Kebahagiaan datang dan pergi silih berganti. Kadang cukup lama menyinggahi, kadang hanya sebentar menghampiri. Ia datang bisa diundang, bisa juga tidak; bertahan lama atau hanya sejenak, dan pergi sesuka hatinya. Kebahagiaan bisa datang karena satu hal, juga bisa rusak lalu pergi karena hal lain.
Ada kalanya kita disekap sebuah rasa saat melihat apa yang tidak ada dalam diri kita. Di saat bersamaan dia yang kita lihat juga memiliki rasa yang sama dengan apa yang kita rasa. Dia yang kita anggap memiliki kesempurnaan dan memiliki kelebihan, juga melihat pada kita apa yang tidak ia miliki dan punya. Baik hal materi atau pun hal lain.
Pada akhirnya kita sadar bahwa kita, manusia, selalu punya sifat bawaan: pandai memandingkan. Bahwa ternyata kita begitu ahli dalam membandingkan kekurangan kita dengan kelebihan orang lain. Kita sangat lihai menghitung apa yang kurang dari diri sendiri, lalu membandingkan dengan mereka yang memiliki apa yang kita tak punyai.
Kepandaian itu pada akhirnya mengundang sebuah rasa: iri. Kadang saling iri satu sama lain. Kita iri pada seseorang yang di saat bersamaan ia juga iri pada kita. Lucu bukan? Begitulah yang sering kita temukan dalam kehidupan. Banyak dari kita dijangkiti penyakit iri terhadap kehidupan seseorang. Hingga lahir peribahasa, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Padahal kita tak pernah tahu bahwa sang tetangga yang rumputnya terlihat lebih hijau itu juga merasa iri melihat rumput rumah kita terlihat lebih lebat dan rapi dari pada rumput miliknya.
Pada akhirnya sifat iri yang menggerogoti hati ini adalah pangkal dari perusak kebahagiaan. Kebahagiaan kadang rusak oleh sikap kita membanding-bandingkan. Benarlah bahwa membandingkan adalah aktifitas tak berkesudahan, dan juga melelahkan.
Bukan mencegah untuk tidak maju, tapi setiap dari kita telah ada porsi masing-masing yang telah disediakan. Jalan yang kita tempuh tak selamanya lurus tanpa tikungan, bisa jadi bahkan berputar jauh dulu ke belakang. Hingga akhirnya akan tiba pada tujuan.
Ingat-ingatlah pada sebuah nasihat dan sebuah pesan baginda kita bahwa jika pun harus membandingkan, bandingkanlah diri sendiri: yang dulu dengan yang sekarang; dan jika pun harus iri, irilah pada dua orang: dia yang diberi kelimpahan harta namun lebih banyak diinfakkan pada jalan kebaikan, dan dia yang dikaruniakan ilmu namun lebih banyak diajarkan dan diamalkan.
Pandeglang, penghujung 2017 masehi di bawah rintik hujan.
Ada kalanya kita disekap sebuah rasa saat melihat apa yang tidak ada dalam diri kita. Di saat bersamaan dia yang kita lihat juga memiliki rasa yang sama dengan apa yang kita rasa. Dia yang kita anggap memiliki kesempurnaan dan memiliki kelebihan, juga melihat pada kita apa yang tidak ia miliki dan punya. Baik hal materi atau pun hal lain.
Pada akhirnya kita sadar bahwa kita, manusia, selalu punya sifat bawaan: pandai memandingkan. Bahwa ternyata kita begitu ahli dalam membandingkan kekurangan kita dengan kelebihan orang lain. Kita sangat lihai menghitung apa yang kurang dari diri sendiri, lalu membandingkan dengan mereka yang memiliki apa yang kita tak punyai.
Kepandaian itu pada akhirnya mengundang sebuah rasa: iri. Kadang saling iri satu sama lain. Kita iri pada seseorang yang di saat bersamaan ia juga iri pada kita. Lucu bukan? Begitulah yang sering kita temukan dalam kehidupan. Banyak dari kita dijangkiti penyakit iri terhadap kehidupan seseorang. Hingga lahir peribahasa, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Padahal kita tak pernah tahu bahwa sang tetangga yang rumputnya terlihat lebih hijau itu juga merasa iri melihat rumput rumah kita terlihat lebih lebat dan rapi dari pada rumput miliknya.
Pada akhirnya sifat iri yang menggerogoti hati ini adalah pangkal dari perusak kebahagiaan. Kebahagiaan kadang rusak oleh sikap kita membanding-bandingkan. Benarlah bahwa membandingkan adalah aktifitas tak berkesudahan, dan juga melelahkan.
Bukan mencegah untuk tidak maju, tapi setiap dari kita telah ada porsi masing-masing yang telah disediakan. Jalan yang kita tempuh tak selamanya lurus tanpa tikungan, bisa jadi bahkan berputar jauh dulu ke belakang. Hingga akhirnya akan tiba pada tujuan.
Ingat-ingatlah pada sebuah nasihat dan sebuah pesan baginda kita bahwa jika pun harus membandingkan, bandingkanlah diri sendiri: yang dulu dengan yang sekarang; dan jika pun harus iri, irilah pada dua orang: dia yang diberi kelimpahan harta namun lebih banyak diinfakkan pada jalan kebaikan, dan dia yang dikaruniakan ilmu namun lebih banyak diajarkan dan diamalkan.
Pandeglang, penghujung 2017 masehi di bawah rintik hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar