Aku :
"Tadz, ana boleh melihara burung ya?"
Ustadz : “Burung apa?”
Aku :
“Burung merpati. Boleh ya, Tadz?”
Ustadz : (mimik penuh
tanda tanya. tak memberi jawaban)
Aku :
"Ya, Tadz..? Boleh ya?!" (mencoba meyakinkan)
Ustadz : (diam
sejenak) "Tapi jangan sampai kotor."
Aku : "Na’am,
Tadz. Syukron, Tadz.." (pergi dengan begitu gembiranya).
Percakapan kecil itu mengawali niatku untuk memelihara burung
merpati, burung dara lebih tepatnya, saat aku SMA dulu, hampir 5 tahun lalu. Niat
yang awalnya dihinggapi kepesimisan, karena memang saat musim wabah flu burung
baru saja usai. Tapi keinginan untuk memelihara burung dara itu begitu kuat menghinggapiku.
Selain sebagai salah satu caraku untuk mengalihkan diri dari kejenuhan kegiatan
sekolah, aku juga rindu pada burung dara yang pernah aku pelihara di rumah saat
Sekolah Dasar dulu. Dengan memelihara burung dara juga, saat itu aku punya
mimpi untuk menjadikan sekolahku seperti kota-kota di eropa yang selalu di
hiasi burung jinak itu.
Akhirnya atas bantuan salah seorang adik kelas, aku mendapatkan 2
burung dara. Black dan Brown mereka kuberi nama, tak lain karena warna bulu
mereka hitam dan coklat pekat.
Dua minggu kulewatkan dengan membuat kandang, membeli pakan,
memberi makan tiap pagi sebelum sarapan, mengganti minum tiap 2 hari sekali, menengok
mereka diatas genset, hingga ku lepaskan mereka setelah dirasa cukup.
Perlu diketahui, adalah sebuah kebiasaan dari seekor burung dara
jika kita mengurungnya sekitar 2 minggu atau lebih di dalam kandang kemudian
melepaskannya, maka dia tak akan pergi begitu saja tetapi akan kembali ke
kandang tersebut, menganggapnya sebagai rumah tempat kembali sejauh manapun dia
pergi. Hingga pernah ada kejadian 2 tahun kemudian saat aku telah lulus. Saat ustadz
membawa mereka ke Jakarta, mereka dapat kembali ke kandangnya di sekolahku, di
Pandeglang, menempuh puluhan, bahkan ratusan kilometer untuk sampai kembali
kesana.
Beberapa minggu kemudian Black dan Brown kedatangan sepasang
merpati putih sebagai teman barunya. Mereka berteman, akrab, walau sebelumnya
sering berkelahi dan saling mematuki. Terlebih Black dan Brown yang mungkin merasa
ada penghuni asing di kandangnya, hingga akhirnya mereka 'berkolaborasi'
menghasilkan si Belang, percampuran dari warna putih dan hitam di bulu-bulunya.
Mereka tumbuh, berkembang biak dengan baik hingga jumlah mereka semua mencapai
12.
Aku bersama mereka tak sampai satu
semester, tapi jalinan persahabatan antara aku dan mereka begitu dekat, sampai
mereka hafal suara panggilan dan tepukan tanganku. Aku merasa, ada sebuah
ikatan yang tak dapat dijelaskan antara aku dan mereka. Bahkan setelah lulus
dari SMA, saat tiba di gerbang sekolah, aku melihat mereka terbang dari arah
asrama putra menuju lapangan parkir depan kantor untuk menemuiku. Bahkan
terkadang mereka datang lebih dulu seolah sedang menungguku.
"Dari tadi nungguin kamu tuh,
Ci.." salah seorang
Petugas Keamanan sekolah padaku.
Dan tadi pagi, saat aku bermain ke
SMA-ku, entah tiba-tiba aku begitu merindukan mereka.
Rindu akan suara mereka yang sesungguhnya
sulit kutiru.
Rindu akan patukan paruh mereka di
telapak tanganku.
Rindu akan cengkreman cakar mereka
diatas lenganku.
Rindu melihat mereka berebut nasi
atau jagung dariku.
Rindu menyentuh dan mengusap bulu
halus mereka.
Rindu menyapa dan disapa oleh mereka
setiap pagi.
Rindu untuk curhat pada mereka
tentang apa yang terjadi padaku.
Rindu untuk ‘mengobrol’ dengan
mereka tentang kegiatan-kegiatanku.
Rindu untuk ‘berbincang’ dengan
mereka tentang kehidupan.
Rindu untuk ‘menertawakan’ sandiwara hidup.
Dan pernah hidup bersama mereka,
mengingat-ingatnya dan kemudian merindukannya kemudian adalah sebuah anugerah
untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar