Jumat, 08 Desember 2017

Perusak Kebahagiaan

Kebahagiaan datang dan pergi silih berganti. Kadang cukup lama menyinggahi, kadang hanya sebentar menghampiri. Ia datang bisa diundang, bisa juga tidak; bertahan lama atau hanya sejenak, dan pergi sesuka hatinya. Kebahagiaan bisa datang karena satu hal, juga bisa rusak lalu pergi karena hal lain.

Ada kalanya kita disekap sebuah rasa saat melihat apa yang tidak ada dalam diri kita. Di saat bersamaan dia yang kita lihat juga memiliki rasa yang sama dengan apa yang kita rasa. Dia yang kita anggap memiliki kesempurnaan dan  memiliki kelebihan, juga melihat pada kita apa yang tidak ia miliki dan punya. Baik hal materi atau pun hal lain.

Pada akhirnya kita sadar bahwa kita, manusia, selalu punya sifat bawaan: pandai memandingkan. Bahwa ternyata kita begitu ahli dalam membandingkan kekurangan kita dengan kelebihan orang lain. Kita sangat lihai menghitung apa yang kurang dari diri sendiri, lalu membandingkan dengan mereka yang memiliki apa yang kita tak punyai.

Kepandaian itu pada akhirnya mengundang sebuah rasa: iri. Kadang saling iri satu sama lain. Kita iri pada seseorang yang di saat bersamaan ia juga iri pada kita. Lucu bukan? Begitulah yang sering kita temukan dalam kehidupan. Banyak dari kita dijangkiti penyakit iri terhadap kehidupan seseorang. Hingga lahir peribahasa, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Padahal kita tak pernah tahu bahwa sang tetangga yang rumputnya terlihat lebih hijau itu juga merasa iri melihat rumput rumah kita terlihat lebih lebat dan rapi dari pada rumput miliknya.

Pada akhirnya sifat iri yang menggerogoti hati ini adalah pangkal dari perusak kebahagiaan. Kebahagiaan kadang rusak oleh sikap kita membanding-bandingkan. Benarlah bahwa membandingkan adalah aktifitas tak berkesudahan, dan juga melelahkan.

Bukan mencegah untuk tidak maju, tapi setiap dari kita telah ada porsi masing-masing yang telah disediakan. Jalan yang kita tempuh tak selamanya lurus tanpa tikungan, bisa jadi bahkan berputar jauh dulu ke belakang. Hingga akhirnya akan tiba pada tujuan.

Ingat-ingatlah pada sebuah nasihat dan sebuah pesan baginda kita bahwa jika pun harus membandingkan, bandingkanlah diri sendiri: yang dulu dengan yang sekarang; dan jika pun harus iri, irilah pada dua orang: dia yang diberi kelimpahan harta namun lebih banyak diinfakkan pada jalan kebaikan, dan dia yang dikaruniakan ilmu namun lebih banyak diajarkan dan diamalkan.

Pandeglang, penghujung 2017 masehi di bawah rintik hujan.



Jumat, 25 November 2016

Surat untuk Perbankan Syariah

Harus kita akui, bahwa ada sebuah dikotomi yang terjadi di negeri ini. Diawali dari dunia pendidikan dimana terjadi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama. Keduanya seolah berdiri sendiri tanpa adanya saling keterkaitan satu sama lain. Ilmu umum ya ilmu umum, ilmu agama ya ilmu agama. Benar-benar terpisah. Masih terekam dalam ingatan kita bagaimana ketika kita masih menempuh pendidikan di sekolah dasar atau pun menengah, sulit untuk menemukan perihal agama dalam pelajaran ilmu alam, bahkan menjadi mustahil kita temukan kata Allah dalam pelajaran ilmu sosial. Pun begitu yang ada dalam ilmu ekonomi. Yang kita pelajari hanya nilai-nilai penuh kebebasan tentang ekonomi, ajaran-ajaran yang menumbuhkan sikap materialistik, dan konsep yang menganggap manusia sebagai faktor produksi semata.

Hal ini tidak hanya terjadi di dunia pendidikan, namun kemudian merambat ke dunia kerja. Orang-orang hanya semata-mata mencari harta dalam bekerja. Tak ada motivasi ibadah dalam melakukan pekerjaan yang mereka geluti. Lebih memprihatinkannya lagi banyak yang tak mempedulikan aspek agama dalam mencari nafkah, sehingga terkadang menghalalkan segala cara. Yang terpenting mendapatkan uang untuk dapat menghidupi diri sendiri dan keluarga. Buah dari pendidikan yang mengajarkan materialistik tadi.

Lahirnya International Development Bank (IDB) tahun 1975 di dunia internasional, dan Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 di negeri kita, menjadi tonggak bangkitnya kembali Ekonomi Islam yang selama ini seolah menghilang entah kemana. Bagi saya, bangkitnya Ekonomi Islam sama halnya dengan pudarnya dikotomi ilmu yang berlangsung berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun di negeri ini -yang merupakan warisan kolonial penganut paham imperialis dan liberalis. Mengapa? Karena Ekonomi Islam merupakan perpaduan ilmu umum (ilmu ekonomi) dan ilmu agama (fiqh muamalah dan ushul fiqh).

Implementasi awal dan paling nyata dari ilmu Ekonomi Islam ini adalah perbankan syariah. Perbankan syariah dalam bayangan saya, menjadi wadah setiap orang untuk beribadah. Ketika orang-orang ingin menabung, mereka benar-benar memperhitungkan agama dalam memilih tempat menyimpan uang mereka. Mereka ingin agar harta mereka dikelola secara syariah Islam. Begitu juga dalam melakukan pengajuan pembiayaan, ada harapan yang sama dalam benak mereka. Dan bagi orang-orang yang berada di bank syariah sendiri pun, mereka tidak hanya sekedar memperhitungkan gaji yang besar, namun melihat keberkahan dari gaji yang mereka dapat, sehingga harta yang digunakan untuk menafkahi keluarga pun menjadi berkah. Ada unsur agama dan motivasi ibadah yang masuk kedalam ranah ini.

Amatlah begitu besar harapan saya terhadap keberadaan perbankan syariah dalam upaya mereduksi bahkan menghilangkan dikotomi yang telah mengakar di semua lini di negeri ini. Walau butuh waktu yang tidak sebentar, saya sangat optimis hal tersebut akan tercapai. Saya sudah muak berabad lamanya kita menjadi manusia materialistis. Hanya semata-mata mengejar harta dan mengedapankan nafsu dalam mencari penghidupan di dunia ini. Padahal kita adalah khalifah yang Allah tugaskan untuk mengelola segala yang ada di dunia ini sebagai bentuk ibadah kita padaNya.

Saya berharap kedepannya perbankan syariah benar-benar mempertahankan prinsip-prinsip syariah dalam produk-produk yang dimilikinya. Bukan hanya menyesuaikan kebutuhan pasar tanpa mengindahkan prinsip-prinsip syariah tersebut. Demi mengejar keuntungan semata. Maka yang terjadi nanti, bukannya pasar yang menyesuaikan prinsip syariah, namun malah prinsip syariah yang menyesuikan pasar sehingga pudarlah kesyariahan bank syariah tersebut. Dan pudarlah harapan saya -dan mungkin harapan sebagian besar orang, yang begitu besar terhadap perbankan syariah dalam memajukan Ekonomi Islam sebagai bagian dari upaya memadukan ilmu umum dan ilmu agama.

Senin, 24 Oktober 2016

Dialah Kakekku

Ia adalah orang yang mengajariku agar jangan pernah menyerah pada apapun, siapapun dan bagaimanapun keadaan. Yang menanamkan semangat melakukan hal-hal yang orang lain anggap tidak mungkin untuk membuka sebuah kemungkinan. Yang telah mengisi dan menggantikan sosok yang teramat penting dalam kehidupan. Dan yang secara tidak langsung menanamkan karakter-karakter positif dari apa yang ia lakukan. Ya, dialah kakekku: Mahbub bin Abdul Fakar.

Namun kini ia telah sampai di akhir perjalanan. Usianya telah dicukupkan, rezekinya telah disempurnakan, kesempatan beribadahnya sudah tak lagi diberikan. Karena malaikat penjemputnya telah datang, tadi siang.

Maka kini, tak akan ada kisah masa muda heroik nan berapi-api yang dapat diceritakan lagi: kisah anak muda yang mengajak pembangunan mesjid pertama desa dengan bergotong-royong dengan seluruh warga; kisah pengalaman mondok dari satu pesantren ke pesantren lain, mencari satu guru dari daerah satu ke daerah lain; juga kisah-kisah lain mulai dari ikut pemugaran benteng Surosowan dengan berjalan kaki berhari-hari, hingga kisah mengadili seorang anggota PKI.
 
Jasadnya telah dikuburkan, namanya hanya tinggal aksara di atas batu nisan. Ia telah dijemput kematian, jelang adzan dzuhur berkumandang.
 
Namun kisah-kisah selama ia hidup akan tetap membersamai anak-cucunya. Nasihat-nasihat dan pelajaran hidupnya akan tetap dikenang selama-lamanya. Jasa dan cerita-cerita tentangnya akan tetap hidup di antara warga desa.
 
Ia yang senang berbagi dan bercerita, kini sudah tak dapat berkata-kata, selama-lamanya.
 
Maka kisah masa-masa kejayaan kesultanan Banten yang sering diceritakan berulang-ulang ketika berkunjung ke kampung halaman sudah tak bisa didengar lagi. Pun dengan beribu kisah tentang suku Baduy yang diceritakan langsung dari teman seorang puun Cibeo saat muda itu kini tak akan ada lagi. Yang ada hanya potongan tak utuh dalam ingatan tentang cerita-cerita tadi.
 
Kini kisah hidupnya telah diakhiri. Ia telah dipanggil Illahi.
 
Maka berakhir pula kisah sang pembelah bukit yang membuat gempar orang-orang satu desa. Barangkali benar kata mereka, sungai Ciujung tak pantas dan takkan pernah dapat ‘diotak-atik’. Ada yang tak rela tempatnya diusik. Meski aku tak pernah percaya akan hal itu.
 
Memori seorang anak kelas 1 SD yang terheran-heran dengan kapal laut yang dilihatnya dari dalam kereta bersama kakeknya sebagai pengalaman pertama, kini hanya tinggal sebuah cerita. Juga ingatan si anak yang takjub pada gemerlap Ibukota Jakarta saat diajak pertama kali oleh sang kakek akan menjadi kenangan tak terlupa. Hanya, kini setelah dewasa si anak justru malah tak tertarik pada Ibukota.
 
Sang kakek itu telah tiada. Namun memori tentang sang kakek dan cucu kesayangannya itu tak akan pernah sirna.
 
Pada akhirnya, kita pun akan menyusul mereka yang telah meninggalkan kita lebih dulu. Ini hanya soal waktu. Kita hanya bisa berdoa semoga dapat dikumpulkan di tempat yang sama: sama-sama mulia.

Terima kasih yang tak terhingga karena telah mendidik dari kecil hingga saat ini. Terima kasih telah menjadi kakek sekaligus ayah bagi cucumu ini. Terima kasih telah tidak membiarkan sosok yang aku butuhkan hilang. Terima kasih telah menginspirasi. Selamat jalan, Abah. Sampai jumpa!
 
Antara Serang - Ciboleger, 22 Muharram 1438 H

Jumat, 23 September 2016

Bekal Pulang

“The most important thing in this life is not this life.” – A. Riawan Amin
Hidup adalah sebuah perjalanan. Begitu kata orang. Kita menempuh satu dua rute untuk menuju satu dua tujuan. Kita jatuh-bangun-tegak-berdiri untuk meraih beberapa capain yang diinginkan. Rute dengan jalan-terjal-aral-merintang menghadang selama beperjalanan. Susah-senang-suka-duka pun dialami dalam menjalani kehidupan. Ya, hidup memanglah sebuah perjalanan.
 
Yang kemudian perlu selalu kita ingat bahwa perjalanan ini tak akan terjadi selamanya. Hanya sementara. Akan tiba masa kita harus kembali pulang, ke kampung halaman kita sesungguhnya. Maka sudah seharusnya ada yang kita bawa. Bukan karena itu adalah buah tangan untuk sanak saudara, tapi dalam perjalanan ini kita memang diharuskan membawa bekal sebagai prasyarat menjalani kehidupan selanjutnya. Hidup di kampung halaman, selamanya. Sebaik apa bekal kita, sebaik itu pula hidup kita di sana, pun begitu sebaliknya.
 
Keindahan dan kesenangan selama beperjalanan seringkali membuat kita lebih fokus pada perjalanan dan lupa pada apa yang harus dipersiapkan untuk pulang. Hingga kadang kita berfikir bahwa apa yang sedang dijalani saat ini akan selamanya dinikmati.
 
Menjadi lucu jika kita terlalu menikmati perjalanan hingga lupa membeli tiket pulang. Bahkan lupa pada pulang itu sendiri. Lupa bahwa kita punya tempat pulang yang sesungguhnya. Dan itulah sebenar-benarnya tujuan perjalanan. Beperjalanan untuk kembali pulang. Sejatinya tiket pulang sudah seharusnya dipersiapkan semenjak dini. Persiapan bekal untuk dibawa pulang tak harus ditunda-tunda nanti. Karena perjalanan ini, kita tak pernah tahu kapan akan diakhiri.
 
Sungguh hidup ini hanya sekejap. Perbandingannya hanya dua jam menurut perhitungan akhirat. Tak lebih dari dua jam bahkan. Maka kemudian Rasulullah menggambarkan bahwa kita dalam menjalani hidup, layaknya seorang pengelana yang duduk beristirahat sejenak di bawah rindangnya pohon lalu kemudian meninggalkannya. Hanya beristirahat sejenak, tak sampai terlelap, apalagi menetap. Namun rindang dan sejuknya naungan pohon saat terik sinar matahari kadang bisa menjadi serasa surga.
 
Maka setelah sampai sejauh ini menempuh perjalanan, sudah sebanyak apa persiapan bekal kita untuk pulang? Sekali lagi, kita tak pernah tahu kapan perjalanan ini akan diakhiri. Entah nanti, atau beberapa saat lagi.

Jumat, 26 Agustus 2016

Rezeki

Sama halnya dengan kebahagiaan yang tak selalu diukur dengan harta bergelimang, rezeki pun tak selalu diukur dengan besarnya gaji setiap bulan. Ada yang digit gajinya hingga delapan, namun di akhir bulan selalu merasa kekurangan. Namun ada pula yang penghasilannya jutaan awal bahkan kurang, namun selalu Allah cukupkan dalam kebutuhan.

Rezeki pun sebenarnya tak harus selalu diidentikkan dengan uang dan materi. Uang yang kita cari demi transaksi kita yang harus terus dibiayai, bukanlah satu-satunya bentuk rezeki yang kita miliki. Ada yang dilimpahi kekayaan hingga tujuh turunan namun hidupnya jauh dari ketenangan, memiliki teman hanya karena kepentingan, ilmu yang didapat tanpa kebermanfaatan dan pengamalan, sahabat dan tetangga pun yang seperti tak punya. Namun ada yang hidupnya sederahana dalam harta, namun sahabat dan teman karibnya dimana-mana, segudang ilmunya dan sering dimintai pula, keberadaannya selalu dibutuhkan setiap tetangga.

Dalam hal bekerja, rezeki dicari dan dijemput semampu dan sekuat kita berupaya. Ikhtiar dijalankan tanpa harus memaksakan dan meninggalkan kewajiban: pada sesama dan pada Allah ta’ala. Tugas kita hanyalah memaksimalkan segala upaya dan memperbanyak segala doa, perkara hasil bagaimana adalah bukan urusan kita sesungguhnya.

Rasa-rasanya makhluk terbaik untuk kita belajar darinya tentang hakikat rezeki dan ikhtiar memanglah cicak. Andai kita jadi cicak, barangkali setiap harinya kita akan sesak. Bagaimana tidak, hampir seluruh makanannya adalah binatang yang bisa terbang. Sedangkan ia, jangankan sayap, melompat pun ia tak bisa. Apakah kemudian ia memaksakan untuk meloncat dan berharap dapat terbang hingga mengabaikan kodratnya sebagai ciptaan Tuhan? Kita hanya dapat berikhtiar hingga batas maksimal kita bisa, perkara rezeki, sekali lagi, ia datangnya dari mana, itu ranah Yang Kuasa.

Sejenak mari kita melihat jauh ke belakang, bagaimana sayidina Umar menghadiahkan tanah ladang miliknya pada jalan Allah karena berladangnya membuat ia tertinggal shalat. Lalu bagaimana kita yang bahkan dengan mudahnya meninggalkan shalat karena pekerjaan yang tak habis-habisnya.

Maka sudah yakinkah akan bahagia saat bergelimang harta? Sudah siapkah bahwa selain kemiskinan, kekayaan pun salah satu bentuk ujian seperti yang Rasul kita takutkan: “Demi Allah bukanlah kemiskinan yang paling aku takutkan menimpa kalian, akan tetapi aku yang aku takutkan adalah dihamparkan kepada kalian kekayaan dunia, sebagaimana telah dihamparkan kepada umat sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba mendapatkannya hingga kalian binasa sebagaimana mereka binasa.” Naudzubillah.

Jumat, 22 Juli 2016

Mulai dari Nol

Ini adalah permulaan. Aku dari yang tak punya apa-apa, bukan siapa-siapa, belum menjadi apa-apa, dengan lancang menghadap ibumu sendirian dengan hanya bermodalkan cinta. Omong kosong macam apa coba? Tapi kau tahu, jawaban dari ibu (dan ayahmu) tak pernah aku sangka: selama kau bisa mencintai anakku seperti aku mencintanya, silahkan saja. Bawa ia.

Ini adalah perkara yang tak hanya melibatkan dua orang: kau dan aku. Bukan. Ini adalah perkara yang mengikutsertakan dua keluarga besar. Negara dan agama juga bahkan ikut di dalamnya. Bahkan kabarnya ada malaikat hadir saat akad terucap. Maka kemudian hubungan ini tak hanya harus direstui penduduk bumi, tapi harus direstui penduduk langit juga.

Ini adalah iftitah. Jalinan hubungan ini membuka segala pintu kabarnya: rezeki, amal baru, saudara, keluarga, bahkan mungkin dunia baru yang berbeda dari sebelumnya. Tapi dari semua itu, sederhana saja bagiku: adalah ketika kau akan nantinya selalu mengingatkanku untuk mendekatkan diri pada-Nya. Karena kau adalah salah satu jalan bagiku menuju surga. Kau bagiku adalah ladang mengumpulkan pahala. Bukankah bergenggaman tangan saja kita sudah mendapatkan ganjaran dari-Nya? Atau selain dari itu, keberadaan kita diakui oleh tetangga dan masyarakat sekitar kita.

Ini adalah sebuah awal. Aku bersamamu seperti mengatur ulang hidup yang akan dijalani ke depan. Merencanakan kembali dimana akan tinggal dan mencari nafkah, dengan cara apa dan lahan seperti apa mengais rezeki, bagaimana mengamalkan ilmu yang dipunyai dan dalam bentuk apa pada masyarakat kita mengabdi, dan hal-hal lebih kecil lainnya yang dibicarakan dan direncanakan bersama.

Ini rasa-rasanya seperti hidup baru. Memulai dari rumah baru, (bagimu) pekerjaan baru, tetangga baru, rencana-rencana baru, petualang-petualang baru, pun dengan masalah-masalah baru. Bukan tak mungkin nanti banyak aral merintang datang. Tapi apapun yang tejadi, percayalah akan selalu ada aku di sisi.

Orang-orang memulainya dari nol, aku dengan terus terang dan sedikit agak malu mengakui bukan hanya dari nol, bahkan dari minus.

Jumat, 03 Juni 2016

Ada Kenangan di Kampung Papandayan


Saya duduk dengan hati-hati di atas tumpukkan karung berisi satu setengah ton wortel bercampur tanah basah di luarnya. Bersama enam penumpang lain dan hujan gerimis khas pegunungan, kami diantarkan sebuah mobil pick up menuju pusat kota dari sebuah kampung kecil di kaki gunung Papandayan. Sejauh 30 km berkendara dengan jarak tempuh lebih dari dua jam, sejauh mata memandang hanyalah kebun teh hijau menghampar luas yang kami lihat. Jalan yang sebagian besar berbatu membuat perjalanan begitu menyiksa dan luasnya kebun teh ini seperti tiada habisnya. Kabarnya ini memang perkebunan teh terbesar ketiga di dunia seluas hampir tiga ribu hektar: perkebunan teh Malabar.

***
“Bade kamana, Kang?” tanya seorang pemuda paruh baya dengan logat sunda khas daerah priangan di selasar masjid setelah shalat ashar.

“Bade ka Pangalengan, teras ka Bandung, teras ka Bogor.”
saya menjawab lengkap.

Pria yang kemudian dikenal dengan nama Kang Ujang ini memberitahukan bahwa tak ada angkutan umum menuju  pusat kota dari kampung tempat kami berada. Jika pun ada, itu harus dari kampung tetangga yang jauhnya 10 km, sekitar satu jam jalan kaki. Tapi jika hari sudah lewat siang hampir mustahil rasanya angkutan umum ditemukan. Karena sehari hanya satu dua mobil yang beroperasi, itu pun di pagi hari. Maka jika ingin ke pusat kota selepas siang pilihannya hanya dua: minta diantarkan dengan motor warga dengan membayar hampir sepuluh kali lipat tarif Gojeg di Jakarta, atau jika beruntung bisa menumpang mobil pengangkut teh atau sayuran yang biasa lewat sebelum senja. Tentu saya memilih yang kedua.

***

Dua hari setelah hari pernikahan, saya bersama istri memutuskan melakukan perjalanan ke tempat yang sudah sering salah dari satu kami kunjungi. Pilihan dijatuhkan pada Gunung Papandayan setelah istri meyakinkan bahwa ia telah  6 kali mendaki gunung setinggi 2.665 mdpl tersebut. Mau tak mau saya harus percaya, walau saya punya rekor lebih dari itu: 17 kali pergi ke Baduy Dalam. :p hha..

Perjalanan mendaki gunung yang masuk ke wilayah Garut ini dan bermalam dengan bertenda disana tak berbeda jauh dengan yang dijalani umumnya para pendaki. Yang berbeda hanya momennya saja barangkali.

Pulangnya kami memutuskan jalur berbeda dari jalur kedatangan setelah bertanya dan mengumpulkan informasi dari beberapa warga dan penjaga warung di Pondok Salada, salah satu tempat mendirikan camp sebelum padang edeilweis terluas di Indonesia: Tegal Alun. Dengan keyakinan yang sudah membulat, dengan logistik dan perbekalan yang dianggap aman, dan perlengkapan yang dirasa sudah cukup, kami berdua memutuskan mengambil jalur yang sama sekali tak pernah kami bayangkan akan seperti apa. Setelah menimbang-nimbang dan berdiskusi cukup panjang, akhirnya kami berjalan perlahan mantap di atas jalan setapak berbatu menembus hutan gunung Papandayan.

Kekhawatiran tak dapat melanjutkan perjalanan dan kembali ke belakang datang saat sandal istri putus dan kakinya terkilir karena tergelincir akibat jalan licin yang dilalui air. Namun keraguan perjalanan selama lebih dari sejam itu sirna setelah kami tiba di perkebunan teh milik warga yang memang menjadi patokan kami. Kekhawatiran tersesat di gunung dan dihadang babi hutan yang masih sering ditemukan di Papandayan hilang setelah menemukan beberapa warga sedang memanen kentang di perkebunan. Bahkan dalam sekelebat pikiran saya, macan kumbang yang konon kabarnya masih ada di Papandaya menjadi salah satu hal yang saya takutkan.


Setelah mendapat pencerahan dari petani yang sedang panen raya -begitu kayanya, dan setelah berjalan hampir 3 jam, akhinya kami tiba di sebuah kampung yang dapat dikatakan cukup terpencil. Sebuah kampung di kaki Gunung Papandayan namun masuk wilayah Kabupaten Bandung yang berada di tengah-tengah perkebunan teh milik perusahaan negara. Sebuah kampung yang sejauh mata memandang hanyalah kebun teh terhampar luas tiada habis-habisnya. Batas wilayahnya hanya kebun teh, kebun teh, kebun teh, dan kebun teh. Hanya tingginya gunung Papandayan yang menghalangi. Sebuah kampung yang namanya sama dengan nama gunung dimana ia berada di kakinya: Kampung Papandayan.

Kampung Papandayan telah meninggalkan kenangan bagi kami berdua. Keasrian kampung yang khas seperti yang digambarkan dalam buku-buku sekolah mungkin tak akan kami temui lagi. Keramahan anak kecilnya yang berebut tangan kami kemudian menciuminya saat keluar dari masjid dan menunggu tumpangan sulit untuk dilupakan dari ingatan. Kampung yang telah memberikan pengalaman dan saudara baru hingga kami memutuskan suatu saat akan kembali ke sana. Kebaikan pemilik pick up dan satu setengah ton wortel yang memberi kami tumpangan dan minuman kepada istri serta obrolan hangat selama perjalanan semoga mendapat balasan. Undangan dari Kang Oji, pemilik empat hektar perkebunan di kaki Gunung Papandayan, yang berniat akan mengajari kami bercocok tanam jika kami datang dan menginap di sana suatu saat akan kami penuhi. Entah kapan. Semoga kami diberi umur panjang dan kesempatan!