Karena itu adalah hakikat hidup, maka sebenarnya kita harus menerima bahwa penderitaan adalah kenyataan hidup. Kita memang tidak dibenarkan untuk “menyerah kalah” terhadap penderitaan. Justru agama memerintahkan supaya kita terus berusaha dan berusaha, agar penderitaan tidak terjadi, atau yang telah terjadi lekas menyingkir. Tetapi agama juga mengajarkan bahwa jika kita menderita, kita tidak boleh menganggap penderitaan itu “khusus” hanya menimpa kita dan seolah-olah tidak pernah menimpa orang lain. Jika sampai hal itu terjadi, maka kita menderita di atas penderitaan. Kita akan mengalami penderitaan ganda yaitu, pertama, karena adanya penderitaan itu sendiri, dan kedua, karena akibat cara kita menerima dan melihat penderitaan itu secara “ngenes”, pesimis dan penuh keluhan. Ini lebih-lebih lagi tidak boleh terjadi pada orang yang beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pengasih dan Penyayang.
Berkenaan dengan ini, ada petunjuk Allah dalam Kitab Suci yang terjemahannya: “Janganlah kamu merasa lemah dan jangan pula merasa kuatir, padahal kamu ini lebih unggul, jika kamu memang adalah orang-orang yang beriman. Jika luka (penderitaan) menimpa kamu, maka luka (penderitaan) yang serupa juga menimpa golongan yang lain. Dan begitulah hari (masa kejayaan atau kejatuhan) Kami buat berputar diantara umat manusia, dan agar Allah mengetahui mereka yang benar-benar beriman, dan agar dia mengangkat para saksi diantara kamu. Allah tidak suka kepada mereka yang berbuat dzhalim” (QS. Al-Imran :140).
Jika kita diingatkan, bahwa jika suatu saat kita menderita, yaitu keadaan berjalan tidak seperti yang kita inginkan, dan kita gagal atau kalah dalam perjuangan hidup, dan lain-lain, kita harus menyadari bahwa hal yang serupa pun juga menimpa dan dialami oleh orang lain. Sekali waktu, untuk memahami situasi orang lain itu agar kita dapat labih baik memahami situasi kita sendiri, kita harus melakukan “empati”, yaitu menempatkan diri pada pada situasi orang lain itu, dan merasakan apa yang mereka rasakan. Jika kita lakuakan itu, maka akan tumbuh dalam diri kita sikap pengertian (understanding), sehingga “empati” memang biasanya membimbing kita kepada “simpati”, yaitu solidaritas kepada sesama, terutama kepada yang menderita.
Sebaliknya jika kita memandang bahwa penderitaan kita adalah “khusus” kepada kita sendiri, dan orang lain tidak, maka kita akan jatuh kepada ilusi bahwa semua orang bahagia hidupnya kecuali kita. Ini adalah suatu pesimisme. Dan dari seorang yang pesimis sulit sekali diharapkan timbulnya understanding, simpati dan solidaritas. Tetapi justru akan tumbuh subur dalam diri orang itu sifat cemburu dan dengki, yaitu sikap memusuhi orang lain yang kiranya lebih beruntung atau lebih bahagia. Ini kesengsaraan yang luar biasa. Maka Nabi SAW mengingatkan bahwa, “Dengki itu merusak kebaikan, seperti api yang membakar kayu bakar.”
asli dapet ngetik ulang dari sebuah buku berjudul "Pintu-Pintu Menuju Tuhan"
karya Cak Nur.
karya Cak Nur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar