Sama halnya dengan kebahagiaan yang tak selalu diukur dengan harta bergelimang, rezeki pun tak selalu diukur dengan besarnya gaji setiap bulan. Ada yang digit gajinya hingga delapan, namun di akhir bulan selalu merasa kekurangan. Namun ada pula yang penghasilannya jutaan awal bahkan kurang, namun selalu Allah cukupkan dalam kebutuhan.
Rezeki pun sebenarnya tak harus selalu diidentikkan dengan uang dan materi. Uang yang kita cari demi transaksi kita yang harus terus dibiayai, bukanlah satu-satunya bentuk rezeki yang kita miliki. Ada yang dilimpahi kekayaan hingga tujuh turunan namun hidupnya jauh dari ketenangan, memiliki teman hanya karena kepentingan, ilmu yang didapat tanpa kebermanfaatan dan pengamalan, sahabat dan tetangga pun yang seperti tak punya. Namun ada yang hidupnya sederahana dalam harta, namun sahabat dan teman karibnya dimana-mana, segudang ilmunya dan sering dimintai pula, keberadaannya selalu dibutuhkan setiap tetangga.
Dalam hal bekerja, rezeki dicari dan dijemput semampu dan sekuat kita berupaya. Ikhtiar dijalankan tanpa harus memaksakan dan meninggalkan kewajiban: pada sesama dan pada Allah ta’ala. Tugas kita hanyalah memaksimalkan segala upaya dan memperbanyak segala doa, perkara hasil bagaimana adalah bukan urusan kita sesungguhnya.
Rasa-rasanya makhluk terbaik untuk kita belajar darinya tentang hakikat rezeki dan ikhtiar memanglah cicak. Andai kita jadi cicak, barangkali setiap harinya kita akan sesak. Bagaimana tidak, hampir seluruh makanannya adalah binatang yang bisa terbang. Sedangkan ia, jangankan sayap, melompat pun ia tak bisa. Apakah kemudian ia memaksakan untuk meloncat dan berharap dapat terbang hingga mengabaikan kodratnya sebagai ciptaan Tuhan? Kita hanya dapat berikhtiar hingga batas maksimal kita bisa, perkara rezeki, sekali lagi, ia datangnya dari mana, itu ranah Yang Kuasa.
Sejenak mari kita melihat jauh ke belakang, bagaimana sayidina Umar menghadiahkan tanah ladang miliknya pada jalan Allah karena berladangnya membuat ia tertinggal shalat. Lalu bagaimana kita yang bahkan dengan mudahnya meninggalkan shalat karena pekerjaan yang tak habis-habisnya.
Maka sudah yakinkah akan bahagia saat bergelimang harta? Sudah siapkah bahwa selain kemiskinan, kekayaan pun salah satu bentuk ujian seperti yang Rasul kita takutkan: “Demi Allah bukanlah kemiskinan yang paling aku takutkan menimpa kalian, akan tetapi aku yang aku takutkan adalah dihamparkan kepada kalian kekayaan dunia, sebagaimana telah dihamparkan kepada umat sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba mendapatkannya hingga kalian binasa sebagaimana mereka binasa.” Naudzubillah.