Kita berseru kata-kata cinta, tanpa pernah berbuat apa-apa. Hanya diucap tanpa diserap. Hanya dijalani tanpa isi. Lalu setelah kita berada di penghujung pertemuan, betapa kita menyesal karena pernah tak mengacuhkan. Benarlah kata sebuah syair lagu: kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya amatlah berharga. Dan inilah kita, merindui dia yang telah pergi, padahal saat hadir tak pernah padanya benar-benar mencintai.
Padanyalah seharusnya kita titipkan harapan perubahan. Padanya pula semestinya kita serahkan jiwa-jiwa kotor untuk dibersihkan. Kita pasrahkan diri untuk dididik padanya selama sebulan: Sekolah Ramadhan.
Lebaran bisa untuk semua, tapi Idul Fitri tidak. Lebaran bisa untuk anak-anak, dewasa, tua, renta, yang berpuasa atau tidak; sama saja. Mereka berbahagia, berpesta, bersuka cita. Tak lebih. Tapi Idul Fitri hanya untuk beberapa dari kita. Bagi mereka yang kita pun tak pernah tahu siapa-siapa saja. Bukankah puasa hanya urusan hamba dan Allah saja? Hanya berdua.
Di Idul Fitri kita bergembira sekaligus berduka. Menangis setelah sebelumnya tertawa. Merasa terbersihkan walau harus merasa ditinggalkan. Hingga kita kebingungan, selamat jalan atau selamat tinggalkah yang mesti kita ucapkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar