Jumat, 18 Januari 2019

Setahun di Madani

Pintu gerbang ini masih sama dengan pintu gerbang yang pertama kali menyambut seorang anak SMP yang baru saja kehilangan harapan masuk SMA, hampir 14 tahun lalu. Dengan diantarkan guru-guru SMP dan ibunya, anak itu serasa mimpi bisa masuk melalui pintu gerbang ini.

Ilalang ini adalah ilalang yang sama dengan ilalang yang kutinggalkan lebih dari 10 tahun lalu. Ilalang terlebat dan tertinggi yang pertama kali kutemui yang musim berbungnya selalu dinanti. Bunga padang ilalang adalah salah satu pemandangan terindah di sini saat itu, pun hingga kini.

Tanah ini masih tanah dengan bau khas Tanah Madani yang sama seperti dulu. Ia akan semakin khas saat hujan lebat baru saja pergi, dan akan nampak makin indah saat datang kabut pagi-pagi sekali.

Langit ini adalah langit yang sama dengan langit lebih dari satu dekade dulu. Langit biru dengan iringan gumpalan awan seputih susu, dibatasi gunung karang menjulang di satu tepi dan barisan pegunungan indah rendah di tepi yang lainnya.

Pun langit malamnya adalah langit malam yang sama, langit hitam pekat yang selalu penuh bintang gemintang setiap malamnya, yang selalu menjadi penghias belajar malam-malam panjang 156 purnama lalu.

Matahari pagi ini pun adalah matahari yang sama dengan matahari yang selalu membuat takjub, yang mengobarkan api semangat dalam memulai hari, yang membuat salah satu dari kami selalu mengepalkan tangan dan berteriak kalimat “Allahu Akbar” setiap kali ia meninggalkan asrama menuju kelas lebih pagi dari yang lain, hampir dua windu lalu.

Masjid ini barangkali bukan masjid yang sama dengan masjid yang aku dan teman-teman sebut Masjid Sangkuriang karena dibangun begitu cepat seperti hanya dalam semalam. Tapi aura masjid ini masih sama dengan masjid dulu yang selalu menjadi tempat tafakkur, tadabbur, dan tempat paling banyak bersyukur. Kini pula ia telah bernama: Masjid Al-Madani.

Tanah lapang yang dulu penuh ilalang, yang pernah kami bersihkan bersama salah satu ustadz saat itu, kini telah berdiri asrama baru. Tepat di belakangnya berjejer empat mess untuk guru. Di salah satu mess itu kini menetap saya bersama istri tercinta.

Walau pasti pada banyak hal berbeda dan berubah, tapi ini tetaplah Tanah Madani, tanah yang dengan pesona dan kenangannya selalu mengundang kerinduan. Kerinduan yang begitu berat pada beberapa saat.

Madani yang sekarang, memang bukan Madani yang dulu. Bukan Madani yang seperti saya bayangkan, saya rasakan, dan saya banggakan seperti dulu. Tapi tanah ini adalah tanah impian. Tanah yang begitu saya mimpikan untuk dapat hidup kembali, sebagai apapun, di dalamnya.

Tanah Madani, Januari 2019