Ia adalah orang yang mengajariku agar jangan pernah menyerah pada apapun, siapapun dan bagaimanapun keadaan. Yang menanamkan semangat melakukan hal-hal yang orang lain anggap tidak mungkin untuk membuka sebuah kemungkinan. Yang telah mengisi dan menggantikan sosok yang teramat penting dalam kehidupan. Dan yang secara tidak langsung menanamkan karakter-karakter positif dari apa yang ia lakukan. Ya, dialah kakekku: Mahbub bin Abdul Fakar.
Namun kini ia telah sampai di akhir perjalanan. Usianya telah dicukupkan, rezekinya telah disempurnakan, kesempatan beribadahnya sudah tak lagi diberikan. Karena malaikat penjemputnya telah datang, tadi siang.
Maka kini, tak akan ada kisah masa muda heroik nan berapi-api yang dapat diceritakan lagi: kisah anak muda yang mengajak pembangunan mesjid pertama desa dengan bergotong-royong dengan seluruh warga; kisah pengalaman mondok dari satu pesantren ke pesantren lain, mencari satu guru dari daerah satu ke daerah lain; juga kisah-kisah lain mulai dari ikut pemugaran benteng Surosowan dengan berjalan kaki berhari-hari, hingga kisah mengadili seorang anggota PKI.
Jasadnya telah dikuburkan, namanya hanya tinggal aksara di atas batu nisan. Ia telah dijemput kematian, jelang adzan dzuhur berkumandang.
Namun kisah-kisah selama ia hidup akan tetap membersamai anak-cucunya. Nasihat-nasihat dan pelajaran hidupnya akan tetap dikenang selama-lamanya. Jasa dan cerita-cerita tentangnya akan tetap hidup di antara warga desa.
Ia yang senang berbagi dan bercerita, kini sudah tak dapat berkata-kata, selama-lamanya.
Maka kisah masa-masa kejayaan kesultanan Banten yang sering diceritakan berulang-ulang ketika berkunjung ke kampung halaman sudah tak bisa didengar lagi. Pun dengan beribu kisah tentang suku Baduy yang diceritakan langsung dari teman seorang puun Cibeo saat muda itu kini tak akan ada lagi. Yang ada hanya potongan tak utuh dalam ingatan tentang cerita-cerita tadi.
Kini kisah hidupnya telah diakhiri. Ia telah dipanggil Illahi.
Maka berakhir pula kisah sang pembelah bukit yang membuat gempar orang-orang satu desa. Barangkali benar kata mereka, sungai Ciujung tak pantas dan takkan pernah dapat ‘diotak-atik’. Ada yang tak rela tempatnya diusik. Meski aku tak pernah percaya akan hal itu.
Memori seorang anak kelas 1 SD yang terheran-heran dengan kapal laut yang dilihatnya dari dalam kereta bersama kakeknya sebagai pengalaman pertama, kini hanya tinggal sebuah cerita. Juga ingatan si anak yang takjub pada gemerlap Ibukota Jakarta saat diajak pertama kali oleh sang kakek akan menjadi kenangan tak terlupa. Hanya, kini setelah dewasa si anak justru malah tak tertarik pada Ibukota.
Sang kakek itu telah tiada. Namun memori tentang sang kakek dan cucu kesayangannya itu tak akan pernah sirna.
Pada akhirnya, kita pun akan menyusul mereka yang telah meninggalkan kita lebih dulu. Ini hanya soal waktu. Kita hanya bisa berdoa semoga dapat dikumpulkan di tempat yang sama: sama-sama mulia.
Terima kasih yang tak terhingga karena telah mendidik dari kecil hingga saat ini. Terima kasih telah menjadi kakek sekaligus ayah bagi cucumu ini. Terima kasih telah tidak membiarkan sosok yang aku butuhkan hilang. Terima kasih telah menginspirasi. Selamat jalan, Abah. Sampai jumpa!
Antara Serang - Ciboleger, 22 Muharram 1438 H