Jika adil harus sejak dalam pikiran, maka setia pun barangkali harus sejak dalam perasaan. Adil adalah perkara akal, sedangkan setia adalah perkara hati. Rasa-rasanya kita telah sepakat bahwa perkara hati (dan tentunya perkara rasa) seringkali membuat kita tersiksa.
Setia semestinya dimulai dari saat mengagumi, bukan ketika mulai mencintai atau mungkin memilliki. Cukuplah hanya satu orang yang bertahta dalam hati. Jika ada tamu datang mengetuk pintu, bukakan untuknya sejenak tanpa perlu mempersilahkannya menetap.
Kecenderungan lelaki adalah mendua, mentiga atau bahkan mungkin mengempat. Maka mejaga kesetiaan termasuk perkara tidak mudah sepertinya. Apalagi setia sejak dalam rasa, ketidakmudahannya akan menjadi berkali lipat bagi kita: kaum adam.
Ujian kesetiaan bagi tiap orang pasti berbeda. Tapi semuanya akan bermuara pada pembuktian tinggi-rendahnya kemampuan kita dalam mengolah rasa dan berinteraksi dengan hati.
Setelah memiliki saja pasti ada cobaan, apalagi belum memiliki, terlebih hanya sebatas mengagumi. Ah, rasa-rasanya pelik sekali.
Hati, jelang Januari dua ribu enam belas masehi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar