Ini bukan tentang Sawarna. Ini tentang perjalanan
kesana. Perjalanan menuju destinasi wisata yang sudah 6 tahun dikenal sampai
mancanegara katanya. Perjalanan yang entah tertunda sudah berapa lama. Perjalanan
yang sebenarnya karena motif penasaran belaka (hhe..). Perjalanan yang saya
tempuh sendirian saja, dengan angkutan umum tentunya.
Damri menjadi moda angkutan yang saya pilih untuk
menuju ke Bayah, untuk selanjutnya menuju ke Sawarna. Cukup mudah.
Tentang Damri ini, ingin saya ceritakan bagaimana
keberadaannya begitu dinantikan dan menguntungkan bagi masyarakat yang punya
tujuan ke daerah Banten Selatan; Saketi, Picung, Malingping, Bayah, hingga
Cikotok.
Bis ini hanya ada 2 unit. Dan dalam sehari hanya beroperasi
dua kali. Mobil pertama rutenya Serang-Cikotok-Serang. Jam 6 pagi berangkat
dari Serang, dan jam 6 sore nyampe Serang kembali. Begitu juga mobil yang kedua,
berangkatnya sama, hanya rutenya terbalik; Cikotok-Serang-Cikotok. Padahal
masyarakat sangat terbantu dengan keberdaanya. Selain karena cepat tanpa ngetem
dijalan, juga karena tarifnya terbilang murah jika dibandingkan tarif ELF yang
biasa menuju Cikotok. Ini karena bus Damri berpatokan pada tarif yang telah
disesuaikan dengan peraturan pemerintah (Supir dan kondekturnya aja berseragam kayak
pejabat Dinas Perhubungan). Maka tak heran jika ada seorang ibu yang sengaja
menanti bus tiga perempat ini hanya karena merasa murah. Maka di Bus Damri tak
ada yang namanya permainan tarif seperti yang biasa terjadi pada mobil ELF dan
mobil Bus jurusan Jakarta-Labuan itu.
Tiba di Bayah saya melanjutkan ke Sawarna. Disini
agak bingung.
Ketika di Bus, saya sempat tanya-tanya tentang
angkutan umum dari Bayah ke Sawarna. Saya tanya ke semua orang yang saya temui.
Kata penumpang Damri disamping saya; tak ada
angkutan umum menuju Sawarna.
Penumpang belakang saya; jawabannya pun sama.
Kondekturnya; juga tak berbeda.
Saya penasaran, maka setelah sampai di Bayah, saya
coba keliling ke Pasar dulu dan bertanya ke orang-orang.
Kepada yang saya temuin di terminal Bayah; naik
ojeg saja katanya.
Supir angkot di Bayah, entah jurusan mana; begitu
juga.
Supir ELF Bayah: tak berbeda jawabannya.
Maka dari 7 orang yang saya tanya, hanya 1 orang
yang jawabannya berbeda: ada. (walaupun harus dua kali naik angkutan dan pada
ujungnya harus naik ojeg juga. :D)
Selain itu, semuanya menganjurkan naik ojeg.
Saya semakin heran dan penasaran. Destinasi wisata
seterkenal Sawarna tak ada angkutan umum menuju kesana? Apalagi dari Bayah ke
Sawarna cukup jauh, 12 Km.
Saya benar-benar ingin tahu kenapa? Ada apa?
Selidik punya selidik, ternyata ini semua karena
sebuah konflik. Konflik yang melibatkan tukang ojeg.
Sebelum-sebelumnya ternyata pernah ada angkutan
umum dari Bayah ke Sawarna. Salah seorang warga berinisiatif untuk mempermudah
akses ke tempat wisata tersebut. Tapi setelah beberapa lama angkot itu
beroperasi, terjadi kejadian dimana mobil angkot tersebut dipecahkan
kaca-kacanya oleh beberapa orang suatu malam.
Kemudian hal yang sama terjadi ketika kedua
kalinya ketika angkutan umum yang berbeda selang beberapa lama mengalami
kejadian serupa. Secara sengaja dihancurkan oleh orang-orang yang entah siapa
tak diketahui secara pasti.
Maka 2 kali keberadaan angkutan umum
Bayah-Sawarna, 2 kali pula ketidakberadaannya mengikuti.
Ternyata setelah beberapa lama akar masalah dan
biang keroknya terungkap juga. Yang menjadi desas-desus warga Sawarna ternyata
bukan isapan jempol belaka. Para tukang ojeg tidak rela ‘ladang’ mereka diambil
oleh angkutan umum yang hadir disana. Maka karena konflik antara tukang ojeg
dan beberapa orang yang berinisiatif mengadakan angkutan umum Bayah-Sawarna
belum selesai juga, angkutan umumpun masih belum dapat dinikmati warga.
Ah konflik memang ada-ada saja.
Saya harap pemerintah mengambil peran ini.
Setelah memperoleh info dari warga Sawarna, esok
paginya saya memutuskan untuk pulang lewat jalur berbeda. Tak terencanakan
sebelumnya memang. Tapi justru ini tantangan.
Ada mobil ELF langsung dari Sawarna menuju
Palabuhan Ratu. Dan sayangnya ini hanya ada satu mobil. Berangkatnya setelah
shubuh. Maka beberapa spot yang saya rencanakan dikunjungi harus saya urungkan.
ELF ini satu-satunya angkutan umum yang jadi
andalan masyarakat Desa Sawarna untuk menuju Palabuhan Ratu. Sebenarnya ada,
tapi kita harus ke Bayah dulu, mencegat ELF jurusan Cikotok-Palabuhan Ratu.
Karena hanya satu tadi, ditambah masyarakat Desa
Sawarna begitu membutuhkan keberadaanya, maka alhasil saya bersama 10 orang
laki-laki berhasil ‘ditumpuk’ bersama barang-barang bawaan diatap mobil ELF
berkapasitas 18 orang tersebut. Sementara sekitar 24 orang dibawah yang
kebanyakan perempuan.
Sangat overload memang, tapi ini tak ada pilihan,
kawan.
Maka untuk kedua kalinya, pemerintah semoga memperhatikan
ini pula.
Kurang lebih seperti ini gambaran mobil yang saya naiki, dengan tambahan beberapa orang lagi diatasnya.
Ada alasan tersendiri dan berbeda-beda mengapa
masyarakat Desa Sawarna lebih memilih ke Palabuhan Ratu untuk berbelanja
kebutuhan mereka. Bertumpuk dan berjejal di mobil berkapasitas kecil hingga 2
kali lipatnya. Mereka rela-rela ke Propinsi sebelah daripada harus ke Bayah
atau Malingping.
Rute yang saya tempuh: Pandeglang-Bayah-Sawarna-Pelabuhan Ratu-Bogor-Jakarta-Rangkas-Pandeglang.
Dari Bogor saya berkereta, menuju Jakarta kemudian
terus ke Rangkas. 4 ribu saja. Sungguh murah. Maka tak heran jika kereta api
selalu dijejali dan dipenuhi penumpang tiap waktunya dan menjadi moda
transportasi paling favorit bagi kalangan menengah ke bawah. Rencana kenaikan
tarif Oktober nantipun sepertinya takkan mengurangi antusias masyarakat untuk
menggunakan kereta. Walau mungkin banyak yang keberatan dan tidak setuju. Dan
sayapun sebenarnya tidak setuju tentang rencana itu, selama itu tidak diimbangi
dengan kenaikan jumlah moda transportasi dan peningkatan pelayanannya pula.
Pandeglang,
02 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar