“Bukan kota yang padat dan gemerlap yang membuat negeri kita kukuh, tetapi desa-desa yang maju dan mandirilah yang akan membuat negeri kita kuat dan tangguh.” - Singgih S. Kartono
Ketidaksengajaan mengantarkan saya pada sebuah foto terkait sebuah kegiatan bernama 1st International Conference of Village Revitalition beberapa waktu lalu. Dengan digerakkan rasa penasaran, saya putuskan untuk browsing sana-sini, intip ini itu, add orang-orang untuk mengetahui kegiatan tersebut lebih detail lagi, hingga akhirnya saya berhasil dibuat berdecak kagum olehnya.
Bahwa kegiatan ini merupakan agenda dua tahunan milik International Conference of Design for Sustainability dari Jepang. Untuk pertama kalinya ia diselenggarakan di sebuah desa bernama Kandangan di daerah Temanggung, Jawa Tengah akhir Maret lalu. Dan dua tahun mendatang akan kembali diselenggarakan di Kyoto, Jepang.
Sesuai dengan namanya, kegiatan yang mengambil tema ‘It’s Time Back to Village’ ini terdiri dari berbagai diskusi, workshop, seminar, presentasi makalah, mengenai revitalisasi desa selama beberapa hari. Para pendatang, terutama orang-orang kota diajak untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk mengembangkan desa sesuai potensi besar yang dimiliki. Jadi pendatang atau pengunjung tidak hanya ‘menikmati’ desa, namun ada kontribusi yang diberikan pada apa yang mereka kunjungi. Kurang lebih begitulah konsepnya. Oiya, dalam kegiatan ini juga ada bike tour dengan sepeda bambu dan menginap di homestay unik di desa Kandangan.
Dengan konsep homestay sederhana yang berada tepat di pinggir sawah, jalanan menuju homestay melalui pematang, jalanan setapak yang rapi dengan tetap mempertahankan kesan alami, rumah pohon mungil di kebun kopi, bersepeda keliling desa dengan sepeda yang frame-nya dari bambu -yang kemudian saya kenal dengan nama Spedagi, berhasil membuat saya terkagum-kagum.
Adalah Singgih Susilo Kartono yang menjadi pelopor pengembangan desa ini. Ia benar-benar jeli melihat potensi desa kelahirannya. Dengan ilmu yang dimilikinya, kayu yang melimpah ia sulap menjadi radio kayu Magno yang mendunia. Kebiasaannya bersepeda dipadukan dengan banyaknya bambu di desa, berhasil membuat karya terbarunya: Spedagi. Sepeda dengan frame terbuat dari bambu ini baru dipasarkan awal tahun ini.
Dengan produknya yang mendunia, ia memiliki kolega-kolega di berbagai negara. Dengan itu pula ia mendapat dukungan untuk menyelenggarakan kegiatan semacam ini di desa. Dengan Magno dan Spedagi, ia memperkenalkan bahwa desa adalah tempat yang aman dan juga nyaman untuk menyelenggarakan konferensi internasional. Bahkan lebih dari itu.
Dengan produknya yang mendunia, ia memiliki kolega-kolega di berbagai negara. Dengan itu pula ia mendapat dukungan untuk menyelenggarakan kegiatan semacam ini di desa. Dengan Magno dan Spedagi, ia memperkenalkan bahwa desa adalah tempat yang aman dan juga nyaman untuk menyelenggarakan konferensi internasional. Bahkan lebih dari itu.
Segala yang saya temukan terkait konferensi, Kandangan, Spedagi, dan Pak Singgih, seolah telah membangunkan mimpi-mimpi masa kecil saya dulu. Dan dari sana pula semangat untuk membangun tempat kelahiran kembali menggelora. Jadi, fix-lah ini mah harus sama orang Banten. (?)
*Foto-foto dalam tulisan ini diambil oleh para peserta ICVR 2014
*Foto-foto dalam tulisan ini diambil oleh para peserta ICVR 2014
2 komentar:
Ahmad Anwar,
Terima kasih sdh menuliskan tentang kegiatan ICVR. Tulisan cukup bagus, hanya sedikit koreksi. ICVR adalah kegiatan konfrensi internasional ttg revitalisasi desa yang saya gagas dan rintis. ICVR bukan milik Jepang, tetapi kegiatan ICVR yg pertama dilakukan berkolaborasi dengan ICDS (Internasional Conference of Design for Sustainability) dari Jepang.
Salam,
Singgih
Wah, terima kasih atas kunjungan dan koreksiannya, Mas Singgih. Terharu saya. Salam kenal, Mas!
Posting Komentar