Saat uang menjadi simbol kemakmuran, kesejahteraan, dan kesuksesan, barangkali kita perlu menengok suku Lamalera di Lembata sana yang masih mengandalkan barter dalam transaksi di pasar-pasar tradisional. Itu terjadi dalam masyarakat modern yang mereka jalani. Atau tak usah jauh-jauh, tengok saja suku Baduy yang semua bentuk rumahnya serupa, –lagi sederhana. Pun dengan pakaian yang mereka gunakan tak ada yang menunjukan strata sosial dan kedudukan. Kekayaan mereka hanya diukur oleh jumlah lumbung padi yang mereka punya. Untuk dijual lalu kemudian ditukar dengan uang? Bukan. Tapi untuk makan beberapa waktu kedepan. Pantang bagi mereka menjual padi-padi yang mereka punya. Mereka tak begitu butuh dan bahkan tak tergantung dengan simbol-simbol kemakmuran, kesejahteraan, dan kesuksesan yang selama ini kita gunakan: uang.
Pertama: yang butuh uang sesungguhnya bukanlah kita, tapi transaksi yang kita cipta.
Coba sejenak kita lihat, saat kita kembali berkumpul setelah sekian tahun dengan teman-teman semasa sekolah atau kuliah misalnya, masing-masing dari kita membawa kendaraan pribadinya, pakaian terbaiknya, menyebutkan jabatannya di perusahaan ini dan itu. Masing-masing dari kita mungkin kita akan mengukur kesuksesan dengan keberlimpahan harta, juga dengan tingginya jabatan atau tahta, serta segala hal materi yang mengikutinya. Maka kadang ini bukan hanya menjadi sebuah reuni dan silaturahmi, tapi juga ajang unjuk prestasi dan eksistensi. Saat yang sama hilanglah kebanggaan bahwa anak kita yang baru menginjak usia 5 tahun telah hafal 3 juz dari Al-Qur’an. Tertutupi pula kesuksesan kita mendidik anak yang telah bisa dan terbiasa berbagi makanan dengan teman-temannya saat dari sang ibu ia mendapat makanan. Tak akan dianggap bahkan hilang eksistensi kita saat keberadaan kita punya peran ditengah-tengah masyarakat, –syukur-syukur memberi kebermanfaatan.
Kedua: kita seringkali hanya menilai segalanya dari hal-hal yang kasat mata. Yang tak kasat hilang entah kemana.
Manusia mengukur kesuksesan dari kekayaan dan uang yang dipunyanya. Jika itu ukuran kesuksesan, bagaimana dengan orang-orang yang lahir jauh sebelum kita? Dari zaman Rasulullah SAW hingga zaman setelahnya. Itu saja. Atau tak usah jauh-jauh, bagaimana dengan kakek saya yang tak pernah merasakan naik mobil pribadi seumur hidupnya? Rasa-rasanya mereka tidak bisa merasakan yang namanya kesuksesan sebagaimana yang kita definisikan. Sukses hanya itu menjadi milik mereka yang dapat memiliki hampir segalanya, yang dapat mempunyai apa yang mereka ingini. Mungkin begitu. Atau mungkin ukuran kesuksesan setiap zamannya memiliki definisi sendiri. Ia selalu berubah seiring waktu berganti. Ia pula tergantung dari sudut pandang mana kita melihat dan mendefinisikannya, –walau dalam agama kita telah diajari bahwa ukurannya adalah iman dan takwa.
Ketiga: sesungguhnya definisi sukses itu sendiri adalah nisbi. Tak ada yang tahu pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar