Ada tiga penyakit di masyarakat yang karenanya bangsa mana pun dan dimana pun tidak akan mampu bersaing. Ketiga penyakit itu adalah kemisikinan, ketidaktahuan dan keterbelakangan. Ibarat tubuh, agar tahan terhadap berbagai macam penyakit, haruslah daya imunitasnya ditingkatkan, satu diantaranya adalah melalui vaksinasi. Nah, pendidikan merupakan salah satu bentuk ‘vaksin’ agar terhindar dari tiga penyakit tersebut. Selain sebagai ‘vaksin’, pendidikan juga merupakan elevator sosial untuk dapat meningkatkan status sosial. Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh dalam sambutannya ketika peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dengan tema “Meningkatkan Kualitas dan Akses Berkeadilan” 2 Mei 2013 yang lalu.
Banyak hal yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Yang terbaru adalah implementasi kurikulum 2013 yang –walaupun banyak menimbulkan pro dan kontra - tahun ajaran ini mulai diterapkan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah secara bertahap dan terbatas. Bertahap artinya tidak semua kelas, tetapi hanya kelas I dan kelas IV untuk jejang SD, kelas VII untuk jejang SMP, dan kelas X untuk jenjang SMA dan SMK. Terbatas artinya jumlah sekolah yang melaksanakannya diseusaikan dengan tingkat kesiapan sekolah. Baik secara teknis dan nonteknis.
Berbagai program dunia pendidikan seolah dipercepat demi mengejar semacam target pada tahun 2045, saat Indonesia merayakan ulang tahunnya yang ke-100. Saat generasi bangsa telah menjadi generasi emas dan mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang unggul. Itulah tekad yang jauh-jauh hari sudah dicanangkan. Optimisme itu muncul karena melihat bangsa ini memiliki anugerah yang luar biasa yang disebut bonus demografi. Yaitu saat negara lain dibuat khawatir dengan banyaknya generasi tua atau nonproduktif, Indonesia justru memiliki jumlah Sumber Daya Manusi (SDM) muda yang berlimpah.
Untuk membentuk generasi emas yang diharapkan itu, mulai saat ini para calon generasi emas tersebut perlu dipersiapkan. Salah satunya adalah dengan memfasilitasi mereka dengan akses pendidikan yang mudah dijangkau. Berbagai program digalakkan pemerintah, baik dari sisi ketersedian satuan pendidikan ataupun keterjangkauan dari sisi pembiayaan. Mulai dari sertifikasi guru hingga standar UN ditingkatkan. Dari program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hingga Bidik Misi diperbanyak. Dari anggaran untuk pendidikan yang tinggi hingga pergantian kurikulum yang intensitasnya ikut-ikutan tinggi.
Sayangnya segala upaya yang dilakukan belum maksimal. Terutama di daerah-daerah tertinggal. Salah satunya di Banten yang memiliki 2 dari 113 daerah tertinggal. Kedua daerah itu adalah Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Penulis pribadi menemukan salah satu contoh kasus belum maksimalnya upaya yang dilakukan pemerintah tersebut, yaitu di Sekolah Satu Atap di Desa Cilograng, Kecamatan Cilograng, Kabupaten Lebak. Guru di Sekolah Satu Atap ini hanya berjumlah dua orang. Bapak guru dan Ibu guru. Memprihatinkan. Keduanya diberi tanggung jawab penuh untuk menjadi tenaga pendidik di daerah terpencil dengan kemampuan dan ketersediaan fasilitas seadanya. Tidak hanya bergantian dalam mengajar, dalam berlibur dan mengambil cuti pulang kampung pun mereka harus bergantian. Sekolah benar-benar tidak bisa ditinggalkan bersamaan. Hal ini berlangsung cukup lama, hingga pada akhirnya kedua guru tersebut memilih menjadi sepasang suami istri dan memutuskan menetap disana.
Kekosongan guru ini memang masalah klasik. Tidak hanya di Banten tapi hampir di seluruh Indonesia. Terutama di daerah terluar, tertinggal, terdepan. Hal ini kemudian yang memunculkan gerakan Indonesia Mengajar yang diinisiasi Anies Baswedan pada tahun 2010 yang lalu. Hingga kemudian muncul gerakan-gerakan sejenis di daerah, bahkan hingga ke kampus-kampus. Gerakan Mari Mengajar salah satunya. Dan seperti biasa, pemerintah selalu memiliki program responsif dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Yaitu dengan munculnya Program Sarjana Mengajar di Daerah Terluar, Tertinggal, Terdepan. (SM3T) dua tahun kemudian.
Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan Indonesia Mengajar dan sejenisnya memiliki banyak dampak dan manfaat. Baik bagi para pengajarnya maupun bagi peserta didik dan sekolahnya. Bahkan bagi masyarakat sekitar. Namun harus diakui gerakan ini tidak dapat menjadi solusi masalah kekosongan guru. Dan juga tidak dapat menggantikan peran guru dalam mendidik dan mengajar. Karena pendidik dalam definisi Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi, baik itu sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya. Guru harus benar-benar memiliki kualifikasi. Ada kualitas tinggi yang harus dimiliki. Seperti di negara-negara maju, dimana guru adalah profesi yang prestisius. Gaji tinggi, kesejahteraan terjamin. Menjadi guru tidak mudah. Karena begitu banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Maka tak ayal jika guru-guru untuk pendidikan dasar banyak yang bergelar profesor. Hal ini karena pendidikan sejatinya merupakan suatu upaya mengubah pola fikir seorang manusia. Maka hendaknya pendidikan ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses perkembangan umat manusia.
Selain itu juga, pendidikan merupakan akumulasi dari proses yang berlangsung begitu lama. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengawal proses pendidikan ini. Bahkan ada yang mendefinisikan pendidikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Ia berlangsung tidak dalam batas usia tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup, sejak lahir (bahkan sejak awal hidup dalam kandungan) hingga mati. Maka tidak mudah menjadi guru dalam upaya membimbing dan mengawal peserta didik dalam menempuh proses pendidikannya. Dan tidak juga sosok guru ini tergantikan dengan mudahnya.
Namun sesungguhnya gerakan ini telah menjadi sebuah stimulus bagi pemerintah agar lebih peduli pada masalah-masalah dunia pendidikan, dalam hal ini kekosongan guru di daerah tertinggal. Salah satunya ditunjukkan dengan sikap responsif pemerintah tadi dengan program SM3T-nya. Pemerintah seolah dibukakan matanya tentang realita pendidikan di Indonesia.
Maka kedepan butuh lebih banyak stimulus-stimulus yang harus diciptakan untuk dapat merangsang pemerintah. Agar pemerintah disadarkan dan dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi dengan dunia pendidikan Indonesia. Terutama di daerah terluar, tertinggal, terdepan. Harus ada sebuah formulasi khusus agar pemerintah lebih peka dan dapat melihat dengan jelas masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini, tidak hanya dunia pendidikan. Dan mahasiswa dianggap paling mumpuni mengambil peran ini. Bukan lagi hanya dengan formulasi dalam bentuk demonstrasi yang –walaupun mahasiswa mengklaim bertujuan baik - justru menjadikan citra buruk di masyarakat.
Apapun bentuk formula itu kemudian, pada intinya setiap dari kita memang harus punya peran dalam pendidikan dinegeri ini. Baik secara langsung ataupun tidak langsung. Karena mendidik, seperti kata Anies Baswedan, adalah bukan hanya tugas guru, tugas sekolah ataupun tugas pemerintah tapi mendidik adalah tugas dan tanggung jawab setiap orang terdidik. Kesadaran ini memang harus tertanam dengan baik dalam setiap diri orang terdidik di negeri ini, salah satunya mahasiswa. Sehingga tiga penyakit yang karenanya sebuah bangsa tidak akan mampu bersaing, tidak menjangkiti bangsa ini. Atau, bangsa ini memang sudah terjangkiti dan sedang berusaha mengobatinya?
*tulisan publikasi ulang ini merupakan sanksi ketidakhadiran saya pada taklimat pertama jelang kegiatan Mari Mengajar di pedalaman Banten tahun lalu.