Pagi ini hujan masih turun membasahi bumi. Kelanjutan dari hujan deras pagi buta tadi. Ia sisa hujan semenjak kemarin sore yang semalam sedikit mereda. Benarlah kata orang jika puncak kemalasan adalah ketika bangun pagi. Apalagi pagi buta. Ditambah hujan deras dan cuaca dingin bersamanya. Ah, puncak dari atas segala kemalasan! Tapi pagi buta tadi aku berhasil melawan itu semua. Kusingkap selimut yang membalutku semenjak beranjak ke peraduan beberapa jam sebelumnya. Bukan karena apa-apa, tak ada yang jadi imam untuk shalat shubuh untuk anak-anak santri.
Suasana pagi buta tadi itu membawaku pada masa beberapa tahun silam. Ini mungkin salah satu dampak dari hujan yang selalu didedungkan orang-orang: mengantarkan kenangan. Perpaduan derasnya hujan dan dinginnya shubuh bukan hanya menusuk hingga ke tulang, namun juga membawa ingatanku pada masa beberapa tahun kebelakang. Bersamanya aku dibawa ber-flasback tentang hal yang kujalani dalam kurun waktu tersebut.
Aku bersyukur semenjak itu aku ditempatkan oleh-Nya pada lingkungan yang 'memaksaku' untuk selalu menjalani ibadah-ibadah rutin kepada-Nya. Walau pada tahun-tahun awal cukup sulit untuk orang yang jauh dikatakan rajin dalam beribadah. Ini semua hampir seperti terpaksa. Akan jadi benar-benar terpaksa jika saja tak ada didikan sama sekali dari orang tua. Tahun kedua dan ketiga cukuplah ada perubahan. Walau tak signifikan. Ya, setidaknya tidak stagnan.
Setelah melewati tahun-tahun di tempat yang sama, di tahun keempat aku ditempatkan pada tempat yang berbeda oleh-Nya. Namun hampir sama. Sama-sama 'memaksaku' untuk melanjutkan rutinitasku dalam beribadah selama tiga tahun sebelumnya: shalat berjama'ah, shalat-shalat sunnah, tilawah Al-Qur'an, juga rutinitas ibadah lainnya. Hanya kali ini dengan posisi berbeda. Tiga tahun pula aku disana.
Mungkin ini cara-Nya menempatkan orang-orang yang belum bisa dikatakan baik. Allah menempatkan seseorang di tempat yang baik bukan berarti orang itu baik. Mungkin karena orang itu tidak baik dan disuruh memperbaiki diri. Iya kan? Aku sadar mungkin diri ini terlalu banyak dosa dan maksiat yang pernah diperbuat.
Pada awalnya menjalani semua rutinitas itu begitu berat. Aku berusaha melewati itu semua. Dan perlahan aku coba menjalani tidak hanya rutinitis belaka. Aku ingin menjalani setiap esensi dibaliknya.
Setelah enam tahun merasa sedikit cukup, aku memutuskan setahun keluar dari lingkungan tersebut. Setahun aku menjadi manusia bebas, menjadi mahasiswa kost-an yang hampir tak punya aturan. Kecuali aturan yang dibuatnya sendiri. Membuatnya pun sesuka hati. Namun kerinduan akan satu hal yang tak bisa aku jelaskan ternyata tak bisa dibohongi. Hingga itu terjawab dengan ditempatkannya kembali aku di lingkungan yang persis dengan setahun sebelumnya.
Aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri yang penuh dosa ini.
Aku bersyukur atas ditempatkannya aku ditempat-tempat yang setidaknya telah 'memaksaku' untuk tetap shalat berjama'ah dan menuntutku untuk beribadah sebaiknya-baiknya. Walau untuk saat ini mungkin itu semua masih sebatas rutinitas belaka.
Aku bersyukur atas ditempatkannya aku ditempat-tempat yang setidaknya telah 'memaksaku' untuk tetap shalat berjama'ah dan menuntutku untuk beribadah sebaiknya-baiknya. Walau untuk saat ini mungkin itu semua masih sebatas rutinitas belaka.
Aku bersyukur dalam kurun waktu semenjak masa SMA itu, setidaknya ada kenikmatan dalam beribadah yang pernah kurasakan, meski secuil. Dan walau dalam kurun waktu itu pula banyak dosa dan kekhilafan yang pernah kulakukan. *kemudian beristighfar*
Aku bersyukur Dia telah melatihku untuk konsisten dalam menjalankan rutinitas keagamaan semenjak SMA. Dan kini sudah akhir dari 2013 saja. Latihan-latihanku itu sudah kujalani lebih dari 8 tahun ternyata. Sudah sewindu semenjak 2005! *setidaknya itu sudah dikatakan cukup lah menjadi bekalku untuk melatih anak cucuku nantinya. :D
Hidupku di dunia masih panjang (semoga), baru sepertiga perjalanan jika mengacu pada jatah yang sama dengan yang Allah berikan pada Nabi Muhammad manusia kesayangannya. Dalam sepertiga perjalanan itu, sudah terlalu banyak hal yang Dia berikan padaku hingga aku malu untuk meminta lebih banyak lagi. Perkara istri, anak, studi, harta, gaji, dan juga materi lainnya adalah perkara-perkara yang membuatku malu untuk meminta semuanya itu. Bersyukur bagiku lebih dari cukup. Jauh lebih dari cukup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar