Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 November 2016

Surat untuk Perbankan Syariah

Harus kita akui, bahwa ada sebuah dikotomi yang terjadi di negeri ini. Diawali dari dunia pendidikan dimana terjadi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama. Keduanya seolah berdiri sendiri tanpa adanya saling keterkaitan satu sama lain. Ilmu umum ya ilmu umum, ilmu agama ya ilmu agama. Benar-benar terpisah. Masih terekam dalam ingatan kita bagaimana ketika kita masih menempuh pendidikan di sekolah dasar atau pun menengah, sulit untuk menemukan perihal agama dalam pelajaran ilmu alam, bahkan menjadi mustahil kita temukan kata Allah dalam pelajaran ilmu sosial. Pun begitu yang ada dalam ilmu ekonomi. Yang kita pelajari hanya nilai-nilai penuh kebebasan tentang ekonomi, ajaran-ajaran yang menumbuhkan sikap materialistik, dan konsep yang menganggap manusia sebagai faktor produksi semata.

Hal ini tidak hanya terjadi di dunia pendidikan, namun kemudian merambat ke dunia kerja. Orang-orang hanya semata-mata mencari harta dalam bekerja. Tak ada motivasi ibadah dalam melakukan pekerjaan yang mereka geluti. Lebih memprihatinkannya lagi banyak yang tak mempedulikan aspek agama dalam mencari nafkah, sehingga terkadang menghalalkan segala cara. Yang terpenting mendapatkan uang untuk dapat menghidupi diri sendiri dan keluarga. Buah dari pendidikan yang mengajarkan materialistik tadi.

Lahirnya International Development Bank (IDB) tahun 1975 di dunia internasional, dan Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 di negeri kita, menjadi tonggak bangkitnya kembali Ekonomi Islam yang selama ini seolah menghilang entah kemana. Bagi saya, bangkitnya Ekonomi Islam sama halnya dengan pudarnya dikotomi ilmu yang berlangsung berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun di negeri ini -yang merupakan warisan kolonial penganut paham imperialis dan liberalis. Mengapa? Karena Ekonomi Islam merupakan perpaduan ilmu umum (ilmu ekonomi) dan ilmu agama (fiqh muamalah dan ushul fiqh).

Implementasi awal dan paling nyata dari ilmu Ekonomi Islam ini adalah perbankan syariah. Perbankan syariah dalam bayangan saya, menjadi wadah setiap orang untuk beribadah. Ketika orang-orang ingin menabung, mereka benar-benar memperhitungkan agama dalam memilih tempat menyimpan uang mereka. Mereka ingin agar harta mereka dikelola secara syariah Islam. Begitu juga dalam melakukan pengajuan pembiayaan, ada harapan yang sama dalam benak mereka. Dan bagi orang-orang yang berada di bank syariah sendiri pun, mereka tidak hanya sekedar memperhitungkan gaji yang besar, namun melihat keberkahan dari gaji yang mereka dapat, sehingga harta yang digunakan untuk menafkahi keluarga pun menjadi berkah. Ada unsur agama dan motivasi ibadah yang masuk kedalam ranah ini.

Amatlah begitu besar harapan saya terhadap keberadaan perbankan syariah dalam upaya mereduksi bahkan menghilangkan dikotomi yang telah mengakar di semua lini di negeri ini. Walau butuh waktu yang tidak sebentar, saya sangat optimis hal tersebut akan tercapai. Saya sudah muak berabad lamanya kita menjadi manusia materialistis. Hanya semata-mata mengejar harta dan mengedapankan nafsu dalam mencari penghidupan di dunia ini. Padahal kita adalah khalifah yang Allah tugaskan untuk mengelola segala yang ada di dunia ini sebagai bentuk ibadah kita padaNya.

Saya berharap kedepannya perbankan syariah benar-benar mempertahankan prinsip-prinsip syariah dalam produk-produk yang dimilikinya. Bukan hanya menyesuaikan kebutuhan pasar tanpa mengindahkan prinsip-prinsip syariah tersebut. Demi mengejar keuntungan semata. Maka yang terjadi nanti, bukannya pasar yang menyesuaikan prinsip syariah, namun malah prinsip syariah yang menyesuikan pasar sehingga pudarlah kesyariahan bank syariah tersebut. Dan pudarlah harapan saya -dan mungkin harapan sebagian besar orang, yang begitu besar terhadap perbankan syariah dalam memajukan Ekonomi Islam sebagai bagian dari upaya memadukan ilmu umum dan ilmu agama.

Jumat, 23 September 2016

Bekal Pulang

“The most important thing in this life is not this life.” – A. Riawan Amin
Hidup adalah sebuah perjalanan. Begitu kata orang. Kita menempuh satu dua rute untuk menuju satu dua tujuan. Kita jatuh-bangun-tegak-berdiri untuk meraih beberapa capain yang diinginkan. Rute dengan jalan-terjal-aral-merintang menghadang selama beperjalanan. Susah-senang-suka-duka pun dialami dalam menjalani kehidupan. Ya, hidup memanglah sebuah perjalanan.
 
Yang kemudian perlu selalu kita ingat bahwa perjalanan ini tak akan terjadi selamanya. Hanya sementara. Akan tiba masa kita harus kembali pulang, ke kampung halaman kita sesungguhnya. Maka sudah seharusnya ada yang kita bawa. Bukan karena itu adalah buah tangan untuk sanak saudara, tapi dalam perjalanan ini kita memang diharuskan membawa bekal sebagai prasyarat menjalani kehidupan selanjutnya. Hidup di kampung halaman, selamanya. Sebaik apa bekal kita, sebaik itu pula hidup kita di sana, pun begitu sebaliknya.
 
Keindahan dan kesenangan selama beperjalanan seringkali membuat kita lebih fokus pada perjalanan dan lupa pada apa yang harus dipersiapkan untuk pulang. Hingga kadang kita berfikir bahwa apa yang sedang dijalani saat ini akan selamanya dinikmati.
 
Menjadi lucu jika kita terlalu menikmati perjalanan hingga lupa membeli tiket pulang. Bahkan lupa pada pulang itu sendiri. Lupa bahwa kita punya tempat pulang yang sesungguhnya. Dan itulah sebenar-benarnya tujuan perjalanan. Beperjalanan untuk kembali pulang. Sejatinya tiket pulang sudah seharusnya dipersiapkan semenjak dini. Persiapan bekal untuk dibawa pulang tak harus ditunda-tunda nanti. Karena perjalanan ini, kita tak pernah tahu kapan akan diakhiri.
 
Sungguh hidup ini hanya sekejap. Perbandingannya hanya dua jam menurut perhitungan akhirat. Tak lebih dari dua jam bahkan. Maka kemudian Rasulullah menggambarkan bahwa kita dalam menjalani hidup, layaknya seorang pengelana yang duduk beristirahat sejenak di bawah rindangnya pohon lalu kemudian meninggalkannya. Hanya beristirahat sejenak, tak sampai terlelap, apalagi menetap. Namun rindang dan sejuknya naungan pohon saat terik sinar matahari kadang bisa menjadi serasa surga.
 
Maka setelah sampai sejauh ini menempuh perjalanan, sudah sebanyak apa persiapan bekal kita untuk pulang? Sekali lagi, kita tak pernah tahu kapan perjalanan ini akan diakhiri. Entah nanti, atau beberapa saat lagi.

Jumat, 20 Mei 2016

2016: Tahun Menikah

Tiap masa yang dijalani pasti memiliki kenangan berarti. Tiap tahun yang dilalui pasti mempunyai kesan tersendiri. Tahun-tahun yang telah terlewati bisa membekas bagi sebagian orang, bisa juga tidak bagi sebagian yang lain. Pun dengan tahun ini. Apa yang telah dan akan dijalani tahun ini bisa menjadi kenangan yang begitu mendalam dan berkesan, atau bisa juga biasa saja hanya mengulang rutinitas harian dan bulanan, tanpa terselip satu hal besar yang mengubah hidup di tahun-tahun mendatang.

Atas semua hal itu, seringkali kita memiliki sebutan bagi tiap tahun yang (sedang dan akan) dijalani. Dan bagi saya pribadi, tahun 2016 ini adalah tahunnya menikah. Bagaimana tidak, hingga jelang medio 2016 saja, lebih dari 20 orang yang saya kenal dekat telah menggenapkan separuh agamanya. Mulai dari lingkungan pesantren tempat saya tinggal, teman-teman Madanian, teman-teman semasa perkuliahan, hingga teman-teman beperjalanan.
Di pesantren tempat saya tinggal ada delapan orang yang menikah hingga Mei ini, termasuk saya di dalamnya (*lalu nyengir). Di antara alumni CMBBS ada dua pasang Madanian yang menjalin ikatan pernikahan, ditambah lagi di teman-teman angkatan ada lima orang. Hanya di antara teman semasa perkuliahan saja yang menikah cuma seorang. Di antara teman-teman beperjalanan pun ada dua pasang yang sampai paruh tahun ini melangsungkan pernikahan. Lihat, 2016 benar-benar tahun menikah ‘kan?
Pernikahan selalu saja menghadirkan kebahagiaan. Lebih dari itu mengundang keberkahan. Setidaknya itu yang disampaikan Kiyai pondok yang selalu merasa senang jika ada ustadz-ustadzah di pondok yang menikah. Terlebih tahun ini yang terbanyak. Kebahagiaan itu beliau cerminkan dengan selalu hadir di setiap pernikahan yang ada. Menghadiri akadnya, bahkan menjadi penasihat pernikahannya. Dengan yang menikah semakin banyak, rasa bahagia menjadi makin berlipat, keberkahan pun akan makin dekat. Seperti halnya pak Kiyai, saya (dan kita) pun amat begitu senang dan bahagia saat tahu ada teman-teman yang mengikat janji dalam ikatan suci. Hanya barangkali tak setiap pernikahan dapat saya hadiri.
2016 masih menyisakan lebih separuhnya. Entah siapa lagi setelah ini. Mari menanti!

Kamis, 16 Juli 2015

Bekerja Adalah Menunggu

“Jika semua dijalani sesuai porsi, yakin tak ada yang salah dengan apa-apa yang kita jalani. Kita tak harus jadi gila kerja untuk menjadi kaya.” - Seseorang

Kita sepakat bahwa bekerja adalah upaya untuk menjaga keberlangsungan hidup di dunia, ia salah satu cara agar kita tetap bisa makan dan membiayai segala kebutuhan. Kita juga sepakat bahwa bekerja adalah salah satu bentuk kegiatan mengisi kekosongan, layaknya bermain, menyalurkan hobi, atau jalan-jalan. Bedanya, ia menghasilkan uang. Begitu bukan?

Bekerja dalam bayangan sebagian besar orang saat ini adalah bekerja dari jam sekian hingga jam sekian. Masuk jam delapan, lalu jam lima sore pulang. Sebagian beranggapan dan menuntut demikian. Lalu kita yang tak punya jam kerja seperti itu kadang dianggap tak mewakili kata bekerja sebagaimana mestinya, -sebagaimana definisi orang-orang kebanyakan lebih tepatnya, atau kita bahkan bisa dianggap tak memiliki prospek kehidupan yang layak di masa depan.

Bekerja dalam bayanganku adalah salah satu bentuk kegiatan untuk mengisi kekosongan dalam jeda dua waktu shalat. Dengan bekerja, -sama halnya dengan bermain, menyalurkan hobi, kita sesungguhnya sedang mengisi kekosongan waktu di antara satu waktu shalat dengan waktu shalat selanjutnya. Misal antara waktu shalat Shubuh dan Dzuhur, Dzuhur dan Ashar, dan seterusnya. Ia seperti sebuah kegiatan untuk menunggu. Ya, menunggu. Maka menunggu waktu shalat selanjutnya datang seharusnya menjadi hakikat kerja kita. Seperti hidup ini yang pada hakikatnya menunggu juga.

Dalam menunggu itu kita mencari kegiatan bermanfaat, baik untuk diri sendiri atau pun orang lain. Salah satunya ya kerja ini. Konsekuensi dari menunggu ini adalah ketika yang ditunggu telah datang, maka sudah seharusnya kita mengakhiri kegiatan menunggu itu, atau menundanya. Apapun kegiatan yang sedang dilakukan dalam masa menunggu itu. Karena menunggu adalah menunggu, dia hanya selingan, bukan tujuan. Sayangnya kita terkadang lupa akan hal itu. Kita seringkali lupa bahwa kita hanya menunggu dan juga (me)lupa(kan) yang ditunggu sesungguhnya telah datang.

Jika kita beralasan bahwa waktu shalat akan mengurangi jam kerja, mengurangi gaji kita, dan atau rezeki kita nantinya ikut berkurang juga, rasa-rasanya kita patut belajar pada orang-orang terdahulu: para sabiquunalawwaluun. Bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat meninggalkan segala pekerjaannya ketika waktu shalat datang. Apakah kemudian rezeki mereka berkurang? Sama sekali tidak. Justru rezeki mereka seolah bertambah dan beberapa tetap bisa menjadi kaya. Sebut saja Utsman bin ‘Affan dan Abdurrachman bin ‘Auf. Rasulullah pun begitu, hanya gaya hidup beliau saja yang sederhana. Bahkan bukan perkara harta saja mereka kaya, perkara amal pun tak beda. Mereka kaya harta dan kaya amal. Apa iya mereka mendapatkan semua itu karena mengurangi waktu shalat dan menunda shalat karena kerja? Atau bahkan karena gila kerja? Justru sebaliknya. Mereka menyerahkan perkara rezeki hanya pada pemilik dan pemberi rezeki itu sendiri.

Maka jika kita tetap bekerja saat waktu shalat datang, sesungguhnya itu telah mencederai hakikat kerja itu sendiri. Dan bahkan jika kerja itu justru mengganggu dan tak mempedulikan datangnya waktu shalat, makna kerja itu perlu dipertanyakan.

Minggu, 29 April 2012

Upacara Seba (2)

Setelah berjalan kaki, tanpa alas kaki tentunya, akhirnya rombongan suku Baduy Dalam tiba di Pendopo Gubernur Banten sore hari ini. Dan diterima langsung oleh Gubernur Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah malam harinya.

Seperti yang kita ketahui, suku Baduy terdiri dari Baduy Dalam dan Baduy Luar. Suku Baduy Dalam tidak menerima segala bentuk modernisasi, sedangkan Baduy luar lebih terbuka dalam menerima bentuk-bentuk modernisasi. Maka dalam upacara seba ini pun, sesungguhnya hanya masyarakat Baduy Dalam sajalah yang berjalan kaki dari tempat tinggal mereka di Kampung Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik, di Desa Kanekes menuju Pendopo Bupati Lebak sejauh kurang lebih 52 km, yang kemudia dilanjutkan menuju Pendopo Gubernur Banten di Kota Serang sejauh 40 km, tanpa alas kaki tentunya. Karena menurut mereka, kendaraan dan sendal adalah bentuk modernisasi yang tidak mereka terima. Sedangkan masyarakat Baduy luar naik kendaraan secara rombongan.

Bagi Penulis, dan mungkin kebanyakan orang, ini adalah sesuatu yang amat unik. Berjalan kaki sejauh sekitar 92 km, tanpa alas kaki, secara berkelompok, dan dilakukan secara rutin setiap tahun dengan membawa barang bawaan yang tak sedikit adalah perkara yang tak biasa.

Masih tersimpan dalam ingatan Penulis kecil, pengalaman menyaksikan rombongan suku Baduy berarak-arakan sambil menyanyikan lagu-lagu yag diiringi alunan musik adalah hal yang sangat berkesan hingga kini. Menyaksikan mereka beramai-ramai menuju Rangkasbitung dan kemudian melanjutkan perjalan ke Bandung (saat itu Banten belum memisahkan diri dari Jawa Barat) adalah sebuah momen masa kecil yang tak terlupakan. Walau saat itu penulis belum tahu sejauh apa Rangkasbitung dan Bandung itu. Ditambah lagi jika diukur dengan berjalan kaki! :D

Semua mereka lakukan hanya untuk meneruskan sebuah tradisi yang turun temurun sudah dilakukan dan merupakan warisan leluhur mereka.

Sebuah pengorbanan yang menurut hemat Penulis harus diapresiasi oleh pemerintah, baik pemerintah Kabupaten Lebak, dan juga pemerintah Provinsi Banten. Maka adalah wajar jika malam ini, pada sesi dialog, Gubernur banyak memuji dan berterimaksih atas kedatangan masyarakat Baduy ke Pemerintah Banten, dengan susah payah dan dengan serta membawa ‘oleh-oleh’. Walau pujian dan terimakasih secara lisan saja tidak cukup.

Setalah rangkaian acara upacara Seba, malam ini suku Baduy disajikan wayang golek oleh Ibu Gede. Dan esok pagi, rombongan suku Baduy akan kembali menuju Desa Kanekes di pedalaman Kabupaten Lebak yang tentunya untuk Baduy dalam akan menempuhnya dengan berjalan tanpa alas kaki sejauh kurang lebih 92 km. Ada yang mau ikut? :p


Jumat, 27 April 2012

Upacara Seba (1)

Mungkin tak semua orang pernah mendengar dua kata dalam judul diatas. Namun bagi masyarakat Banten, warga Kota Rangkasbitung terutama, kata ini tak asing lagi ditelinga mereka.

Ini adalah tulisan pertama Penulis mengenai Upacara Seba, yang pada tahun ini Penulis berkesempatan langsung mengikutinya.

Seba berasal dari bahasa sunda, saba, yang berarti berkunjung atau mengunjungi. Adapun upacara Seba itu sendiri adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat suku Baduy, -sebuah suku pedalaman yang terletak di Desa Kanekes, Kecamata Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten- secara turun-temurun dengan mengunjungi kepala pemerintahan dimana suku Baduy berada, yaitu Bupati Kabupaten Lebak dan Gubernur Provinsi Banten. Upacara Seba dilaksanakan secara rutin setiap tahun pada minggu pertama, sebelum tanggal 10, bulan keempat penanggalan suku Baduy, yaitu bulan Sapar. Tahun ini upacara Seba jatuh pada hari Jum’at dan Sabtu, tanggal 27 dan 28 April 2012.

Setelah suku Baduy melaksanakan berbagai tradisi pada bulan kawalu di kampung mereka masing-masing di desa Kanekes, mereka kemudian ‘turun gunung’, melakukan perjalanann secara berombongan menuju ibukota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung untuk bertemu dengan Bupati, yang mereka sebut Bapa Gede. Kemudian meneruskan perjalanan tersebut menuju Ibukota Provinsi Banten yang tak lain kota Serang, untuk bertemu dengan Gubernur yang mereka sebut Ibu Gede. Rombongan upacara Seba hanya terdiri dari kaum laki-laki, baik dewasa maupun anak-anak.

Upacara Seba ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur atas hasil panen mereka yang telah dipanen pada bulan kawalu. Untuk itu, pada upaca Seba ini, rombongan suku Baduy membawa beberapa hasil pertanian mereka berupa padi, pisang, gula, talas, beras yang ditumbuk yang disebut laksa dan aneka sayuran. Hasil bumi ini diserahkan secara simbolis oleh perwakilan dari suku Baduy kepada Bupati Lebak dan Gubernur Banten pada saat upacara Seba.

Tahun ini, Masyarakat suku Baduy diterima langsung oleh Bupati Lebak, H. Mulyadi Jayabaya di Pendopo Kabupaten Lebak. Yang kemudian dilanjutkan dengan harapan dan pesan suku Baduy yang diwakili oleh Jaro Dainah dan Jaro Dua Belas Saidi Putra.

Acara dialog antara pemerintah Kabupaten Lebak dan Suku Baduy menjadi acara penutup upacara Seba ini yang sebelumnya didahului penyerahan Laksa secara simbolis dari Suku Baduy kepada Pemerintah Lebak.

Setelah rangkaian acara dilakukan, suku Baduy menonton pertunjukan layar tancap yang sengaja dilaksanakan untuk penyambutan rombongan suku Baduy ini.

Selanjutnya, esok pagi rombongan masyarakat suku Baduy yang terdiri dari 1388 orang dari Baduy luar dan 51 dari Baduy dalam akan melanjutkan perjalanan dari kota Rangkasbitung menuju Serang sejauh 40 KM dengan berjalan kaki, dan tanpa alas kaki.