Selasa, 07 Agustus 2018

Untuk Sebuah Nama

Begitu banyak aku pernah merasakan kehilangan: cita-cita, keluarga, seseorang, harapan hingga kepercayaan. Namun tak pernah kubayangkan akan kehilangan seseorang yang bahkan belum dilahirkan. Dari sekian banyak kehilangan, barangkali ini adalah kehilangan yang paling menyedihkan untuk dirasakan.

Begitu banyak kepahitan yang pernah aku rasakan selama hidup ini: diusir dari rumah sendiri, dibakar dengan sengaja semua harta benda yang dipunyai, ditinggal ayah kandung sejak dalam buaian, hingga gagal masuk perguruan tinggi padahal telah lulus seleksi.  Barangkali apa yang kurasakan saat ini bisa menambah daftar panjang kepahitan yang pernah aku alami.

Barangkali, aku masih belum mampu menanggung amanah-amanah kecil yang selama ini diberi, hingga bagaimana jika diberikan amanah yang lebih besar nanti.

Bisa saja, shalat shubuh dan shalat wajibku masih seringkali tak tepat pada waktunya, hingga menjadi orang tua yang tak dapat menjadi teladan dalam urusan shalat adalah perkara berbahaya.

Kemungkinan, dalam harta yang kudapatkan, masih ada ketidakberkahan atau bahkan harta haram hingga itu tak layak diberikan pada ia yang hendak dilahirkan.

Untukmu, yang belum bernama, semoga saja berjumpa di surga.

Medio dua ribu delapan belas masehi.

Jumat, 05 Januari 2018

Belajar Dari Teman

Begitu banyak orang belajar dari kesuksesan orang lain, tapi tak sedikit pula orang yang belajar dari kegagalan orang lain. Memang seperti itulah harusnya kita: belajar dari orang lain. Karena benar kata orang-orang, usia kita di dunia tak akan cukup untuk menjalani semua hal dalam hidup.

Pun begitu dengan diriku, aku belajar dari seorang rekan. Aku tak bisa menyebutnya sebuah kesuksesan, juga tak ingin menyebutnya kegagalan.

Masih jelas dalam ingatanku saat itu, akhir 2008, setengah tahun setelah kelulusanku dari SMA, saat aku mendapat berita yang menyentak. Aku terkesiap mendengar kabar dari seorang kawan baik.

Kabar itu membawa ingatkanku kembali ke masa awal SMA, sekitar 3 tahun sebelumnya. Memori tentang rekanku itu, saat kami satu kelas. Dia seperti ingin menyerah saat itu, dan aku yakin dia akan menyerah karena merasa dirinya berada paling rendah. Dia menangis, dia tak tahan. Tapi aku coba yakinkan, sebisaku.. Hingga kemudian dia begitu gigih belajar, segigih-gigihnya. Aku tahu itu. Aku dapati bukti saat kelulusan, dia yang menempati posisi pertama dalam nilai ujian tertinggi.

Ah..! dia begitu hebat. Saat itu aku bangga pada dia sebagai seorang teman. Dia diterima di perguruan tinggi favorit. Sayangnya kebanggaanku itu runtuh saat jelang 2009, dia berhenti kuliah.

Aku sungguh sedih, tak tertahan. Aku yang sebenarnya tak terlalu ingin dan peduli pada bangku perkuliahan, detik itu juga aku menghujamkan sumpah pada diriku, tahun depan aku harus kuliah! Ini semacam dendam, entah pada apa atau siapa. Orang-orang menyebutnya ini dendam pada kehidupan. Aku tak ingin menyebutnya seperti itu. Dendam kok pada kehidupan?

Maka asal kau tahu, rekanku yang satu itu, adalah salah satu alasan, -dari sekian banyak alasan, dulu aku bisa bertahan hingga lebih dari 10 semester perkuliahan. Lalu lulus dengan predikat yang katanya amat memuaskan.

Aku ingin mengingat masa-masa perjuangan yang penuh kegigihan itu di tanah Madani, tanah perjuangan. Maka salah satu alasan juga kembalinya aku ke Cahaya Madani adalah untuk mengingat masa penuh perjuangan.

Jumat, 08 Desember 2017

Perusak Kebahagiaan

Kebahagiaan datang dan pergi silih berganti. Kadang cukup lama menyinggahi, kadang hanya sebentar menghampiri. Ia datang bisa diundang, bisa juga tidak; bertahan lama atau hanya sejenak, dan pergi sesuka hatinya. Kebahagiaan bisa datang karena satu hal, juga bisa rusak lalu pergi karena hal lain.

Ada kalanya kita disekap sebuah rasa saat melihat apa yang tidak ada dalam diri kita. Di saat bersamaan dia yang kita lihat juga memiliki rasa yang sama dengan apa yang kita rasa. Dia yang kita anggap memiliki kesempurnaan dan  memiliki kelebihan, juga melihat pada kita apa yang tidak ia miliki dan punya. Baik hal materi atau pun hal lain.

Pada akhirnya kita sadar bahwa kita, manusia, selalu punya sifat bawaan: pandai memandingkan. Bahwa ternyata kita begitu ahli dalam membandingkan kekurangan kita dengan kelebihan orang lain. Kita sangat lihai menghitung apa yang kurang dari diri sendiri, lalu membandingkan dengan mereka yang memiliki apa yang kita tak punyai.

Kepandaian itu pada akhirnya mengundang sebuah rasa: iri. Kadang saling iri satu sama lain. Kita iri pada seseorang yang di saat bersamaan ia juga iri pada kita. Lucu bukan? Begitulah yang sering kita temukan dalam kehidupan. Banyak dari kita dijangkiti penyakit iri terhadap kehidupan seseorang. Hingga lahir peribahasa, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Padahal kita tak pernah tahu bahwa sang tetangga yang rumputnya terlihat lebih hijau itu juga merasa iri melihat rumput rumah kita terlihat lebih lebat dan rapi dari pada rumput miliknya.

Pada akhirnya sifat iri yang menggerogoti hati ini adalah pangkal dari perusak kebahagiaan. Kebahagiaan kadang rusak oleh sikap kita membanding-bandingkan. Benarlah bahwa membandingkan adalah aktifitas tak berkesudahan, dan juga melelahkan.

Bukan mencegah untuk tidak maju, tapi setiap dari kita telah ada porsi masing-masing yang telah disediakan. Jalan yang kita tempuh tak selamanya lurus tanpa tikungan, bisa jadi bahkan berputar jauh dulu ke belakang. Hingga akhirnya akan tiba pada tujuan.

Ingat-ingatlah pada sebuah nasihat dan sebuah pesan baginda kita bahwa jika pun harus membandingkan, bandingkanlah diri sendiri: yang dulu dengan yang sekarang; dan jika pun harus iri, irilah pada dua orang: dia yang diberi kelimpahan harta namun lebih banyak diinfakkan pada jalan kebaikan, dan dia yang dikaruniakan ilmu namun lebih banyak diajarkan dan diamalkan.

Pandeglang, penghujung 2017 masehi di bawah rintik hujan.



Jumat, 25 November 2016

Surat untuk Perbankan Syariah

Harus kita akui, bahwa ada sebuah dikotomi yang terjadi di negeri ini. Diawali dari dunia pendidikan dimana terjadi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama. Keduanya seolah berdiri sendiri tanpa adanya saling keterkaitan satu sama lain. Ilmu umum ya ilmu umum, ilmu agama ya ilmu agama. Benar-benar terpisah. Masih terekam dalam ingatan kita bagaimana ketika kita masih menempuh pendidikan di sekolah dasar atau pun menengah, sulit untuk menemukan perihal agama dalam pelajaran ilmu alam, bahkan menjadi mustahil kita temukan kata Allah dalam pelajaran ilmu sosial. Pun begitu yang ada dalam ilmu ekonomi. Yang kita pelajari hanya nilai-nilai penuh kebebasan tentang ekonomi, ajaran-ajaran yang menumbuhkan sikap materialistik, dan konsep yang menganggap manusia sebagai faktor produksi semata.

Hal ini tidak hanya terjadi di dunia pendidikan, namun kemudian merambat ke dunia kerja. Orang-orang hanya semata-mata mencari harta dalam bekerja. Tak ada motivasi ibadah dalam melakukan pekerjaan yang mereka geluti. Lebih memprihatinkannya lagi banyak yang tak mempedulikan aspek agama dalam mencari nafkah, sehingga terkadang menghalalkan segala cara. Yang terpenting mendapatkan uang untuk dapat menghidupi diri sendiri dan keluarga. Buah dari pendidikan yang mengajarkan materialistik tadi.

Lahirnya International Development Bank (IDB) tahun 1975 di dunia internasional, dan Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 di negeri kita, menjadi tonggak bangkitnya kembali Ekonomi Islam yang selama ini seolah menghilang entah kemana. Bagi saya, bangkitnya Ekonomi Islam sama halnya dengan pudarnya dikotomi ilmu yang berlangsung berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun di negeri ini -yang merupakan warisan kolonial penganut paham imperialis dan liberalis. Mengapa? Karena Ekonomi Islam merupakan perpaduan ilmu umum (ilmu ekonomi) dan ilmu agama (fiqh muamalah dan ushul fiqh).

Implementasi awal dan paling nyata dari ilmu Ekonomi Islam ini adalah perbankan syariah. Perbankan syariah dalam bayangan saya, menjadi wadah setiap orang untuk beribadah. Ketika orang-orang ingin menabung, mereka benar-benar memperhitungkan agama dalam memilih tempat menyimpan uang mereka. Mereka ingin agar harta mereka dikelola secara syariah Islam. Begitu juga dalam melakukan pengajuan pembiayaan, ada harapan yang sama dalam benak mereka. Dan bagi orang-orang yang berada di bank syariah sendiri pun, mereka tidak hanya sekedar memperhitungkan gaji yang besar, namun melihat keberkahan dari gaji yang mereka dapat, sehingga harta yang digunakan untuk menafkahi keluarga pun menjadi berkah. Ada unsur agama dan motivasi ibadah yang masuk kedalam ranah ini.

Amatlah begitu besar harapan saya terhadap keberadaan perbankan syariah dalam upaya mereduksi bahkan menghilangkan dikotomi yang telah mengakar di semua lini di negeri ini. Walau butuh waktu yang tidak sebentar, saya sangat optimis hal tersebut akan tercapai. Saya sudah muak berabad lamanya kita menjadi manusia materialistis. Hanya semata-mata mengejar harta dan mengedapankan nafsu dalam mencari penghidupan di dunia ini. Padahal kita adalah khalifah yang Allah tugaskan untuk mengelola segala yang ada di dunia ini sebagai bentuk ibadah kita padaNya.

Saya berharap kedepannya perbankan syariah benar-benar mempertahankan prinsip-prinsip syariah dalam produk-produk yang dimilikinya. Bukan hanya menyesuaikan kebutuhan pasar tanpa mengindahkan prinsip-prinsip syariah tersebut. Demi mengejar keuntungan semata. Maka yang terjadi nanti, bukannya pasar yang menyesuaikan prinsip syariah, namun malah prinsip syariah yang menyesuikan pasar sehingga pudarlah kesyariahan bank syariah tersebut. Dan pudarlah harapan saya -dan mungkin harapan sebagian besar orang, yang begitu besar terhadap perbankan syariah dalam memajukan Ekonomi Islam sebagai bagian dari upaya memadukan ilmu umum dan ilmu agama.

Senin, 24 Oktober 2016

Dialah Kakekku

Ia adalah orang yang mengajariku agar jangan pernah menyerah pada apapun, siapapun dan bagaimanapun keadaan. Yang menanamkan semangat melakukan hal-hal yang orang lain anggap tidak mungkin untuk membuka sebuah kemungkinan. Yang telah mengisi dan menggantikan sosok yang teramat penting dalam kehidupan. Dan yang secara tidak langsung menanamkan karakter-karakter positif dari apa yang ia lakukan. Ya, dialah kakekku: Mahbub bin Abdul Fakar.

Namun kini ia telah sampai di akhir perjalanan. Usianya telah dicukupkan, rezekinya telah disempurnakan, kesempatan beribadahnya sudah tak lagi diberikan. Karena malaikat penjemputnya telah datang, tadi siang.

Maka kini, tak akan ada kisah masa muda heroik nan berapi-api yang dapat diceritakan lagi: kisah anak muda yang mengajak pembangunan mesjid pertama desa dengan bergotong-royong dengan seluruh warga; kisah pengalaman mondok dari satu pesantren ke pesantren lain, mencari satu guru dari daerah satu ke daerah lain; juga kisah-kisah lain mulai dari ikut pemugaran benteng Surosowan dengan berjalan kaki berhari-hari, hingga kisah mengadili seorang anggota PKI.
 
Jasadnya telah dikuburkan, namanya hanya tinggal aksara di atas batu nisan. Ia telah dijemput kematian, jelang adzan dzuhur berkumandang.
 
Namun kisah-kisah selama ia hidup akan tetap membersamai anak-cucunya. Nasihat-nasihat dan pelajaran hidupnya akan tetap dikenang selama-lamanya. Jasa dan cerita-cerita tentangnya akan tetap hidup di antara warga desa.
 
Ia yang senang berbagi dan bercerita, kini sudah tak dapat berkata-kata, selama-lamanya.
 
Maka kisah masa-masa kejayaan kesultanan Banten yang sering diceritakan berulang-ulang ketika berkunjung ke kampung halaman sudah tak bisa didengar lagi. Pun dengan beribu kisah tentang suku Baduy yang diceritakan langsung dari teman seorang puun Cibeo saat muda itu kini tak akan ada lagi. Yang ada hanya potongan tak utuh dalam ingatan tentang cerita-cerita tadi.
 
Kini kisah hidupnya telah diakhiri. Ia telah dipanggil Illahi.
 
Maka berakhir pula kisah sang pembelah bukit yang membuat gempar orang-orang satu desa. Barangkali benar kata mereka, sungai Ciujung tak pantas dan takkan pernah dapat ‘diotak-atik’. Ada yang tak rela tempatnya diusik. Meski aku tak pernah percaya akan hal itu.
 
Memori seorang anak kelas 1 SD yang terheran-heran dengan kapal laut yang dilihatnya dari dalam kereta bersama kakeknya sebagai pengalaman pertama, kini hanya tinggal sebuah cerita. Juga ingatan si anak yang takjub pada gemerlap Ibukota Jakarta saat diajak pertama kali oleh sang kakek akan menjadi kenangan tak terlupa. Hanya, kini setelah dewasa si anak justru malah tak tertarik pada Ibukota.
 
Sang kakek itu telah tiada. Namun memori tentang sang kakek dan cucu kesayangannya itu tak akan pernah sirna.
 
Pada akhirnya, kita pun akan menyusul mereka yang telah meninggalkan kita lebih dulu. Ini hanya soal waktu. Kita hanya bisa berdoa semoga dapat dikumpulkan di tempat yang sama: sama-sama mulia.

Terima kasih yang tak terhingga karena telah mendidik dari kecil hingga saat ini. Terima kasih telah menjadi kakek sekaligus ayah bagi cucumu ini. Terima kasih telah tidak membiarkan sosok yang aku butuhkan hilang. Terima kasih telah menginspirasi. Selamat jalan, Abah. Sampai jumpa!
 
Antara Serang - Ciboleger, 22 Muharram 1438 H

Jumat, 23 September 2016

Bekal Pulang

“The most important thing in this life is not this life.” – A. Riawan Amin
Hidup adalah sebuah perjalanan. Begitu kata orang. Kita menempuh satu dua rute untuk menuju satu dua tujuan. Kita jatuh-bangun-tegak-berdiri untuk meraih beberapa capain yang diinginkan. Rute dengan jalan-terjal-aral-merintang menghadang selama beperjalanan. Susah-senang-suka-duka pun dialami dalam menjalani kehidupan. Ya, hidup memanglah sebuah perjalanan.
 
Yang kemudian perlu selalu kita ingat bahwa perjalanan ini tak akan terjadi selamanya. Hanya sementara. Akan tiba masa kita harus kembali pulang, ke kampung halaman kita sesungguhnya. Maka sudah seharusnya ada yang kita bawa. Bukan karena itu adalah buah tangan untuk sanak saudara, tapi dalam perjalanan ini kita memang diharuskan membawa bekal sebagai prasyarat menjalani kehidupan selanjutnya. Hidup di kampung halaman, selamanya. Sebaik apa bekal kita, sebaik itu pula hidup kita di sana, pun begitu sebaliknya.
 
Keindahan dan kesenangan selama beperjalanan seringkali membuat kita lebih fokus pada perjalanan dan lupa pada apa yang harus dipersiapkan untuk pulang. Hingga kadang kita berfikir bahwa apa yang sedang dijalani saat ini akan selamanya dinikmati.
 
Menjadi lucu jika kita terlalu menikmati perjalanan hingga lupa membeli tiket pulang. Bahkan lupa pada pulang itu sendiri. Lupa bahwa kita punya tempat pulang yang sesungguhnya. Dan itulah sebenar-benarnya tujuan perjalanan. Beperjalanan untuk kembali pulang. Sejatinya tiket pulang sudah seharusnya dipersiapkan semenjak dini. Persiapan bekal untuk dibawa pulang tak harus ditunda-tunda nanti. Karena perjalanan ini, kita tak pernah tahu kapan akan diakhiri.
 
Sungguh hidup ini hanya sekejap. Perbandingannya hanya dua jam menurut perhitungan akhirat. Tak lebih dari dua jam bahkan. Maka kemudian Rasulullah menggambarkan bahwa kita dalam menjalani hidup, layaknya seorang pengelana yang duduk beristirahat sejenak di bawah rindangnya pohon lalu kemudian meninggalkannya. Hanya beristirahat sejenak, tak sampai terlelap, apalagi menetap. Namun rindang dan sejuknya naungan pohon saat terik sinar matahari kadang bisa menjadi serasa surga.
 
Maka setelah sampai sejauh ini menempuh perjalanan, sudah sebanyak apa persiapan bekal kita untuk pulang? Sekali lagi, kita tak pernah tahu kapan perjalanan ini akan diakhiri. Entah nanti, atau beberapa saat lagi.

Jumat, 26 Agustus 2016

Rezeki

Sama halnya dengan kebahagiaan yang tak selalu diukur dengan harta bergelimang, rezeki pun tak selalu diukur dengan besarnya gaji setiap bulan. Ada yang digit gajinya hingga delapan, namun di akhir bulan selalu merasa kekurangan. Namun ada pula yang penghasilannya jutaan awal bahkan kurang, namun selalu Allah cukupkan dalam kebutuhan.

Rezeki pun sebenarnya tak harus selalu diidentikkan dengan uang dan materi. Uang yang kita cari demi transaksi kita yang harus terus dibiayai, bukanlah satu-satunya bentuk rezeki yang kita miliki. Ada yang dilimpahi kekayaan hingga tujuh turunan namun hidupnya jauh dari ketenangan, memiliki teman hanya karena kepentingan, ilmu yang didapat tanpa kebermanfaatan dan pengamalan, sahabat dan tetangga pun yang seperti tak punya. Namun ada yang hidupnya sederahana dalam harta, namun sahabat dan teman karibnya dimana-mana, segudang ilmunya dan sering dimintai pula, keberadaannya selalu dibutuhkan setiap tetangga.

Dalam hal bekerja, rezeki dicari dan dijemput semampu dan sekuat kita berupaya. Ikhtiar dijalankan tanpa harus memaksakan dan meninggalkan kewajiban: pada sesama dan pada Allah ta’ala. Tugas kita hanyalah memaksimalkan segala upaya dan memperbanyak segala doa, perkara hasil bagaimana adalah bukan urusan kita sesungguhnya.

Rasa-rasanya makhluk terbaik untuk kita belajar darinya tentang hakikat rezeki dan ikhtiar memanglah cicak. Andai kita jadi cicak, barangkali setiap harinya kita akan sesak. Bagaimana tidak, hampir seluruh makanannya adalah binatang yang bisa terbang. Sedangkan ia, jangankan sayap, melompat pun ia tak bisa. Apakah kemudian ia memaksakan untuk meloncat dan berharap dapat terbang hingga mengabaikan kodratnya sebagai ciptaan Tuhan? Kita hanya dapat berikhtiar hingga batas maksimal kita bisa, perkara rezeki, sekali lagi, ia datangnya dari mana, itu ranah Yang Kuasa.

Sejenak mari kita melihat jauh ke belakang, bagaimana sayidina Umar menghadiahkan tanah ladang miliknya pada jalan Allah karena berladangnya membuat ia tertinggal shalat. Lalu bagaimana kita yang bahkan dengan mudahnya meninggalkan shalat karena pekerjaan yang tak habis-habisnya.

Maka sudah yakinkah akan bahagia saat bergelimang harta? Sudah siapkah bahwa selain kemiskinan, kekayaan pun salah satu bentuk ujian seperti yang Rasul kita takutkan: “Demi Allah bukanlah kemiskinan yang paling aku takutkan menimpa kalian, akan tetapi aku yang aku takutkan adalah dihamparkan kepada kalian kekayaan dunia, sebagaimana telah dihamparkan kepada umat sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba mendapatkannya hingga kalian binasa sebagaimana mereka binasa.” Naudzubillah.