mengempat. Maka mejaga kesetiaan termasuk perkara tidak mudah sepertinya. Apalagi setia sejak dalam rasa, ketidakmudahannya akan menjadi berkali lipat bagi kita: kaum adam.

Ujian kesetiaan bagi tiap orang pasti berbeda. Tapi semuanya akan bermuara pada pembuktian tinggi-rendahnya kemampuan kita dalam mengolah rasa dan berinteraksi dengan hati.

Setelah memiliki saja pasti ada cobaan, apalagi belum memiliki, terlebih hanya sebatas mengagumi. Ah, rasa-rasanya pelik sekali.

Hati, jelang Januari dua ribu enam belas masehi.

Jumat, 04 Desember 2015

Cerpen - Sarjana Desa

Melihat seorang pemegang gelar sarjana sedang duduk-duduk di gubuk pematang sawah dengan pakaian lusuh dan kotor penuh lumpur, bukan kemeja berdasi dan duduk di ruang ber-AC, bisa memunculkan berbagai persepsi  banyak orang.  Bisa jadi ia memang sedang dalam masa menunggu panggilan yang tak kunjung datang dari perusahaan yang telah dilamar. Atau bisa jadi ia dan orang tuanya tidak punya cukup uang untuk membayar ‘uang muka’ sebagai prasyarat dapat bekerja menjadi abdi negara.

Pun begitu dengan yang ada dibenakku saat tahu kabar terakhir Adi setelah studi sarjananya selesai. Telah setahun lebih ia di desa. Katanya tak bekerja. Tak kemana-mana. Seorang sarjana berasal dari desa tetapi memilih desa sebagai tempat tinggal adalah hal yang tak lumrah bagi kami. Di daerah kami, siapa-siapa yang telah sekolah tinggi, terlebih sarjana, sudah sepatutnya merantau ke kota untuk memperbaiki nasib. Pulang-pulang membawa harta melimpah atau minimal membawa kendaraan pribadi. Tidak demikian dengan Adi.

Aku kemudian berpikir mungkin pematang sawah telah menjadi tempat pelarian dari kerasnya hidup yang ia jalani semenjak kematian ayahnya saat ia kuliah dulu. Barangkali pematang sawah adalah tempat terbaik untuk mengakui kekalahan dari kerasnya hidup yang ia dan keluarga lalui. Ia telah kalah. Dan ia menyerah.

Pikiranku ternyata aku salah. Ini adalah keputusan yang telah dipikirkannya matang-matang. Dengan risiko akan dikatakan bodoh bahkan dikutuk orang-orang. Tapi Adi tak pernah bergeming akan hal itu.

“Aku muak dengan mereka yang menuntutku jadi pegawai kantoran, menyuruhku pergi dan menjadi pekerja di kota.” Begitu katanya padaku  setelah ku tanya mengapa ia tak pergi ke kota melamar kerja.

“Jika semua anak muda yang terdidik pergi ke kota, lalu siapa yang tinggal dan membangun desa kita?” Pernyataanku bahwa semenjak muda kita harus mencari pengalaman ke kota malah dibalas dengan pertanyaan.

“Lalu hanya mereka yang telah tua renta yang tinggal di desa? Atau anak muda yang tak terdidik dan putus sekolah, yang sebagian besarnya pun telah menjadi buruh di kota sana yang membangun desa?” Kalimatnya menyusul beruntun tanpa jeda, tanpa ampun. Kali ini aku tak diberinya kesempatan menanggapi.

“Jadi desa kau jadikan sisa? Lalu jika begitu, bagaimana desa kita bisa maju?” Percikan air liurnya sampai-sampai mendarat di pipiku. Kedua alisnya bertemu. Air muka menjadi lebih serius. Ia seperti hendak mengamuk saja. Entah setan desa jenis apa yang merasukinya.

“Lalu kapan desa menjadi setara dan sejahtera selayaknya kota?” Wajahnya memandang jauh ke hamparan sawah hijau yang berujung rimbunan pohon dan gunung biru menjulang tinggi. Mungkin itu salah satu cara meredam kekesalannya yang hendak muncul.

Mungkinkah ia ingin menjadikan desa seperti kota? Dalam hati aku menggugat. Ingin mencoba masuk dalam jeda yang tak kunjung ia beri.

“Aku bukan ingin mengkotakan desa, aku hanya ingin ia setara. Cukup dengan setiap warganya punya penghasilan,  fasilitas publik tersedia, pelayanan pendidikan dan kesehatan, ada. Itu saja.“ Sepertinya ia mendengar suara hatiku.

Istilah meng’kota’ kan desa adalah istilah yang baru kudengar. Istilah itu kemudian mengantarkan kami pada diskusi-diskusi dan sesekali perdebatan tentang idealisme-idealisme masa kuliah dulu. Idealisme yang menurutku sudang usang untuk dipertahankan. Kita ini bukan lagi mahasiswa. Tugas kita sekarang mencari kerja. Mencari uang. Bukankah kita kuliah untuk mendapatkan ijazah sebagai syarat untuk bekerja? Begitukan? Lalu kenapa setelah mendapatkannya justru tak digunkan? Aku makin heran pada Adi. Sang juara kelas tak terkalahkan yang pernah aku kenal menjadi seperti ini adalah sebuah keheranan bagiku.

“Hidup bagiku bukan tentang perkara miskin atau kaya bergelimang harta, bergaji tinggi dengan digit bertambah tanpa henti. Aku tak peduli.” Tegasnya.

“Tapi kau butuh semua itu untuk mengangkat derajat orang tuamu yang telah lama didera kemiskinan, Adi. Di desa, mana bisa kau mendapatkannya?” Aku coba menggoyahkan keteguhannya. Mencoba menyuguhkan realitas yang ia hadapi. Yang mungkin tak ia sadari.

“Dulu ayahku hanyalah petani miskin. Miskin harta dan miskin ilmu. Berbagi harta ia tak punya, berbagi ilmu apalagi. Lalu kenapa ketika anaknya punya ilmu, justru malah meninggalkannya? Ayahku berharap aku tak pergi ke kota. Ia ingin aku ada untuk warga di desa.” Aku terdiam mendengar penjelasan Adi.

“Nak, makan dulu.” Obrolan kami terpotong oleh suara ibu Adi yang datang dari belakang gubuk dengan segantang makanan di tangan kanannya dan teko bergantungkan gelas di tangan kirinya.

“Ibu repot-repot amat bawa makanan ke sawah.” Tanyanya heran.

“Kan ada tamu dari kota, ga tiap hari ini,” Aku merasa yang dimaksud. “Ayo di makan.” Sambung ibu Adi sambil menyuguhkan nasi, ikan bakar, tempe goreng, sambal, dan beberapa helai daun singkong.

Setelah pertemuan itu, aku tahu Adi ternyata tetap menyalurkan hobi menulisnya dengan menjadi kontributor sebuah surat kabar di Jakarta. Kontributor tak tetap salah satu rubrik di  media nasional itu. Ia juga sedang merintis buletin di desanya. Katanya untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya dalam menggali potensi desa. Ia juga mengajar mengaji anak-anak desa selepas maghrib di teras rumahnya.

Selain mencari inspirasi, sawah baginya adalah tempat terbaik untuk mengenang masa kecil yang telah hilang bersama ayahnya. Masih teringat dalam ingatanku, tepat dua petak sawah dari gubuk tempat kami makan, bagaimana di sana, ayahnya menaikkan aku dan Adi ke atas kerbau yang digunakan untuk membajak sawah sewaktu kami masih duduk di kelas 2 SD dulu. Sebelum aku pindah ke kota. Kami dibawanya mengelilingi sawah yang hendak dibajak. Ingatan itu hadir kembali bersamaan dengan kedatanganku ke tempat ini.

Kami makan dengan lahap di bawah rindang pohon mangga yang menaungi gubuk. Ayah Adi selalu bilang, serendah-rendahnya petani desa di mata orang kota, oran kota lupa bahwa beras yang mereka makan, sayuran yang dihidangkan, lauk pauk yang disuguhkan adalah dari desa juga, tempat asal para petani. Katanya jangan pernah malu tinggal, hidup, dan bekerja di desa. Menjadi orang desa haruslah menjadi sebuah kebanggaan.

Senin, 28 September 2015

Mengambil Ilmu dari Ustadz

Orang bijak berucap bahwa setiap orang harus selalu punya guru. Karena tak setiap ilmu dapat diajarkan oleh buku. Pun begitu dengan yang ada dalam kepalaku. Maka pilihan untuk ‘ikut’ guru –yang biasa dipanggil ustadz, setelah lulus sekolah menengah dulu adalah pilihan yang mendatangkan kebersyukuran, hingga sekarang.

Datang dengan malu-malu untuk menawarkan diri ikut salah seorang guru adalah perkara yang tak mudah. Saat teman-teman sebaya berlomba melanjutkan pendidikan, aku memilih jalan yang berbeda: ikut dengan seorang guru. Bukan untuk waktu sehari dua hari, sebulan dua bulan, tapi untuk waktu bertahun-tahun. Bahkan hingga sekarang setelah hampir 7 tahun berlalu.

Ilmu, sekali lagi, tak selalu tentang apa yang tertulis dalam buku. Ia ada dalam setiap hal yang kita temui. Ia tersemat dalam setiap kegiatan yang kita lalui. Langsung atau tidak langsung. Apa-apa yang terlihat dalam keseharian pun bisa jadi ilmu. Dan dari para guru yang pernah aku ikuti dan temui, aku belajar begitu banyak ilmu dan teladan.

Di sana, kita akan belajar tentang dedikasi saat para orang-orang terbaik memutuskan untuk menempuh jalan yang katanya tak selalu melimpah dalam hal materi. Menyumbangkan waktu, tenaga, harta, bahkan mungkin jiwa untuk dunia pendidikan. Bahkan ada yang kemudian mengatasnamakan pengabdian.

Kita akan belajar tentang loyalitas saat orang bisa bertahun-tahun, bahkan seumur hidup tinggal dan bekerja di satu tempat. Bukan tak ada pilihan, tapi memang sebuah keputusan. Saat tempat kerja bukan hanya tempat mencari nafkah, kita bahkan akan menemukan orang yang mewakafkan diri di dalamnya.

Kita juga akan diajari tentang keberkahan harta saat apa yang kita dapatkan secara materi selalu minus jika di-matematika-kan, tapi selalu membuat merasa berkecukupan. Selalu saja ada jalan untuk dapat melanjutkan hidup. Entah jalan itu datang dari mana persisnya kita tak pernah tahu. Yang jelas ada kekuatan di luar kemampuan manusia yang mengatur semua itu.

Dan kita akan belajar tentang keikhlasan yang mungkin saat ini jarang ditemukan. Ilmu ikhlas memang tak mudah dinilai dan tak mudah dijalani. Bahkan katanya butuh sepanjang hayat mempelajari. Ia letaknya jauh di dalam hati. Walau tak pernah ada yang tahu isi hati, setidaknya kita bisa melihat dari apa yang dijalani sehari-hari. Dan aku menemukan percikan-percikan keikhlasan itu di tempat-tempat yang selama ini aku singgahi.

Serang, penghujung Agustus dua ribu lima belas.
Seorang murid.

Kamis, 10 September 2015

Merayakan Kematian

Barangkali benar kata Novia Kusumawardhani bahwa kematian (kadang) memang perlu dirayakan. Pergi dari dunia penuh sandiwara layak diiringi pesta. Menjadi makhluk bebas tanpa beban dan tuntutan orang-orang bisa menjadi sebuah kesenangan. Lebih-lebih jika hidup penuh dengan kepedihan dan kemalangan.

Dulu, kelahiran kita disambut dengan suka cita karena katanya kehidupan adalah anugerah. Lalu kenapa kematian harus disambut dengan duka jika itu pun adalah jalan menuju kehidupan selanjutnya? Maka tertawa tak harus ketika kelahiran tiba saja, tapi juga ketika kematian sebagai jalan kehidupan selanjutnya terbuka.

Kematian hanyalah sebuah perpindahan dimensi, kata Habibie. Ia adalah proses yang musti kita jalani. Maka tak perlu ada yang disesali atau tangisi.

Erangan roh yang meninggalkan tubuh kita sebut kesakitan. Padahal bisa saja itu adalah tertawa dengan cara berbeda. Bukankah ia, sang roh, hendak kembali menemui pemiliknya?

Katanya cara terbaik untuk mengingat mati adalah dengan mengunjungi pusara. Maka cara terbaik untuk tahu mati itu patut dirayakan atau tidak, barangkali kita perlu merasakannya.

Perjalanan Serang-Pandeglang, 10 September 2015

Senin, 31 Agustus 2015

Baduy Corner: Sebuah Soft Launching

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Berawal dari sebuah keresahan yang muncul ketika di bangku perkuliahan, lalu kemudian terus menghantui dalam bentuk sebuah pertanyaan: "haruskah ilmu yang didapat ini disimpan saja tanpa pengamalan?" Dari sana kemudian timbul-tenggelam lah apa yang ada di pikiran. Hilir-mudik silih berganti lah apa yang ada di kepala hingga kadang sampai ‘berperang’.

Saya percaya sebuah pepatah arab yang berbunyi “al ‘ilmu bi la ‘amalin ka syajari bi la tsamarin”; bahwa ilmu tanpa amal -pun sebaliknya amal tanpa ilmu, ibarat pohon tanpa buah; bahwa ilmu yang tak diamalkan akan sedikit mendatangkan kebermanfaatan. Bersamaan dengan kepercayaan itu, tumbuh sebuah kesadaran dalam diri bahwa disukai atau tidak ilmu yang ditekuni, tetap butuh pengamalan. Karena itu juga merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban.

Sebelumnya, saya senang sekali beperjalanan. Dari kesenangan itu seringkali saya diminta oleh teman-teman untuk mengantar ke beberapa destinasi wisata. Kadang sendiri, kadang bersama-sama. Kadang dibayar, kadang sukarela. Perkampungan Baduy luar dan Baduy dalam menjadi tempat yang sering didatangi. Selain karena kesenangan beperjalanan tadi, juga karena kampung halaman saya dan Desa Kanekes bertetangga, dekat sekali.

Jauh sebelum itu, saya bermimpi untuk menapaki jejak para ulama: mengajar, menulis, dan berdagang. Berdagang, apa pun sebutannya pada zaman sekarang, adalah salah satu ikhtiar untuk dapat membiayai transaksi-transaksi yang kita cipta agar dapat terus berlangsung kehidupan kita di dunia.

2013, sebuah permulaan.
Dari sana kemudian terpikir menggabungkan semuanya. Maka menulis tentang Baduy, mengantarkan orang-orang ke Baduy, berdagang hasil-hasil kerajinan Baduy, mengadakan kegiatan sosial di Baduy, lalu semuanya dibungkus dengan konsep mudharabah, murabahah, dan ijarah yang pernah dipelajari, saya pilih menjadi jalan yang saya tempuh sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menghantui.

Selama ini, konsep-konsep yang pernah saya pelajari tersebut lebih sering digunakan dan kita temukan dalam dunia perbankan syariah. Mudharabah dalam permodalan, murabahah dan ijarah dalam jual beli dan/atau pembiayaan. Saat ini saya ingin menerapkan konsep-konsep tersebut dalam skala kecil sekaligus memperkenalkannya sebagai bagian dari upaya membumikan konsep yang ada dalam perekonomian Islam ini ke khalayak.
Beperjalanan dan berkegiatan sosial, sebuah kesenangan.
Barangkali agak berlebihan, tapi bagi saya ini adalah sebuah perpaduan antara idealisme, hobi, dan kebutuhan. Idealisme untuk dapat mengamalkan ilmu yang telah dipelajari sebagai bentuk ibadah dan pertanggungjawaban; hobi menulis, mengambil mengambil foto dan beperjalanan; dan kebutuhan akan hidup yang musti terus tetap dibiayai.

Akhirnya, saya rasa benar apa yang dikatakan Donny Dhirgontoro bahwa segala sesuatu diciptakan dua kali: dalam dunia imajinasi dan dalam dunia nyata. Maka hari ini saya ingin memperkenalkan apa yang sesungguhnya telah lahir dari rahim imajinasi, dan sedang saya coba rawat dan besarkan di dunia nyata: Baduy Corner.

Kehadiran dan tumbuh kembangnya bisa dipantau di www.baduycorner.com. Mohon doa dan dukungan.