Minggu, 08 Maret 2020

Hari Lahir


Tangis seorang bayi pecah di sebuah ruang ukuran 10 x 5 meter pada sebuah rumah sakit di salah satu kota. Bersamaan dengan itu, pecah pula tangis seorang lelaki muda bersama istri di sampingnya yang masih terbaring kesakitan di atas dipan. Tapi ini bukan tangis kesakitan, namun tangis kebahagiaan. Tangis sepasang suami istri setelah penantian yang cukup panjang. Sepanjang 3 kali kehamilan dan 3 kali pula disertai kegagalan. Inilah ia anak pertama dari keduanya yang lahir pada Sabtu, 7 Maret 2020 M atau Ahad, 13 Rajab 1441 H saat jarum jam menunjuk pada angka 8 lewat 15 menit malam hari. Mohon do'a agar ia menjadi manusia sebaik namanya: Dzakky Muttaqin Nurmadani.

Tertanda,
Sang suami beserta istri

A. Anwar Sanusi & R. Ifah Kholifah P.

Jumat, 18 Januari 2019

Setahun di Madani

Pintu gerbang ini masih sama dengan pintu gerbang yang pertama kali menyambut seorang anak SMP yang baru saja kehilangan harapan masuk SMA, hampir 14 tahun lalu. Dengan diantarkan guru-guru SMP dan ibunya, anak itu serasa mimpi bisa masuk melalui pintu gerbang ini.

Ilalang ini adalah ilalang yang sama dengan ilalang yang kutinggalkan lebih dari 10 tahun lalu. Ilalang terlebat dan tertinggi yang pertama kali kutemui yang musim berbungnya selalu dinanti. Bunga padang ilalang adalah salah satu pemandangan terindah di sini saat itu, pun hingga kini.

Tanah ini masih tanah dengan bau khas Tanah Madani yang sama seperti dulu. Ia akan semakin khas saat hujan lebat baru saja pergi, dan akan nampak makin indah saat datang kabut pagi-pagi sekali.

Langit ini adalah langit yang sama dengan langit lebih dari satu dekade dulu. Langit biru dengan iringan gumpalan awan seputih susu, dibatasi gunung karang menjulang di satu tepi dan barisan pegunungan indah rendah di tepi yang lainnya.

Pun langit malamnya adalah langit malam yang sama, langit hitam pekat yang selalu penuh bintang gemintang setiap malamnya, yang selalu menjadi penghias belajar malam-malam panjang 156 purnama lalu.

Matahari pagi ini pun adalah matahari yang sama dengan matahari yang selalu membuat takjub, yang mengobarkan api semangat dalam memulai hari, yang membuat salah satu dari kami selalu mengepalkan tangan dan berteriak kalimat “Allahu Akbar” setiap kali ia meninggalkan asrama menuju kelas lebih pagi dari yang lain, hampir dua windu lalu.

Masjid ini barangkali bukan masjid yang sama dengan masjid yang aku dan teman-teman sebut Masjid Sangkuriang karena dibangun begitu cepat seperti hanya dalam semalam. Tapi aura masjid ini masih sama dengan masjid dulu yang selalu menjadi tempat tafakkur, tadabbur, dan tempat paling banyak bersyukur. Kini pula ia telah bernama: Masjid Al-Madani.

Tanah lapang yang dulu penuh ilalang, yang pernah kami bersihkan bersama salah satu ustadz saat itu, kini telah berdiri asrama baru. Tepat di belakangnya berjejer empat mess untuk guru. Di salah satu mess itu kini menetap saya bersama istri tercinta.

Walau pasti pada banyak hal berbeda dan berubah, tapi ini tetaplah Tanah Madani, tanah yang dengan pesona dan kenangannya selalu mengundang kerinduan. Kerinduan yang begitu berat pada beberapa saat.

Madani yang sekarang, memang bukan Madani yang dulu. Bukan Madani yang seperti saya bayangkan, saya rasakan, dan saya banggakan seperti dulu. Tapi tanah ini adalah tanah impian. Tanah yang begitu saya mimpikan untuk dapat hidup kembali, sebagai apapun, di dalamnya.

Tanah Madani, Januari 2019

Selasa, 07 Agustus 2018

Untuk Sebuah Nama

Begitu banyak aku pernah merasakan kehilangan: cita-cita, keluarga, seseorang, harapan hingga kepercayaan. Namun tak pernah kubayangkan akan kehilangan seseorang yang bahkan belum dilahirkan. Dari sekian banyak kehilangan, barangkali ini adalah kehilangan yang paling menyedihkan untuk dirasakan.

Begitu banyak kepahitan yang pernah aku rasakan selama hidup ini: diusir dari rumah sendiri, dibakar dengan sengaja semua harta benda yang dipunyai, ditinggal ayah kandung sejak dalam buaian, hingga gagal masuk perguruan tinggi padahal telah lulus seleksi.  Barangkali apa yang kurasakan saat ini bisa menambah daftar panjang kepahitan yang pernah aku alami.

Barangkali, aku masih belum mampu menanggung amanah-amanah kecil yang selama ini diberi, hingga bagaimana jika diberikan amanah yang lebih besar nanti.

Bisa saja, shalat shubuh dan shalat wajibku masih seringkali tak tepat pada waktunya, hingga menjadi orang tua yang tak dapat menjadi teladan dalam urusan shalat adalah perkara berbahaya.

Kemungkinan, dalam harta yang kudapatkan, masih ada ketidakberkahan atau bahkan harta haram hingga itu tak layak diberikan pada ia yang hendak dilahirkan.

Untukmu, yang belum bernama, semoga saja berjumpa di surga.

Medio dua ribu delapan belas masehi.

Jumat, 05 Januari 2018

Belajar Dari Teman

Begitu banyak orang belajar dari kesuksesan orang lain, tapi tak sedikit pula orang yang belajar dari kegagalan orang lain. Memang seperti itulah harusnya kita: belajar dari orang lain. Karena benar kata orang-orang, usia kita di dunia tak akan cukup untuk menjalani semua hal dalam hidup.

Pun begitu dengan diriku, aku belajar dari seorang rekan. Aku tak bisa menyebutnya sebuah kesuksesan, juga tak ingin menyebutnya kegagalan.

Masih jelas dalam ingatanku saat itu, akhir 2008, setengah tahun setelah kelulusanku dari SMA, saat aku mendapat berita yang menyentak. Aku terkesiap mendengar kabar dari seorang kawan baik.

Kabar itu membawa ingatkanku kembali ke masa awal SMA, sekitar 3 tahun sebelumnya. Memori tentang rekanku itu, saat kami satu kelas. Dia seperti ingin menyerah saat itu, dan aku yakin dia akan menyerah karena merasa dirinya berada paling rendah. Dia menangis, dia tak tahan. Tapi aku coba yakinkan, sebisaku.. Hingga kemudian dia begitu gigih belajar, segigih-gigihnya. Aku tahu itu. Aku dapati bukti saat kelulusan, dia yang menempati posisi pertama dalam nilai ujian tertinggi.

Ah..! dia begitu hebat. Saat itu aku bangga pada dia sebagai seorang teman. Dia diterima di perguruan tinggi favorit. Sayangnya kebanggaanku itu runtuh saat jelang 2009, dia berhenti kuliah.

Aku sungguh sedih, tak tertahan. Aku yang sebenarnya tak terlalu ingin dan peduli pada bangku perkuliahan, detik itu juga aku menghujamkan sumpah pada diriku, tahun depan aku harus kuliah! Ini semacam dendam, entah pada apa atau siapa. Orang-orang menyebutnya ini dendam pada kehidupan. Aku tak ingin menyebutnya seperti itu. Dendam kok pada kehidupan?

Maka asal kau tahu, rekanku yang satu itu, adalah salah satu alasan, -dari sekian banyak alasan, dulu aku bisa bertahan hingga lebih dari 10 semester perkuliahan. Lalu lulus dengan predikat yang katanya amat memuaskan.

Aku ingin mengingat masa-masa perjuangan yang penuh kegigihan itu di tanah Madani, tanah perjuangan. Maka salah satu alasan juga kembalinya aku ke Cahaya Madani adalah untuk mengingat masa penuh perjuangan.

Jumat, 08 Desember 2017

Perusak Kebahagiaan

Kebahagiaan datang dan pergi silih berganti. Kadang cukup lama menyinggahi, kadang hanya sebentar menghampiri. Ia datang bisa diundang, bisa juga tidak; bertahan lama atau hanya sejenak, dan pergi sesuka hatinya. Kebahagiaan bisa datang karena satu hal, juga bisa rusak lalu pergi karena hal lain.

Ada kalanya kita disekap sebuah rasa saat melihat apa yang tidak ada dalam diri kita. Di saat bersamaan dia yang kita lihat juga memiliki rasa yang sama dengan apa yang kita rasa. Dia yang kita anggap memiliki kesempurnaan dan  memiliki kelebihan, juga melihat pada kita apa yang tidak ia miliki dan punya. Baik hal materi atau pun hal lain.

Pada akhirnya kita sadar bahwa kita, manusia, selalu punya sifat bawaan: pandai memandingkan. Bahwa ternyata kita begitu ahli dalam membandingkan kekurangan kita dengan kelebihan orang lain. Kita sangat lihai menghitung apa yang kurang dari diri sendiri, lalu membandingkan dengan mereka yang memiliki apa yang kita tak punyai.

Kepandaian itu pada akhirnya mengundang sebuah rasa: iri. Kadang saling iri satu sama lain. Kita iri pada seseorang yang di saat bersamaan ia juga iri pada kita. Lucu bukan? Begitulah yang sering kita temukan dalam kehidupan. Banyak dari kita dijangkiti penyakit iri terhadap kehidupan seseorang. Hingga lahir peribahasa, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Padahal kita tak pernah tahu bahwa sang tetangga yang rumputnya terlihat lebih hijau itu juga merasa iri melihat rumput rumah kita terlihat lebih lebat dan rapi dari pada rumput miliknya.

Pada akhirnya sifat iri yang menggerogoti hati ini adalah pangkal dari perusak kebahagiaan. Kebahagiaan kadang rusak oleh sikap kita membanding-bandingkan. Benarlah bahwa membandingkan adalah aktifitas tak berkesudahan, dan juga melelahkan.

Bukan mencegah untuk tidak maju, tapi setiap dari kita telah ada porsi masing-masing yang telah disediakan. Jalan yang kita tempuh tak selamanya lurus tanpa tikungan, bisa jadi bahkan berputar jauh dulu ke belakang. Hingga akhirnya akan tiba pada tujuan.

Ingat-ingatlah pada sebuah nasihat dan sebuah pesan baginda kita bahwa jika pun harus membandingkan, bandingkanlah diri sendiri: yang dulu dengan yang sekarang; dan jika pun harus iri, irilah pada dua orang: dia yang diberi kelimpahan harta namun lebih banyak diinfakkan pada jalan kebaikan, dan dia yang dikaruniakan ilmu namun lebih banyak diajarkan dan diamalkan.

Pandeglang, penghujung 2017 masehi di bawah rintik hujan.



Jumat, 25 November 2016

Surat untuk Perbankan Syariah

Harus kita akui, bahwa ada sebuah dikotomi yang terjadi di negeri ini. Diawali dari dunia pendidikan dimana terjadi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama. Keduanya seolah berdiri sendiri tanpa adanya saling keterkaitan satu sama lain. Ilmu umum ya ilmu umum, ilmu agama ya ilmu agama. Benar-benar terpisah. Masih terekam dalam ingatan kita bagaimana ketika kita masih menempuh pendidikan di sekolah dasar atau pun menengah, sulit untuk menemukan perihal agama dalam pelajaran ilmu alam, bahkan menjadi mustahil kita temukan kata Allah dalam pelajaran ilmu sosial. Pun begitu yang ada dalam ilmu ekonomi. Yang kita pelajari hanya nilai-nilai penuh kebebasan tentang ekonomi, ajaran-ajaran yang menumbuhkan sikap materialistik, dan konsep yang menganggap manusia sebagai faktor produksi semata.

Hal ini tidak hanya terjadi di dunia pendidikan, namun kemudian merambat ke dunia kerja. Orang-orang hanya semata-mata mencari harta dalam bekerja. Tak ada motivasi ibadah dalam melakukan pekerjaan yang mereka geluti. Lebih memprihatinkannya lagi banyak yang tak mempedulikan aspek agama dalam mencari nafkah, sehingga terkadang menghalalkan segala cara. Yang terpenting mendapatkan uang untuk dapat menghidupi diri sendiri dan keluarga. Buah dari pendidikan yang mengajarkan materialistik tadi.

Lahirnya International Development Bank (IDB) tahun 1975 di dunia internasional, dan Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 di negeri kita, menjadi tonggak bangkitnya kembali Ekonomi Islam yang selama ini seolah menghilang entah kemana. Bagi saya, bangkitnya Ekonomi Islam sama halnya dengan pudarnya dikotomi ilmu yang berlangsung berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun di negeri ini -yang merupakan warisan kolonial penganut paham imperialis dan liberalis. Mengapa? Karena Ekonomi Islam merupakan perpaduan ilmu umum (ilmu ekonomi) dan ilmu agama (fiqh muamalah dan ushul fiqh).

Implementasi awal dan paling nyata dari ilmu Ekonomi Islam ini adalah perbankan syariah. Perbankan syariah dalam bayangan saya, menjadi wadah setiap orang untuk beribadah. Ketika orang-orang ingin menabung, mereka benar-benar memperhitungkan agama dalam memilih tempat menyimpan uang mereka. Mereka ingin agar harta mereka dikelola secara syariah Islam. Begitu juga dalam melakukan pengajuan pembiayaan, ada harapan yang sama dalam benak mereka. Dan bagi orang-orang yang berada di bank syariah sendiri pun, mereka tidak hanya sekedar memperhitungkan gaji yang besar, namun melihat keberkahan dari gaji yang mereka dapat, sehingga harta yang digunakan untuk menafkahi keluarga pun menjadi berkah. Ada unsur agama dan motivasi ibadah yang masuk kedalam ranah ini.

Amatlah begitu besar harapan saya terhadap keberadaan perbankan syariah dalam upaya mereduksi bahkan menghilangkan dikotomi yang telah mengakar di semua lini di negeri ini. Walau butuh waktu yang tidak sebentar, saya sangat optimis hal tersebut akan tercapai. Saya sudah muak berabad lamanya kita menjadi manusia materialistis. Hanya semata-mata mengejar harta dan mengedapankan nafsu dalam mencari penghidupan di dunia ini. Padahal kita adalah khalifah yang Allah tugaskan untuk mengelola segala yang ada di dunia ini sebagai bentuk ibadah kita padaNya.

Saya berharap kedepannya perbankan syariah benar-benar mempertahankan prinsip-prinsip syariah dalam produk-produk yang dimilikinya. Bukan hanya menyesuaikan kebutuhan pasar tanpa mengindahkan prinsip-prinsip syariah tersebut. Demi mengejar keuntungan semata. Maka yang terjadi nanti, bukannya pasar yang menyesuaikan prinsip syariah, namun malah prinsip syariah yang menyesuikan pasar sehingga pudarlah kesyariahan bank syariah tersebut. Dan pudarlah harapan saya -dan mungkin harapan sebagian besar orang, yang begitu besar terhadap perbankan syariah dalam memajukan Ekonomi Islam sebagai bagian dari upaya memadukan ilmu umum dan ilmu agama.

Senin, 24 Oktober 2016

Dialah Kakekku

Ia adalah orang yang mengajariku agar jangan pernah menyerah pada apapun, siapapun dan bagaimanapun keadaan. Yang menanamkan semangat melakukan hal-hal yang orang lain anggap tidak mungkin untuk membuka sebuah kemungkinan. Yang telah mengisi dan menggantikan sosok yang teramat penting dalam kehidupan. Dan yang secara tidak langsung menanamkan karakter-karakter positif dari apa yang ia lakukan. Ya, dialah kakekku: Mahbub bin Abdul Fakar.

Namun kini ia telah sampai di akhir perjalanan. Usianya telah dicukupkan, rezekinya telah disempurnakan, kesempatan beribadahnya sudah tak lagi diberikan. Karena malaikat penjemputnya telah datang, tadi siang.

Maka kini, tak akan ada kisah masa muda heroik nan berapi-api yang dapat diceritakan lagi: kisah anak muda yang mengajak pembangunan mesjid pertama desa dengan bergotong-royong dengan seluruh warga; kisah pengalaman mondok dari satu pesantren ke pesantren lain, mencari satu guru dari daerah satu ke daerah lain; juga kisah-kisah lain mulai dari ikut pemugaran benteng Surosowan dengan berjalan kaki berhari-hari, hingga kisah mengadili seorang anggota PKI.
 
Jasadnya telah dikuburkan, namanya hanya tinggal aksara di atas batu nisan. Ia telah dijemput kematian, jelang adzan dzuhur berkumandang.
 
Namun kisah-kisah selama ia hidup akan tetap membersamai anak-cucunya. Nasihat-nasihat dan pelajaran hidupnya akan tetap dikenang selama-lamanya. Jasa dan cerita-cerita tentangnya akan tetap hidup di antara warga desa.
 
Ia yang senang berbagi dan bercerita, kini sudah tak dapat berkata-kata, selama-lamanya.
 
Maka kisah masa-masa kejayaan kesultanan Banten yang sering diceritakan berulang-ulang ketika berkunjung ke kampung halaman sudah tak bisa didengar lagi. Pun dengan beribu kisah tentang suku Baduy yang diceritakan langsung dari teman seorang puun Cibeo saat muda itu kini tak akan ada lagi. Yang ada hanya potongan tak utuh dalam ingatan tentang cerita-cerita tadi.
 
Kini kisah hidupnya telah diakhiri. Ia telah dipanggil Illahi.
 
Maka berakhir pula kisah sang pembelah bukit yang membuat gempar orang-orang satu desa. Barangkali benar kata mereka, sungai Ciujung tak pantas dan takkan pernah dapat ‘diotak-atik’. Ada yang tak rela tempatnya diusik. Meski aku tak pernah percaya akan hal itu.
 
Memori seorang anak kelas 1 SD yang terheran-heran dengan kapal laut yang dilihatnya dari dalam kereta bersama kakeknya sebagai pengalaman pertama, kini hanya tinggal sebuah cerita. Juga ingatan si anak yang takjub pada gemerlap Ibukota Jakarta saat diajak pertama kali oleh sang kakek akan menjadi kenangan tak terlupa. Hanya, kini setelah dewasa si anak justru malah tak tertarik pada Ibukota.
 
Sang kakek itu telah tiada. Namun memori tentang sang kakek dan cucu kesayangannya itu tak akan pernah sirna.
 
Pada akhirnya, kita pun akan menyusul mereka yang telah meninggalkan kita lebih dulu. Ini hanya soal waktu. Kita hanya bisa berdoa semoga dapat dikumpulkan di tempat yang sama: sama-sama mulia.

Terima kasih yang tak terhingga karena telah mendidik dari kecil hingga saat ini. Terima kasih telah menjadi kakek sekaligus ayah bagi cucumu ini. Terima kasih telah tidak membiarkan sosok yang aku butuhkan hilang. Terima kasih telah menginspirasi. Selamat jalan, Abah. Sampai jumpa!
 
Antara Serang - Ciboleger, 22 Muharram 1438 H