Senin, 12 Januari 2015

Ambisius pada Harta

Aku tak terlalu suka dengan orang-orang yang begitu ambisius dalam mengejar harta. Begitulah sebuah deklarasi dariku semenjak dulu. Ketidaksukaanku pada golongan orang-orang seperti itu pernah mengalami puncaknya pada satu waktu di masa lalu. Saat mereka yang dekat denganku mengejar harta sebanyak-banyaknya. Menumpuk pundi-pundi rupiah setinggi-tingginya. Mengejar nominal tertentu sejadi-jadinya. Lalu memperlihatkannya sebagai ukuran kesuksesan pada semua orang, padaku juga. Cir!

Lebih spesifiknya lagi aku berani menggambarkan bahwa itu membuat mereka makin materialistis saja. Mengejar segala tanpa pernah berfikir apakah mereka bahagia menjalaninya atau tidak. Dan tanpa pernah peduli apakah mereka perlu dan butuh itu semua, ataukah hanya menaikkan gengsi atas dasar ego semata?

Dan tahukah kau, akhir-akhir ini aku sepertinya mulai sedikit terjangkiti. Ah, jangan sampai. Inginku mengadu pada Tuhan tentang perkara ini. Bolehkah aku tak dipusingkan oleh perkara materi? Sungguh aku benci. Tak adakah yang bisa kulakukan tanpa terbelenggu persoalan harta? Sungguh aku tak suka. Telah tibakah masa idealismeku harus dikalahkan dengan realita? Sungguh aku tak mau.

Aku selalu membayangkan, di jaman Rasulullah sepertinya hal ini tak terlalu menjadi perhatian. Iya ada yang kaya dan ada yang tak punya. Tapi itu tetap tak menjadi pusat perhatian dan bukan permasalahan. Iman tetap menjadi acuan. Perkara berlomba mengumpulkan amal daripada harta sepertinya indah sekali. Apa aku pergi ke jaman itu saja? Selain bisa hidup bersama beliau dan  para sahabat, akan begitu mudahnya apa-apa yang berkaitan dengan harta. Aku bisa membayangkannya, mungkin seperti kehidupan di Baduy sana. Bekerja mencari nafkah tak terlalu kompleks terlihatnya. Pendidikan anak tak harus dipusingkan dengan sekolah berbiaya tinggi. Kejar-mengejar harta dan kompetisi dalam karir kerja tak ada. Untuk menikah dan tak punya harta, cukup bermahar dengan apa yang kita punya dan hafalan pun tak apa. Tak ada pesta-pesta penuh pora.

Atau aku menjadi burung saja yang pergi pagi dengan perut kosong dan pulang sore dengan perut terisi. Tanpa khawatir besok makan apa, beli dimana, di warung mana, jalan-jalan kemana, beli apa untuk kebutuhan ini dan itu. Tanpa cemas pula bulan ini harus bayar listrik, kontrakan, segala jenis cicilan, air, dan tagihan lainnya. Tanpa khawatir butuh berapa biaya untuk sekolah, menikah, beranak-pinak, dan mati, -yang kini pun perlu biaya. Tapi jikakah aku meminta semua itu, iyakah itu menjadi rasa ketidakbersyukuranku?

Barangkali, setiap jaman punya masanya. Ini jamanku, masa dimana materi menjadi ukuran bahkan segalanya. Mau bagaimana lagi. Mau tak mau, harus dihadapi. Walau harus menghadapi kesan bahwa orang berharta seperti punya segalanya, dan sebaliknya. Pun setiap penciptaan ada konsekuensinya. Dan ini adalah konsekuensi sebagai manusia. Makhluk sempurna yang Allah amanahkan menjadi khalifah di dunia. Mengharuskan mempergunakan akal yang ia punya untuk dapat hidup, hingga kembali ke asalnya di akhirat sana.

Semoga amalku dan amalmu terkumpul lebih banyak dari harta yang kita punya. Dan itu menolong kita kembali kepadaNya suatu hari nanti. Semoga.

Tidak ada komentar: