Jumat, 03 Juni 2016

Ada Kenangan di Kampung Papandayan


Saya duduk dengan hati-hati di atas tumpukkan karung berisi satu setengah ton wortel bercampur tanah basah di luarnya. Bersama enam penumpang lain dan hujan gerimis khas pegunungan, kami diantarkan sebuah mobil pick up menuju pusat kota dari sebuah kampung kecil di kaki gunung Papandayan. Sejauh 30 km berkendara dengan jarak tempuh lebih dari dua jam, sejauh mata memandang hanyalah kebun teh hijau menghampar luas yang kami lihat. Jalan yang sebagian besar berbatu membuat perjalanan begitu menyiksa dan luasnya kebun teh ini seperti tiada habisnya. Kabarnya ini memang perkebunan teh terbesar ketiga di dunia seluas hampir tiga ribu hektar: perkebunan teh Malabar.

***
“Bade kamana, Kang?” tanya seorang pemuda paruh baya dengan logat sunda khas daerah priangan di selasar masjid setelah shalat ashar.

“Bade ka Pangalengan, teras ka Bandung, teras ka Bogor.”
saya menjawab lengkap.

Pria yang kemudian dikenal dengan nama Kang Ujang ini memberitahukan bahwa tak ada angkutan umum menuju  pusat kota dari kampung tempat kami berada. Jika pun ada, itu harus dari kampung tetangga yang jauhnya 10 km, sekitar satu jam jalan kaki. Tapi jika hari sudah lewat siang hampir mustahil rasanya angkutan umum ditemukan. Karena sehari hanya satu dua mobil yang beroperasi, itu pun di pagi hari. Maka jika ingin ke pusat kota selepas siang pilihannya hanya dua: minta diantarkan dengan motor warga dengan membayar hampir sepuluh kali lipat tarif Gojeg di Jakarta, atau jika beruntung bisa menumpang mobil pengangkut teh atau sayuran yang biasa lewat sebelum senja. Tentu saya memilih yang kedua.

***

Dua hari setelah hari pernikahan, saya bersama istri memutuskan melakukan perjalanan ke tempat yang sudah sering salah dari satu kami kunjungi. Pilihan dijatuhkan pada Gunung Papandayan setelah istri meyakinkan bahwa ia telah  6 kali mendaki gunung setinggi 2.665 mdpl tersebut. Mau tak mau saya harus percaya, walau saya punya rekor lebih dari itu: 17 kali pergi ke Baduy Dalam. :p hha..

Perjalanan mendaki gunung yang masuk ke wilayah Garut ini dan bermalam dengan bertenda disana tak berbeda jauh dengan yang dijalani umumnya para pendaki. Yang berbeda hanya momennya saja barangkali.

Pulangnya kami memutuskan jalur berbeda dari jalur kedatangan setelah bertanya dan mengumpulkan informasi dari beberapa warga dan penjaga warung di Pondok Salada, salah satu tempat mendirikan camp sebelum padang edeilweis terluas di Indonesia: Tegal Alun. Dengan keyakinan yang sudah membulat, dengan logistik dan perbekalan yang dianggap aman, dan perlengkapan yang dirasa sudah cukup, kami berdua memutuskan mengambil jalur yang sama sekali tak pernah kami bayangkan akan seperti apa. Setelah menimbang-nimbang dan berdiskusi cukup panjang, akhirnya kami berjalan perlahan mantap di atas jalan setapak berbatu menembus hutan gunung Papandayan.

Kekhawatiran tak dapat melanjutkan perjalanan dan kembali ke belakang datang saat sandal istri putus dan kakinya terkilir karena tergelincir akibat jalan licin yang dilalui air. Namun keraguan perjalanan selama lebih dari sejam itu sirna setelah kami tiba di perkebunan teh milik warga yang memang menjadi patokan kami. Kekhawatiran tersesat di gunung dan dihadang babi hutan yang masih sering ditemukan di Papandayan hilang setelah menemukan beberapa warga sedang memanen kentang di perkebunan. Bahkan dalam sekelebat pikiran saya, macan kumbang yang konon kabarnya masih ada di Papandaya menjadi salah satu hal yang saya takutkan.


Setelah mendapat pencerahan dari petani yang sedang panen raya -begitu kayanya, dan setelah berjalan hampir 3 jam, akhinya kami tiba di sebuah kampung yang dapat dikatakan cukup terpencil. Sebuah kampung di kaki Gunung Papandayan namun masuk wilayah Kabupaten Bandung yang berada di tengah-tengah perkebunan teh milik perusahaan negara. Sebuah kampung yang sejauh mata memandang hanyalah kebun teh terhampar luas tiada habis-habisnya. Batas wilayahnya hanya kebun teh, kebun teh, kebun teh, dan kebun teh. Hanya tingginya gunung Papandayan yang menghalangi. Sebuah kampung yang namanya sama dengan nama gunung dimana ia berada di kakinya: Kampung Papandayan.

Kampung Papandayan telah meninggalkan kenangan bagi kami berdua. Keasrian kampung yang khas seperti yang digambarkan dalam buku-buku sekolah mungkin tak akan kami temui lagi. Keramahan anak kecilnya yang berebut tangan kami kemudian menciuminya saat keluar dari masjid dan menunggu tumpangan sulit untuk dilupakan dari ingatan. Kampung yang telah memberikan pengalaman dan saudara baru hingga kami memutuskan suatu saat akan kembali ke sana. Kebaikan pemilik pick up dan satu setengah ton wortel yang memberi kami tumpangan dan minuman kepada istri serta obrolan hangat selama perjalanan semoga mendapat balasan. Undangan dari Kang Oji, pemilik empat hektar perkebunan di kaki Gunung Papandayan, yang berniat akan mengajari kami bercocok tanam jika kami datang dan menginap di sana suatu saat akan kami penuhi. Entah kapan. Semoga kami diberi umur panjang dan kesempatan!

Selasa, 31 Mei 2016

Beruntung

Pernah dalam satu keinginan untuk memiliki pendamping hidup asli orang Banten. Allah beri lebih dari pada itu: keturunan pendiri Banten. Aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa ia yang Allah kini takdirkan menjadi pendamping hidupku, memiliki garis keturunan yang bersandar pada Sultan Maulana Hasanuddin pendiri kesultanan Banten itu. Aku benar-benar tak pernah tahu sebelumnya.

Pernah dalam diri ini terbesit mempunyai istri senang beperjalanan. Allah hadiahkan lebih dari itu: ‘anak gunung’. Itulah kemudian mengapa kami memilih beperjalanan ke Gunung Papandayan sehari setelah melangsungkan pernikahan. Selain karena istri telah hafal jalur Papandayan karena telah 6 kali pergi kesana, juga karena bagi kami bepergian setelah menikah tak selalu harus di hotel mewah dan tempat nyaman saja. Sesekali mendaki gunung dan mendirikan tenda di sana adalah salah satu pilihan yang patut dicoba.
 
Pernah diri ini juga punya mimpi memiliki pasangan yang cinta anak dan keluarga. Allah kirimkan lebih dari itu: sarjana Ilmu Keluarga. Salah seorang temanku bahkan mengatakan para lulusan jurusan yang hanya ada satu di Indonesia ini layak disebut ‘ibu-ibu bersertifikat’. Kabarnya itu disematkan karena memang selama 4 tahun perkuliahan yang dipelajari hanya tentang keluarga, teori-teorinya dan segala seluk beluk yang menghisainya. Hanya tinggal praktiknya saja. Dan kini waktunya.
 
Pernah satu masa terbesit untuk tak tinggal di kota, cukup di desa. Allah kirimkan perempuan kota yang rela meninggalkan karir pribadinya dan ikut bersama ke desa. Menjauhi dan meninggalkan kota yang justru dianggap ‘magnet’ bagi sebagian orang cukup menyulitkan. Apalagi yang telah bertahun-tahun hidup dan tinggal disana. Pada kampung bernama Pasirmanggu, desa Dahu, 25 km dari ibukota kabupaten Serang akhirnya kami jatuhkan pilihan sebagai tempat tinggal dan hidup bersama. Tinggal dan hidup di desa adalah sebuah cita-cita.

Aku selalu meminta untuk dinikahkan oleh Allah, pada siapa saja. Terserah pada-Nya. Allah kemudian memberi lebih dari segalanya. Maha Baik Allah atas segala nikmat yang telah diberikan pada hamba-Nya yang hina ini. Atas segala apa yang telah Dia berikan pada aku yang bukan siapa-siapa ini hingga detik ini.
 
Maka jika ada yang berkata bahwa Ifah beruntung mendapatkanku, sesungguhnya ingin kukatakan bahwa akulah yang amat beruntung mendapatkan Ifah. :)

Jumat, 20 Mei 2016

2016: Tahun Menikah

Tiap masa yang dijalani pasti memiliki kenangan berarti. Tiap tahun yang dilalui pasti mempunyai kesan tersendiri. Tahun-tahun yang telah terlewati bisa membekas bagi sebagian orang, bisa juga tidak bagi sebagian yang lain. Pun dengan tahun ini. Apa yang telah dan akan dijalani tahun ini bisa menjadi kenangan yang begitu mendalam dan berkesan, atau bisa juga biasa saja hanya mengulang rutinitas harian dan bulanan, tanpa terselip satu hal besar yang mengubah hidup di tahun-tahun mendatang.

Atas semua hal itu, seringkali kita memiliki sebutan bagi tiap tahun yang (sedang dan akan) dijalani. Dan bagi saya pribadi, tahun 2016 ini adalah tahunnya menikah. Bagaimana tidak, hingga jelang medio 2016 saja, lebih dari 20 orang yang saya kenal dekat telah menggenapkan separuh agamanya. Mulai dari lingkungan pesantren tempat saya tinggal, teman-teman Madanian, teman-teman semasa perkuliahan, hingga teman-teman beperjalanan.
Di pesantren tempat saya tinggal ada delapan orang yang menikah hingga Mei ini, termasuk saya di dalamnya (*lalu nyengir). Di antara alumni CMBBS ada dua pasang Madanian yang menjalin ikatan pernikahan, ditambah lagi di teman-teman angkatan ada lima orang. Hanya di antara teman semasa perkuliahan saja yang menikah cuma seorang. Di antara teman-teman beperjalanan pun ada dua pasang yang sampai paruh tahun ini melangsungkan pernikahan. Lihat, 2016 benar-benar tahun menikah ‘kan?
Pernikahan selalu saja menghadirkan kebahagiaan. Lebih dari itu mengundang keberkahan. Setidaknya itu yang disampaikan Kiyai pondok yang selalu merasa senang jika ada ustadz-ustadzah di pondok yang menikah. Terlebih tahun ini yang terbanyak. Kebahagiaan itu beliau cerminkan dengan selalu hadir di setiap pernikahan yang ada. Menghadiri akadnya, bahkan menjadi penasihat pernikahannya. Dengan yang menikah semakin banyak, rasa bahagia menjadi makin berlipat, keberkahan pun akan makin dekat. Seperti halnya pak Kiyai, saya (dan kita) pun amat begitu senang dan bahagia saat tahu ada teman-teman yang mengikat janji dalam ikatan suci. Hanya barangkali tak setiap pernikahan dapat saya hadiri.
2016 masih menyisakan lebih separuhnya. Entah siapa lagi setelah ini. Mari menanti!

Minggu, 08 Mei 2016

Hari Raya

Setiap dari kita rasa-rasanya memiliki hari yang patut dirayakan. Bisa hari yang dirayakan bersama seluruh dunia: Idul Fitri, Idul Adha. Atau pun hari yang dirayakan hanya setiap masing-masing dari kita; atas sebuah proses dalam setiap tahapan kehidupan yang sedang, telah, dan memang harus kita lewati; atas sebuah perpindahan fase yang musti kita jalani: kelahiran, pernikahan, bahkan pun kematian.

Merayakan cinta adalah ungkapan terima kasih atas anugerah yang telah diberikanNya. Dari setiap anugerah yang telah diberikan, barangkali rasa cinta adalah rasa tertinggi yang telah Dia beri. Perayaannya tentu pada cinta suci yang diakui oleh agama dan negara.
Merayakan cinta adalah merayakan kemenangan atas usaha syetan dalam upaya pengejawantahan cinta yang tak seharusnya. Mereka yang telah terus berusaha, hingga usaha terakhirnya, menggoda kita agar tidak menjalankan perintahNya. Menggoda kita dalam mempermainkan rasa dan cinta yang kita punya. Hingga akhirnya kita menang atas mereka.
Merayakan cinta adalah bentuk kesyukuran atas sebuah proses yang oleh Allah haruskan. Sebuah proses dalam upaya meraih keridhoaanNya, menggapai surgaNya.
Maka sesungguhnya inti dari semua perayaan adalah kesyukuran. Ya, kesyukuran. Selamat hari raya. Selamat merayakan cinta.
Perjalanan Pandeglang-Bogor, jelang 08 Mei 2016

Kamis, 04 Februari 2016

Sepotong Kenangan

Pa Iwan K. Hamdan saat penanaman pohon di Assa'adah Global Islamic School (AGIS) [dok. Penulis]
Rasanya baru kemarin saya diminta untuk mengambil foto di atas oleh beliau. “Untuk kenang-kenangan pribadi,” aku beliau sambil menyodorkan smartphone miliknya pada saya. Tak disangka itu adalah interaksi dan percakapan terakhir kami berdua.
Rasanya baru kemarin beliau menanyakan kabar saya dan masih mengingat nama saya walau hampir lebih dari 5 tahun kami tak bertemu dan berkomunikasi. Sambil bertanya, “Bagaimana kabar teman-teman? Dimana sekarang Iyus? Dimana sekarang Enggar? Dimana sekarang Nanda?” Disambung dengan ungkapan kesyukuran atas jawaban yang saya berikan. Jika waktu kami banyak, barangkali bisa saja semua teman-teman yang dikenalnya akan disebut dan ditanyakan.

Rasanya baru kemarin berkunjung ke rumah beliau bersama asatidz dari pondok. Rumah yang sama yang saya kunjungi hampir 5 tahun lalu. Rumah yang dari tampilannya kita tak akan percaya bahwa pemiliknya adalah seorang staff ahli bupati, seorang staff ahli gubernur, seorang doktor dan dosen S3, seorang ketua Badan Akreditasi Provinsi, dan jabatan publik lain yang tak pernah saya tahu. Dari beliau saya belajar kesederhanaan.

Rasanya baru kemarin saya diceritakan tentang bagaimana sekolah di bawah kaki gunung karang tempat saya mendapatkan ilmu dibangun dengan kepahitan dan kegetiran. Kemudian dijaga dan dipelihara oleh mimpi besar, usaha keras dan doa tiada henti. Hingga menjadi sebab sekolah itu tetap berdiri kokoh hingga kini. Dari beliau saya belajar bermimpi tinggi.

Rasanya baru kemarin beliau bilang, “Ikut terus sama ustadz Dadang, Ci.. Ambil ilmunya. Ustadz Dadang orang hebat”. Dan ternyata itu adalah nasihat terakhir sebelum kami tak akan pernah bertemu di dunia ini lagi.

Rasanya baru kemarin semua ini terjadi. Hingga kemudian saya tersadar bahwa dunia ini memang sebentar. Selamat jalan, Pa Iwan.. Sampai jumpa!

Allahumaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu’anhu.

Sungguh, saya pun bersaksi bahwa beliau adalah orang baik.

Jumat, 01 Januari 2016

Setia Sejak dalam Rasa

Jika adil harus sejak dalam pikiran, maka setia pun barangkali harus sejak dalam perasaan. Adil adalah perkara akal, sedangkan setia adalah perkara hati. Rasa-rasanya kita telah sepakat bahwa perkara hati (dan tentunya perkara rasa) seringkali membuat kita tersiksa.

Setia semestinya dimulai dari saat mengagumi, bukan ketika mulai mencintai atau mungkin memilliki. Cukuplah hanya satu orang yang bertahta dalam hati. Jika ada tamu datang mengetuk pintu, bukakan untuknya sejenak tanpa perlu mempersilahkannya menetap.

Kecenderungan lelaki adalah mendua, mentiga atau bahkan mungkin mengempat. Maka mejaga kesetiaan termasuk perkara tidak mudah sepertinya. Apalagi setia sejak dalam rasa, ketidakmudahannya akan menjadi berkali lipat bagi kita: kaum adam.

Ujian kesetiaan bagi tiap orang pasti berbeda. Tapi semuanya akan bermuara pada pembuktian tinggi-rendahnya kemampuan kita dalam mengolah rasa dan berinteraksi dengan hati.

Setelah memiliki saja pasti ada cobaan, apalagi belum memiliki, terlebih hanya sebatas mengagumi. Ah, rasa-rasanya pelik sekali.

Hati, jelang Januari dua ribu enam belas masehi.

Jumat, 04 Desember 2015

Cerpen - Sarjana Desa

Melihat seorang pemegang gelar sarjana sedang duduk-duduk di gubuk pematang sawah dengan pakaian lusuh dan kotor penuh lumpur, bukan kemeja berdasi dan duduk di ruang ber-AC, bisa memunculkan berbagai persepsi  banyak orang.  Bisa jadi ia memang sedang dalam masa menunggu panggilan yang tak kunjung datang dari perusahaan yang telah dilamar. Atau bisa jadi ia dan orang tuanya tidak punya cukup uang untuk membayar ‘uang muka’ sebagai prasyarat dapat bekerja menjadi abdi negara.

Pun begitu dengan yang ada dibenakku saat tahu kabar terakhir Adi setelah studi sarjananya selesai. Telah setahun lebih ia di desa. Katanya tak bekerja. Tak kemana-mana. Seorang sarjana berasal dari desa tetapi memilih desa sebagai tempat tinggal adalah hal yang tak lumrah bagi kami. Di daerah kami, siapa-siapa yang telah sekolah tinggi, terlebih sarjana, sudah sepatutnya merantau ke kota untuk memperbaiki nasib. Pulang-pulang membawa harta melimpah atau minimal membawa kendaraan pribadi. Tidak demikian dengan Adi.

Aku kemudian berpikir mungkin pematang sawah telah menjadi tempat pelarian dari kerasnya hidup yang ia jalani semenjak kematian ayahnya saat ia kuliah dulu. Barangkali pematang sawah adalah tempat terbaik untuk mengakui kekalahan dari kerasnya hidup yang ia dan keluarga lalui. Ia telah kalah. Dan ia menyerah.

Pikiranku ternyata aku salah. Ini adalah keputusan yang telah dipikirkannya matang-matang. Dengan risiko akan dikatakan bodoh bahkan dikutuk orang-orang. Tapi Adi tak pernah bergeming akan hal itu.

“Aku muak dengan mereka yang menuntutku jadi pegawai kantoran, menyuruhku pergi dan menjadi pekerja di kota.” Begitu katanya padaku  setelah ku tanya mengapa ia tak pergi ke kota melamar kerja.

“Jika semua anak muda yang terdidik pergi ke kota, lalu siapa yang tinggal dan membangun desa kita?” Pernyataanku bahwa semenjak muda kita harus mencari pengalaman ke kota malah dibalas dengan pertanyaan.

“Lalu hanya mereka yang telah tua renta yang tinggal di desa? Atau anak muda yang tak terdidik dan putus sekolah, yang sebagian besarnya pun telah menjadi buruh di kota sana yang membangun desa?” Kalimatnya menyusul beruntun tanpa jeda, tanpa ampun. Kali ini aku tak diberinya kesempatan menanggapi.

“Jadi desa kau jadikan sisa? Lalu jika begitu, bagaimana desa kita bisa maju?” Percikan air liurnya sampai-sampai mendarat di pipiku. Kedua alisnya bertemu. Air muka menjadi lebih serius. Ia seperti hendak mengamuk saja. Entah setan desa jenis apa yang merasukinya.

“Lalu kapan desa menjadi setara dan sejahtera selayaknya kota?” Wajahnya memandang jauh ke hamparan sawah hijau yang berujung rimbunan pohon dan gunung biru menjulang tinggi. Mungkin itu salah satu cara meredam kekesalannya yang hendak muncul.

Mungkinkah ia ingin menjadikan desa seperti kota? Dalam hati aku menggugat. Ingin mencoba masuk dalam jeda yang tak kunjung ia beri.

“Aku bukan ingin mengkotakan desa, aku hanya ingin ia setara. Cukup dengan setiap warganya punya penghasilan,  fasilitas publik tersedia, pelayanan pendidikan dan kesehatan, ada. Itu saja.“ Sepertinya ia mendengar suara hatiku.

Istilah meng’kota’ kan desa adalah istilah yang baru kudengar. Istilah itu kemudian mengantarkan kami pada diskusi-diskusi dan sesekali perdebatan tentang idealisme-idealisme masa kuliah dulu. Idealisme yang menurutku sudang usang untuk dipertahankan. Kita ini bukan lagi mahasiswa. Tugas kita sekarang mencari kerja. Mencari uang. Bukankah kita kuliah untuk mendapatkan ijazah sebagai syarat untuk bekerja? Begitukan? Lalu kenapa setelah mendapatkannya justru tak digunkan? Aku makin heran pada Adi. Sang juara kelas tak terkalahkan yang pernah aku kenal menjadi seperti ini adalah sebuah keheranan bagiku.

“Hidup bagiku bukan tentang perkara miskin atau kaya bergelimang harta, bergaji tinggi dengan digit bertambah tanpa henti. Aku tak peduli.” Tegasnya.

“Tapi kau butuh semua itu untuk mengangkat derajat orang tuamu yang telah lama didera kemiskinan, Adi. Di desa, mana bisa kau mendapatkannya?” Aku coba menggoyahkan keteguhannya. Mencoba menyuguhkan realitas yang ia hadapi. Yang mungkin tak ia sadari.

“Dulu ayahku hanyalah petani miskin. Miskin harta dan miskin ilmu. Berbagi harta ia tak punya, berbagi ilmu apalagi. Lalu kenapa ketika anaknya punya ilmu, justru malah meninggalkannya? Ayahku berharap aku tak pergi ke kota. Ia ingin aku ada untuk warga di desa.” Aku terdiam mendengar penjelasan Adi.

“Nak, makan dulu.” Obrolan kami terpotong oleh suara ibu Adi yang datang dari belakang gubuk dengan segantang makanan di tangan kanannya dan teko bergantungkan gelas di tangan kirinya.

“Ibu repot-repot amat bawa makanan ke sawah.” Tanyanya heran.

“Kan ada tamu dari kota, ga tiap hari ini,” Aku merasa yang dimaksud. “Ayo di makan.” Sambung ibu Adi sambil menyuguhkan nasi, ikan bakar, tempe goreng, sambal, dan beberapa helai daun singkong.

Setelah pertemuan itu, aku tahu Adi ternyata tetap menyalurkan hobi menulisnya dengan menjadi kontributor sebuah surat kabar di Jakarta. Kontributor tak tetap salah satu rubrik di  media nasional itu. Ia juga sedang merintis buletin di desanya. Katanya untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya dalam menggali potensi desa. Ia juga mengajar mengaji anak-anak desa selepas maghrib di teras rumahnya.

Selain mencari inspirasi, sawah baginya adalah tempat terbaik untuk mengenang masa kecil yang telah hilang bersama ayahnya. Masih teringat dalam ingatanku, tepat dua petak sawah dari gubuk tempat kami makan, bagaimana di sana, ayahnya menaikkan aku dan Adi ke atas kerbau yang digunakan untuk membajak sawah sewaktu kami masih duduk di kelas 2 SD dulu. Sebelum aku pindah ke kota. Kami dibawanya mengelilingi sawah yang hendak dibajak. Ingatan itu hadir kembali bersamaan dengan kedatanganku ke tempat ini.

Kami makan dengan lahap di bawah rindang pohon mangga yang menaungi gubuk. Ayah Adi selalu bilang, serendah-rendahnya petani desa di mata orang kota, oran kota lupa bahwa beras yang mereka makan, sayuran yang dihidangkan, lauk pauk yang disuguhkan adalah dari desa juga, tempat asal para petani. Katanya jangan pernah malu tinggal, hidup, dan bekerja di desa. Menjadi orang desa haruslah menjadi sebuah kebanggaan.